SBMI Tuntut SBY Harus Selamatkan Satinah Segera!
Unknown
23:10
0
Ancaman Hukuman Mati terhadap BMI, Menunggu Godot |
KORANMIGRAN, JAKARTA - Karena tenggat waktu eksekusi hukuman mati terhadap Satinah semakin dekat, yakni pada 3 April 2014, SBMI menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera melakukan penyelamatkan terhadap buruh yang ditempatkannya di luar negeri.
"SBY harus turun langsung menyelamatkan Satinah sekarang juga. Buruh migran yang terancam hukuman mati menurut data dari Kementerian Luar Negeri RI ada sebanyak 39 orang. Selain Satinah Binti Jumadi, tindakan pembebasan juga harus dilakukan terhadap Tuti Tursilawati, Aminah dan Darnawati yang eksekusinya bisa sewaktu-waktu dilaksanakan, ujar Saputro disela-sela diskusi sesama pimpinan buruh di Dhakka, Banglades.
SBMI mencatat, perjuangan Satinah untuk selamat dari ancaman hukuman mati kini tinggal 10 hari lagi. Seharusnya Satinah divonis pada bulan Agustus 2011, akan tetapi tenggat waktu diperpanjang hingga tiga kali yaitu Desember 2011, Desember 2012 dan Juni 2013.
Harapan bagi Satinah sesungguhnya ada karena keluarga atau ahli waris korban sudah menyatakan akan memberikan maaf asal mendapat imbalan diyat atau uang darah sebesar 10 juta riyal (setara dengan 21 Milyar Rupiah.
Pemerintah Indonesia hingga pekan kemarin baru sanggup menyetor 4 juta real atau setara Rp 12 miliar agar Satinah bisa dibebaskan.
"Diplomasi masih terus dilakukan. Namun diperlukan ketegasan posisi akhir mengenai jumlah diyat," kata Duta Besar RI di Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur, di Jakarta, pada hari Kamis, 14 Maret 2013 seperti yang dimuat di Tempo.
Kementerian mengaku sudah melakukan banyak hal bahkan menginisiasi surat dari anaknya Satinah, Nur Afriana, kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul-Aziz untuk meringankan tuntutan diyat ahli waris korban.
"Kami bukannya tidak mau membayar," kata Gatot yang sekarang malah dihadiahkan jabatan basah sebagai Kepala BNP2TKI.
Kasus Satinah bermula ketika Satinah membunuh Nura Al Garib, majikan perempuannya, pada 2007 lalu. Ia mengatakan terpaksa membunuh lantaran tak terima dituduh mencuri uang sang majikan senilai 38 ribu riyal. Ia juga sering dianiaya dan diperlakukan tak senonoh oleh majikan.
Satinah Binti Jumadi BMI asal Dusun Mruten Wetan RT 02 RW 03, Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang dijatuhi hukaman mati atas pembunuhan yang dilakukannya terhadap majikan perempuannya pada tahun 2007 silam. Sejak diputuskan bersalah dan dijatuhi hukuman mati sejak itu pula Satinah mengalami tekanan psikologis yang mendalam apalagi waktu batas akir pembayaran Diyat semakin dekat namun pembayarannya belum juga dibayarkan oleh pemerintah Indonesia.
Ancaman vonis hukuman mati ini sungguh merupakan ketidakadilan yang nyata bagi Satinah dan semua buruh migran yang dipaksa bekerja di luar negeri. Bahkan Arab Saudi yang sempat dimoratorium (penundaan penempatan) sebagai negara tujuan penempatan malah dibuka kembali.
Satinah bukanlah sekedar sosok rakyat yang menjadi korban yang mempertahankan diri dari tindakan sewenang – wenang majikannya belaka, tetapi juga karena inilah bentuk kegagalan kebijakan pemerintahan rezim SBY yang tidak bisa menjamin perlindungan bagi rakyatnya yang bekerja di luar negeri.
Dalam International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dinyatakan bahwa hak untuk hidup adalah non-derogible rights. Indonesia sebagai negara yang meratifikasi ICCPR seharusnya mengadopsi prinsip ini dengan mengakhiri praktek hukuman mati dalam sistem pemidanaan. Dengan mengakhiri praktek hukuman mati, akan makin memperkuat posisi politik Indonesia dalam diplomasi pembelaan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati.
Menjelang Pemilihan Umum tahun 2014 ini Satinah punya satu suara, lantas apakah semua caleg dan capres akan peduli dengan nasib Satinah dan buruh migran lainnya yang terancam hukuman mati? Buat apa visi misi partai dan janji-janji manis terus diiklankan di media bila caleg dan capres tak mampu menyelamatkan satu nyawa Satinah? Bukankah menyelamatkan nyawa Satinah sama nilainya dengan menyelamatkan bangsa dan negeri ini dari kemiskinan dan keterpurukannya juga?
Nyawa Satinah yang diujung tanduk dan rezim yang tidak mau menyelamatkannya adalah mimpi buruk yang membuat SBMI menyerukan kepada seluruh rakyat dimanapun berada, untuk menuntut tanggung jawab kepada rezim Soesilo Bambang Yoedoyono atas pelemparan tanggung jawab, kelalaian, dan kegagalan dalam melindungi Satinah Binti Jumadi dan semua buruh migran lainnya yang terancam hukuman mati di Luar Negeri.
"SBY harus turun langsung menyelamatkan Satinah sekarang juga. Buruh migran yang terancam hukuman mati menurut data dari Kementerian Luar Negeri RI ada sebanyak 39 orang. Selain Satinah Binti Jumadi, tindakan pembebasan juga harus dilakukan terhadap Tuti Tursilawati, Aminah dan Darnawati yang eksekusinya bisa sewaktu-waktu dilaksanakan, ujar Saputro disela-sela diskusi sesama pimpinan buruh di Dhakka, Banglades.
SBMI mencatat, perjuangan Satinah untuk selamat dari ancaman hukuman mati kini tinggal 10 hari lagi. Seharusnya Satinah divonis pada bulan Agustus 2011, akan tetapi tenggat waktu diperpanjang hingga tiga kali yaitu Desember 2011, Desember 2012 dan Juni 2013.
Harapan bagi Satinah sesungguhnya ada karena keluarga atau ahli waris korban sudah menyatakan akan memberikan maaf asal mendapat imbalan diyat atau uang darah sebesar 10 juta riyal (setara dengan 21 Milyar Rupiah.
Pemerintah Indonesia hingga pekan kemarin baru sanggup menyetor 4 juta real atau setara Rp 12 miliar agar Satinah bisa dibebaskan.
"Diplomasi masih terus dilakukan. Namun diperlukan ketegasan posisi akhir mengenai jumlah diyat," kata Duta Besar RI di Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur, di Jakarta, pada hari Kamis, 14 Maret 2013 seperti yang dimuat di Tempo.
Kementerian mengaku sudah melakukan banyak hal bahkan menginisiasi surat dari anaknya Satinah, Nur Afriana, kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul-Aziz untuk meringankan tuntutan diyat ahli waris korban.
"Kami bukannya tidak mau membayar," kata Gatot yang sekarang malah dihadiahkan jabatan basah sebagai Kepala BNP2TKI.
Kasus Satinah bermula ketika Satinah membunuh Nura Al Garib, majikan perempuannya, pada 2007 lalu. Ia mengatakan terpaksa membunuh lantaran tak terima dituduh mencuri uang sang majikan senilai 38 ribu riyal. Ia juga sering dianiaya dan diperlakukan tak senonoh oleh majikan.
Satinah Binti Jumadi BMI asal Dusun Mruten Wetan RT 02 RW 03, Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, yang dijatuhi hukaman mati atas pembunuhan yang dilakukannya terhadap majikan perempuannya pada tahun 2007 silam. Sejak diputuskan bersalah dan dijatuhi hukuman mati sejak itu pula Satinah mengalami tekanan psikologis yang mendalam apalagi waktu batas akir pembayaran Diyat semakin dekat namun pembayarannya belum juga dibayarkan oleh pemerintah Indonesia.
Ancaman vonis hukuman mati ini sungguh merupakan ketidakadilan yang nyata bagi Satinah dan semua buruh migran yang dipaksa bekerja di luar negeri. Bahkan Arab Saudi yang sempat dimoratorium (penundaan penempatan) sebagai negara tujuan penempatan malah dibuka kembali.
Satinah bukanlah sekedar sosok rakyat yang menjadi korban yang mempertahankan diri dari tindakan sewenang – wenang majikannya belaka, tetapi juga karena inilah bentuk kegagalan kebijakan pemerintahan rezim SBY yang tidak bisa menjamin perlindungan bagi rakyatnya yang bekerja di luar negeri.
Dalam International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dinyatakan bahwa hak untuk hidup adalah non-derogible rights. Indonesia sebagai negara yang meratifikasi ICCPR seharusnya mengadopsi prinsip ini dengan mengakhiri praktek hukuman mati dalam sistem pemidanaan. Dengan mengakhiri praktek hukuman mati, akan makin memperkuat posisi politik Indonesia dalam diplomasi pembelaan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati.
Menjelang Pemilihan Umum tahun 2014 ini Satinah punya satu suara, lantas apakah semua caleg dan capres akan peduli dengan nasib Satinah dan buruh migran lainnya yang terancam hukuman mati? Buat apa visi misi partai dan janji-janji manis terus diiklankan di media bila caleg dan capres tak mampu menyelamatkan satu nyawa Satinah? Bukankah menyelamatkan nyawa Satinah sama nilainya dengan menyelamatkan bangsa dan negeri ini dari kemiskinan dan keterpurukannya juga?
Nyawa Satinah yang diujung tanduk dan rezim yang tidak mau menyelamatkannya adalah mimpi buruk yang membuat SBMI menyerukan kepada seluruh rakyat dimanapun berada, untuk menuntut tanggung jawab kepada rezim Soesilo Bambang Yoedoyono atas pelemparan tanggung jawab, kelalaian, dan kegagalan dalam melindungi Satinah Binti Jumadi dan semua buruh migran lainnya yang terancam hukuman mati di Luar Negeri.
No comments