Kejahatan Neoliberalisme bagian 1, bersambung…
Unknown
09:02
0
Kejahatan Badan-badan Keuangan dan Badan-badan Perdagangan Dunia Serta Agen-agen lokalnya
Sekilas Sejarah Ekonomi Liberal
Sebenarnya, krisis pokok ekonomi global—yang lebih dahulu diderita oleh negeri-negeri berkembang—adalah: kelimpahan produksi tanpa daya beli masyarakat (excess supply). Dan krisis itu lah justru yang kemudian mematikan sektor riil, bukan sebaliknya, atau bukan kematian sektor riil yang menyebabkan krisis. Lebih jauh lagi, dilihat latar belakang ideologis penyebabnya, krisis tersebut merupakan hasil dari respon cara pandang liberalisme terhadap pasar liberal dunia. Dan lebih rinci lagi, biang keladinya adalah metode ekonomi liberal:
- Balasan nilai yang tidak setara—berupa pendapatan masyarakat—dari pemilik modal terhadap tenaga kerja (produsen barang dan jasa);
- Spekulasi pasar saham; spekulasi porto folio, spekulasi derivatif, spekulasi sekuritas dan jaminan utang lainnya, spekulasi perdagangan uang, serta transaksi-transaksi spekulatif lainnya ;
- Persaingan dengan pemilik modal lain.
Ketika kontradiksi antar perusahaan semakin menajam maka persekutuan agung joint-stock company tak lagi menjadi sakral (untuk dilanggar) karena perusahaan-perusahaan tersebut kemudian, mau tak mau, berkecenderungan monopolistik. Setelah itu, tumbuh gejala perdagangan finansial, yang mencari keuntungan spekulatif—yang tak meningkatkan nilai produksi barang dan jasa; yang pasti hanya akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa. Itu lah gejala yang disebut sebagai perdagangan/bursa saham (Stock exchange), suatu institusi untuk menambah kekuatan modal keuangan (finance capital)—suatu kekuatan yang bisa dibuat mobil (bergerak) dan fleksibel melewati batas-batas nasional, mendunia, menjauhkankannya dari proses produksi langsung (baca: harga sahamnya bisa meningkat tanpa menambah nilai barang dan jasa), dan memudahkannya terkonsentrasi (pada segelintir orang).
Kehidupan ekonomi dan politik yang didominasi oleh kekuasaan finansial negeri-negeri maju menandai babak baru dalam sejarah dunia, babak sejarah dominasi baru yang, bila dibandingkan dengan tahun-tahun 1871 hingga 1914 (Perang Dunia I), lebih menekan, penuh dengan perubahan-perubahan mendadak, sarat dengan konflik, suatu babak yang, bagi rakyat, akan diakhiri dengan kengerian, horor.
Penguasaan negeri-negeri berkembang dan terbelakang kini dijadikan JALAN KELUAR bagi mereka, dan badan-badan keuangan/perdagangan dunia merupakan perangkatnya. Sekarang, penguasaan negeri-negeri berkembang mendapatkan topeng barunya: globalisasi—konsentrasi (baca: penyerakahan) nilai produksi masyarakat oleh perusahaan-perusahaan multinasional dalam bentuk penyatuan modal bank, finansial dan produksi. Jumlah perusahaan multinasional telah meningkat dari 7.000 (pada tahun 1970) menjadi 37.000 (pada tahun 1992). Perusahaan nasional, langsung atau tak langsung, dilekatkan dengan erat—sampai ke tingkat ketergantungan yang tinggi—pada perusahaan-perusahaan asing besar. Bahkan, kekuatan ekonomi perusahaan multinasional lebih besar ketimbang kekuatan ekonomi banyak negara-negara nasional. Contohnya, penjualan mereka telah meningkat dari $5 trilyun (pada tahun 1980) menjadi $35 trilyun (pada tahun 1992), dan diharapkan melebihi $80 trilyun (pada tahun-tahun belakangan ini)—tiga kali lebih besar dari nilai total barang dan jasa yang diproduksi oleh aktivitas ekonomi negeri-negeri maju. Dan hasil globalisasi tersebut: pengukuhan kekuasaan finansial, yang bukan saja menguasai perusaaan-perusahaan industri, namun juga bank-bank dan perusahaan-perusahaan asuransi, tidak saja di Amerika tapi di dunia. Menurut Laporan Investasi Dunia 1993, yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terdapat 37.000 korporasi transnasional, yang memiliki 170.000 anak perusahaan di luar negeri. 90% dari korporasi transnasional itu berkantor pusat di negeri-negeri maju.
Jauh dari apa yang disebut “penyebaran aset” seperti yang digembar-gemborkan dalam konsep teoritikus-teoritikus “globalisasi”, dan sekali pun penjualan mereka telah menyeberangi bola bumi, justru korporasi-korporasi transnasional lebih memusatkan produksi dan penjualan komoditi mereka di negeri-negeri “induk”. Ini mencerminkan adanya distribusi yang sangat tak setara (uneven), tak adil, dalam hal investasi langsung dan perdagangan global.
Sebaiknya juga kita telusuri sejarah bagaimana sistim ekonomi-politik liberal mencoba mengatasi krisis dan ekses-ekses yang ditimbulkannya, agar bisa dimengerti mengapa sampai pada kesimpulan: NEOLIBERALISME MERUPAKAN JALAN KELUAR SISTIM EKONOMI-POLITIK LIBERAL, yang hasilnya adalah krisis dan ekses-ekses juga.
Tak seperti situasi sekarang, pada akhir 1920-an, kelimpahan kapasitas produksi di segala bidang (structural overcapacity) dan pasar finansial, yang (walaupun) diawasi dengan ketat, telah menyebabkan ledakan spekulasi stock-market. Tak seperti sekarang juga, saat itu krisis diatasi dengan meningkatkan suku bunga untuk menahan laju permintaan kredit konsumsi—yang dianggap akan meningkatkan harga-harga inflatory barang dan jasa. Pada tahun 1929, stock-market mengalami kehancuran, harganya mengalami penurunan gila-gilaan, mengakibatkan banyak investor dan kreditor bangkrut, serta investasi produksi menurun secara dramatik. Bank sentral Amerika (US Federal Reserve) tak bisa lagi mempertahankan sistim perdagangan internasional yang melibatkan bantuan antar-pemerintah secara besar-besaran. Negeri-negeri maju yang saling bersaing semakin meningkatkan penjagaan proteksionisnya. Pada tahun 1933, di Amerika pengangguran meningkat menjadi 13 juta orang. Krisis sosial politik (potensial) siap meledak, yang bukan saja akan melanda Amerika namun juga berpengaruh secara global.
Untuk menghindari ledakan krisis sosial politik itu, Presiden Franklin D. Roosevelt mendorong pemerintahannya untuk campur tangan lebih besar dalam kehidupan ekonomi, yakni dengan memusatkan perhatiannya pada penyediaan lapangan kerja secara besar-besaran (massive). Pada musim dingin 1933-34 saja sudah 4 juta orang bisa diberikan pekerjaan dalam program-program pekerjaan umum dengan basis legitimasi fiskal (anggaran belanja defisit) dan juridis (UU Jaminan Sosial/Social Security Act of 1935). Roosevelt’s New Deal tersebut tak lain merupakan pengakuan: bahwa dalam babak (sejarah) dominasi perusahaan-perusahaan monopolistik dan dominasi modal keuangan, ekonomi liberal membutuhkan intervensi negara karena, bila tanpa itu, atau bila hanya mengandalkan mekanisme pasar semata, maka sistim itu akan runtuh. Hanya negara yang sanggup memperpanjang hidup liberalisme.
Perbaikan atau jalan keluar bagi ekonomi Amerika—bisa menyelesaikan depresi ekonomi seperti, misalnya saja, pengangguran bisa ditekan menjadi 4,5 juta (dari 13 juta orang)—hanya berlangsung selama 2 tahun saja (1936-1937), karena pada bulan Maret, 1938, pengangguran meningkat lagi menjadi 11 juta orang, dan 10 juta orang menjelang Perang Dunia II. Cara Keynesian di atas hanya lah akan mendorong inflasi harga barang dan jasa bila para investor, yang menguasai bisnis, tak bisa MEMPERLUAS PASAR bagi peningkatan produksinya. Selama Depresi Besar tersebut tak ada perluasan pasar seperti yang mereka harapkan, itu lah mengapa keampuhan kebijakan Keynesian, sebenarnya, memiliki keterbatasan. Hanya atas dorongan pemerintah lah—melalui anggaran defisit yang diarahkan pada pembelanjaan untuk mempersenjatai PD II—pengangguran bisa diatasi. Hanya perang atau persiapan perang saja yang ternyata bisa memperluas pasar—melalui pembelian barang-barang kebutuhan perang oleh pemerintah. Persis, seperti yang dikatakan Keynes dalam tulisannya The General Theory of Employment, Interest and Money: “Perang telah menjadi satu-satunya bentuk pembelanjaan dalam skala besar (berbentuk hutang pemerintah) yang harus disetujui, diabsyahkan, oleh para negarawan.” Jadi, adalah MITOS menyimpulkan bahwa adopsi kebijakan Keynesian lah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejak 1940-an hingga 1970-an. Karena, sebenarnya, restorasi tingkat keuntungan (dalam investasi produksi) lah yang menyelamatkannya, yakni melalui:
- Direndahkannya atau ditekannya upah riil (karena tingkat pengangguran tahun 1930-an);
- Hancurnya kompetisi bisnis, dan terjadinya konsentrasi modal secara besar-besaran (massive);
- Anggaran defisit negara yang dibelanjakan untuk membeli barang-barang kebutuhan perang sejak awal 1940-an.
Di atas basis penemuan-penemuan teknologi itu lah impian para investor diletakkan: bisa menggunakan segala cara untuk memaksakan perluasan pasar, menekan biaya tenaga kerja dan pengerukan sumberdaya global—semuanya itu sering dihaluskatakan (euphemism) menjadi “globalisasi”. Spekulator besar seperti George Soros pun mengkawatirkan bahwa “globalisasi” dan “pasar bebas” neoliberal akan mengabaikan kepentingan publik—terutama kelas pekerja—sehingga mereka tak akan lagi patuh pada sistim parlementer yang menunjangnya dan akan mencari alternatif lain: mengambil alih pemerintahan ke tangannya, seandainya pun mereka masih dalam keadaan belum profesional (bagaimana respon kelas pekerja dan kelas-kelas sosial yang dirugikan dengan neoberalisme lihat dalam Rakyat Berlawan, Pembebasan edisi I dan II).
Dan depresi global seperti tahun 1929-an—krisis finansial dan keruntuhan ekonomi seperti yang juga menghantam negeri-negeri seperti Jepang, pada tahun 1989, Mexico, tahun 1994, Korea Selatan, Thailand dan Indonesia, pada tahun 1997, serta Rusia, pada tahun 1998—oleh negeri-negeri maju, terutama Amerika dan Inggris, tak lagi diatasi dengan cara Keynesian tapi dengan cara NEOLIBERALISME—dan tanggungjawab tersebut juga diserahkan kepada badan-badan keuangan dan perdagangan internasional (sebagai perangkatnya): IMF, WB, WTO, GATT, Paris Club, NAFTA, APEC dan sebagainya. Bersambung....
Ditulis oleh Danial Indrakusuma
No comments