sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

HOME » » Upah Layak dan Kewajiban Perjuangan Politik Kaum Buruh


Unknown 18:39 0

Politik Upah Murah
Tolak politik upah murah
Persoalan upah hingga saat ini, masih menjadi dinamika yang cukup tajam bagi dunia perburuhan. Tarik ulur kepentingan penetapan besaran upah antara buruh dan pengusaha, masih terus terjadi. Bahkan hukum ekonomi politik menyatakan bahwa konflik kepentingan antara buruh dan pengusaha dalam hal penentuan upah, akan terus terjadi hingga salah satu pihak saling menyisihkan. Ini didasari oleh logika ekonomi kedua pihak yang saling bertentangan. Satu sisi buruh ingin secara terus menerus meningkatkan kualitas upah untuk menjamin kehidupannya, sementara disisi yang lainnya pengusaha justru ingin menekan upah serendah mungkin agar dapat mencapai akumulasi keuntungan sebesar-besarnya.

Faktanya, dalam hal penentuan nilai upah selama ini, buruh cenderung “inferior” terhadap pengusaha. Hal tersebut diakibatkan oleh posisi tawar buruh yang relatif lemah dihadapan pengusaha. Situasi ini mengingatkan kita kepada “teori upah besi” yang dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle. Ia mengasumsikan bahwa pengusaha berada pada posisi yang kuat, dan ingin memaksimalkan keuntungannya, sementara buruh berada pada posisi yang lemah, atau tidak mempunyai kekuatan tawar-menawar sama sekali. Posisi buruh yang lemah ini membuat mereka pasrah pada nasib, dan bersedia menerima upah pada tingkat serendah apapun demi untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Itulah sebabnya teori upah ini dinamakan upah besi, karena upah yang diterima buruh benar-benar hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal hidupnya .

Dari apa yang dikatakan oleh Lasalle, setidaknya mengajarkan kita 2 (dua) hal, yaitu : Pertama, bahwa sesungguhnya upah yang layak tidak semata-mata ditentukan oleh regulasi atau aturan pengupahan yang telah ditetapkan oleh Negara. Namun juga sangat ditentukan oleh variabel yang ada disekelilingnya, seperti tekanan politik,ekonomi, budaya hingga keadaan sosial disekitar. Kedua, Lasalle ingin mengajarkan kepada kaum buruh, bahwa hanya dengan kolektivitas yang kuat melalui serikat , kaum buruh dapat memperjuangkan kebijakan pengupahan yang adil dan memihak kepentingan kaumnya. Tulisan ini hendak membangun pola pikir yang tidak hanya sekedar mencoba mendalami arti upah laya bagi buruh, namun juga sekaligus mencoba menawarkan metode dan cara untuk memperjuangkan upah layak tersebut.

Upah Layak
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan . Prinsip upah sejatinya harus mengabdi kepada kemanusiaan dengan perlakuan yang seadil dan selayak mungkin. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi Negara kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28D ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Hal ini juga diperkuat melalui Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa, “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Lantas apa yang disebut dengan upah layak?

Mendefnisikan upah layak memang bukan perkara yang mudah. Layak memiliki konotasi, “ukuran”, “batasan”, ataupun “takaran”. Dalam terminologi kemanusiaan, layak dapat ditemukan dalam padanan kata “patut”, “pantas”, “mencukupi”, “setimpal”, “terhormat” dan “mulia”. Namun menurut Engels, untuk membangun pengetahuan mengenai upah yang dinilai layak, jangan kita bersandar pada ilmu pengetahuan moral atau hukum dan keadilan, atau pada sesuatu perasaan kemanusiaan yang sentimental, kewajaran, atau bahkan kedermawanan yang secara moral layak, yang bahkan adil menurut hukum, mungkin sekali sangat jauh daripada layak secara sosial . Lebih lanjut menurut Engels, “Kelayakan atau ketidak-layakan sosial ditentukan oleh satu ilmu pengetahuan saja-ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan kenyataan-kenyataan material dari produksi dan pertukaran, ilmu pengetahuan ekonomi politik”.

Engels mencoba untuk menyajikan pemahaman upah layak berdasarkan skala kebutuhan upah buruh dalam sehari kerja. Menurut Engels, upah sehari kerja, dalam kondisi-kondisi normal, ialah jumlah yang diperlukan oleh pekerja untuk memperoleh bekal-bekal kehidupan (means of existence) yang diperlukan, sesuai standar hidup; kedudukan dan negeri, dan untuk menjaga agar dirinya dalam kemampuan kerja dan untuk mengembang-biakkan kaumnya (race). Tingkat upah-upah yang nyata (aktual), dengan fluktuasi-fluktuasi perdagangan, kadang-kadang mungkin di atas, kadang-kadang di bawah tingkat ini; tetapi, dalam keadaan-keadaan layak, tingkat itu seharusnya merupakan rata-rata semua ayunan (oskilasi).

Secara umum dari apa yang dikemukakan oleh Engels, upah yang layak dapat dimaknai sebagai keseluruhan komponen biaya yang dibutuhkan oleh seorang buruh untuk bekerja, baik dalam aspek fisik maupun non-fisik, termasuk dalam hal kehidupan sosial. Aspek fisik adalah aspek yang menunjang pengembangan jasmani seorang buruh agar dapat bekerja secara efektif. Aspek ini mencakup kebutuhan gizi baik makanan dan minuman, tempat tinggal termasuk MCK, sarana kesehatan, pakaian yang layak, istirahat dan rekreasi hingga transportasi. Sedangkan aspek non-fisik adalah aspek yang dapat menunjang kualitas harkat dan martabat seorang buruh. Diantarnya sarana yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan kaum buruh, baik berupa buku, majalah, koran hingga media berbasis online sebagaimna yang kita kenal diabad modern sekarang ini. Aspek ini juga termasuk sarana komunikasi yang dapat membantu seorang buruh menjalani rangkaian aktivitas sosial disekelilingnya.

Upah Minimum
Selain upah layak, sistem pengupahan di Indonesia juga mengenal istilah “Upah Minimum”. Istilah ini tentu saja berbeda dengan upah layak. Upah minimum hanya merupakan salah satu komponen dalam upaya pencapaian kebutuhan hidup layak. Untuk menentukan besaran upah minimum, maka diperlukan perangkat untuk menghitung “standar kebutuhan hidup” sebagai dasar penetapan upah minimum. Menurut Sidauruk, selama lebih dari 40 tahun sejak upah minimum pertama kali diberlakukan, Indonesia telah 3 kali menggantikan standar kebutuhan hidup sebagai dasar penetapan upah minimum. Komponen kebutuhan hidup tersebut meliputi; kebutuhan fisik minimum (KFM) yang berlaku Tahun 1969-1995; Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang berlaku Tahun 1996-2005 dan kemudian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang berlaku Tahun 2006-hingga sekarang ini .

Namun, paradigma upah minimum ini telah bergeser dan tidak lagi dimaknai hanya sebatas jaring pengaman (safety net). Dalam prakteknya, upah minimum cenderung dijadikan sebagai upah maksimum. Seakan-akan pengusaha yang telah membayar upah buruh sesuai dengan ketentuan upah minimum, merasa telah memenuhi kewajibannya berdasarkan ketentuan Pemerintah. Harus dipahami bahwa upah minimum hanya untuk buruh yang bekerja dibawah satu tahun dan berstatus lajang. Sedangkan buruh yang telah bekerja lebih dari satu tahun atau yang sudah memiliki keluarga, patut mendapatkan upah di atas rata-rata upah minimum. Inilah sesat pikir yang harus kita bongkar. Terlebih pemahaman upah minimum kini berlaku umum hampir disemua perusahaan yang ada di Indonesia. Walhasil, tidak ada keraguan pengusaha untuk menetapkan standar upah hanya berdasarkan upah minimum yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Bukan berdasarkan perhitungan aspek fisik dan non-fisik, maupun tingkat resiko dan kesulitan pekerjaan yang dibebankan kepada buruh.

Logika upah layak yang dipersonifikasikan melalui isu upah minimum, tentu saja membentengi pengembangan konsep mengenai upah layak sesuai dengan tuntutan kaum buruh. Hal ini dibuktikan dengan penentuan upah minimum berdasarkan standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan rill kehidupan kaum buruh. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, hanya menetapkan 60 item komponen kebutuhan hidup layak bagi buruh lajang. Namun masih begitu banyak hal yang membunuh akal sehat terkait perhitungan komponen kebutuhan hidup layak ini. Pertama, kebutuhan hidup buruh yang menunjang baik untuk fisik dan non-fisik yang belum dimasukkan kedalam komponen tersebut. Sebut saja untuk komponen pendidikan, hal yang paling vital untuk membangun pengetahuan buruh. Dalam permenakertrans tersebut, komponen pendidikan hanya berisi majalah/radio dan ballpoint/pensil. Apa itu bisa dianggap layak sebagai sarana untuk membangun pengetahuan buruh? Tentu saja tidak. Item lain seperti buku, televisi, atau sarana untuk akses media online, adalah kebutuhan pengetahuan yang sudah menjadi keharusan saat ini. Begitu halnya dengan alat komunikasi, buruh perlu untuk diberikan kemudahan untuk bersosialisasi dengan ruang sosialnya melalui ketersediaan sarana komunikasi berupa handphone dan pulsa.

Kedua, beberapa komponen dalam perhitungan kebutuhan hidup layak berdasarkan Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012, yang tidak relevan lagi dengan kondisi kaum buruh saat sekarang. Sebut saja sarana transportasi dengan menggunakan angkutan umum. Sebagai sebuah konsep, sarana transportasi massal memang menjadi kebutuhan ditengah kemacetan dimana-mana. Namun harus diakui bahwa dihampir seluruh daerah, rata-rata buruh memiliki kendaraan pribadi berupa motor yang memerlukan bahan maker yang nilainya tidak sama dengan biaya angkutan umum. Untuk itu, item yang tedapat dalam Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 tersebut, sepatutnya ditinjau ulang dan disesuaikan dengan kondisi saat ini. Anehnya, setelah beberapa tahun tuntutan revisi komponen kebutuhan hidup layak tersebut diajukan oleh kaum buruh, Pemerintah tetap tidak bergeming dan cenderung menutup mata terhadap keinginan kaum buruh.

Membangun Posisi Tawar
Perjuangan untuk mewujudkan upah layak, harus diletakkan ditangan dan pundak kaum buruh sendiri. Menggantungkan harapan kepada Negara yang sejatinya dimonopoli oleh kaum pemodal, adalah naïf dan secara histories telah terbukti gagal. Prinsipnya, kesejahteraan kaum buruh bukanlah hadiah dan pemberian. Tetapi merupakan hal yang harus diperjuangkan. Untuk itu, sebagai tahap awal dari rangkaian perjuangan upah layak, maka kaum buruh penting untuk membangun posisi tawar (bargaining position), agar suara dan tuntutan dapat mempengaruhi kebijakan pengupahan yang selama ini cenderung dicampakkan oleh kekuasaan. Buruh selama ini dipandang sebelah mata oleh kekuasaan. Bukan karena posisi dan arti penting kaum buruh yang nihil, namun karena gerakan buruh masih terpencar dan membatasi dirinya hanya sebatas gerakan yang berbasis tuntutan ekonomis.

Dalam membangun posisi tawar yang kuat terhadap Negara, terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan secara seksama, antara lain : Pertama, penguatan serikat atau organisasi buruh. Secara umum, perbandingan antara keseluruhan jumlah buruh di Indonesia dan serikat buruh yang ada, masih terlampau jauh rasio dan jarak-nya. Data statistik Badan Pusat Statistik (BPS) tentang keadaan ketenagakerjaan pada bulan februari 2013, menunjukkan bahwa penduduk yang bekerja di Indonesia berjumlah 114,0 juta orang. Sedangkan jumlah keseluruhan anggota serikat buruh di Indonesia sebesar 3.414.455 orang, yang tersebar di 11.852 buah serikat buruh tingkat perusahaan, 92 buah federasi serikat buruh, 6 buah konfederasi serikat buruh dan 170 buah serikat buruh disektor BUMN . Dengan demikian jika dirata-ratakan, maka jumlah presentase buruh di Indonesia yang tergabung atau menjadi anggota serikat buruh, hanya sekitar 2,9 persen. Angka itu tentu saja terbilang sangat kecil sehingga jika berbicara hitungan diatas kertas, maka posisi tawar kaum buruh dihadapan Negara dan pemilik modal akan sangat lemah. Penguatan serikat buruh ini tidak hanya bermakna kuat secara kuantitas. Namun justru kuantitas yang besar inilah yang akan mendorong kualitas gerakan yang lebih baik.

Kedua, serikat-serikat buruh yang terpencar dan cenderung berjalan sendiri, harus menemukan muara persatuan sebagai syarat meningkatnya daya dobrak gerakan buruh terhadap Negara dan pemilik modal. Kita mungkin sudah cukup lama mendengar teriakan persatuan diantara berbagai macam kelompok. Tetapi usaha persatuan tersebut selalu gagal pada tataran praktek, atau dengan kata lain, persatuan hanya terbatas pada ide dan gagasan belaka. Kenapa selalu gagal? Secara singkat, setidaknya terdapat 3 (tiga) alasan mendasar mengapa gagasan persatuan ini gagal diterjemahkan dengan baik. Pertama, akibat sentimen serikat yang terlampau besar mendahului tujuan perjuangan buruh. Walhasil, masing-masing kelompok hanya sibuk menonjolkan warna bendera dan eksistensi serikatnya masing-masing, dibandingkan melatih diri untuk bekerja bersama. Kedua, kesenjangan pemahaman (baca : teori) diantara anggota serikat buruh. Hal inilah yang menumbuhkan kecenderungan “politik patronase” dikalangan serikat buruh. Pendapat pimpinan adalah mutlak dan tidak boleh dibantah, rapat dan pertemuan cukup dihadiri pimpinan, kemanapun pimpinan bergerak anggota harus nurut, dll adalah praktek yang akan minihilkan proses belajar bagi anggota. Akibatnya, watak dan karaktek intelektual dengan mentalitas borjuis kecil, tumbuh subur dalam serikat buruh. Ketiga, kelemahan pada level ideologisasi anggota serikat buruh. Ideologisasi bermakna pengetahuan dan pemahaman akan tujuan yang akan dicapai oleh serikat. Apakah tujuan perjuangan buruh sebatas memenuhi tuntutan ekonomis atau selangkah lebih maju menjadi tujuan politis, yakni menghantarkan kaum buruh menuju kekuasaan Negara.

Ketiga, gerakan buruh harus mampu memperluas cakupan isu dan tuntutan. Dengan demikian, gerakan buruh tidak dicap sebagai kelompok yang eksklusif yang berkutat pada isu dan tuntutan disektor buruh saja. Cakupan isu gerakan buruh, harus mampu menarik persoalan yang pada umumnya muncul ditengah massa rakyat. Sebut saja isu Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan berpendapat, kebijakan non-populis pemerintah (kenaikan tarif BBM, TDL, listrik, pendidikan, kesehatan, dll), kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, hingga persoalan lingkungan, perempuan, sosial dan budaya. Dengan cara inilah, maka entitas gerakan buruh dapat berdiri tegak dihadapan massa rakyat. Bukan sekedar sebagai kekuatan yang hanya mampu memperjuangkan kaumnya sendiri. Dengan demikian, sokongan dari massa rakyat secara luas juga akan bermuara kepada gerakan buruh, sebagai kekuatan alternatif yang dapat dipercaya.

Keempat, gerakan buruh harus mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap momentum. Selama ini, gerakan buruh terlampau menjadikan momentum sebagai “zona nyaman”. Sebagai analogi, dalam setahun setidaknya gerakan buruh tidak pernah luput dari 2 (dua) rutinitas momentum, yakni momentum perayaan hari buruh (mayday) dan momentum pembahasan Upah Minimum Propinsi (UMP) dimasing-masing daerah. Terlepas bahwa gerakan buruh harus memanfaat momentum dengan baik, namun gerakan buruh harus mampu menciptakan momentumnya sendiri. Momentum yang tidak hanya secara langsung terkait dengan kepentingan kaum buruh sendiri, namun juga momentum yang menyangkut problem pokok massa rakyat Indonesia. Intensitas melahirkan momentum inilah, menjadi jalan untuk menunjukkan kekuatan kaum buruh sekaligus untuk menguji konsistensi perlawanan terhadap kekuasaan. Posisi tawar gerakan buruh justru akan lebih kuat dengan pola gerakan yang tidak maju mundur dan timbul tenggelam.

Perjuangan Politik
Syarat perjuangan untuk mewujudkan upah layak selanjutnya adalah perjuangan politik. Perjuangan yang tidak terhenti hanya sebatas dipenuhinya tuntutan ekonomis kaum buruh, namun perjuangan dalam pengambilalihan kekuasaan dari tangan pemilik modal. Loginya, tuntutan ekonomis semisal upah, bisa saja dipenuhi berkali-kali oleh Negara. Namun harus dipahami bahwa persoalan upah tidak akan pernah selesai jika bukan kaum buruh sendiri yang mengambil alih kekuasan Negara dan memutuskan sendiri kebijakan pengupahan berdasarkan kepentingan kaumnya. Sebab membebaskan diri dari penghisapan, adalah tugas dari kaum buruh sendiri. Untuk itulah, perjuangan kaum buruh harus mampu dimanefestasikan dalam gerakan politik, dengan jalan membangun organisasi politiknya sendiri. Organisasi politik yang akan menuntun jalan sejati pembebasan kaum buruh dari keserekahan pemilik modal yang selama ini merampas hak dan kepentingan kaum buruh.

Seperti apakah wujud dan fungsi organisasi politik kaum buruh tersebut? Seperti kayu yang tidak akan pernah berubah menjadi abu tanpa api, seperti ikan yang tidak akan pernah hidup tanpa air dan seperti bayi yang tidak akan pernah mampu berlari tanpa belajar berjalan. Organisasi politik kaum buruh seperti api yang akan mendorong perubahan nasib kaum buruh. Dari terbelenggu oleh sistem yang menindas, menuju sebuah sistem yang membebaskan. Dari terpenjara kekuasaan menuju memenjarakan kuasa pemilik modal. Organisasi polik kaum buruh seperti air yang menyodorkan kehidupan yang lebih baik bagi kaum buruh. Tanpa organisasi politik, maka impian jalan kemenangan akan menjadi sulit tercapai. Dan organisasi politik kaum buruh seperti balita yang belajar berjalan untuk dapat berlari. Dengan organisasi politik-lah maka kaum buruh dapat melatih dirinya untuk bertempur dan melancarkan perang terhadap pemilik modal. Tanpa itu, maka kaum buruh akan latah dan gamang dalam pertempuran yang akan dihadapi dalam upaya mengambil alih kekuasan Negara.

Tugas organisasi politik adalah menjadi sekolah dan penuntun bagi kaum buruh untuk bergerak dan melancarkan perjuangan. Dengan organisasi politik pula, kemandirian perjuangan kaum buruh dalam mencapai tujuan politiknya, dapat dilepaskan dari anasir yang akan merontokkan jalan menuju kekuasaan. Sebagaimana yang diutarakan Lenin tentang posisi Sosial Demokrasi Rusia, bahwa tugasnya bukanlah melayani gerakan klas pekerja secara pasif pada setiap tahap-tahapnya yang terpisah, melainkan mewakili kepentingan gerakan secara keseluruhan, menunjukkan tujuan-tujuan pokok dan tugas-tugas politiknya, dan melindungi kemandirian politik dan ideologinya. Kalau gerakan buruh terisolasi dari Sosial Demokrasi, gerakan buruh akan menjadi picik dan secara tak terelakkan menjadi berwatak borjuis; dengan hanya melakukan perjuangan ekonomi, klas pekerja kehilangan kemandirian politiknya; ia menjadi buntut dari partai-partai lain dan mengkhianati slogan besar : “Pembebasan klas buruh haruslah menjadi tugas klas buruh itu sendiri”.

Organisasi politik dan serikat adalah dua hal yang berbeda, tetapi tidak harus dipertentangkan. Serikat akan menjadi ladang untuk menyebar keresahan seputar persoalan yang dialami oleh kaum buruh. Sedangkan organisasi politik berfungsi untuk menyalurkan energi agar perjuangan kaum buruh dapat dilokalisir menjadi satu kekuatan yang tergorganisir dan terpimpin. Dengan organisasi politik, maka transformasi kesadaran kaum buruh akan terbentuk secara ideologis. Dari kesadatan ekonomis menuju kesadaran akan arti penting perjuangan politik. Perjuangan yang akan menghantarkan kaum buruh dalam merebut kekuasaan Negara dari tangan pemilik modal. Sebab hanya dengan cara mengambil alih kekuasaan Negara-lah, maka seluruh kebijakan Negara akan memihak kepentingan kaum buruh. Tanpa perjuangan politik melalui organisasi politik, maka gerakan buruh hanya akan menjadi semacam ritme hidup yang terus berputar secara mekanis, tanpa pernah membebaskan kaumnya dari penghisapan pemilik modal.

Oleh : Castro, Kontriutor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP.
(Dikutip dari Arahjuang untuk diterbitkan ulang di Media weblog ini untuk pendidikan)

Catatan Kaki :
- Friedrich Engels, “Upah Sehari Yang Layak Bagi Kerja Sehari Yang Layak!”. Sumber : Marxist.org. Diakses tanggal 29 Agustus 2014.
- Sidauruk, Markus. “Kebijakan pengupahan di Indonesia; Tinjauan Kritis dan Panduan Menuju Upah Layak”. Bumi Intitama Sejahtera Jakarta. Juli 2013, hal 52. Disadur dari dokumen pertemuan ILO yang bertajuk, “Situasi Pengupahan Di Indonesia”, 2 April 2013. Sumber : ILO. Diakses pada tanggal 29 Agustus 2014.
Wikipedia, “Padanan Kata Layak”. Sumber : Wikipedia.
- Fadjri, dkk. Ringkasan Eksekutif Penelitian, Pola Verifikasi Serikat Pekerja/Buruh Dalam Kerangka Kebebasan Berserikat. Sumber : Kemenakertrans. Diakses pada tanggal 30 Agustus Tahun 2014.
- V.I. Lenin dalam artikel, “Tugas-Tugas Mendesak Gerakan Kita”. Diterjemahkan dari V. I. Lenin, Collected Works, 4th English Edition, Progress Publishers, Moscow, 1972, Vol. 4, pp. 366-71, The Urgent Tasks of Our Movement. Ditulis awal bulan November 1900, diterbitkan bulan Desember 1900 di Iskra, No. 1. Sumber : Marxist.org. Diakses pada tanggal 30 Agustus 2014.

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments

Leave a Reply

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.