Bangunlah Dari Yang Mereka Punya
Unknown
23:59
2
Datanglah kepada rakyat, hiduplah bersama mereka, belajarlah dari mereka, cintailah mereka, mulailah dari apa yang mereka tahu: bangunlah dari apa yang mereka punya.
(Lao Tse, 700 M)Oleh Ramches Merdeka
Ketidakmampuan dan ketergantungan rakyat dalam memperjuangkan eksistensi kewargaannya dalam suatu sistem pemerintahan negara adalah masalah struktural yang rumit yang berakar lama dan terus berlangsung hingga kini; dan menjadi masalah sosial yang akut dan laten. Keadaan yang disengaja, status quo yang dipertahankan dengan kebinalan sistem politik yang mengabaikan keberadaan (hak-hak dasar sosio ekonomi dan kemerdekaan jiwa budaya) rakyat.
Di tengah demokrasi yang makin prosedural dan mekanik, serta alam politik yang dangkal lagi binal. Rakyat di level bawah makin mengalami ketidaknyamanan, kekecewaan bahkan ketidakadilan, kekosongan kepemimpinan terjadi bukan karena tidak ada pemimpinnya, tapi karena pemimpinnya malah menyalahgunakan kepercayaan rakyatnya. Pemimpin mengabaikan, sengaja mengabaikan hak-hak rakyatnya; sehingga pada sisi yang lain hal itu tidak hanya menyebabkan terampasnya hak dasar rakyat, namun yang lebih kronis, menghilangkan hak mereka untuk tahu hak mereka, yang karena itu, partisipasi rakyat menjadi hampa di tengah demokrasi elite penguasa yang menjilat tuan besarnya, Sang Kapitalis.
Hal itu tergambar nyata dalam situasi Buruh Migran Indonesia (BMI) saat ini, dimana BMI dijadikan korban kebijakan pragmatis yang dijalankan oleh rezim komprador SBY Budiono. BMI bukan saja minim dengan wawasan kenegaraan maupun kewarganegaraaan, apalagi dengan politik di level yang lebih besar, tapi lebih dari itu untuk sekedar mengetahui hak-hak mereka sebagai warga negara khususnya sebagai buruh, sangat jauh dari pemahaman yang sesungguhnya. Sehingga kemudian akibat yang harus ditanggung BMI bukan saja kehidupan mereka dan anggota keluarga yang ditinggalkan tetap dalam lingkaran setan kemiskinan, tapi juga menyangkut minimnya wawasan, serta kesadaran.
BMI adalah produk politik buruh murah yang dijadikan komoditi oleh pemerintah komprador negara-negara miskin untuk dijual sebagai eksport tenaga kerja murah untuk memenuhi kebutuhan negara-negara kapitalis akan krisis perburuhan. BMI adalah salah satu dari banyak gambaran kelompok masyarakat yang tidak mempunyai akses sosial memadai, yang mengalami ketertinggalan sosial yang cukup memprihatinkan. BMI mengalami ketertinggalan dalam kualitas sumber daya manusia, pengetahuan tentang hak-hak politik kewarganegaraan, dikebiri dari hak-hak dasar mereka seperti pendidikan, kesehatan dan kebutuhan normatif lainnya. Semua itu ibarat lingkaran benalu yang apabila tidak dilepaskan dengan suatu pendekatan yang betul-betul menyentuh akar masalahnya akan melahirkan suatu masyarakat yang tidak berdaya dan tidak punya kemandirian. Kondisi masyarakat yang memang disengaja oleh suatu sistem sturktural. BMI diabaikan begitu rupa seolah eksistensi mereka menguap tidak ada.
Pembodohan yang sistematis dan berwatak struktural dari buah penyangkalan terhadap rakyat pada akhirnya mewujud juga dalam bentuknya “Kebuntuan Partisipasi”. Hal yang akhirnya menyebabkan apatisme rakyat yang juga merupakan cerminan dari situasi dimana rakyat kehilangan (kepercayaan) pada kalangan pemimpin kaum elite Negara ini. Pada titik inilah apa yang disebut partisipasi masyarakat hampir bisa dikatakan tidak akan terjadi sama sekali, atau dengan kata lain terjadi “kebuntuan partisipasi masyarakat sipil lokal”. Demokrasi hanya bualan kaum elite, yang dipaksakan untuk ditelan mentah-mentah oleh mereka yang di bawah arena sistem, terbodohi.
Pentingnya Serikat Buruh Bagi BMI
Istilah Serikat Buruh memang belumlah sepopuler dengan berbagai istilah lain yang sudah menjadi bahan diskusi maupun wacana banyak kalangan semisal Civil Society, masyarakat warga, masyarakat yang berperadaban dan lainnya. Serikat Buruh malah ditenggelamkan oleh istilah Organisasi rakyat yang banyak dipopulerkan oleh kalangan aktivis NGO/LSM sebagai sebuah paradigma arus balik bagi berbagai organisasi bentukan, yang tidak didasarkan atas partisipasi penuh masyarakat. Disinilah kemudian kehadiran Serikat Buruh sebagai sebuah wadah partisipasi sejati buruh harus dikembalikan pada rohnya sebagai sebuah organisasi rakyat yang progresive.
Di tingkat masyarakat grass root sendiri, Serikat Buruh disamping masih belum terbiasa didengar apalagi disebutkan. Serikat Buruh hanya dikenal di masyarakat kota karena letak dari pabrik itu sendiri dimulai dari kota. Sebenarnya dalam beberapa contoh kasus disebagian daerah, apa yang disebut Serikat Buruh mulai dikenal saat ekspansi perluasan industri mulai menghabisi tanah garapan petani di desa. Serikat Buruh kemudian memulai embrio keberadaannya dengan masuknya para petani dalam industri pertanian (perkebunan). Tentu saja keberadaan kelompok-kelompok kecil tani atau nelayan bahkan kelompok keterampilan ibu-ibu dan sebagainya merupakan cikal bakal dikenalnya Serikat Buruh sebagai Organisasi Rakyat yang militan dan progresive. Akan tetapi, itu baru sebatas kelompok yang belum mempunyai visi meluas, namun lebih ditekankan pada kemampuan teknis semata. Hal ini juga tidak terlepas dari faktor kebijakan politik negara melalui UU nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang tersebut penuh dengan penyeragaman yang hanya mengakui perangkat desa seperti, kepala desa, lurah, dan camat, sehingga kemudian menafikan keberagaman Serikat Buruh sebagai organisasi rakyat serta sistem pemerintahan lokal yang lebih diterima oleh masyarakat. Sehingga kemudian dengan kontrol negara yang terlalu kuat terhadap warganya termasuk dalam bidang bahasa dan pengistilahan menjadikan masyarakat kurang bisa berkreasi apalagi berpartisipasi atau hanya sekadar mempunyai akses serta kontrol atas sumber daya yang mereka miliki.
Keberadaan Serikat Buruh di tingkat masyarakat lokal, sebagai jawaban atas kebuntuan partisipasi sipil masyarakat warga (civil society), atau setidaknya sebagai langkah awal bagi terwujudnya kemandirian warga, menjadi sangat penting untuk diwujudkan. Dan untuk menjadikannya, ada, dan dimiliki oleh rakyat, diperlukan suatu visi bersama dan prasyarat awal dari Serikat Buruh tersebut. Prasyarat yang sudah menjadi logika untuk mewujudkan Serikat Buruh sebagai organisasi rakyat ini adalah pengorganisasian di tingkat grass root, dengan memberikan stimulasi awal dalam proses-proses pendidikan kritis partisipatif bersama dengan masyarakat lokal atau komunitas.
Pengorganisasian masyarakat dimaksudkan atau didefinisikan sebagai “proses membangun kekuatan dengan melibatkan konstituen (masyarakat) sebanyak mungkin melalui proses menemukan ancaman yang ada secara bersama-sama, menemukan penyelesaian-penyelesaian yang diinginkan terhadap ancaman-ancaman yang ada, menemukan orang dan struktur, birokrasi, perangkat yang ada agar proses penyelesaian yang dipilih menjadi mungkin dilakukan, menyusun sasaran, dan membangun sebuah institusi (Serikat Buruh) yang secara demokratis diawasi oleh seluruh konstituen sehingga mampu mengembangkan kapasitas untuk menangani ancaman dan menampung semua keinginan dan kekuatan konstituen yang ada.
Dengan aktif terlibat merumuskan isu-isu Buruh Migran dan anggota keluarganya, maka Serikat Buruh akan mendesakkan suatu kekuatan yang lebih besar ketimbang jika hanya sekadar isu-isu yang diciptakan dan dirumuskan oleh pihak lain kepada diri mereka (Freire, 1970). Disinilah peran pengurus Serikat Buruh Migran di desa untuk mewujudkan Serikat Buruh sebagai organisasi rakyat mengambil posisi sebagai fasilitator dan bukan sebagai “penunjuk jalan” atau yang lebih tahu akan problem masyarakat itu.
Bertolak dari misi serta semangat pengorganisasian itu, maka diperlukan tujuan dasar dari proses itu. Pertama: pendidikan ktitis, masyarakat tahu akan hak-haknya, tidak bergantung pada pihak-pihak lain, jeli/peka terhadap kebijakan-kebijakan, pandangan yang sama kepada siapa saja. Kedua: manajemen pengorganisasian, upaya manajerial dilakukan untuk efektifitas pencapaian tujuan, masyarakat terorganisir; distribusi kerja dan tanggung jawab. Ketiga: idiologis, kesetaraan, partisipasi masyarakat, keadilan, dan demokratis.
Di tengah jungkir balik logika dan nalar demokrasi saat ini, dimana seringkali isu politik elite justru menjadi dipaksakan sebagai konsumsi debat tidak mutu di kalangan buruh migran yang hanya akan menghasilkan polarisasi, perpecahan dan melemahnya solidaritas buruh. Organisasi Buruh sangat dibutuhkan sebagai pelopor untuk mendorong isu sosial kelompok rakyat lainnya agar menjadi isu politik bersama dan dengan demikian dialog dan wacana dikalangan pemimpin-pemimpin buruh dan rakyat akan menemukan kedalamannya sebagai ruang dimana kesejahteraan dan keadilan sosial rakyat diwacanakan dan diperjuangkan. Di sisi lain, pengorganisasian buruh migran dan anggota keluarganya yang pada umumnya berbasis masyarakat desa menjadi suatu kebutuhan bagi penguatan masyarakat warga (civil society). Dimana dengan lahirnya kekuatan arus bawah (grass root) dengan kemandirian Serikat Buruh akan berdampak positif pada partisipasi penuh rakyat pada semua aspek dan bidang kehidupan sosial. (Tulisan pertama dari sebuah Rangkaian Tulisan Tentang Pembebasan Buruh Migran Indonesia)
marilah kawan kita tetap usahakan tuk perjuagan selama pemerintah tidak mau sadar hak-hak rakyat yang sebenarnya,tetap satukan komonikasi kita, jangan sampai goyah karena tidak addnya anggaran,kita harus punya kesadaran dan saling membatu satu sama lain,supaya tidak ada percehan tentang persatuan perjuangan kita semua sejak aadanya MUNAS tanggal 3-oktober-2012,biar tidak sia-sia,saya sangat berharap kesadaran kawan-kawan semua seperjuangan ok,besar harapan saya,semuga kawan mengerti,AAMIIIEENNN,!!!!HIDUP BURUH,,!!!!!
ReplyDeletethanks, banyak tahu jadinya. salam
ReplyDelete