sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

HOME » » The Act of Killing, Mungkinkah Sejarah G-30S/PKI Akan Terungkap?


Unknown 07:53 0

Setiap memasuki penghujung bulan September, tepatnya pada tanggal 30 September, bangsa ini selalu dihadapkan pada sebuah kenangan sejarah kelam masa silam. Ya benar sekali sejarah adakalanya sebagai jelmaan luka lama, ketika kita mengenang sejarah maka siapkanlah untuk membuka luka lama itu. 

Mungkin kita sudah lupa bahwa hari ini tanggal 30 September, dan besok tanggal 1 Oktober bertepatan dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Dulu pada era Orde Baru, pertengahan 80-an atau awal 90-an dengan mudahnya kita mengingat tanggal 30 September ini sekaligus memperingati Hari Kesaktian Pancasila, karena setiap tanggal 30 September, kita selalu disuguhi film Pengkhianatan G-30S/PKI. Buat para pembaca yang lahir tahun 70-an, masih melekat dalam ingatan kita frase dalam film itu, “Darah itu merah, Jenderal!” atau “Republik sedang hamil tua.” 

Film Pengkhianatan G-30S/PKI garapan Arifin C. Noer yang dibuat pada tahun 1984 ini adalah versi resmi pemerintah Orde Baru tentang kejadian 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 pagi di Jakarta. Tentang Sukarno yang sakit, Tjakrabirawa yang siaga, ABRI yang hendak berulang tahun, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sedang jaya-jayanya, dan Soeharto si tentara yang tenang. Sukarno diperankan Umar Kayam, dan Mayjen Soeharto diperankan Amaroso Katamsi. 

Puncak kisahnya ketika PKI menculik tujuh perwira Angkatan Darat, dibawa ke Lubangbuaya, disiksa (termasuk oleh Gerwani), lalu dibenamkan ke dalam sumur tua dan sempit di sana. Upaya PKI lebih jauh untuk merebut kekuasaan kemudian digagalkan Soeharto. Film ini lantas wajib diputar di seluruh stasiun televisi yang ada kala itu, dan berhenti pada 1998, masa berakhirnya Orde Baru. 

Kita tentu tidak akan membahas tentang film Pengkhianatan G-30S/PKI garapan Arifin C. Noer, apalagi untuk mengkritisinya. Penulis hanya menegaskan bahwa sebuah film adalah produk budaya, apalagi ketika film tersebut “disponsori” oleh regim yang sedang berkuasa, maka sudah bisa ditebak bahwa produk budaya tersebut merupakan bagian dari upaya “propaganda” untuk melanggengkan kekuasaannya. 

Kini menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2012, publik dihentakkan oleh munculnya sebuah film The Act of Killing, tidak seperti film-film bertema peristiwa 1965 lain, dokumenter karya Joshua Lincoln Oppenheimer ini memotret peristiwa pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama etnis Tionghoa dari sudut pelaku. Cuplikan film sudah beredar di Internet sejak Selasa pekan lalu ini menampilkan betapa gembiranya para pelaku berseragam sebuah organisasi pemuda yang masih ada sampai kini karena berhasil membasmi musuh negara itu. Wajah mereka juga tidak menampakkan penyesalan. 

Ketua Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Haris Azhar memastikan film ini bakal menghebohkan hingga dunia internasional. Bukan lantaran temanya saja, namun film ini juga memotret langsung pelaku lapangan dari organisasi yang sampai saat ini masih berpengaruh. “Film ini akan makin menunjukkan apa sebenarnya terjadi pada pembantaian 1965,” katanya - merdeka.com 

Komentar serupa juga meluncur dari lisan sejarawan Asvi Warman Adam. Dia menegaskan The Act of Killing bakal makin menguatkan bukti perlunya pembentukan pengadilan hak asasi adhoc buat kasus 1965, seperti rekomendasi dibuat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Juli lalu. Dia yakin film ini bakal mengubah pandangan Barat dalam konteks Perang Dingin terhadap peristiwa 1965. “Selama ini masyarakat Barat mengakui (pembantaian PKI) itu jahat tapi perlu dilakukan,” ujar Asvi saat dihubungi secara terpisah. 

Film sepanjang 115 menit ini dipuji sejumlah kalangan. “Saya belum pernah melihat satu film berpengaruh dan menakutkan (seperti The Act of Killing) dalam satu dekade terakhir,” kata Werner Herzog (aktor, sutradara, dan produser asal Jerman), seperti dikutip dari situs theactofkilling.com. “The Act of Killing sangat mengejutkan dalam sejarah film.” 

Errol Mark Morris menilai The Act of Killing sebagai potret luar biasa dari pembantaian massal. “Sebuah film menakjubkan dan mengesankan,” kata sutradara dari Amerika Serikat ini. Surat kabar the Guardian sembilan tahun lalu menempatkan lelaki 64 tahun ini pada peringkat ketujuh dalam daftar 40 sutradar terbaik sejagat. Bukan sekadar cerita dan tokohnya yang kontroversial, penggarapannya juga bisa menjadi polemik. Oppenheimer bekerja sama dengan sejumlah pihak di Indonesia, namun identitas mereka disembunyikan. Ini termasuk satu dari tiga sutradara selain Oppenheimer dan Christine Cynn. 

Ternyata film The Act of Killing tidak hanya kontroversi dalam tema maupun isinya, namun film ini juga memincu kontroversi karena pemeran utamanya yaitu Anwar Kongo “merasa tertipu” oleh ulah sutradaranya. Anwar yang menjadi pemeran utama tahunya film itu berjudul Arsan dan Aminah, bukan The Act of Killing yang Sabtu pekan ini diputar di Festival Film Internasional Toronto, Kanada. 

Pada konferensi pers, Anwar mengaku bingung karena tidak pernah nonton film The Act of Killing. Dia menyatakan ingin sekali menonton film The Act of Killing secara penuh. “Siapa yang tidak ingin? Tapi sampai sekarang saya belum mendapatkannya,” ujar Anwar. Seorang jurnalis yang ikut dalam temu pers itu mengaku sudah menonton film ini di Jakarta. “Filmnya bagus banget, layak dapat penghargaan. Tapi diputarnya masih secara rahasia,” ujarnya. 

Sementara, Anwar juga kembali mengaku merasa tertipu dengan pembuatan film itu. “Soal langkah hukum, saya akan bicarakan dengan penasihat hukum saya,” ungkapnya. Hari-hari ke depan publik pasti disibukkan oleh kontroversi film The Act of Killing, yang konon copy-nya sudah beredar untuk kalangan terbatas.

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments

Leave a Reply

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.