Sosialisme untuk Buruh Migran
Unknown
20:54
0
oleh Ted Sprague
Diterbitkan ulang untuk pendidikan
Sungguh sudah suatu kegagalan besar bagi sistem ekonomi kapitalis
hari ini dimana hampir 6 juta rakyat pekerja Indonesia harus
meninggalkan tanah airnya untuk mencari sesuap nasi. Di bumi yang begitu
kaya ini ternyata kelas penguasa tidak mampu menyediakan pekerjaan
layak untuk 6 juta penduduknya. Mereka terpaksa terbang jauh
meninggalkan keluarga dan kampung halamannya untuk bekerja di negeri
asing. Keputusasaan mendorong mereka untuk mengambil pekerjaan yang –
dalam standar negeri tujuan – gajinya sangatlah rendah dan kondisi
kerjanya menggenaskan. Tetapi pengemis memang tidak bisa memilih. Yah,
begitulah mereka, dijadikan “pengemis” di negeri asing oleh pemerintahan
mereka sendiri.
Kita belum lagi berbicara mengenai ketidakmampuan pemerintah untuk
melindungi hak-hak dasar buruh migran. Tidak perlu lagi kita paparkan
puluhan ribu kasus penindasan buruh migran, dari pemerasan oleh agen
sampai ke pembunuhan oleh majikan. Cerita mereka sudah terekam,
tercatat, dan terlaporkan. Hanya segelintir saja yang mendapatkan
keadilan. Sisanya tertimbun di atas ratusan kasus-kasus lain yang tiap
hari datang tak henti-hentinya.
Inilah realitas perburuhan di Indonesia hari ini. Tidak tersedianya
lapangan pekerjaan menjadi salah satu dorongan utama akan terus
meningkatnya jumlah buruh migran. Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa
TKI, Nurfaizi, pada satu kesempatan mengatakan bahwa Indonesia bisa
menargetkan penempatan TKI sampai 10 juta orang, atau 5 persen dari
jumlah penduduk Indonesia. Bagi para kapitalis PJTKI, buruh migran
adalah lahan basah untuk diperas. Bagi para birokrat negara, buruh
migran adalah sumber devisa dan jalan keluar cepat dari ketidakmampuan
mereka untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Mereka semua berkepentingan
untuk mengirim sebanyak mungkin buruh migran tanpa secuilpun niat untuk
melindungi mereka.
Namun, pada dasarnya sistem kapitalisme itu sendiri yang menciptakan
kebutuhan akan buruh migran, bukan karena kepentingan segelintir
kapitalis PJTKI dan birokrat-birokrat negara. Kapitalisme, dalam
pengejaran profit mereka, membutuhkan buruh dengan gaji rendah. Untuk
bisa bersaing dan meraup laba besar, para kapitalis saling berkompetisi
untuk menekan biaya produksi mereka. Apa biaya produksi yang paling
dasar? Biaya tenaga kerja, karena buruhlah yang melakukan kerja dan
produksi. Oleh karenanya, biaya tenaga kerja – gaji serta kondisi kerja –
adalah hal utama yang harus terus ditekan oleh kapitalis. Buruh migran
dari negeri-negeri yang lebih miskin menjadi sumber tenaga kerja murah
bagi para kapitalis. Contohnya di Malaysia, 1 dari 3 pekerja di Malaysia
adalah buruh migran (legal dan ilegal). Selain mereka murah, hak-hak
mereka juga dapat diabaikan karena mereka bukan penduduk lokal. Ancaman
deportasi membuat buruh migran lebih penurut dan tidak bawel. Pada saat
yang sama, kehadiran para buruh migran sebagai tenaga kerja murah juga
menekan gaji para buruh lokal. Para kapitalis bisa mengatakan: “Bila
kalian tidak ingin melakukan kerja ini, ada buruh-buruh migran yang siap
melakukan kerja ini dengan gaji yang lebih rendah.”
Sungguh keliru kalau kita pikir bahwa mayoritas buruh migran bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau care-taker.
Ini gambaran yang biasa kita dapati dari koran dan TV. Sesungguhnya
mayoritas buruh migran bekerja di sektor manufaktur (garmen, elektronik,
plastik), perkebunan, dan konstruksi. Di Malaysia, hanya sekitar 15%
buruh migran bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Selebihnya di
konstruksi (18%), manufaktur (35%), perkebunan (10%), pertanian (17%),
dan jasa (10%).
Inilah logika kapitalisme yang menjadi akar dari penindasan buruh
migran. Pemahaman ini sangatlah penting. Bila kita hanya memahami
penindasan buruh migran sebagai akibat dari kenakalan PJTKI dan
tidak-kompetennya negara dalam melindungi buruh migran, maka solusi yang
kita capai juga terbatas pada regulasi PJTKI dan penguatan hukum-hukum
perlindungan buruh migran. Reforma-reforma kecil macam ini memang harus
diperjuangkan, tetapi mereka tidak bisa dijadikan solusi akhir bagi
permasalahan buruh migran. Reforma-reforma kecil ini adalah solusi
tambal sulam. Dibutuhkan solusi yang langsung menyerang ke jantung
permasalahan, yakni kapitalisme itu sendiri.
Selama puluhan tahun kaum kapitalis telah diberikan kesempatan untuk
menjalankan perekonomian. Segala macam kemudahan dan fasilitas telah
diberikan kepada mereka dan mereka pun telah meraup begitu banyak
kekayaan. Tetapi sampai hari ini mereka masih tidak mampu menyerap
tenaga kerja Indonesia yang begitu berlimpah ini, sehingga memaksa
jutaan setiap tahunnya berkelana ke negeri orang lain. Sementara
birokrat-birokrat negara terlalu korup dan tidak-kompeten dalam
menjalankan BUMN-BUMN. Nasionalisasi perekonomian di bawah kontrol rakyat pekerja
menjadi satu-satunya jalan untuk bisa menjalankan program nasional
penciptaan lapangan pekerjaan. Sektor-sektor industri terpenting dan
perbankan harus dinasionalisasi dan dijalankan di bawah kontrol
demokratik rakyat pekerja. Dengan program ini industrialisasi nasional
bisa dilaksanakan dengan sepenuh-penuhnya. Bekerja pun bisa menjadi hak
asasi manusia, bahwa adalah sebuah kejahatan kalau seseorang tidak
disediakan pekerjaan yang layak.
Program nasionalisasi ini mensyaratkan buruh berkuasa secara politik.
Mustahil kita bisa mendorong dan menekan para “wakil rakyat” hari ini –
yang notabene adalah perwakilan kapitalis – untuk melakukan
nasionalisasi di bawah kontrol rakyat pekerja. Ini sama saja seperti
menyuruh seekor harimau untuk makan sayur kol. Buruh sendiri yang harus
menjalankan program nasionalisasi ini. Buruh sendiri yang harus duduk
berkuasa. Untuk ini diperlukan partai politik yang sesungguhnya dibentuk
oleh buruh sendiri, bukan dengan menitipkan suara ke partai-partai
borjuasi. Perebutan kekuasaan oleh buruh – dan oleh karenanya
pembentukan partai kelas buruh – menjadi agenda yang paling mendesak
bagi buruh. Ini harus jadi program dasar bagi perjuangan buruh migran
juga. Solusi-solusi “NGOisme” yang samasekali tidak menyentuh masalah
kekuasaan ekonomi dan politik adalah solusi yang bukan hanya tidak
efektif tetapi juga mengaburkan apa yang sebenarnya harus diperjuangkan
oleh buruh migran.
Disini kita bisa segera melihat bahwa perjuangan buruh migran adalah
bagian tak terpisahkan dari perjuangan buruh Indonesia. Walaupun buruh
migran tidak bekerja di Indonesia, nasib mereka terikat oleh perjuangan
buruh secara keseluruhan. Buruh migran tidak lebih adalah buruh
Indonesia yang terlempar ke jurang pengangguran dan terpaksa merantau ke
negeri asing. Dalam tingkatan reforma, kemenangan-kemenangan buruh
Indonesia dalam perjuangannya – gaji yang lebih layak, kondisi kerja
lebih baik, jaminan sosial, dll. – mempunyai pengaruh pada situasi buruh
migran. Pertama, dengan semakin meningkatnya kesejahteraan buruh dalam
negeri maka dorongan untuk menjadi buruh migran semakin kecil karena
pekerjaan dengan gaji yang layak bisa didapatkan di Indonesia. Kedua,
kondisi kerja yang lebih baik di Indonesia akan membuat posisi tawar
buruh migran di negeri-negeri tujuan relatif lebih tinggi. Melihat
saudara-saudara buruh di negeri mereka sendiri sudah memenangkan kondisi
kerja yang manusiawi, buruh migran menjadi lebih percaya diri untuk
menuntut hak-hak mereka.
Lebih dari itu, kepentingan buruh migran juga terikat erat dengan
kepentingan kaum buruh lokal di negeri-negeri tujuan. Seperti yang telah
kita paparkan, buruh migran diimpor untuk menekan gaji buruh lokal, dan
seringkali dijadikan alat untuk memecah belah gerakan buruh. Di level
pabrik, musuh langsung buruh migran dan buruh lokal adalah sama, yakni
sang pemilik pabrik. Ini mensyaratkan persatuan dalam perjuangan mereka
melalui medium serikat buruh. Kebebasan berserikat bagi buruh migran
menjadi tuntutan utama yang harus diperjuangkan oleh kaum buruh migran
dan juga kaum buruh lokal. Dengan memiliki organisasi sendiri –
membentuk serikat buruh mereka sendiri atau, bahkan lebih baik,
bergabung dengan serikat buruh lokal – buruh migran akan punya senjata
yang paling ampuh dalam membela kepentingan mereka.
Buruh-buruh Asia, secara lintas-negara maupun secara langsung lewat
penempatan buruh migran, dibenturkan satu sama lain oleh kapitalis yang
berlomba-lomba menurunkan gaji buruh demi profit. Bila gaji buruh
Indonesia terlalu tinggi, pemodal – asing dan bahkan nasional – akan
mengancam memindahkan pabrik mereka ke negeri yang gaji buruhnya lebih
rendah. Bila gaji buruh lokal terlalu tinggi, kapitalis lalu mengimpor
langsung buruh migran yang gajinya lebih rendah. Kenyataan ini
mengharuskan perspektif internasional bagi perjuangan buruh. Dimulai
dengan pembentukan kerja sama dan aliansi antara buruh-buruh Asia, ini
harus bermuara pada pembentukan perspektif bersama bahwa
kapitalisme harus ditumbangkan dengan perebutan kekuasaan secara
revolusioner. Hanya dengan perspektif sosialis inilah buruh migran dapat
terbebaskan dari penindasan.
No comments