Peran Desa Masih Minim Terhadap Perlindungan TKI
Unknown
11:47
0
SBMI, BANYUMAS - – Peran pemerintah desa dalam upaya perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terbilang masih minim. Kewenangan desa masih terbatas dan terkesan hanya berkutat pada soal administrasi persyaratan TKI saja.
Kepala Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Harjono mengatakan, peran desa saat ini hanya menyangkut persyaratan dokumen izin keluarga bagi calon TKI. Sementara untuk proses pengurusan persyaratan dokumen lain selanjutnya sebagian besar diurus oleh pihak sponsor atau PJTKI. Bahkan seringkali desa "kecolongan" ketika warganya menjadi TKI.
"Tanpa sepengetahuan kami ternyata ada warga yang sudah berada di luar negeri menjadi TKI. Biasanya kasus ini terjadi bagi mereka yang masih lajang. Karena yang mengurus persyaratan ini sebagian diserahkan oleh pihak sponsor," jelasnya, Kamis (24/1).
Minimnya peran desa untuk memantau migrasi dan penempatan TKI kerap membuat desa minim data. Padahal data tersebut sangat penting untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Apalagi ketika TKI asal desa tersebut terbelit masalah, desa juga punya tanggung jawab moral untuk turut membantunya.
"Memang perlu ada sosialisasi yang massif terkait perlindungan TKI ini. Apalagi ketika terjadi apa-apa pada TKI maka biasanya desa, menjadi pihak yang pertama yang dimintai bantuan oleh keluarga," katanya.
Untuk itulah, dia menyambut antusias terhadap peran sejumlah desa yang kini sedang mengembangkan informasi terkait buruh migran. "Sosialisasi tentang buruh migran ini harusnya dapat dilaksanakan secara menyeluruh, sehingga pengetahuan tentang TKI dapat tersebar luas ke wilayah desa dan masyarakat. Sehingga permasalahan TKI yang selama ini terjadi bisa diminimalisir," jelasnya.
Dalam konteks Banyumas, Narsidah menyoroti bahwa anggaran untuk perlindungan TKI Banyumas terbilang masih minim. Dalam waktu setahun lalu saja hanya berkisar Rp 150 juta, bahkan tahun sebelumnya hanya sekitar Rp 60 juta. Anggaran tersebut terkesan hanya berkutat untuk penanganan kasus TKI bermasalah saja.
"Selama ini anggaran itu hanya untuk penanganan kasus saja. Padahal perlindungan TKI juga termasuk sosialisasi pengetahuan tentang TKI sebagai tindakan cegah dini," katanya.
Selain minimnya kewenangan desa dan masih minimnya anggaran untuk perlindungan buruh migran, Narsidah juga menyoroti masih mahalnya biaya penempatan TKI. Berbagai macam biaya dari penempatan hingga pemulangan masih dibebankan kepada TKI. Padahal seperti diketahui, peran buruh migran atau TKI dalam menyumbang devisa terbilang tinggi.
"Kalau bisa ke depan ada subsidi dari pemerintah kepada buruh migran ini," jelasnya. (suaramerdeka.com)
Kepala Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Harjono mengatakan, peran desa saat ini hanya menyangkut persyaratan dokumen izin keluarga bagi calon TKI. Sementara untuk proses pengurusan persyaratan dokumen lain selanjutnya sebagian besar diurus oleh pihak sponsor atau PJTKI. Bahkan seringkali desa "kecolongan" ketika warganya menjadi TKI.
"Tanpa sepengetahuan kami ternyata ada warga yang sudah berada di luar negeri menjadi TKI. Biasanya kasus ini terjadi bagi mereka yang masih lajang. Karena yang mengurus persyaratan ini sebagian diserahkan oleh pihak sponsor," jelasnya, Kamis (24/1).
Minimnya peran desa untuk memantau migrasi dan penempatan TKI kerap membuat desa minim data. Padahal data tersebut sangat penting untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Apalagi ketika TKI asal desa tersebut terbelit masalah, desa juga punya tanggung jawab moral untuk turut membantunya.
"Memang perlu ada sosialisasi yang massif terkait perlindungan TKI ini. Apalagi ketika terjadi apa-apa pada TKI maka biasanya desa, menjadi pihak yang pertama yang dimintai bantuan oleh keluarga," katanya.
Anggaran minim
Aktivis paguyuban Seruni dan Saras dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Narsidah mengatakan, ke depan pemerintah perlu memaksimalkan peran pemerintah desa dalam perlindungan buruh migran. Apalagi desa sangat berperan untuk menyediakan data dan rekam migrasi TKI.Untuk itulah, dia menyambut antusias terhadap peran sejumlah desa yang kini sedang mengembangkan informasi terkait buruh migran. "Sosialisasi tentang buruh migran ini harusnya dapat dilaksanakan secara menyeluruh, sehingga pengetahuan tentang TKI dapat tersebar luas ke wilayah desa dan masyarakat. Sehingga permasalahan TKI yang selama ini terjadi bisa diminimalisir," jelasnya.
Dalam konteks Banyumas, Narsidah menyoroti bahwa anggaran untuk perlindungan TKI Banyumas terbilang masih minim. Dalam waktu setahun lalu saja hanya berkisar Rp 150 juta, bahkan tahun sebelumnya hanya sekitar Rp 60 juta. Anggaran tersebut terkesan hanya berkutat untuk penanganan kasus TKI bermasalah saja.
"Selama ini anggaran itu hanya untuk penanganan kasus saja. Padahal perlindungan TKI juga termasuk sosialisasi pengetahuan tentang TKI sebagai tindakan cegah dini," katanya.
Selain minimnya kewenangan desa dan masih minimnya anggaran untuk perlindungan buruh migran, Narsidah juga menyoroti masih mahalnya biaya penempatan TKI. Berbagai macam biaya dari penempatan hingga pemulangan masih dibebankan kepada TKI. Padahal seperti diketahui, peran buruh migran atau TKI dalam menyumbang devisa terbilang tinggi.
"Kalau bisa ke depan ada subsidi dari pemerintah kepada buruh migran ini," jelasnya. (suaramerdeka.com)
No comments