Neoliberalisme dan Penegakan HAM [1]
Unknown
01:34
0
Oleh: Edy Burmansyah[2]
“if goods can not enter the boundaries, soldier do (jika barang dagangan tidak bisa masuk ke perbatasan, maka yang akan masuk adalah tentara) Komodor Matthew Calbraith Perry (1794 – 1858 )
Perdagangan dan kekerasan seringkali memiliki hubungan yang erat. Kita ingat kisah Komodor Perry dari USA dengan Armada perangnya yang memaksa Jepang membuka perdagangan dengan Amerika Serikat. Pada tahun 1854, Komodor Matthew Perry menggunakan Persetujuan Kanagawa untuk memaksa Jepang membuka pelabuhan di Shimoda dan Hakodate kepada Amerika Serikat dan mengakhiri kebijakan tertutup Jepang yang telah berlangsung 200 tahun. Selanjutnya berdasarkan Treaty of Amity and Commerce pada tahun 1858, Pelabuhan Yokohama dibuka untuk kapal-kapal AS.
Namun, Paska perang dunia II, pendekatan semacam ini, perlahan-lahan hilang kepopulerannya. Sejak tahun 1945 dunia mengalami polarisasi baru yakni berada diantara dua sistem yang sama sekali berbeda dalam hubungan international; pertama sistem teritorial yang menekankan pada penguasaan wilayah. Kedua Sistem Oceanic atau perdagangan sebagai warisan kebijaksanaan Inggris tahun 1850-an.
Sistem teritorial melihat kekuasan berdasarkan luas wilayah yang dimiliki; semakin luas wilayah, semakin besar kekuasaan. Secara teoritis, negara besar ingin mempunyai wilayah yang cukup luas sehingga mereka dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada negara lain, mereka mau menguasai sumber-sumber alam, bahan mentah dan daerah pasar supaya mencapai kondisi swasembada dan swadaya. Sebaliknya, sistem Oceanic atau perdagangan berpandangan bahwa kondisi swasembada dapat dicapai melalui perdagangan bebas dan terbuka.
Sejak berakhirnya perang dunia II, pendekatan teritorial, meskipun masih tetap digunakan, namun tidak lagi dominan seperti masa lalu. Barat cenderung lebih mengutamakan pendekatan soft power melalui intervensi kebijakan dan perdagangan, karena dinilai jauh lebih efektif dan murah.
Sistem perdagangan pada mulanya dimaknai sebatas pertukaran barang antar negeri tanpa mendapatkan hambatan atau kesulitan di sepanjang perjalanan. Hambatan itu dapat berupa tarif bea masuk atau pajak atas barang impor (yang dibeli dari luar negeri) atau peraturan-peraturan lain (seperti kuota). Dalam perkembanganya, didorong oleh kepentingan negara-negara besar dan perusahaan-perusahaan multinasional, serta diikuti oleh lembaga-lembaga international seperti WTO (World Trade organization), IMF (Dana Moneter International) dan Wold Bank (Bank Dunia) mulai diperluas tidak sebatas perdagangan, namun menyangkut hal-hal lain.
Lembaga-lembaga multimalateral merumuskan dokrin baru perdagangan kedalam empat pilar utama yakni :
Para kaum neoliberal memandang bahwa eksistensi negara itu kontradiktif bagi eksistensi pasar. Negara dipandang merusak mekanisme pasar, sehingga menimbulkan aneka macam distorsi, karena itu mereka berkampanye: negara harus sekecil-kecilnya, dan pasar seluas-luasnya.
Sebagaimana diketahui Globalisasi menuntut peran negara yang menciut; kekuasaan lebih besar kini berada di tangan MNC dan tiga institusi internasional yang besar yaitu IMF (Dana Moneter Internasional), Bank Dunia dan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). IMF dan Bank Dunia sering memberlakukan persyaratan mengenai deregulasi dan privatisasi, sementara liberalisasi pasar adalah domain WTO.
Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi (Stiglitz, 2002).
Negara VS Warga Negara
Pemasungan Negara oleh kaum neoliberal pada akhirnya berdampak pada menghilangnya paham tentang “warga negara” dan digantikan dengan paham “rakyat”. Rakyat yang berarti penghuni sebuah Negara sangat jauh berbeda pengertianya dengan warga Negara. Sebagai warganegara – demikian kata TH Marshall – dia memiliki tiga macam hak: politik, sosial dan sipil. Dia bisa menuntut bahwa kebebasannya terjamin, keamanannya terjaga, tetapi juga kesejahteraannya tidak terabaikan. Konsep warganegara menuntut bahwa negara tidak berpangku tangan terhadap warganegaranya.
Sementara apa yang disebut dengan rakyat dalam pandangan kaum neoliberal dianggap sebagai penghuni sebuah negara yang disetarakan dengan konsumen. Semua orang kini harus membeli produk. Rakyat dipersilahkan membeli produk-produk yang tersedia di pasar. Banyak hal memang bisa diserahkan kepada pasar dan rakyat membeli produk. Tapi celakanya rakyat juga harus membeli “produk pendidikan” dan “produk kesehatan,” dua hal yang tidak mungkin diserahkan kepada pasar.
Hilangnya konsep warga negara, membuat Negara diperbolehkan tidak peduli degan mereka (laissez faire). Rakyat harus mengurus dirinya sendiri, dengan terjun dalam arena pasar. Rakyat dipersilahkan untuk menjadi kaya, menjadi pandai, menjadi hebat, tetapi sekaligus juga dipersilahkan untuk menjadi miskin, menjadi bodoh, dan menjadi terpuruk-puruk. Kaya-miskin, pandai-bodoh, adalah urusan si rakyat. Menurut I. Wibowo (2003), pada perkembangan ini relasi Negara dan warga Negara pada akhirnya merosot menjadi hubungan antara “konsumen dan produsen” Negara melepaskan tanggung-jawabnya terhadap warganegara. Negara cukup menyediakan dan memberi fasilitas kepada para pengusaha swasta – lokal maupun global – untuk menghasilkan produk-produk yang bisa dibeli oleh rakyat sebagai
konsumen. Hubungan jual-beli ini dijadikan pola yang paling utama dalam mengelola negara. Dengan sendirinya uang menentukan dalam segala sesuatu.
Negara pada akhirnya malah berfungsi sebagai pelindung para pemilik modal! Dengan senang hati negara membiarkan dan memberi izin pengusaha swasta untuk mengelola pendidikan, kesehatan, dan bahkan juga keamanan (security). Istilah outsourcing tepat dipakai di sini karena negara tidak mau mengurus hal-hal yang merepotkan. Tugas negara utama bergeser melindungi pengusaha atau segelintir dari warganegara, dengan membiarkan sebagian besar warganegara menjadi konsumen atau tidak menjadi konsumen. Bahkan kalau perlu menjual warganegara menjadi tenaga kerja murah perusahaan global.
MNC dan Konflik
Menciutnya peran negara dan meluasnya peran swasta acapkali menjadi sumber konflik baru ditengah masyarakat, yang berwujud dalam berbagai bentuk; konflik antar agama, antar suku, maupun maupun penyingkiran masyarakat lokal dari tempat tinggalnya (displacement) yang sudah diwarisinya secara turun-temurun.[3] Masuknya perusahaan-perusahaan multinasional (Multinational Coorporation/MNC) mengeskploitasi sumberdaya alam yang ada disatu wilayah seringkali diikuti dengan disingkirkannya masyarakat local dari ruang hidupnya. Tersingkirnya masyarakat local menjadi landasaran baru bagi konflik-konflik selanjutnya dimasa depan.
Perang antar-suku di Papua, di wilayah dekat pertambangan Freeport, merupakan contoh yang nyata dari dipertahankan terusnya konflik lokal. Rakyat yang sudah begitu dalam tenggelam dalam konflik menghabiskan waktu dan energinya untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi siapa saja untuk merebut sesuap nafkah, dan tidak memiliki kesempatan lagi untuk mempertanyakan tanah mereka yang sekarang sudah diambil-alih oleh investor internasional untuk produksi pangan atau untuk pertambangan.
Logika semacam ini tampak dari pernyataan presiden George W Bush tidak lama setelah peristiwa 11 September 2001 “teroris menyerang World Trade Center, dan kita akan mengalahkan mereka dengan memperluas dan mendorong perdagangan dunia”. Didalam negeri, hal yang sama dapat kita jumpai saat peserta pertemuan rekonsiliasi konflik di Sulawesi Tengah dan Maluku ketika meninggalkan tempat pertemuan dan kembali ke masing-masing kampungnya membawa tas pertemuan yang bertuliskan: ”Conflict No, Investment Yes”.
Paskah peristiwa pembunahan massal 1965-1996 dan kejatuhan presiden Soekarno, kebijakan pertama-tama yang diambil pemerintah Soeharto adalah menerbitkan Undang-undang No 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing. Sejak itu berbondong-bondong perusahaan multi nasional mengsekplotasi sumber daya alam Indonesia; Freeport di papua, Newmont di Nusatenggara, dll Investasi dan perdagangan dianggap sebagai jalan penyelesai paling jitu dari berbagai konflik yang terjadi. Padahal dibalik maraknya investasi dan meluasnya perdagangan bentuk-bentuk lain dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bersiap muncul kepermukaan.
Hak Ekosob
Apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM tidak hanya tentang pelanggaran hak sipil dan politik, namun juga tentang tidak terpenuhinya hak dasar bagi kehidupan manusia, seperti hak atas kesehatan, pelayanan sosial, kebebasan politik dan sipil, serta hak kultural[5].
Lepasnya peran negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan pendidikan, kesehatan, air bersih, ketersiaan pangan (ketahanan pangan) dengan menyerahkannya kepada pihak swasta (privatisasi) sehingga membuatnya sebagai barang dagangan, dan tidak murah untuk diakses masyarakat terutama oleh kelompok masyarakat miskin adalah bentuk
Pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial dan kultural sama parahnya dengan pelanggaran hak sipil dan politik. Karena itu pada 2001, laporan Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights menegaskan kembali keterpaduan, saling ketergantungan, dan keterkaitan antara hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan cultural/budaya atau hak Ekosob sebagai kerangka HAM universal. Hal ini berarti bahwa akses pada sumberdaya, pelayanan kesehatan, air bersih, pendidikan, ketahanan pangan, dan hak mendapatkan informasi juga merupakan bagian dari HAM.
Menurut laporan Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights (2001), pada era liberalsiasi ekonomi saat ini masalah HAM menjadi lebih kompleks. Hampir tidak ada aspek dari kehidupan manusia yang tidak tersentuh oleh dampak liberalisasi. Sementara masalah hak sipil dan politik belum tuntas ditegakkan, kini muncul potensi pelanggaran hak-hak lain akibat liberalisasi, Misalnya liberalisasi paten atas obat menyulitkan akses rakyat miskin terhadap obat-obatan esensial, yang artinya melanggar hak masyarakat atas kesehatan.[6]
Namun didalam negeri dalam penegakan HAM tersebut masih menyimpan standar ganda, khususnya terhadap penegakan aksesibilitas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Menurut Sri Palupi hak ekosob saat ini masih cenderung dipandang sebagai hak yang tidak justiciable. Masih ada kesesatan cara pandang, dimana hanya hak-hak sipil politik yang dapat dilanggar dan terdapat penyelesaiannya menurut hukum, sedangkan hak ekonomi, sosial dan budaya tidak[7]. Karena itu sebagaimana dinyatakan, Human Rights Working Group (HRWG) dalam laporan tahun 2013, pertumbuhan ekonomi belum sejalan dengan penegkan HAM. Bahkan menurut catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) sepanjang tahun 2012-2013 terjadi lonjakan pengaduan masyarakat atas pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi kepada Komnas HAM. Laporan terhadap korporasi merupakan tertingi kedua yang diterima oleh Komnas HAM. Dalam kaitan tersebut saat ini Komnas HAM dikabarkan sedang menyusun panduan pertumbuhan ekonomi yang tak bertentangan dengan penegakan HAM.
“if goods can not enter the boundaries, soldier do (jika barang dagangan tidak bisa masuk ke perbatasan, maka yang akan masuk adalah tentara) Komodor Matthew Calbraith Perry (1794 – 1858 )
Perdagangan dan kekerasan seringkali memiliki hubungan yang erat. Kita ingat kisah Komodor Perry dari USA dengan Armada perangnya yang memaksa Jepang membuka perdagangan dengan Amerika Serikat. Pada tahun 1854, Komodor Matthew Perry menggunakan Persetujuan Kanagawa untuk memaksa Jepang membuka pelabuhan di Shimoda dan Hakodate kepada Amerika Serikat dan mengakhiri kebijakan tertutup Jepang yang telah berlangsung 200 tahun. Selanjutnya berdasarkan Treaty of Amity and Commerce pada tahun 1858, Pelabuhan Yokohama dibuka untuk kapal-kapal AS.
Namun, Paska perang dunia II, pendekatan semacam ini, perlahan-lahan hilang kepopulerannya. Sejak tahun 1945 dunia mengalami polarisasi baru yakni berada diantara dua sistem yang sama sekali berbeda dalam hubungan international; pertama sistem teritorial yang menekankan pada penguasaan wilayah. Kedua Sistem Oceanic atau perdagangan sebagai warisan kebijaksanaan Inggris tahun 1850-an.
Sistem teritorial melihat kekuasan berdasarkan luas wilayah yang dimiliki; semakin luas wilayah, semakin besar kekuasaan. Secara teoritis, negara besar ingin mempunyai wilayah yang cukup luas sehingga mereka dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada negara lain, mereka mau menguasai sumber-sumber alam, bahan mentah dan daerah pasar supaya mencapai kondisi swasembada dan swadaya. Sebaliknya, sistem Oceanic atau perdagangan berpandangan bahwa kondisi swasembada dapat dicapai melalui perdagangan bebas dan terbuka.
Sejak berakhirnya perang dunia II, pendekatan teritorial, meskipun masih tetap digunakan, namun tidak lagi dominan seperti masa lalu. Barat cenderung lebih mengutamakan pendekatan soft power melalui intervensi kebijakan dan perdagangan, karena dinilai jauh lebih efektif dan murah.
Sistem perdagangan pada mulanya dimaknai sebatas pertukaran barang antar negeri tanpa mendapatkan hambatan atau kesulitan di sepanjang perjalanan. Hambatan itu dapat berupa tarif bea masuk atau pajak atas barang impor (yang dibeli dari luar negeri) atau peraturan-peraturan lain (seperti kuota). Dalam perkembanganya, didorong oleh kepentingan negara-negara besar dan perusahaan-perusahaan multinasional, serta diikuti oleh lembaga-lembaga international seperti WTO (World Trade organization), IMF (Dana Moneter International) dan Wold Bank (Bank Dunia) mulai diperluas tidak sebatas perdagangan, namun menyangkut hal-hal lain.
Lembaga-lembaga multimalateral merumuskan dokrin baru perdagangan kedalam empat pilar utama yakni :
- Free Flow of Goods
- Free Flow of Invesment
- Free Flow of Service
- Free Flow of Labour
Para kaum neoliberal memandang bahwa eksistensi negara itu kontradiktif bagi eksistensi pasar. Negara dipandang merusak mekanisme pasar, sehingga menimbulkan aneka macam distorsi, karena itu mereka berkampanye: negara harus sekecil-kecilnya, dan pasar seluas-luasnya.
Sebagaimana diketahui Globalisasi menuntut peran negara yang menciut; kekuasaan lebih besar kini berada di tangan MNC dan tiga institusi internasional yang besar yaitu IMF (Dana Moneter Internasional), Bank Dunia dan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). IMF dan Bank Dunia sering memberlakukan persyaratan mengenai deregulasi dan privatisasi, sementara liberalisasi pasar adalah domain WTO.
Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi (Stiglitz, 2002).
Negara VS Warga Negara
Pemasungan Negara oleh kaum neoliberal pada akhirnya berdampak pada menghilangnya paham tentang “warga negara” dan digantikan dengan paham “rakyat”. Rakyat yang berarti penghuni sebuah Negara sangat jauh berbeda pengertianya dengan warga Negara. Sebagai warganegara – demikian kata TH Marshall – dia memiliki tiga macam hak: politik, sosial dan sipil. Dia bisa menuntut bahwa kebebasannya terjamin, keamanannya terjaga, tetapi juga kesejahteraannya tidak terabaikan. Konsep warganegara menuntut bahwa negara tidak berpangku tangan terhadap warganegaranya.
Sementara apa yang disebut dengan rakyat dalam pandangan kaum neoliberal dianggap sebagai penghuni sebuah negara yang disetarakan dengan konsumen. Semua orang kini harus membeli produk. Rakyat dipersilahkan membeli produk-produk yang tersedia di pasar. Banyak hal memang bisa diserahkan kepada pasar dan rakyat membeli produk. Tapi celakanya rakyat juga harus membeli “produk pendidikan” dan “produk kesehatan,” dua hal yang tidak mungkin diserahkan kepada pasar.
Hilangnya konsep warga negara, membuat Negara diperbolehkan tidak peduli degan mereka (laissez faire). Rakyat harus mengurus dirinya sendiri, dengan terjun dalam arena pasar. Rakyat dipersilahkan untuk menjadi kaya, menjadi pandai, menjadi hebat, tetapi sekaligus juga dipersilahkan untuk menjadi miskin, menjadi bodoh, dan menjadi terpuruk-puruk. Kaya-miskin, pandai-bodoh, adalah urusan si rakyat. Menurut I. Wibowo (2003), pada perkembangan ini relasi Negara dan warga Negara pada akhirnya merosot menjadi hubungan antara “konsumen dan produsen” Negara melepaskan tanggung-jawabnya terhadap warganegara. Negara cukup menyediakan dan memberi fasilitas kepada para pengusaha swasta – lokal maupun global – untuk menghasilkan produk-produk yang bisa dibeli oleh rakyat sebagai
konsumen. Hubungan jual-beli ini dijadikan pola yang paling utama dalam mengelola negara. Dengan sendirinya uang menentukan dalam segala sesuatu.
Negara pada akhirnya malah berfungsi sebagai pelindung para pemilik modal! Dengan senang hati negara membiarkan dan memberi izin pengusaha swasta untuk mengelola pendidikan, kesehatan, dan bahkan juga keamanan (security). Istilah outsourcing tepat dipakai di sini karena negara tidak mau mengurus hal-hal yang merepotkan. Tugas negara utama bergeser melindungi pengusaha atau segelintir dari warganegara, dengan membiarkan sebagian besar warganegara menjadi konsumen atau tidak menjadi konsumen. Bahkan kalau perlu menjual warganegara menjadi tenaga kerja murah perusahaan global.
MNC dan Konflik
Menciutnya peran negara dan meluasnya peran swasta acapkali menjadi sumber konflik baru ditengah masyarakat, yang berwujud dalam berbagai bentuk; konflik antar agama, antar suku, maupun maupun penyingkiran masyarakat lokal dari tempat tinggalnya (displacement) yang sudah diwarisinya secara turun-temurun.[3] Masuknya perusahaan-perusahaan multinasional (Multinational Coorporation/MNC) mengeskploitasi sumberdaya alam yang ada disatu wilayah seringkali diikuti dengan disingkirkannya masyarakat local dari ruang hidupnya. Tersingkirnya masyarakat local menjadi landasaran baru bagi konflik-konflik selanjutnya dimasa depan.
Perang antar-suku di Papua, di wilayah dekat pertambangan Freeport, merupakan contoh yang nyata dari dipertahankan terusnya konflik lokal. Rakyat yang sudah begitu dalam tenggelam dalam konflik menghabiskan waktu dan energinya untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi siapa saja untuk merebut sesuap nafkah, dan tidak memiliki kesempatan lagi untuk mempertanyakan tanah mereka yang sekarang sudah diambil-alih oleh investor internasional untuk produksi pangan atau untuk pertambangan.
Logika semacam ini tampak dari pernyataan presiden George W Bush tidak lama setelah peristiwa 11 September 2001 “teroris menyerang World Trade Center, dan kita akan mengalahkan mereka dengan memperluas dan mendorong perdagangan dunia”. Didalam negeri, hal yang sama dapat kita jumpai saat peserta pertemuan rekonsiliasi konflik di Sulawesi Tengah dan Maluku ketika meninggalkan tempat pertemuan dan kembali ke masing-masing kampungnya membawa tas pertemuan yang bertuliskan: ”Conflict No, Investment Yes”.
Paskah peristiwa pembunahan massal 1965-1996 dan kejatuhan presiden Soekarno, kebijakan pertama-tama yang diambil pemerintah Soeharto adalah menerbitkan Undang-undang No 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing. Sejak itu berbondong-bondong perusahaan multi nasional mengsekplotasi sumber daya alam Indonesia; Freeport di papua, Newmont di Nusatenggara, dll Investasi dan perdagangan dianggap sebagai jalan penyelesai paling jitu dari berbagai konflik yang terjadi. Padahal dibalik maraknya investasi dan meluasnya perdagangan bentuk-bentuk lain dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bersiap muncul kepermukaan.
Hak Ekosob
Apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM tidak hanya tentang pelanggaran hak sipil dan politik, namun juga tentang tidak terpenuhinya hak dasar bagi kehidupan manusia, seperti hak atas kesehatan, pelayanan sosial, kebebasan politik dan sipil, serta hak kultural[5].
Lepasnya peran negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan pendidikan, kesehatan, air bersih, ketersiaan pangan (ketahanan pangan) dengan menyerahkannya kepada pihak swasta (privatisasi) sehingga membuatnya sebagai barang dagangan, dan tidak murah untuk diakses masyarakat terutama oleh kelompok masyarakat miskin adalah bentuk
Pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial dan kultural sama parahnya dengan pelanggaran hak sipil dan politik. Karena itu pada 2001, laporan Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights menegaskan kembali keterpaduan, saling ketergantungan, dan keterkaitan antara hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan cultural/budaya atau hak Ekosob sebagai kerangka HAM universal. Hal ini berarti bahwa akses pada sumberdaya, pelayanan kesehatan, air bersih, pendidikan, ketahanan pangan, dan hak mendapatkan informasi juga merupakan bagian dari HAM.
Menurut laporan Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights (2001), pada era liberalsiasi ekonomi saat ini masalah HAM menjadi lebih kompleks. Hampir tidak ada aspek dari kehidupan manusia yang tidak tersentuh oleh dampak liberalisasi. Sementara masalah hak sipil dan politik belum tuntas ditegakkan, kini muncul potensi pelanggaran hak-hak lain akibat liberalisasi, Misalnya liberalisasi paten atas obat menyulitkan akses rakyat miskin terhadap obat-obatan esensial, yang artinya melanggar hak masyarakat atas kesehatan.[6]
Namun didalam negeri dalam penegakan HAM tersebut masih menyimpan standar ganda, khususnya terhadap penegakan aksesibilitas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Menurut Sri Palupi hak ekosob saat ini masih cenderung dipandang sebagai hak yang tidak justiciable. Masih ada kesesatan cara pandang, dimana hanya hak-hak sipil politik yang dapat dilanggar dan terdapat penyelesaiannya menurut hukum, sedangkan hak ekonomi, sosial dan budaya tidak[7]. Karena itu sebagaimana dinyatakan, Human Rights Working Group (HRWG) dalam laporan tahun 2013, pertumbuhan ekonomi belum sejalan dengan penegkan HAM. Bahkan menurut catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) sepanjang tahun 2012-2013 terjadi lonjakan pengaduan masyarakat atas pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi kepada Komnas HAM. Laporan terhadap korporasi merupakan tertingi kedua yang diterima oleh Komnas HAM. Dalam kaitan tersebut saat ini Komnas HAM dikabarkan sedang menyusun panduan pertumbuhan ekonomi yang tak bertentangan dengan penegakan HAM.
Kesimpulan
Berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi belakang ini di Indonesia tidak lepas dari pilihan kebijakan yang ditempuh pemerintah yang hanya menyandarkan diri pada ekspor bahan mentah terutama tambang dan hutang, dengan mengundang investasi asing sebanyak-banyaknya. Kebijakan semacam ini, menurut ekonom C.M. Dent pada tingkat makro merupakan perubahan umum dari sistem neo-merkantilis ke neo-liberal[8]
Model pembangunan seperti saat ini hanya akan memperlebar jurang kemiskinan, karena pertumbuhan ekonomi hanya dinikmti oleh segelintir orang kaya yang jumlahnya cuma sekitar 1%. Ini tampak pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 6,5% akhir 2011, tidak berbanding lurus dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dari 187 negara dunia yang di survey PBB. Indonesia berada pada posisi 124 turun 16 peringkat dari tahun lalu yang berada peringkat 108.
Disamping itu klaim penurunan jumlah penduduk miskin yang kini tinggal berjumlah 30 juta jiwa, tidak benar-benar akurat. Pemerintah Belanda, seperti dikatakan Menteri Urusan Eropa dan Kerja Sama Pembangunan Belanda, Ben Knapen, saat konferensi pers di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta, Selasa, 5 Juli 2011 bahwa penduduk miskin Indonesia berjumlah sekitar 100 juta jiwa.[2]
Karena itu yang harus dilakukan adalah mengembalikan sistem ekonomi Indonesia pada penafsiran utuh Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen). Sebagaimana dikemukan sistem perekonomian Indonesia ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi berdasarkan tiga prinsip utama (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selanjutnya sebagaimana dilengkapi Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara antara lain: (1) mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Langkah lebih lanjut yaitu mencabut segala Undang-Undang yang bertentangan dengan Pasal 33, pasal 27, pasal 34 UUD 1945, diantaranya UU tentang Sumber Daya Air, UU Migas, UU Minerba, UU BHP, UU Penanaman Modal, UU Bank Indonesia, UU BUMN, UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Perlindungan Varietas, UU Ketanagalistrikan, UU Panas Bumi, UU Perikanan, dan banyak lagi lainnya. Selama ini berbagai undang-undang tersebut menjadi alat legitasi korporasi asing (MNC) melakukan penindasan dan pengerukan sumberdaya ekonomi Indonesia.
Hanya dengan mengembalikan sistem perekonomian Indonesia sebagai mana yang telah rumuskan para pendiri bangsa pada UUD 1945 (sebelum amandemen), maka cita-cita para pendiri bangsa menemukan jalannya kembali; masyarakat adil dan makmur. ***
[1] Disampaikan pada semiloka Membangun Sinergisitas Implementasi Hak Asasi Manusia (HAM) Berbasis Komunitas, Lombok, NTB, 19 November 2013
[2] Peneliti Resistance and Alternatives to Globalization (RAG
[3] Don K Marut, Makalah Pendekatan Struktural dalam Gerakan Humanitarian: Peluang dan Tantangan bagi Masyarakat Sipil, Juli 2012, hal 4
[4] Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia PBB 1948 terdiri dari empat dokumen yaitu; International Covenant on Civil and Politicial Rights, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan Right to Development.
[5] Dikutif dari Hira P. Jhamtani, Globalisasi Korporasi, Perebutan Ruang Hidup & Hak Azasi Manusia, June 2009
[6] Sri Palupi, Problem dan Tantangan dalam Akses Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dalam Prasetyohadi & Savitri Wisnuwardhani (Ed),Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10 Tahun Reformasi, (Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2008), hlm 102,
[7] Dent, C.M, ”Networking the Region? The Emergence and Impact of Asia-Pacific Bilateral Free Trade Agreement, the pacific review, Vol 16, No,1 hal 25
[8] Vivanew.com 5 juli 2011
Daftar Pustaka
Bahagijo, Sugeng, dkk, Globalisasi Menghempas Indonesia, LP3ES, 2002
Bhagwati, Jagdish, Proteksionisme, Angkasa, Bandung, 1992
Burger, D.H Prof, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Pradnjaparamita, Djakarta 1962
Chandra, Alexander C, ”Indonesia dan Ancaman Perjanjian Perdagangan Bebas Bilateral” Institute for Global Justice, Jakarta, 2005
Dent, C.M, ”Networking the Region? The Emergence and Impact of Asia-Pacific Bilateral Free Trade Agreement, the pacific review, Vol 16, No,1
Eppler, Erhard, The return of The State ?, Forumpress, United Kingdom, 2009
Harvey, David, Imperialisme Baru, Resist Book dan Institute for Global Justice, Jakarta, 2010
I.Wibowo, Neoliberalisme, Cindelaras, Yogyakarta, 2003
Marshall, TH, Citizenship and Social Class, W.W. Norton and Co, New York, 2009
Norberg, Johan, Membela Kapitalisme Global, Freedom Institute, Jakarta, 2008
Nurkse, Ragnar prof, Masalah Pembentukan Modal Di Negara-Negara jang sedang berkembang, Bhratara, djakarta, 1964
Oxfam International, Briefing papaer ”Resep Pembawa Petaka” 2006
Oxfam International, Briefing Paper ” A raw deal for rice under DR-CAFTA”, 2004
Pascual, Maria Teresa D, ” Perjanjian-perjanjain Perdagangan Bebas Bilateral Amerika Serikat di Asia” Asia Pasific network for Food Sovereignty, 2006.
Rosecrance, Richard, ”Kebangkitan Negara Dagang, Perdagangan dan Penaklukan di Dunia Modern” Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991
Stiglitz, Joseph E., 2002. Globalisation and Its Discontent, New York: WW Norton and Company
Berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi belakang ini di Indonesia tidak lepas dari pilihan kebijakan yang ditempuh pemerintah yang hanya menyandarkan diri pada ekspor bahan mentah terutama tambang dan hutang, dengan mengundang investasi asing sebanyak-banyaknya. Kebijakan semacam ini, menurut ekonom C.M. Dent pada tingkat makro merupakan perubahan umum dari sistem neo-merkantilis ke neo-liberal[8]
Model pembangunan seperti saat ini hanya akan memperlebar jurang kemiskinan, karena pertumbuhan ekonomi hanya dinikmti oleh segelintir orang kaya yang jumlahnya cuma sekitar 1%. Ini tampak pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 6,5% akhir 2011, tidak berbanding lurus dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dari 187 negara dunia yang di survey PBB. Indonesia berada pada posisi 124 turun 16 peringkat dari tahun lalu yang berada peringkat 108.
Disamping itu klaim penurunan jumlah penduduk miskin yang kini tinggal berjumlah 30 juta jiwa, tidak benar-benar akurat. Pemerintah Belanda, seperti dikatakan Menteri Urusan Eropa dan Kerja Sama Pembangunan Belanda, Ben Knapen, saat konferensi pers di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta, Selasa, 5 Juli 2011 bahwa penduduk miskin Indonesia berjumlah sekitar 100 juta jiwa.[2]
Karena itu yang harus dilakukan adalah mengembalikan sistem ekonomi Indonesia pada penafsiran utuh Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen). Sebagaimana dikemukan sistem perekonomian Indonesia ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi berdasarkan tiga prinsip utama (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Selanjutnya sebagaimana dilengkapi Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara antara lain: (1) mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Langkah lebih lanjut yaitu mencabut segala Undang-Undang yang bertentangan dengan Pasal 33, pasal 27, pasal 34 UUD 1945, diantaranya UU tentang Sumber Daya Air, UU Migas, UU Minerba, UU BHP, UU Penanaman Modal, UU Bank Indonesia, UU BUMN, UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Perlindungan Varietas, UU Ketanagalistrikan, UU Panas Bumi, UU Perikanan, dan banyak lagi lainnya. Selama ini berbagai undang-undang tersebut menjadi alat legitasi korporasi asing (MNC) melakukan penindasan dan pengerukan sumberdaya ekonomi Indonesia.
Hanya dengan mengembalikan sistem perekonomian Indonesia sebagai mana yang telah rumuskan para pendiri bangsa pada UUD 1945 (sebelum amandemen), maka cita-cita para pendiri bangsa menemukan jalannya kembali; masyarakat adil dan makmur. ***
[1] Disampaikan pada semiloka Membangun Sinergisitas Implementasi Hak Asasi Manusia (HAM) Berbasis Komunitas, Lombok, NTB, 19 November 2013
[2] Peneliti Resistance and Alternatives to Globalization (RAG
[3] Don K Marut, Makalah Pendekatan Struktural dalam Gerakan Humanitarian: Peluang dan Tantangan bagi Masyarakat Sipil, Juli 2012, hal 4
[4] Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia PBB 1948 terdiri dari empat dokumen yaitu; International Covenant on Civil and Politicial Rights, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan Right to Development.
[5] Dikutif dari Hira P. Jhamtani, Globalisasi Korporasi, Perebutan Ruang Hidup & Hak Azasi Manusia, June 2009
[6] Sri Palupi, Problem dan Tantangan dalam Akses Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dalam Prasetyohadi & Savitri Wisnuwardhani (Ed),Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10 Tahun Reformasi, (Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2008), hlm 102,
[7] Dent, C.M, ”Networking the Region? The Emergence and Impact of Asia-Pacific Bilateral Free Trade Agreement, the pacific review, Vol 16, No,1 hal 25
[8] Vivanew.com 5 juli 2011
Daftar Pustaka
Bahagijo, Sugeng, dkk, Globalisasi Menghempas Indonesia, LP3ES, 2002
Bhagwati, Jagdish, Proteksionisme, Angkasa, Bandung, 1992
Burger, D.H Prof, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Pradnjaparamita, Djakarta 1962
Chandra, Alexander C, ”Indonesia dan Ancaman Perjanjian Perdagangan Bebas Bilateral” Institute for Global Justice, Jakarta, 2005
Dent, C.M, ”Networking the Region? The Emergence and Impact of Asia-Pacific Bilateral Free Trade Agreement, the pacific review, Vol 16, No,1
Eppler, Erhard, The return of The State ?, Forumpress, United Kingdom, 2009
Harvey, David, Imperialisme Baru, Resist Book dan Institute for Global Justice, Jakarta, 2010
I.Wibowo, Neoliberalisme, Cindelaras, Yogyakarta, 2003
Marshall, TH, Citizenship and Social Class, W.W. Norton and Co, New York, 2009
Norberg, Johan, Membela Kapitalisme Global, Freedom Institute, Jakarta, 2008
Nurkse, Ragnar prof, Masalah Pembentukan Modal Di Negara-Negara jang sedang berkembang, Bhratara, djakarta, 1964
Oxfam International, Briefing papaer ”Resep Pembawa Petaka” 2006
Oxfam International, Briefing Paper ” A raw deal for rice under DR-CAFTA”, 2004
Pascual, Maria Teresa D, ” Perjanjian-perjanjain Perdagangan Bebas Bilateral Amerika Serikat di Asia” Asia Pasific network for Food Sovereignty, 2006.
Rosecrance, Richard, ”Kebangkitan Negara Dagang, Perdagangan dan Penaklukan di Dunia Modern” Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991
Stiglitz, Joseph E., 2002. Globalisation and Its Discontent, New York: WW Norton and Company
No comments