Hentikan Ekspor BMI Asal NTB, Sediakan Lapangan Kerja
Unknown
08:30
0
SBMI, Mataram - Nusa Tenggara Barat, Provinsi dengan
2 pulau yakni Lombok dan Pulau Sumbawa adalah sebuah kawasan yang sangat indah,
namun juga menyimpan segudang masalah. Salah satunya NTB adalah daerah kedua
terbesar pengirim tenaga kerja ke luar negeri setelah provinsi Jawa Timur.
Menurut data APJATI NTB sepanjang tahun 2012 NTB mengirimkan BMI
sebanyak 55 ribu orang ke luar negeri diantaranya paling banyak ke negara
Malaysia dan Arab Saudi Data ini adalah data BMI yang berangkat
melalui jalur resmi, sementara yang tidak melalui jalur resmi diperkirakan
jumlahnya dua sampai tiga kali lipat.
Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan daerah pemasok jasa tenaga kerja Indonesia ke luar negeri yang cukup besar. Selama empat bulan pertama 2011, NTB mengirim 15.000 BMI ke sejumlah negara, baik Malaysia maupun Timur Tengah. Pada 2010, NTB mengirim 56.162 BMI, meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 54.000.
Pengiriman jasa tenaga kerja itu dilakukan hampir seluruh kabupaten/kota di NTB, seperti Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, Lombok Utara, Kota Mataram, Kota Bima, Kabupaten Bima, Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, dan Dompu. Tidak heran jika di NTB banyak ditemukan kawasan-kawasan yang penduduknya memilih bekerja di luar negeri, daripada mengais rezeki di desanya.
Kawin Muda
NTB sebagai lumbung BMI
meninggalkan persoalan yang spesifik diantaranya kawin di usia muda hingga kasus kawin
cerai yang seolah olah sudah membudaya di kalangan masyarakat NTB. Berdasarkan
Hasil survey yang dilakukan oleh Yayasan Keluarga Sehat Sejahtera Indonesia dan
Forum Peduli Kawin Cerai dan Hak Anak (FPKCH), tahun 2001 silam, mengungkapkan,
dari 3600 kepala keluarga yang dijadikan sample penelitian, 50 persen lebih
melakukan kawin cerai. Pada satu orang bisa terjadi perkawinan sampai 32 kali,
Sedangkan perceraian terjadi antara satu hingga 22 kali.
Kawin muda nampaknya menjadi salah satu penyebab mudahnya terjadi perceraian, Persoalan kawin muda lalu bercerai ini seolah-olah sudah menjadi trend terutama di kalangan masyarakat ekonomi lemah yang kemudian berimbas kepada bertambahnya jumlah pengangguran sehingga banyak diantara mereka memilih untuk mengadu nasip ke luar negeri. Hasil perkawinan singkat tersebut anak kemudian dititipkan kepada sanak saudara sementara orang tua mereka berangkat keluar negeri menjadi BMI maupun TKW.
Belum lagi dampak dari anak-anak yang terabaikan karena ditinggal kerja oleh ibunya ke luar negeri ini merupakan salah satu masalah yang cukup serius. Masalah anak ini berdampak pada berbagai masalah, seperti kesehatan anak-anak tidak terjamin hingga kerap terjadi kasus gizi buruk hingga busung lapar. Pendidikan anak menjadi terlantar hingga menjadi pemicu akar rendah kualitas SDM NTB. kenyataan yang ada anak-anak bahkan terpaksa bekerja dan kehilangan haknya untuk mendapat haknya akan pendidikan. Tidak heran akibat sikap yang demikian menjadi pemicu timbul masalah baru yakni banyaknya kasus kawin muda.
Masalah ini mendatangkan banyak dampak negatif seperti tingginya angka kelahiran bayi, tingginya angka kematian ibu dan bayi, kualitas kesehatan bayi yang rendah, dan lain-lain. Semua masalah di atas berakar pada kasus krusial NTB, yakni kawin muda kemudian cerai hingga memilih mengadu nasip menjadi BMI/TKW.
Kawin muda nampaknya menjadi salah satu penyebab mudahnya terjadi perceraian, Persoalan kawin muda lalu bercerai ini seolah-olah sudah menjadi trend terutama di kalangan masyarakat ekonomi lemah yang kemudian berimbas kepada bertambahnya jumlah pengangguran sehingga banyak diantara mereka memilih untuk mengadu nasip ke luar negeri. Hasil perkawinan singkat tersebut anak kemudian dititipkan kepada sanak saudara sementara orang tua mereka berangkat keluar negeri menjadi BMI maupun TKW.
Belum lagi dampak dari anak-anak yang terabaikan karena ditinggal kerja oleh ibunya ke luar negeri ini merupakan salah satu masalah yang cukup serius. Masalah anak ini berdampak pada berbagai masalah, seperti kesehatan anak-anak tidak terjamin hingga kerap terjadi kasus gizi buruk hingga busung lapar. Pendidikan anak menjadi terlantar hingga menjadi pemicu akar rendah kualitas SDM NTB. kenyataan yang ada anak-anak bahkan terpaksa bekerja dan kehilangan haknya untuk mendapat haknya akan pendidikan. Tidak heran akibat sikap yang demikian menjadi pemicu timbul masalah baru yakni banyaknya kasus kawin muda.
Masalah ini mendatangkan banyak dampak negatif seperti tingginya angka kelahiran bayi, tingginya angka kematian ibu dan bayi, kualitas kesehatan bayi yang rendah, dan lain-lain. Semua masalah di atas berakar pada kasus krusial NTB, yakni kawin muda kemudian cerai hingga memilih mengadu nasip menjadi BMI/TKW.
Anggka Pengangguran Tinggi
Tingginya angka pengangguran bagi masyarakat usia produktif yang mencapai 40
persen menjadi alasan banyaknya masyarakat yang memilih menjadi BMI.
Lagipula, rata-rata pengangguran itu banyak didominasi lulusan sekolah menengah
atas. Mereka ini dinilai tidak memiliki keahlian dalam bidang pekerjaan
tertentu, sehingga memilih bekerja sebagai buruh kelapa sawit di Malaysia atau
menjadi sopir di Arab Saudi.
Sementara itu, perempuan dari provinsi ini cukup tinggi jumlahnya memilih menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia atau Timur Tengah. .Kalau saja pilihan bekerja di sektor formal seperti ke Jepang biayanya murah maka pilihannya ke Jepang pasti juga cukup tinggi. Biaya yang dimintai Rp24 juta untuk dapat ke Jepang.
Agar dapat bekerja ke luar negeri, masyarakat di NTB rata-rata mengandalkan pinjaman uang. Bagi pekerja laki-laki, untuk ke Malaysia saja rata-rata harus mengeluarkan biaya Rp 4 juta. Sementara itu, untuk bekerja ke Arab Saudi mereka harus mengeluarkan biaya lebih dari itu.
Lain halnya dengan BMI Perempuan yang ingin berangkat ke Timur Tengah. Perusahaan Pengiriman Jasa Tenaga Kerja Indonesia yang sebenarnya sudah mendapat bayaran dari majikan di Arab Saudi tidak memungut biaya bagi BMI perempuan yang ingin bekerja di Timur Tengah. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang diberikan uang untuk keluarga yang ditinggalkan sebelum pemberangkatan.
Sementara itu, perempuan dari provinsi ini cukup tinggi jumlahnya memilih menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia atau Timur Tengah. .Kalau saja pilihan bekerja di sektor formal seperti ke Jepang biayanya murah maka pilihannya ke Jepang pasti juga cukup tinggi. Biaya yang dimintai Rp24 juta untuk dapat ke Jepang.
Agar dapat bekerja ke luar negeri, masyarakat di NTB rata-rata mengandalkan pinjaman uang. Bagi pekerja laki-laki, untuk ke Malaysia saja rata-rata harus mengeluarkan biaya Rp 4 juta. Sementara itu, untuk bekerja ke Arab Saudi mereka harus mengeluarkan biaya lebih dari itu.
Lain halnya dengan BMI Perempuan yang ingin berangkat ke Timur Tengah. Perusahaan Pengiriman Jasa Tenaga Kerja Indonesia yang sebenarnya sudah mendapat bayaran dari majikan di Arab Saudi tidak memungut biaya bagi BMI perempuan yang ingin bekerja di Timur Tengah. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang diberikan uang untuk keluarga yang ditinggalkan sebelum pemberangkatan.
Meski banyak yang
memilih menjadi BMI, perangkat desa tidak memiliki data yang memadai mengenai BMI,
baik siapa saja yang berangkat dan daerah tempat dia bekerja. Hal ini
ditengarai karena banyaknya perekrut tenaga kerja yang tidak mengoordinasikan
pengurusan data-data atau persyaratan BMI di kantor desa setempat.
"Kebanyakan mereka mengurus persyaratan sendiri-sendiri, baik terkait kartu tanda penduduk, kartu keluarga, atau surat izin keluarga. Jadi, pihak desa sulit mempunyai data pasti. "Ke depan, kami berupaya memperketat pendataan ini agar lebih transparan," info dari salah seorang Kepala Dususn di Desa Sira, kecamatan tanjung, Kabupaten Lombok Utara yang tidak mau disebut namanya.
"Kebanyakan mereka mengurus persyaratan sendiri-sendiri, baik terkait kartu tanda penduduk, kartu keluarga, atau surat izin keluarga. Jadi, pihak desa sulit mempunyai data pasti. "Ke depan, kami berupaya memperketat pendataan ini agar lebih transparan," info dari salah seorang Kepala Dususn di Desa Sira, kecamatan tanjung, Kabupaten Lombok Utara yang tidak mau disebut namanya.
Pengiriman Satu Pintu
Provinsi Nusa
Tenggara Barat menerapkan sistem Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) untuk
penempatan dan perlindungan BMI keluar negeri. LTSP itu dibentuk
berdasarkan Peraturan Gubernur No 32/2008. LTSP ini merupakan penyatuan pelayanan dari seluruh
instansi terhadap dokumen BMI. LTSP i ni katanya akan mempermudah penempatan
BMI
(baca: eksport buruh) ke luar negeri sehingga dapat menurunkan jumlah BMI bermasalah. Tapi nyatanya tidak ada jaminannya apalagi yang ke jazirah Arab. Data BP3BMI NTB menyebutkan terdapat 204
kasus yang dihadapi BMI asal NTB.
LTSP melibatkan unsur/instansi terkait meliputi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB, Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Imigrasi, Sarana Kesehatan, Bank Peserta Program, Konsorsium Asuransi, Pelayanan Pajak BFLN, dan Maskapai Penerbangan (Merpati).
Selain kasus tersebut, ada juga kasus BMI yang kabur dari majikannya karena upah yang mereka terima tidak sesuai kesepakatan. Pada 6 Mei 2011 lalu sebanyak 163 BMI NTB yang bekerja di Arab Saudi dipulangkan ke daerah asalnya.
Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebutkan di antara 163 BMI bermasalah itu sebanyak 15 perempuan hamil, 11 balita, dan tujuh orang anak-anak. Rata-rata BMI itu dipulangkan karena sejumlah masalah seperti habis masa kontrak kerja, perlakuan dari majikan dan pelecehan seksual.
LTSP melibatkan unsur/instansi terkait meliputi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB, Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Imigrasi, Sarana Kesehatan, Bank Peserta Program, Konsorsium Asuransi, Pelayanan Pajak BFLN, dan Maskapai Penerbangan (Merpati).
Selain kasus tersebut, ada juga kasus BMI yang kabur dari majikannya karena upah yang mereka terima tidak sesuai kesepakatan. Pada 6 Mei 2011 lalu sebanyak 163 BMI NTB yang bekerja di Arab Saudi dipulangkan ke daerah asalnya.
Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebutkan di antara 163 BMI bermasalah itu sebanyak 15 perempuan hamil, 11 balita, dan tujuh orang anak-anak. Rata-rata BMI itu dipulangkan karena sejumlah masalah seperti habis masa kontrak kerja, perlakuan dari majikan dan pelecehan seksual.
No comments