Tuntutan Buruh Migran, Bagian Perjuangan Buruh Indonesia (2)
Unknown
16:18
0
Saat ini rancangan UUPPTKILN isinya tidak berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya yang berorientasi pengiriman semata. Seharusnya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Migran dan anggota keluarganya mengacu pada Konvensi PBB 1990 yang sudah diratifikasi pemerintah RI. Proses perekrutan, pemberangkatan, penempatan dan pemulangan belum dirombak total, MoU dengan negara penempatanpun belum melindungi buruh migran Indonesia. Penyelesaian permasalahan seharusnya diatur sedetail mungkin didalam MOU. Agar Buruh Migran Indonesia mendapatkan perlindungan dan pelayanan yang mudah dan gratis yang dapat diakses oleh BMI disemua negara penempatan ataupun bukan negara penempatan diluar negeri baik yang berdokumen ataupun yang tidak berdokumen tanpa diskriminasi serta memberikan kebebasan berkumpul dan berserikat bagi BMI.
Penyelesaian Perselisihan Buruh Migran
Buruh migrant memiliki posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan proletariat dalam negeri. Mengapa? Karena kaki buruh migran berpijak pada tiga arena yang brutal; secara langsung berada di tiga titik eksploitasi yang nyaris tanpa kontrol sosial: yakni secara langsung berada di dalam pasar kerja internasional, di dalam organisasi industri di negara lain, dan berada di bawah hukum negara lain.
Di dalam pasar kerja internasional, buruh migran berposisi seperti budak yang diperjual-belikan tanpa perlindungan yang berarti; kedua, di dalam organisasi industri di negara lain, posisi buruh migran berada di bawah buruh lokal dengan hak-hak dan fasilitas yang jauh lebih rendah dibanding buruh lokal; ketiga, di dalam hukum negara lain, buruh migran tidak memiliki hak-hak politik yang signifikan.
Kondisi pijak yang tergambar di atas telah memberikan mereka karakter yang pasif dan format organisasi yang temporer. Sifat pasif ini memang disituasikan agar buruh migran dapat dieksploitasi lebih mudah tanpa perlawanan berarti. Mekanisme penempatan diatur agar pengusaha/majikan bisa dengan mudah mempermainkan buruh migran: mendapatkannya dengan harga murah saat dibutuhkan dan segera membuangnya saat menjadi beban. Ketika suatu industri sedang menghadapi suatu kemunduran, misalnya, buruh migran akan mudah untuk diusir. Karena jika pengusiran ini diberlakukan untuk buruh domestik, maka dampak sosial-politiknya akan sangat berat dan bisa berujung pada ledakan-ledakan sosial.
Lalu bagaimana dengan Konvensi-konvensi PBB? Konvensi PBB yang mengatur tentang perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya ternyata tidak akan bisa berbuat banyak. Konvensi PBB hanya berarti sebagai sebuah seruan moral belaka yang tidak memiliki kekuatan politik yang menekan. Negara-negara tujuan buruh migran Indonesia, dengan berbagai dalih, tidak segera meratifikasi seruan lembaga buruh internasional tersebut. Sikap tidak kooperatif dari negara-negara tujuan penempatan BMI -- dan keompongan PBB/ILO itu sendiri dalam mengimplementasikan konvensi mereka -- sudah lumrah dan tidak mengagetkan karena perdagangan tenaga kerja dalam arena internasional sudah masuk dalam skema kerja kapitalisme.
Fakta di atas dengan tidak adanya akses atas civil right, politik dan hukum di negara tujuan migrasi melemahkan sikap kritis buruh migran. Wataknya kemudian menjadi pragmatis dan temporer. Pragmatis, selain karena tidak ada ruang-ruang politik yang terbuka lebar baginya untuk terlibat juga karena perspektif mereka tentang masa kerja: bahwa masa kerja di negara tujuan migrasi tesebut tidak akan lama.
Bekerja di sektor manapun buruh migran akan dibatasi atau diperkecil saluran-saluran politiknya. Buruh migran merupakan komoditas penting bagi negera-negara kaya di Asia dan Eropah. Mereka akan berfungsi sebagai bumper di dalam industri, dipergunakan untuk menekan biaya produksi karena bisa digaji rendah; untuk mengurangi resiko kerugian; untuk memecah kekuatan kelas buruh dengan membenturkan buruh migran dengan buruh domestik dan memunculkan sentimen rasis.
Penindasan kaum buruh terletak di dalam kenyataan bahwa nilai lebih produksi yang dikerjakannya diambil oleh sang majikan pemilik alat produksi. Inilah “politik upah murah” yang sering kita dengar. Semakin rendah upah, semakin besar nilai lebih yang direbut oleh pengusaha/majikan dari sang buruh; dan juga sebaliknya. Secara fundamental, penindasan buruh migran berakar dari fakta ini.
Mungkin bagi buruh migran yang bekerja sebagai buruh/pekerja di sector domestik, perspektif perebutan alat-alat produksi kaum kapitalis tampak absurd. Sang majikan tidak punya alat-alat produksi, karena pekerja domestik rumah tangga hanya bekerja sebagai pelayan dan bukan bekerja di pabrik-pabrik. Situasi menggenaskan yang dihadapi oleh buruh migran – gaji rendah, tidak ada perlindungan, tidak ada pengakuan hukum atas statusnya, tidak ada hak berserikat – justru membuat tuntutan sehari-hari ini memiliki potensi meningkatkan posisi tawar buruh dalam perjuangan tuntutannya.
Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenal keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan. Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja.
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang selama ini diatur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan kerja. Hal ini di sebabkan karena hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk meningkatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-undang ini akan dapat menyelesaiakn kasus-kasus pemutusan hubunga kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan perburuhan/ketenagakerjaaan selama ini belum mengakomodir penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah pada buruh migran. Hal ini harus dijadikan salah satu bagian dari draft Undang-Undang Perlindungan BMI yang sedang digodok di parlemen sebagai dasar hukum untuk penyelesaian perselisihan/sengketa buruh migrant. Hal ini merupakan catatan penting karena hak-hak pekerja/buruh migrant perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan perburuhan.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian tripartite ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak. Namun demikian Pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada pekerja/buruh, berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan perburuhan tersebut.
Negara menyediakan mekanisme penuntutan bagi Serikat Pekerja/Serikat Buruh Migran untuk mengajukan tuntutan baik lewat mekanisme di pengadilan maupun diluar pengadilan.
Perlu menjabarkan apa yang dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak Buruh Migran seperti: menarik biaya lebih dari 1 bulan gaji (overcharging), mengatur BURUH MIGRAN diupah dibawah standar dan menerima kurang dari apa yang tercantum di kontrak, memalsukan identitas, menahan dokumen diluar negeri (paspor/dokumen pribadi dan perjanjian kerja) dan surat-surat penting di Indonesia dan sebagainya.
Lawan Sekarang atau Tertindas Selamanya!
Selesai
Penulis: Nisma Abdullah*
Ketua Umum SBMI
No comments