sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

HOME » » Perdebatan Strategi Anti-Neoliberal (4)


Unknown 19:30 0

Di Argentina, front kiri FREPASO bersatu dengan Partai Radikal yang moderat pada Agustus 1997 untuk membentuk "Aliansi," yang hanya beberapa bulan kemudian menyapu pemilihan kongres. Partai Radikal dan FREPASO sepertinya memiliki banyak kesamaan. Mereka bersama-sama mengutuk korupsi dan pelanggaran otonomi yudisial oleh eksekutif dalam pemerintahan Carlos Menem. Mereka juga mengkritik hubungan khusus dengan Amerika Serikat yang dibina oleh Menem lewat mengorbankan rencana-rencana integrasi ekonomi dengan negeri-negeri tetangga Argentina. Sebagai tambahan, dalam beberapa tahun belakangan kedua organisasi politik tersebut menolak pendekatan terapi kejut (shock treatment) Menem dalam kebijakan ekonomi. Walau demikian, Aliansi segera mengumumkan dukungannya terhadap Rencana Konvertibilitas oleh Menem, yang berlaku sejak 1991, yang menjamin nilai tukar satu-satu dolar-peso, sehingga mendolarisasi ekonomi. Menolak konvertibilitas akan memicu pelarian mata uang peso, tapi mendukungnya akan membatasi potensi intervensi pemerintahan Aliansi mana pun. Presiden de la Rua, yang merupakan sayap konservatif Partai Radikal, bukan lah kandidat yang akan mengubah jalan neoliberal yang diinisiatifkan Menem. Dengan membandingkan kebijakan pengetatan yang dibela de la Rua dalam kampanye presidennya dengan kebijakan lebih populis yang diusung lawan utamanya, Washington Post bertepatan dengan Wall Street Jurnal dengan menggambarkan kemenangan elektoralnya sebagai "berita baik" (Washington Post, 1999, A-30).


FREPASO gagal memutuskan hubungan dengan kebijakan ekonomi de la Rua, bahkan ini tidak dilakukan ketika ia mengangkat pengusung standar neoliberalisme, Domingo Cavallo, sebagai Menteri Keuangan pada awal 2001. FREPASO memang melepaskan dua posisi Wakil Presiden, tapi atas dasar isu korupsi, bukannya kebijakan ekonomi. Dengan memperparah keadaan, wakil FREPASO lainnya bertahan di pemerintahan, sehingga meninggalkan kesan ke-inkoheren-an organisasional.

Di Chile, prospek untuk perubahan, setidaknya dalam front politik, terlihat lebih menjanjikan. Di sana, kaum Sosial dan Demokrat Kristen menyampingkan permusuhan lama untuk membentuk aliansi Concertacion, yang tak hanya menjadi ujung tombak perjuangan menurunkan Pinochet, tapi juga setelahnya memenangkan tiga pemilu presiden. Ricardo Lagos dari Partai Sosialis, setelah menderita kekalahan di tangan Eduardo Frei dari Partai Demokrat dalam pemilihan awal yang digelar pada 1993, meraih kemenangan pada Januari 2000. Namun yang mempersatukan Concertacion bukanlah anti-neoliberalisme atau kebijakan ekonomi secara umum, melainkan komitmen untuk membersihkan warisan politik Pinochet yang termuat dalam Konstitusi 1980, yang membengkokkan kekuasaan pengambilan keputusan untuk keuntungan kaum kanan. Begitu besarnya kehendak partai-partai Concertacion untuk meninggalkan masa lalu, sehingga mereka mencampurkan penghapusan sisa-sisa unsur yang tak demokratik dengan memaafkan dan melupakan kejahatan yang dilakukan pada masa Pinochet berkuasa. Maka, contohnya, Lagos tidak secara tegas mengkritik solidaritas Presiden Frei dengan Pinochet yang saat itu sedang dipenjara di Inggris, sehingga menunjukkan sikap yang, menurut kata-kata seorang analis politik, "berbolak-balik (oscillate) antara ambiguitas dan oportunisme" (Moulian, 1999, 17).

Masih harus dilihat apakah kaum Sosialis dan Demokrat Kristen memiliki cukup persamaan untuk mempertahankan koalisi, ketika Pinochet dan prerogatif (hak istimewa) Konstitusi 1980 menjadi bab yang ditutup dalam sejarah bangsa itu. Suatu sektor dalam Partai Sosialis yang menyerukan penolakan privatisasi yang diperintahkan Frei, menyalahkan aliansi karena memfasilitasi perkembangan elektoral kaum kanan dan bertanggung jawab terhadap hilangnya identitas kaum Kiri. Bahkan lebih signifikan lagi adalah pergeseran Partai Sosialis ke tengah dalam hal kebijakan ekonomi. Maka, contohnya, antusiasme Presiden Lagos terhadap tergabungnya Chile ke dalam NAFTA menutupi minatnya terhadap usulan Lula tentang integrasi Amerika Selatan yang bertujuan menegosiasikan hubungan komersial dengan Amerika Serikat dari posisi yang kuat. Kaum kiri Chile pada khususnya memandang kritis saran Lagos bahwa pajak nilai tambah (value added tax) yang lebih tinggi atau privatisasi akan mengkompensasikan menurunnya penghasilan akibat reduksi tarif yang diterapkan NAFTA.

Pendeknya, di mana aliansi kiri-tengah mencapai kekuasaan di Amerika Latin, tujuan-tujuan anti-neoliberal telah tersubordinasikan oleh tujuan lainnya, seperti perjuangan melawan korupsi, penerapan efektif program-program sosial, dan demokratisasi. Memang, para anggota koalisi yang Kiri sendiri menurunkan atau sama sekali meninggalkan anti-neoliberalisme dan berkonsentrasi pada tujuan-tujuan non-ekonomi ini. Maka (dalam contoh strategi kiri-tengah lainnya) Gerakan menuju Sosialisme (MAS) di Venezuela mendukung kandidat presiden Rafael Caldera pada 1993 sebagian besar karena ia membela anti-neoliberalisme, namun dua tahun menjabat presiden ia membalikkannya dan memeluk erat program neoliberal. MAS bukan hanya mempertahankan dukungannya terhadap pemerintahannya, tapi memasuki kabinetnya dan memainkan peran penting dalam formulasi legislasi ekonomi. Dalam hal serupa, ketika FREPASO di Argentina melepaskan posisi wapres dalam pemerintahan de la Rua, mereka melakukannya atas isu korupsi dan bukan atas perbedaan dalam kebijakan neoliberal. Pendeknya, bukannya memenangkan kaum tengah untuk secara terbuka mengambil posisi anti-neoliberal, aliansi kiri-tengah memberikan efek terbalik dengan mendomestifikasi komponen-komponen kiri dalam area kebijakan ekonomi.

Dalam beragam kasus yang didiskusikan di atas di mana aliansi kiri-tengah berkuasa, kaum kiri berada di belakang kaum tengah. Presiden De la Rua (Argentina), Patricio Aylwin (Chile), Eduardo Frei (Chile), Caldera (Venezuela) dan Fox (Meksiko) merupakan non-kiri yang bergantung pada dukungan kaum kiri dalam perlombaan yang relatif tipis. Peran kaum kiri yang tersubordinasi mengingatkan pada front kerakyatan dan pemerintahan "front kerakyatan yang diperluas" pada tahun 1930an dan 1940an yang mana Partai Komunis tidak disertakan dalam posisi-posisi kementerian yang penting. Saat itu, faksi-faksi kiri dalam gerakan Komunis berargumen bahwa tujuan jangka panjang dikorbankan untuk hal-hal persatuan yang terdiri dari reformasi-reformasi moderat (Trotsky, 1977)3. Kesalahan kaum kiri dalam mencapai posisi kepemimpinan teratas, khususnya dalam memformulasikan kebijakan ekonomi - dalam pemerintahan yang terinspirasikan oleh front kerakyatan dan strategi kiri-tengah Casteneda - terlihat kontras dengan Venezuela dan Brasil (saat terpilihnya Lula), yang pada 1998 dan 2002 memilih pemerintahan yang benar-benar anti-neoliberal dengan orientasi kiri. Lebih jauh lagi, sebagaimana halnya front kerakyatan mendapat kritik dari faksi-faksi kiri, keampuhan pendekatan kiri-tengah Casteneda juga dipertanyakan oleh Marta Harnecker, James Petras, dan lainnya yang mengedepankan strategi alternatif dengan menekankan muatan kiri anti-neoliberalisme, sebagaimana didiskusikan di bawah ini.

3. Strategi Kiri-Tengah: Penghindaran Ideologis dan Programatik

Dalam jangka pendek, strategi kiri-tengah terbukti instrumental dalam inisiatif konsolidasi demokratik di Amerika Latin. Turunnya Pinochet dari kekuasaan dan hal serupa terhadap PRI [A] di Mexico tidak akan terjadi bila mereka mengambil langkah lain. Tapi dalam jangka panjang, koalisi strategi Castaneda hanya memperparah masalah utama yang dihadapi demokrasi-demokrasi di Amerika Latin dalam era neoliberalisme: semakin kaburnya perbedaan ideologi dan programatik. Benar, Castaneda merancang serangkaian proposal inovatif yang anti neoliberal untuk Konsensus Buenos Aires dengan tujuan mengangkat polarisasi penting yang mempertentangkan kaum neo-liberal melawan anti-neoliberal. Kesalahan fatal pendekatan Castaneda, walau begitu, adalah bahwa partai-partai tengah yang ia upayakan untuk memihaknya tidak sedikitpun menuruti posisi anti-neoliberal yang jelas. Partai Demokratik Kristen di Chile, contohnya, secara historik mendorong program-program sosial termasuk legislasi perburuhan saat ini yang begitu ditentang oleh kaum kanan, namun mereka segera berhenti ketika harus memutuskan hubungan dengan orientasi ekonomi yang didirikan selama masa Pinochet. Partai Radikal Argentina juga gagal secara tegas berpisah dengan kebijakan ekonomi ortodoks, terlepas dari kritiknya terhadap pendekatan terapi kejut (shock therapy) Menem. Kebijakan ekonomi Vicente Fox bahkan lebih jauh dari kubu anti-neoliberal. Kaum kiri, dengan mendukung pemerintahan yang plin-plan, turut menciptakan kesinisan, keputus-asaan dan golput (Riquelme, 1999, 33) atau reaksi berlebihan dalam bentuk kelompok kiri garis keras yang dengan simplistik mengkategorikan semua aktor-aktor politik sebagai kawan atau lawan.

Tidak adanya definisi ideologis dan programatik yang jelas pada umumnya menjadi suatu tanggung jawab besar bagi demokrasi Amerika Latin yang masih "tak terkonsolidasi", dan pada khususnya merongrong upaya mendemokratiskan partai-partai politik. Kelemahan ini telah dibuktikan oleh pemilihan kandidat dalam partai-partai politik, yang menyediakan kesempatan untuk membicarakan perbedaan internal dan merangsang perdebatan internal di antara anggota. Anti-neoliberalisme menantikan definisinya yang tepat, dan pemilihan kandidat dalam partai mewakili area ideal untuk mencapai tujuan ini.

Ketika pada tahun 1980an partai-partai seperti MAS di Venezuela dan Partai Sosialis di Chile adalah di antara yang pertama menyelenggarakan pemilihan untuk menunjuk pengurus partai, dan kemudian "melegalkan" aliran-aliran opini internal, persaingan internal berpusat pada perbedaan ideologi. Dalam upayanya mewakili kandidat presiden dari MAS pada pemilu 1978 dan 1983, teoretikus Teodoro Petkoff berargumen bahwa ia berada dalam posisi lebih baik dibandingkan saingan utamanya - yang juga seorang sosialis tapi bukan anggota partai - untuk berkontribusi terhadap solidifikasi ideologi MAS (Ellner, 1988, 117)

Ideologi sangat memenuhi pikiran anggota MAS di semua tingkatan dan memang merupakan dasar dari diskusi internal partai. Terlepas dari kepeloporan MAS dalam reformasi demokrasi dalam partai, politik internal organisasi tersebut pada tahun 1990an sebagian besar tereduksi menjadi konflik personal tanpa perdebatan seputar isu-isu yang substantif. Akibatnya, partai tersebut kehilangan minat menyelenggarakan pemilihan awal untuk nominasi kandidat di semua tingkatan. Sejak awal kampanye presidensial Hugo Chavez pada 1998, para MASistas tidak siap merespon isu-isu substansial yang mengemuka. Luar biasanya, tidak satu pun pimpinan nasional MAS terlihat mendukung pencalonan Chavez sebagai presiden hingga kemudian tekanan dari bawah meyakinkan mereka untuk turut ikut barisan. Akibatnya, partai tersebut mengalami perpecahan jadi dua sebanyak dua kali (pada 1998 dan 2001) dan pada saat kedua kalinya tidak ada satu pun pimpinan nasional veteran MAS yang bergabung dengan kelompok pecahan yang pro-Chavez. Pengalaman ini mendemonstrasikan bahwa pemilihan awal dalam partai dan praktek demokrasi internal lainnya di tengah absennya perdebatan ideologi dan programatik hanya akan menjadi praktek dungu. Kegagalan partai-partai yang condong ke kiri seperti MAS untuk mengambil posisi yang jelas terhadap neoliberalisme - meskipun mereka mempelopori upaya-upaya demokratisasi internal - membuktikan tantangan khusus yang dihadapi kaum kiri dunia ketiga dalam memformulasikan model anti-neoliberal.

Argumen "menjalankan-sendiri" yang diusung Petkoff dan berpihak pada kejelasan ideologi dan programatik, dapat dipratekkan dalam anti-neoliberalisme Amerika Latin pada kurun waktu saat ini. Sebagian besar gerakan bersentimen anti-neoliberal, tapi tak memiliki kespesifikan dalam hal strategi dan tujuan. Mereka yang menentang pendekatan kiri-tengah Castaneda berargumen bahwa koalisi anti-neoliberal perlu untuk menjadi lebih anti-neoliberal, dan lebih selektif dalam menentukan siapa yang masuk, dibandingkan apa yang diadvokasikan oleh penulis Meksiko tersebut. Pendekatan semacam itu awalnya tidak begitu sukses dalam pemungutan suara dibandingkan strategi Castaneda yang berbuah di Chile, Venezuela (dengan terpilihnya Rafael Caldera pada 1993), dan Argentina. Tapi kegagalan aliansi kiri-tengah dalam menentang kebijakan ekonomi neoliberal, sebagaimana didiskusikan di atas, membuktikan perlunya pendekatan garis keras yang menghindari kompromi dalam isu-isu yang berhubungan dengan neoliberalisme. Hanya dalam bentuk inilah gerakan anti-neoliberal dapat mendemonstrasikan kepada para warga umumnya bahwa terdapat alternatif otentik terhadap neoliberalisme, selain model tersentralisir dan bertumpukan negara (statist) yang ditawarkan kaum kiri tradisional. Yang sama pentingnya adalah, kebijakan pembangunan aliansi yang lebih selektif akan mengharuskan kaum anti-neoliberal sendiri untuk menghasilkan strategi jangka-panjang dan mendefinisikan tujuan-tujuan mereka agar tak sekedar berupa sketsa-sketsa kasar.

ANTI-NEOLIBERALISME DAN ANTI-IMPERIALISME

1. Marta Harnecker vs. James Petras

Kaum kiri yang mengkritik bahwa aliansi kiri-tengah secara bias memihak kaum tengah berargumen bahwa perjuangan anti-neoliberal merupakan hal kunci dalam agenda politik dan tak dapat dicairkan demi memenangkan pemilu. Anti-neoliberal garis keras dibagi menjadi dua aliran. Satu, yang teoretikus terdepannya adalah seseorang yang sejak lama menjadi warga Kuba, Marta Harnecker, mengusulkan pengonsentrasian upaya-upaya perjuangan melawan neoliberalisme hingga keadaan internasional bergeser untuk keuntungan kekuatan-kekuatan kerakyatan. Posisi kedua, dibela oleh James Petras, bersikap lebih optimis dalam mengombinasikan anti-neoliberalisme dengan perjuangan-perjuangan yang lebih berjangkauan luas seperti anti-imperialisme dan anti-kapitalisme.

Bersambung : Perdebatan Strategi Anti-Neoliberal (5)

Penulis: Steve Ellner

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments

Leave a Reply

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.