Buruh Migran dan Kekuatan Politiknya
Unknown
23:59
0
Oleh J.S. Anam
Diterbitkan untuk pendidikan
Buruh migran, secara sederhana, diartikan sebagai buruh yang bekerja
di luar negeri atau individu-individu atau kelompok-kelompok yang
pindah dari negeri asalnya menuju negeri lain untuk bekerja. Tulisan
ini sengaja membatasi diri pada analisis mengenai kondisi material kaum
buruh Indonesia yang bermigrasi ke beberapa negara di Asia dengan
menjatuhkan titik analisisnya pada perkembangan karakter
organisasi-organisasi buruh migran di Hong Kong.
Buruh migran, dalam analisis kelas Marxis, masuk dalam kategori
proletariat, namun memiliki posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan
proletariat dalam negeri. Mengapa? Karena kaki buruh migran berpijak
pada tiga arena yang brutal; secara langsung berada di tiga titik
eksploitasi yang nyaris tanpa kontrol sosial: yakni secara langsung
berada di dalam pasar kerja internasional, di dalam organisasi industri
di negara lain, dan berada di bawah hukum negara lain.
Hal pertama, di dalam pasar kerja internasional, buruh migran
berposisi seperti budak yang diperjual-belikan tanpa perlindungan yang
berarti; kedua, di dalam organisasi industri di negara lain, posisi
buruh migran berada di bawah buruh lokal dengan hak-hak dan fasilitas
yang jauh lebih rendah dibanding buruh lokal; ketiga, di dalam hukum
negara lain, buruh migran tidak memiliki hak-hak politik yang
signifikan.
Kondisi pijak yang tergambar di atas telah memberikan mereka
karakter yang pasif dan format organisasi yang temporer. Sifat pasif
ini memang disituasikan oleh kapitalisme agar buruh migran dapat
dieksploitasi lebih mudah tanpa perlawanan berarti. Kapitalisme bisa
dengan mudah mempermainkan buruh migran: mendapatkannya dengan harga
murah saat dibutuhkan dan segera membuangnya saat menjadi beban. Ketika
suatu industri sedang menghadapi suatu kemunduran, misalnya, buruh
migran akan mudah untuk diusir. Karena jika pengusiran ini diberlakukan
untuk buruh domestik, maka dampak sosial-politiknya akan sangat berat
dan bisa berujung pada ledakan-ledakan sosial.
Lalu bagaimana dengan Konvensi ILO? Konvensi ILO tentang buruh migran
ternyata tidak bisa berbuat banyak. Konvensi ILO hanya berarti sebagai
sebuah seruan moral belaka yang tidak memiliki kekuatan politik.
Negara-negara tujuan buruh migran Indonesia, dengan berbagai dalih,
tidak segera meratifikasi seruan lembaga buruh internasional tersebut.
Sikap tidak kooperatif dari negara-negara tujuan penempatan BMI -- dan
keompongan ILO itu sendiri dalam mengimplementasikan konvensi mereka --
sudah lumrah dan tidak mengagetkan karena perdagangan tenaga kerja
dalam arena internasional sudah masuk dalam skema kerja kapitalisme.
Fakta di atas -- dengan tidak adanya akses atas civil right, politik
dan hukum di negara tujuan migrasi -- melemahkan sikap kritis dan
karakter revolusioner buruh migran. Wataknya kemudian menjadi pragmatis
dan temporer. Pragmatis, selain karena tidak ada ruang-ruang politik
yang terbuka lebar baginya untuk terlibat juga karena perspektif mereka
tentang masa kerja: bahwa masa kerja di negara tujuan migrasi tesebut
tidak akan lama.
Buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong bisa menjadi titik analisis
mengenai seberapa jauh kekuatan kaum buruh Indonesia yang bermigrasi
di beberapa negara di Asia, dibandingkan dengan buruh migran Indonesia
yang berada di Arab Saudi atau Malaysia yang belum terbangun secara
solid organisasi-organisasinya. Wawancara Militan Indonesia dengan Umi
Sudharto, salah satu pengurus sebuah organisasi buruh migran di Hong
Kong, memperoleh informasi bahwa meskipun terjadi progres-progres
pengorganisiran—dengan munculnya organisasi-organisasi buruh migran dan
bertambahnya massa yang terlibat di dalamnya—namun kesadaran politik
massa BMI masih sangat rendah dan keberorganisasian mereka masih
bersifat temporer. Kesadaran politik yang rendah tersebut diindikasikan
dengan rendahnya minat untuk mengikuti pertemuan-pertemuan di
organisasinya masing-masing; juga, diindikasikan dengan perspektif
perjuangannya yang pragmatis: bagaimana posisi kerjanya aman dan segera
pulang dengan membawa banyak uang. Sementara temporeritas
keberorganisasiannya dindikasikan dengan sering bergantinya anggota dari
organisasi-organisasi BMI. Hal demikian karena massa kerja dan
keberadaan mereka di negara tersebut dibatasi oleh kontrak kerja, serta
kontinyuitas komunikasi mereka dengan BMI sering terputus ketika sudah
berada di dalam negeri.
Mungkin sebuah pertanyaan penting akan muncul: apakah BMI di Hong
Kong yang sebagian besar bekerja pada sektor rumah tangga (domestik)
sangat mempengaruhi karakter politik mereka? Ya, keberadaan BMI di Hong
Kong yang sebagian besar bekerja pada sektor domestik juga menjadi
variabel yang membentuk karakter politik mereka, bahwa bekerja di sektor
domestik membuat para buruh migran ini teratomisasi (terpencar-pencar)
dan juga mereka tidak langsung bersinggungan dengan proses produksi
kapitalisme.
Analisa Marxis melihat kelemahan-kelemahan buruh migran ini sebagai
kondisi yang dikonstruksi oleh kapitalisme. Bekerja di sektor manapun
buruh migran akan dibatasi atau diperkecil saluran-saluran politiknya.
Buruh migran merupakan komoditas penting bagi kapitalisme. Mereka akan
berfungsi sebagai bumper di dalam industri, dipergunakan untuk
menekan biaya produksi karena bisa digaji rendah; untuk mengurangi
resiko kerugian; untuk memecah kekuatan kelas buruh dengan membenturkan
buruh migran dengan buruh domestik dan memunculkan sentimen rasis.
Tulisan ini tidak sedang menyuguhkan sebuah apresiasi yang underestimate atau tidak pula akan memberikan sebuah prognosis yang overestimate atas
kekuatan buruh migran. Tetapi berdasar pada fakta riil, meskipun
kondisi obyektif buruh migran membuatnya lebih lemah dibandingkan buruh
di dalam negeri, mereka memiliki potensi politik yang strategis.
Tulisan ini secara rasional dan realistis akan mengungkapkan dua hal
penting yang saling berlawanan: pertama, karakter perjuangan buruh
migran masih pragmatis dan temporer serta berposisi sekunder dalam
agenda-agenda perjuangan buruh di dalam negeri; (tetapi) kedua, buruh
migran memiliki peran yang strategis untuk mewujudkan internasionalisme
buruh.
Aksi-aksi BMI di Hong Kong yang sering berkolaborasi dengan
organisasi-organisasi buruh Hong Kong mengafirmasi peran politik buruh
migran yang strategis ini. Namun aksi-aksi ini akan menjadi sia-sia dan
jatuh pada agenda-agenda normatif-ekonomistik jika tidak berperspektif
kelas. Juga, kolaborasi ini akan bersifat sementara dan rapuh karena
hanya bermakna sebagai solidaritas kemanusiaan belaka. Perspektif kelas
ini lah yang akan menjadi kata kunci untuk mengakselerasi
lompatan-lompatan politik BMI menuju peran-peran strategisnya karena
internasionalisme buruh tidak akan terbentuk jika perspektif kelas tidak
segera menjadi dasar pijak bagi perjuangan buruh migran.
Perspektif perjuangan kelas memaparkan bahwa masyarakat ini terdiri
dari dua kelas yang saling bertentangan: kelas buruh dan kelas
kapitalis. Kedua kelas ini terus berbenturan, kadang tertutup kadang
terbuka, dalam usahanya untuk merebut nilai lebih produksi. Penindasan
kaum buruh terletak di dalam kenyataan bahwa nilai lebih produksi yang
dikerjakannya diambil oleh sang majikan pemilik alat produksi. Inilah
“politik upah murah” yang sering kita dengar. Semakin rendah upah,
semakin besar nilai lebih yang direbut oleh kaum kapitalis dari sang
buruh; dan juga sebaliknya. Secara fundamental, penindasan buruh migran
berakar dari fakta ini. Kemenangan akhir dari buruh secara keseluruhan –
termasuk buruh migran – hanya dapat diperoleh bila alat-alat produksi
kaum kapitalis telah direbut dari tangannya.
Mungkin bagi buruh migran yang bekerja sebagai pekerja domestik,
perspektif perebutan alat-alat produksi kaum kapitalis tampak absurd.
Sang majikan tidak punya alat-alat produksi, karena pekerja domestik
rumah tangga hanya bekerja sebagai pelayan dan bukan bekerja di
pabrik-pabrik. Di sinilah perspektif kelas memainkan peran kunci yang
tidak mengkotak-kotakkan perjuangan buruh dalam sektor-sektor. Buruh
sebagai sebuah kelas secara keseluruhan menasionalisasi
industri-industri penting (migas, tambang, perkebunan, transportasi,
sandang-pangan-papan, perbankan, dll.), dan dengan sistem ekonomi
terencana membawa kesejahteraan bagi seluruh lapisan buruh dan rakyat pekerja (tani, nelayan, dan kaum miskin kota).
Oleh karenanya perspektif politik kelas, yakni perjuangan
revolusioner kelas proletar, pada analisa terakhir, adalah satu-satunya
agenda ideologis yang mampu menghancurkan pragmatisme vulgar perjuangan
buruh migran dan mengubahnya menjadi perjuangan yang politis.
Sosialisme, sebagaimana yang ditulis oleh Trotsky, tidak bisa
dibangun hanya di satu negara, tetapi harus melewati batasan-batasan
negara. Globalisasi kapitalisme, yang termanifestasikan dalam
perdagangan tenaga kerja buruh migran dalam skala global, telah
menegaskan kembali perlunya membangun sosialisme sedunia. Buruh migran
lewat perjuangannya yang lintas-negara dapat memainkan peran membangun
internasionalisme buruh dan membuat konkrit slogan “Kaum buruh sedunia,
bersatulah!”. Sebuah organisasi politik yang bersifat sosialis dan
internasionalis menjadi kebutuhan. Dalam hal ini, Militan Indonesia,
sebagai bagian dari gerakan sosialis internasional, terus mendorong
program pembentukan Federasi Sosialis Asia yang kita yakini dapat
menjadi batu pijakan kuat untuk menyatukan kaum buruh Asia – migran dan
non-migran.
Akan tetapi, deskripsi mengenai karakter buruh migran di atas
bukanlah sesuatu yang statis. Kondisi obyektif bukan sesuatu yang abadi
dan terpisah dari kondisi subyektif, yakni kepemimpinan para buruh
migran. Kepemimpinan dapat memainkan peran penting dalam mengubah
situasi obyektif. Situasi menggenaskan yang dihadapi oleh buruh migran –
gaji rendah, tidak ada perlindungan, tidak ada pengakuan hukum atas
statusnya, tidak ada hak berserikat – justru membuat tuntutan
sehari-hari ini memiliki potensi revolusioner. Yang dibutuhkan adalah
sebuah kepemimpinan revolusioner yang memahami perspektif kelas dan
mampu memasoknya secara sadar ke dalam perjuangan buruh. Teori, gagasan,
dan program revolusioner – yang sudah terpapar dalam karya-karya Marx,
Engels, Lenin, dan Trotsky -- harus jadi pijakan bagi kaum garda depan
buruh migran dalam tindakan-tindakannya.
No comments