Berkinerja Rendah, Komisi Informasi Hambat Implementasi UU KIP
Unknown
02:05
0
Aksi Hari Untuk Tahu Sedunia |
KORAN MIGRAN, JAKARTA - Informasi
yang menjadi modal dasar masyarakat untuk terus berkembang dan
mengembangkan lingkungannya sebagaimana pasal 28 f Undang-Undang Dasar
1945, telah mendorong masyarakat dan pemerintah untuk menginisiasi
lahirnya Undang-undang Keterbukaan Infomasi Publik (KIP).
Alasan
utama adanya Undang-undang KIP selain sebagai hak asasi manusia adalah
pengalaman masa orde baru, dimana sistem informasi bersifat tertutup
sehingga arus komunikasi bersifat satu arah dari atas ke bawah (top-down). Dan masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk memberikan feed-back.
Dengan
adanya Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik, yang didorong pasca Reformasi telah memberikan secercah harapan
bagi masyarakat. Masyarakat memiliki jaminan secara hukum untuk
mendapatkan akses informasi publik yang menjadi haknya. Sehingga
masyarakat dapat memberikan feed-back yang baik dalam rangka membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam
Undang-undang KIP disebutkan bahwa, untuk menjamin hak warga atau
masyarakat atas informasi, Negara menetapkan satu lembaga kuasi Negara
yang memiliki fungsi utama sebagai penyelesai sengketa (Dispute Resolution) terhadap akses informasi warga Negara yang tidak dipenuhi. Komisi Informasi sebagai lembaga penyelesaian sengketa informasi memiliki posisi strategis (Strategic Position), dimana komisioner yang berfungsi sebagai majelis dapat menentukan sebuah informasi dapat dibuka atau ditutup.
Namun,
posisi strategis itu tidak dimanfaatkan oleh Komisi Informasi, dimana
lembaga tersebut yang seharusnya menjadi pengawal dan penjamin hak warga
Negara atas informasi Publik telah menjadi ancaman tersendiri terhadap
hak warga atas informasi. Beberapa hal yang sudah muncul diantaranya
adalah:
1. Komisi Informasi di beberapa daerah dan Pemerintah Daerah telah
menafsirkan secara sesat Undang-undang Ormas yang menetapkan Surat
Keterangan Terdaftar (SKT) dari Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol)
sebagai syarat formal permohonan sengketa informasi.
2. Komisi Informasi Incumbent di Daerah mendorong Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) seleksi KI yang mempertimbangkan pengangkatan kembali tanpa melalui proses seleksi.
3. Rapat
Koordinasi Nasional tidak menghasilkan agenda-agenda strategis. Dan
dinilai hanya membuang Anggaran Negara dan menunjukkan rendahnya kinerja
Komisi Informasi.
Atas dasar itu, kami Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Keterbukaan Informasi Publik atau FOINI (Freedom Of Information Network Indonesia) dalam rangka menyambut Hari Hak untuk Tahu menyatakan sikap:
Pertama, Menuntut Komisi Informasi Pusat bersama Kementerian Dalam Negeri menerbitkan Surat Keputusan Bersama untuk meluruskan Komisi Informasi Provinsi dan/atau Komisi Informasi Kabupaten/Kota dan Pemerintah Daerah yang mensyaratkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sebagai syarat formal mengajukan permohonan informasi.
Kedua, Menuntut Komisi Informasi Pusat untuk membatalkan atau menolak usulan rencana penyusunan Juklak dan Juknis seleksi KI yang mempertimbangkan pengangkatan kembali tanpa seleksi Komisi Informasi incumbent.
Ketiga, Menuntut Komisi Informasi Pusat, mempublikasikan kepada Masyarakat seluruh anggaran yang telah digunakan oleh Komisi Informasi, khusususnya anggaran dalam Rapat Koordinasi Nasional yang tidak menghasilkan apa-apa.
Keempat, Menuntut
Komisi Informasi Pusat membuat Surat Edaran Kepada Pemerintah Daerah
yang menyatakan bahwa dokumen APBD, Penjabaran APBD, DPA, RKA, dan
Laporan keuangan adalah informasi publik yang wajib dibuka. Komisi
Informasi Pusat juga harus memastikan dilaksanakannya Surat Edaran
tersebut melalui kerjasama dengan Kementerian terkait untuk menerepakan
sistem penghargaan dan sanksi (punishment and reward) yang terintegrasi kepada badan publik yang tidak melaksanakan.
Kelima, Menuntut Komisi
Informasi Pusat untuk melaksanakan mandat Renstra Komisi Informasi
Pusat Periode 2013-2017 seperti misal KI Prudensi, aplikasi sengketa
informasi, partisipasi aktif dalam penyusunan kebijakan negara,
merumuskan dan menginternalisasi corporate culture khas Komisi Informasi dan membangun sistem dokumentasi arsip penyelesaian sengketa informasi yang lebih baik.
Keenam, Menuntut
Komisi Informasi Pusat untuk fokus dalam mempercepat pembentukan KI
Provinsi (Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara dan Papua Barat) dan
pembentukan PPID, SOP pengelolaan dan pelayanan informasi, daftar
informasi publik, mendorong keberfungsian PPID dalam pelayanan informasi dan publikasi informasi publik secara pro-aktif, dibanding upaya melakukan judicial review Pasal 29 UU KIP.
Siaran resmi ini dikeluarkan dalam rangka Hari Hak Untuk Tahu sedunia pada tanggal 28 September 2014.
YAPPIKA, PATTIRO, ICW, IPC, TII, Seknas FITRA, ICEL, IBC, MediaLink, Perludem, IBC, PSHK, SBMI, Koak Lampung, PATTIRO Banten, PATTIRO Serang, Perkumpulan Inisiatif, PATTIRO Semarang, KRPK Blitar, Sloka Institute, SOMASI NTB,
Laskar Batang, PIAR NTT, KOPEL Makassar, SKPKC Papua, Mata Aceh, GerAk Aceh, JARI KalTeng, KH2Institute, PUSAKO Unand, FITRA Riau, LPI PBJ, Institute Tifa Damai Maluku, dan Perkumpulan IDEA Yogyakarta.
No comments