Judicial Review Piagam ASEAN
Unknown
16:38
0
Penafsiran atas dugaan inkonstitusionalitas Pasal 1 ayat 5 dan Pasal 2 ayat 2 huruf (n) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan ASEAN Charter oleh Mahkamah Konsitusi merupakan sebuah momentum sinkronisasi peraturan perundang-undangan, khususnya pada level UU, atas seluruh perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) antara negara kita dengan negara lain dan/atau kawasan tertentu lainnya. Sebagai lembaga pemutus terakhir dan bersifat final, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan sinkronisasi tersebut mengingat suara penolakan tidak hanya disuarakan oleh pihak-pihak di luar Pemerintah, namun juga dilontarkan oleh Pemerintah sendiri melalui komentar terpisah dari menteri-menteri sektoral.
Dalam sudut pandang ketatanegaraan, langkah ini merupakan langkah yang sangat ideal mengingat permasalahan yang timbul diakibatkan FTA bersifat sangat destruktif dan lintas sektoral. Dengan melakukan revisi terhadap peraturan induk (umbrella act) dari implementasi Perjanjian Perdagangan Bebas, maka akan tercapai dua maksud sekaligus, pertama, melakukan sinkronisasi pengaturan dalam konteks perdagangan antar negara dan/atau kawasan, dan kedua, mencari jalan tengah atas proses ratifikasi yang telah dilakukan oleh DPR, sehingga tidak bertentangan dengan norma-norma hukum internasional.
Proses adopsi dan implan atas kaidah dan norma perjanjian internasional yang merugikan kita seringkali dilakukan dengan menyusupkan prinsip, kaidah dan/atau norma tersebut dalam peraturan nasional kita. Selain dengan cara tersebut, cara yang paling umum adalah melakukan ratifikasi seutuhnya atas perjanjian internasional tersebut menjadi peraturan nasional kita. Dalam konteks ASEAN Charter¸apa yang dilakukan oleh Pemerintah merupakan proses penerimaan seluruhnya atas kaidah dan norma yang tertuang dalam ASEAN Charter.
Materi Pasal 1 ayat 5 dan Pasal 2 ayat 2 huruf (n) UU Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Pengesahan ASEAN Charter kemudian melahirkan (dan kemungkinan dilahirkannya) peraturan perundangan turunan yang berpotensi bertentangan dengan konstitusi dan jelas akan merugikan rakyat, kepentingan nasional, perekonomian nasional, dan aspek perekonomian nasional lainnya. Oleh karena, pencantuman inkonstitusionalitas pasal-pasal tersebut dengan Pasal 33 ayat 1, 2, dan UUD 1945 dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sungguh sangat beralasan, dikarenakan konstitusi kita tidak pernah mengenal driven market, perdagangan bebas dan sistem perekonomian yang merugikan rakyat. Justru Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 dengan jelas dan tegas mengamanahkan bahwa “perekonomian disusun …”, dengan kata lain negara harus turut serta secara aktif dalam penyusunan perekonomian sebagai upaya untuk menyejahterakan rakyat dan mencapai kepentingan bernegara seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, bukan kepentingan orang, kelompok tertentu, negara tertentu dan kekuatan ekonomi tertentu.
Ahmad Suryono, SH., MH.
No comments