Perdebatan Strategi Anti-Neoliberal (5)
Unknown
19:00
0
Perdebatan Strategi Anti-liberal |
Posisi Harnecker pada awalnya diformulasikan oleh pimpinan Sandinista dalam Forum Sao Paulo pada 1990 di awal kekalahan elektoral mereka di Nikaragua dan terjadinya berbagai gangguan dalam blok sosialis Eropa Timur. Para Sandinista berargumen bahwa "menutupnya siklus revolusi-revolusi anti-imperialis" memaksa kaum kiri untuk berkonsentrasi pada tujuan moderat berupa anti-neoliberalisme. Harnecker mengingat ketika para Sandinista pertama kali mempresentesikan tesis ini "kami semua tergetar ... tapi itu kini diterima oleh semakin banyak kaum kiri ... yang memahami sulitnya menang dalam periode ultrakonservatif ini" (Harnecker, 1999, 65). Harnecker menambahkan bahwa posisi dominan yang dinikmati oleh kekuatan konservatif pada tingkat internasional menutup kemungkinan bagi kemenangan kaum kiri melalui perjuangan bersenjata, seperti yang sedang dijalankan di Kolumbia.
Harnecker mengusulkan kepada kaum kiri Amerika Latin untuk mengutamakan kontes-kontes elektoral lokal, sementara itu ia menolak argumen para "ultra-kiri" bahwa kontrol terhadap pemerintahan kotapraja dan negara-bagian sama saja dengan "mengurusi kapitalisme." Harnecker menganggap pertempuran-pertempuran ini sebagai bagian dari perjuangan anti-neoliberal dan suatu kesempatan bagi kaum kiri untuk mendemonstrasikan kemungkinan alternatif terhadap neoliberalisme (NACLA, 1995). Secara spesifik, walikota dan gubernur yang berhaluan kiri sangatlah ideal untuk mereorganisir struktur-struktur publik agar mencapai efisiensi (slogan neoliberal) dan pada saat yang sama menghindari PHK massal yang diasosiasikan sebagai neoliberalisme dengan mensponsori program-program pelatihan kembali (retraining programs). Harnecker menambahkan bahwa pencapaian dua tujuan ini ketika berkuasa disulitkan oleh partai-partai kiri yang melancarkan tekanan dalam menuntut lapangan pekerjaan, sementara melupakan keharusan-keharusan efisiensi (Harnecker, 1995, 69-117).
Kaum kiri telah berhasil menang dalam pemilihan di berbagai ibukota dan kota penting di El Salvador, Nikaragua, Venezuela, Meksiko, Brasil dan Uruguay tanpa bergantung pada pendekatan kiri-tengah Castaneda. Di negeri-negeri ini kaum kiri tak mengikutsertakan kaum tengah dengan meniru aliansi-aliansi antar partai kiri (seperti kasus Front Lebar di Uruguay dan Front Farabundo Marti di El Salvador) dengan menyatukan diri dalam bentuk suatu "front". Harnecker tidak melarang aliansi-aliansi yang menyertakan kaum non-kiri dan justru mengkritik kaum "ultra kiri" karena mengusir mereka (kaum non-kiri, pen.). Contoh terdepan formasi aliansi yang sukses sebagaimana digarisbawahi oleh Harnecker adalah persetujuan yang dicapai di Brasil pada 2002 yang mana Partai Pekerja yang berhaluan kiri memilih partai di sisi kanannya sebagai mitra junior.
Penulis kiri veteran James Petras, membela strategi lain yang mana perjuangan anti-neoliberal membangkitkan formulasi tuntutan dan slogan anti-imperialis dan bahkan anti-kapitalis. Petras menunjukkan bahwa akibat dari proses ini, "perjuangan [di Amerika Latin] tidak hanya meningkat secara kuantitas tapi juga semakin teradikalisir" dan telah "sekali lagi menempatkan sosialisme dalam agenda" (Petras, 2003; Petras, 2002b). Dinamika radikalisasi yang melampaui anti-neoliberalisme ini mengingatkan kita pada karya Trotsky Program Transisional untuk Revolusi Sosialis, yang mengusulkan suatu program minimum yang berfungsi sebagai "jembatan antara tuntutan saat ini dan program-program sosialis dalam revolusi." Dalam karya yang sama, Trotsky menyerang Komintern karena memisahkan program-program minimum dan maksimum dan menggunakan kata sosialisme "hanya untuk menguliahi pada hari libur" (Trotsky, 1974). Kritik Trotsky yang kiri menyerupai kritikan kubu Petras terhadap formulasi Harnecker yang mengesampingkan tujuan-tujuan jangka panjang untuk memprioritaskan tujuan-tujuan anti-neoliberal.
Dalam menekankan tujuan-tujuan yang lebih kiri, Petras mengklaim bahwa gerakan sosial radikal yang tumbuh subur di Amerika Latin (terutama di pedesaan dalam negeri-negeri seperti Meksiko, Colombia, Brasil dan Bolivia), sejalan dengan beberapa partai-partai politik penting seperti Movimiento al Socialismo di Bolivia (dipimpin oleh Evo Morales), telah bergerak ke arah anti-imperialis (Petras, 1999, 13-57; Veltmeyer dan Petras, 2000, 115-121). Proses radikalisasi ini merupakan respon terhadap militerisasi kebijakan luar negeri AS, yang manifestasi terpentingnya di Amerika Latin adalah "Plan Colombia" berupa intervensi militer untuk memerangi gerakan gerilya negeri itu dan lalu-lintas obat terlarang. Namun, Petras menunjukkan bahwa ofensif baru Washington juga telah menekan partai-partai kiri yang besar, seperti Partai Pekerja di Brasil dan Sandinista di Nikaragua, untuk mengadopsi posisi yang lebih moderat (Petras, 2002b).
Petras meyakini bahwa "perang permanen" adalah hasil logis dari kebijakan luar negeri Bush, yang bertentangan dengan pemikiran neoliberal. Ia menyebut model Bush sebagai "Keynesianisme militer" di mana intervensi militer di luar negeri dan intervensi negara dalam ekonomi domestik telah menggantikan model neoliberal berupa kebijakan pasar bebas dan formula-formula yang ditekankan oleh Dana Moneter Internasional (IMF). Menurut Petras, negara di bawah Bush sesungguhnya secara rutin bentrok dengan sektor swasta. Garis pemikiran Petras memiliki implikasi yang mengurangi relevansi slogan-slogan anti-neoliberal Harnecker, sementara menjadikan panji-panji anti-imperialis semakin cocok bagi negeri-negeri dunia ketiga.
2. Pemerintahan Chavez dan Lula dan Isu-Isu Kelas
Berkuasanya Chavez dan Lula bertentangan dengan strategi yang diajukan oleh Castaneda, yang mana kaum tengah diberikan peran memimpin dalam koalisi pemerintahan. Kedua presiden tersebut menyerang neoliberalisme dan menerapkan kebijakan ekonomi alternatif. Namun demikian, perbedaan utama antara keduanya dalam strategi politik dan kekuatan sosial yang menopang gerakannya memiliki implikasi penting bagi pendekatan yang dirancang oleh Harnecker dan Petras. Secara spesifik, peranan kaum "borjuasi nasional," kelas pekerja dan sektor-sektor terpinggirkan secara radikal berbeda dalam dua negeri tersebut. Baik Harnecker maupun Petras belum pernah memeriksa dengan cermat efek dan implikasi faktor-faktor kelas ini.
Berbeda dengan Chavez, Lula bertumpu pada dukungan solid organisasi kelas pekerja. Sejak pendiriannya pada 1983, federasi buruh utama di Brasil, Sentral Pekerja Sole (CUT), telah memiliki hubungan erat dengan Partai Pekerja-nya Lula. Dalam hal-hal mendasar, aliansi kelas dalam gerakan Lula juga berbeda dengan kasus Venezuela. Pada pemilu presiden 2002, Lula memilih wakil presidennya dengan menunjuk Jose Alencar, yang dipandang oleh Partai Pekerja sebagai industrialis progresif, dengan begitu menjamin dukungan kaum "borjuasi nasional."
Pemerintahan Lula mengedepankan suatu "pakta sosial" yang melibatkan kaum "borjuasi nasional" dan kelas pekerja terorganisir di Brasil. Karena batasan-batasan dari dalam (built-in) terhadap aliansi maupun kemungkinan nyata berbagai tujuannya, arah pemerintahan Lula lebih dapat diprediksi dan sepertinya akan lebih moderat dibandingkan Chavez. Maka, contohnya, Lula menerima masuk ke dalam Wilayah Perdagangan Bebas di Amerika (walaupun kesepakatannya ditolak oleh 10 juta rakyat Brasil dalam suatu referendum yang disponsori masyarakat sipil), tapi ia mendesakkan modifikasi dan negosiasi tertentu untuk memaksa Amerika Serikat mengangkat pembatasan terhadap import pertanian. Posisi ini mencerminkan prioritas kelas bisnis Brasil, yang mendukung promosi ekspor maupun investasi luar negeri menurut persyaratan yang sesuai dengan kepentingan nasional. Proposal alternatif yang murni bagi penyatuan Amerika Latin untuk menstimulasi industrialisasi yang di kemudian hari nanti berkompetisi secara komersial dengan Amerika Serikat (sebagaimana diusulkan oleh Chavez), menyarankan suatu pendekatan yang berpusat pada negara. Kepentingan bisnis Brasil, seperti rekan-rekan mereka lainnya di Amerika Latin, memandang model ini diinspirasikan oleh kaum kiri, tak realistik dan bertentangan dengan keharusan globalisasi.
Petras memandang pakta antara Partai Pekerja dengan Partai Liberal-nya Alencar sebagai tanda bahwa Lula semakin meninggalkan tujuan-tujuan progresif. Ia memprediksikan bahwa Lula akan harus memilih antara kebijakan anti-kerakyatan oleh Partai Liberal, di satu pihak, dan tuntutan kerakyatan dari jajaran bawah partainya dan kelompok-kelompok sosial (seperti Gerakan Tak Bertanah) yang telah mulai menjaga jarak dengan pemerintahan, di pihak lain. Pernyataan ini kontras dengan pendapat Harnecker (2002a, 8-9), yang mengklaim bahwa Lula dan Chavez mewakili "front anti-neoliberal" terpenting di dunia (walaupun ia mengakui bahwa Venezuela, tidak seperti Brasil, sedang menjalani suatu "proses revolusioner").
Yang implisit dalam kritikan Petras terhadap keputusan Lula memilih Alencar, adalah penolakan terhadap tesis potensi progresif kaum industrialis dan sektor-sektor "borjuasi nasional" lainnya di negeri-negeri dunia ketiga. Beberapa penulis kiri berkeyakinan bahwa sektor independen semacam itu tak pernah ada, sementara lainnya berpendapat bahwa itu telah tersingkirkan dalam era globalisasi ketika modal internasional semakin merajalela (Robinson, 1996). Dalam mempertahankan posisinya, Petras (tak seperti Harnecker) mengabaikan reputasi usahawan kaum industrialis Brasil, dan kegigihan mereka di hadapan tantangan-tantangan yang diakibatkan oleh globalisasi.
Secara kelas, akibat kebijakan tersebut jauh lebih problematik dalam kasus Venezuela. Basis sosial pemerintahan Chavez merupakan pekerja ekonomi informal yang terpinggirkan, yang tak punya jaminan sosial, jaminan legislasi perburuhan, pembayaran phk dan mediator nasional. Integrasi sektor-sektor ini ke dalam kehidupan ekonomi dan politik negeri itu mengakibatkan perubahan ekonomi dan politik yang berjangkauan luas. Sesungguhnya, baik kalangan analis politik maupun aktivis belum memberikan perhatian cukup terhadap kelas-kelas yang terpinggirkan, tidak demikian halnya dengan kelas pekerja terorganisir (Ellner, 2003, 161-162), dan dengan demikian solusi struktural terhadap permasalahan mereka belum terdefinisi dengan jelas. Longgarnya struktur internal Gerakan Republik Kelima (MVR) Chavez dan tiadanya disiplin maupun pengalaman organisasional para anggota yang berasal dari kelas terpinggirkan, yang merupakan mayoritas pengikut Chavez, semakin menambah ambiguitas ini. Sifat-sifat "sui generis" [B] (Harnecker, 2003) dari gerakan Chavista sejak pendiriannya pada 1982 membuat arahnya di masa depan semakin tak pasti.
Faktor kelas yang kedua berkontribusi terhadap ketakpastian prediksi dan desakan radikal fenomena Chavez: oposisi agresif dari sektor swasta Venezuela. Beberapa Chavistas yakin bahwa ketergantungan historik kaum kapitalis Venezuela terhadap negara (yang semakin diintensifkan dengan sistem penjualan dolar bernilai tukar spesial secara diskresioner [pilih kasih, pen.] yang diterapkan pada 2003) akan memaksa kepentingan bisnis untuk mengubah pendirian mereka dan mencapai kesepakatan dengan pemerintah. Mereka menambahkan bahwa ekonomi Venezuela seluruhnya berdasarkan pada industri minyak yang dijalankan negara, dengan demikian pemerintah berada di atas angin (Escarra, 2003).4. Berbagai anggota koalisi yang berkuasa - seperti Partai Patria Para Todo (PPT) - mengadvokasikan perlakuan khusus terhadap kapitalis nasional untuk menghentikan ketergantungan ekonomi negeri itu terhadap modal asing. Walau demikian, tidak dapat dikesampingkan kemungkinan bahwa konfrontasi pemerintah-bisnis akan melepaskan suatu proses radikal berupa pengambilalihan industri oleh negara atau buruh, meskipun aksi-aksi demikian tidak ditemukan dalam doktrin-doktrin Chavista. Selama pemogokan umum sepanjang dua bulan yang dipimpin kaum bisnis pada 2002-2003, pemerintah mengambil langkah menyita komoditas kebutuhan dasar yang disembunyikan oleh para industrialis dan mengancam akan menduduki pabrik untuk menjamin produksi.
Harnecker dan Petras berbeda dalam menilai pemerintahan Chavez, namun keduanya tidak mengangkat tentang situasi genting di Venezuela akibat peran borjuasi dan kelas terpinggirkan, seperti didiskusikan di atas. Sejalan dengan posisinya tentang kelemahan kaum kiri pada tahap saat ini, Harnecker membenarkan konsesi Chavez terhadap Amerika Serikat, seperti kerelaannya untuk tetap membayar hutang luar negeri dan menjamin pasokan minyak secara tetap. Petras, di sisi lain, menyebut Chavez sebagai seorang "nasionalis" dalam kebijakan luar negeri namun "populis" dalam hal-hal dalam negeri, dan memandang kebijakan ekonominya, seperti penolakannya terhadap penghapusan privatisasi, sebagai pada dasarnya berorientasi pasar-bebas.
Petras (maupun Harnecker) dengan akurat menekankan bahwa formulasi ideologis Chavez, yang sebagian besar didasarkan pada pemikiran pemimpin kemerdekaan Simon Bolivar, tidaklah jelas dan tak memiliki kritik komprehensif terhadap kapitalisme. Walau demikian, dengan menekankan komitmen ideologi dan doktrin, Petras menomorduakan dinamika populisme, maupun beberapa karakteristik kelas tertentu, yang efeknya susah diprediksi tapi bisa jadi kondusif bagi proses radikalisasi5. Lagi pula, anggota kelas terpinggirkan yang menjadi tulang punggung gerakan Chavez secara khusus dirugikan oleh globalisasi; dengan ketakmampuan historik mereka dalam membangun organisasi yang mendefinisikan aspirasi mereka, pilihan politik mereka lebih susah diprediksi dibandingkan kelas pekerja. Walau demikian, potensi mereka dalam melakukan aksi yang independen adalah lebih besar dibandingkan setengah abad lalu, ketika sosiologis umumnya menggambarkan mereka sebagai kaum migran pendatang baru dari pedesaan yang mudah terbius oleh daya tarik politikus demagogis (Germani, 1963). Selain itu, peran borjuasi Venezuela juga merupakan subyek perdebatan. Hingga kini, oposisi kerasnya terhadap Chavez tampaknya akan membuat pemerintahannya tak memiliki alternatif lain selain bergerak ke arah anti-kapitalis. Namun, lemahnya sektor bisnis Venezuela dan ketergantungannya yang telah lama kepada negara, bisa saja memungkinkan jalan kompromi, sebagaimana diadvokasikan oleh sekutu PPT Chavez.
Populisme sayap kiri Chavez mungkin menyerupai fenomena revolusi Kuba setelah 1959, ketika pimpinan Movimiento 26 de Julio, bergerak menuju sosialisme bukan karena mereka memeluk slogan-slogan atau tujuan sosialis, tapi sebagai reaksi terhadap permusuhan bebal lawan-lawan mereka. Ketika pimpinan buruh Chavista menyerukan kepada pemerintah untuk mengeluarkan dekrit yang memberikan hak kepada pekerja untuk menduduki perusahaan yang ikut aksi "insureksional" penutupan-pabrik pada Desember 2002 - Januari 2003, mereka dimotivasikan bukan oleh komitmen sosialis melainkan naluri untuk bertahan. Rangkaian kejadian ini, bila berujung pada arah anti-kapitalis, pastinya akan berbeda dari strategi "program transisional" Trotsky yang mana tujuan-tujuan jangka pendek yang telah ditentukan dengan baik dirancang untuk mengarah pada tujuan-tujuan jangka panjang yang telah ditentukan dengan baik. Mereka yang mengkritik Chavez karena ambiguitas doktrinnya luput melihat kenyataan bahwa di era globalisasi, anti-neoliberalisme (tak lagi memiliki panji-panji kiri tradisional seperti nasionalisasi) telah gagal mengembangkan strategi, slogan, dan tujuannya di mana-mana, suatu kelemahan yang merupakan tantangan besar bagi kaum kiri dunia ketiga.
Pendeknya, baik Harnecker maupun Petras menentang dominasi kaum tengah dalam gerakan anti-neoliberal, sebagaimana dikedepankan oleh Castaneda. Harnecker mempertahankan aliansi dengan kaum tengah asalkan kaum kiri menempati posisi pimpinan. Dengan kontras, Petras menolak semua jenis aliansi macam ini dan kemudian memprediksikan bahwa Partai Liberal Brasil yang berhaluan tengah akan pada akhirnya menentukan arah pemerintahaan Lula. Dalam kasus Venezuela, tidak muncul aliansi kiri-tengah semacam itu dan kedua penulis tersebut lebih optimistik dalam evaluasinya. Harnecker membenarkan kehati-hatian Chavez dalam beberapa permasalahan kunci tertentu sebagai suatu respon yang diharuskan oleh kondisi dunia yang tak menguntungkan, sementara Petras menggarisbawahi gebrakan anti-imperialis kebijakan luar negeri Venezuela.
KOMENTAR PENUTUP: KONDISI-KONDISI OBYEKTIF-SUBYEKTIF DAN TIGA STRATEGI ANTI-NEOLIBERALISME
Landasan dari tiga pendekatan anti-neoliberal yang didiskusikan dalam artikel ini merupakan perbedaan pembacaan kondisi obyektif bagi perubahan berjangkauan-luas di Amerika Latin dan dunia. Analisa Castaneda berpusat pada globalisasi. Strategi aliansi kiri-tengahnya yang moderat merupakan hasil logis dari argumennya bahwa kekuatan globalisasi mengekang aktor-aktor nasional dan dengan terkait cenderung menomorduakan perjuangan kerakyatan. Dalam Utopia Tak Bersenjata Castaneda menyerukan kaum kiri untuk menerima globalisasi dan hasil sampingannya (seperti pengawasan internasional terhadap hak asasi manusia dan pemilu dan integrasi ekonomi regional) untuk alasan-alasan pragmatik dan sebagai landasan bagi pembangunan-bangsa (nation-building) dan pembangunan ekonomi. (Castaneda, 1993, 394-305). Walau demikian, seperti halnya partai-partai sosial demokrat di Eropa, penerimaannya terhadap logika globalisasi mengakibatkan semakin banyaknya konsesi dan kompromi dengan neoliberalisme, yang membuka jalan bagi masuknya ia ke dalam pemerintahan Vicente Fox.
No comments