Pemerintah Sulsel Tolak BPJS
Unknown
01:17
0
Aksi Tolak BPJS |
MAKASSAR - Pemerintah Sulawesi Selatan menegaskan penolakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan oleh Badan Pelaksanaaan Jaminan Sosial (BPJS). Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan tetap akan menjalankan Peraturan Gubernur No 13 Tentang Pelaksanaan Jemkesda yang membebaskan biaya pelayanan kesehatan bagi rakyat.
Hal ini ditegaskan oleh Asisten III Bidang Kesejahteraan Rakyat, Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Bambang Arya, dan Kepala Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, Rahmat Latief saat menerima delegasi Gerakan Nasional Penegakan Pasal 33 (GNP-33)
“Pendapatan daerah Rp 4,7 Triliun tidak akan cukup, untuk menanggung peserta BPJS sebanyak 4,2 juta peserta Jamkesda dan PNS. Untuk masuk BPJS kita harus setor Rp 800 Milyar,” demikian Bambang Arya dalam pertemuan tersebut, Kamis (6/2).
Dalam pertemuan tersebut mewakili Gubernur, Bambang Arya sepakat menolak pelaksanaan BPJS di Sulawesi Selatan dan menegaskan kelanjutan program Jamkesda yagn sudah berjalan. Ia menjelaskan bahwa pembiayaan Jamkesda yang sudah berjalan selama ini ditanggung oleh anggaran Pemerintah Kota atau kabupaten sebesar 60 persen dan Pemerintah Propinsi sebesar 40 persen.
“4,2 Juta rakyat Sulsel dibawah perlindungan Jamkesda. Anggaran kita tambah dari Rp 6.000 menjadi Rp 10.000/orang sakit pada tahun ini,” jelasnya.
Program Jamkesda ini menurutnya sudah meliputi layanan dasar di puskesmas sampai tingkat rujukan di rumah-rumah sakit. Dibandingkan dengan menyetor Rp 800 Milyar ke BPJS, Pemerintah Propinsi memilih mengurus rakyatnya sendiri dengan anggaran hanya Rp 42 Milyar.
“Kami akan segera keluarkan surat edaran ke seluruh RSUD dan swasta yang bekerjasama dengan pemerintah propinsi untuk tetap melayani Jamkesda,” tegasnya.
Pada kesempatan itu, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan, Rahmat Latief menjelaskan bagi masyarakat yang tidak mau mendaftar jadi peserta BPJS tidak perlu kuatir. “Karena ada Jamkesda yang unlimited membebaskan semua biaya pelayan kesehatan termasuk untuk HIV/AIDS,” Tegasnya.
Ketua Umum Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Wahida Baharuddin Upa menyatakan dukungannya pada keputusan pemerintah propinsi Sulawesi Selatan.
Sebelumnya, sedikitnya 5.000-an rakyat miskin di Makassar, Sulawesi Selatan, yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945 (GNP-33 UUD 1945), menggelar aksi massa menolak pemberlakuan UU Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Kantor Gubernur Kamis (6/2).
Dalam aksinya massa aksi rakyat miskin ini menilai UU SJSN dan UU BPJS telah mendorong liberalisasi sektor kesehatan di Indonesia. “UU SJSN dan UU BPJS ini telah mengalihkan tanggung-jawab negara terkait pemeliharaan kesehatan rakyat menjadi tanggung-jawab individu,” ujar Wahida Baharuddin Upa, saat menyampaikan orasinya di tengah-tengah aksi massa.
Menurut Wahida, di dalam UU SJSN pasal 17 ayat (1) disebutkan keharusan setiap orang yang menjadi peserta BPJS membayar iuran yang besarannya ditentukan berdasarkan persentase upah atau nominal tertentu.
“Dalam undang-undang ini, setiap warga negara dipaksa membayar iuran kepada BPJS untuk mendapatkan layanan kesehatan. Namun kalau sakit, pasien harus bayar lagi, karena ternyata tidak semua obat, pelayanan dan jasa medis lainnya dibayar oleh BPJS. Pemerintah sudah menjadi kaki tangan asuransi ya pasti seperti ini meres rakyat,” tegasnya.
Wahida menjelaskan, dengan mengadopsi sistem asuransi sosial, dan mengharuskan pesertanya membayar iuran premi, maka sistem JKN sebetulnya tidak pantas disebut sebagai sistem jaminan kesehatan.
“Semua yang melaksanakan SJSN dan BPJS adalah menantang perintah Undang-undang Dasar ’45 dan menjadi musuh rakyat yang harus dilawan dan ditumbangkan,” tegasnya.
Hal ini ditegaskan oleh Asisten III Bidang Kesejahteraan Rakyat, Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Bambang Arya, dan Kepala Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, Rahmat Latief saat menerima delegasi Gerakan Nasional Penegakan Pasal 33 (GNP-33)
“Pendapatan daerah Rp 4,7 Triliun tidak akan cukup, untuk menanggung peserta BPJS sebanyak 4,2 juta peserta Jamkesda dan PNS. Untuk masuk BPJS kita harus setor Rp 800 Milyar,” demikian Bambang Arya dalam pertemuan tersebut, Kamis (6/2).
Dalam pertemuan tersebut mewakili Gubernur, Bambang Arya sepakat menolak pelaksanaan BPJS di Sulawesi Selatan dan menegaskan kelanjutan program Jamkesda yagn sudah berjalan. Ia menjelaskan bahwa pembiayaan Jamkesda yang sudah berjalan selama ini ditanggung oleh anggaran Pemerintah Kota atau kabupaten sebesar 60 persen dan Pemerintah Propinsi sebesar 40 persen.
“4,2 Juta rakyat Sulsel dibawah perlindungan Jamkesda. Anggaran kita tambah dari Rp 6.000 menjadi Rp 10.000/orang sakit pada tahun ini,” jelasnya.
Program Jamkesda ini menurutnya sudah meliputi layanan dasar di puskesmas sampai tingkat rujukan di rumah-rumah sakit. Dibandingkan dengan menyetor Rp 800 Milyar ke BPJS, Pemerintah Propinsi memilih mengurus rakyatnya sendiri dengan anggaran hanya Rp 42 Milyar.
“Kami akan segera keluarkan surat edaran ke seluruh RSUD dan swasta yang bekerjasama dengan pemerintah propinsi untuk tetap melayani Jamkesda,” tegasnya.
Pada kesempatan itu, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan, Rahmat Latief menjelaskan bagi masyarakat yang tidak mau mendaftar jadi peserta BPJS tidak perlu kuatir. “Karena ada Jamkesda yang unlimited membebaskan semua biaya pelayan kesehatan termasuk untuk HIV/AIDS,” Tegasnya.
Ketua Umum Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Wahida Baharuddin Upa menyatakan dukungannya pada keputusan pemerintah propinsi Sulawesi Selatan.
Sebelumnya, sedikitnya 5.000-an rakyat miskin di Makassar, Sulawesi Selatan, yang tergabung dalam Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945 (GNP-33 UUD 1945), menggelar aksi massa menolak pemberlakuan UU Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Kantor Gubernur Kamis (6/2).
Dalam aksinya massa aksi rakyat miskin ini menilai UU SJSN dan UU BPJS telah mendorong liberalisasi sektor kesehatan di Indonesia. “UU SJSN dan UU BPJS ini telah mengalihkan tanggung-jawab negara terkait pemeliharaan kesehatan rakyat menjadi tanggung-jawab individu,” ujar Wahida Baharuddin Upa, saat menyampaikan orasinya di tengah-tengah aksi massa.
Menurut Wahida, di dalam UU SJSN pasal 17 ayat (1) disebutkan keharusan setiap orang yang menjadi peserta BPJS membayar iuran yang besarannya ditentukan berdasarkan persentase upah atau nominal tertentu.
“Dalam undang-undang ini, setiap warga negara dipaksa membayar iuran kepada BPJS untuk mendapatkan layanan kesehatan. Namun kalau sakit, pasien harus bayar lagi, karena ternyata tidak semua obat, pelayanan dan jasa medis lainnya dibayar oleh BPJS. Pemerintah sudah menjadi kaki tangan asuransi ya pasti seperti ini meres rakyat,” tegasnya.
Wahida menjelaskan, dengan mengadopsi sistem asuransi sosial, dan mengharuskan pesertanya membayar iuran premi, maka sistem JKN sebetulnya tidak pantas disebut sebagai sistem jaminan kesehatan.
“Semua yang melaksanakan SJSN dan BPJS adalah menantang perintah Undang-undang Dasar ’45 dan menjadi musuh rakyat yang harus dilawan dan ditumbangkan,” tegasnya.
Sumber : Sinar Harapan
No comments