Release Indonesia Act: Tinjau Pelaksanaan UU PTPPO
Unknown
11:41
0
Stop Perbudakan Modern |
SBMI, Jakarta - Kejahatan perdagangan manusia di Indonesia masih sangat tinggi. Menurut hasil penilitian David Wyatt, sedikitnya 3 juta rakyat Indonesia menjadi korban perdagangan manusia dan 50% diantaranya adalah anak-anak[1].
Faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan dan budaya informasi yang menyebabkan anak menjadi rentan terhadap kejahatan perdagangan manusia. Hal ini menjadi keprihatinan Indonesia ACT sebagai jaringan nasional yang fokus pada usaha memerangi perdagangan manusia di Indonesia.
Namun jumlah kejahatan yang besar ini belum disertai dengan banyaknya kasus yang terungkap dan telah ditangani oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Pemerintah mencatat kasus perdagangan anak yang terjadi selama periode 2007 hingga 2011 baru mencapai 1000 jiwa[2]. Hal ini tampak jauh berbeda dari jumlah kejahatan yang sesungguhnya.
Sebagai usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pemerintah akan bahwa perdagangan anak, Indonesia ACT bersama-sama dengan kelompok masyarakat lainnya di Asia merayakan tanggal 12 Desember sebagai Hari Anti Perdagangan Manusia. Kenapa tanggal 12 Desember?
Pada tanggal 12 Desember 2012, PBB menetapkan sebuah protokol untuk menentang perdagangan Manusia di Palermo. Protokol tersebut kemudian diberi nama Palermo Protokol. Indonesia sendiri telah meratifikasi Palermo Protokol melalui UU No. 14/2009 tentang pengesahan the Protocol to prevent, Suppres and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children. Sebelum meratifikasi Protokol Palermo, Indonesia sendiri telah memiliki UU NO. 21/2007 tentang Penghapusan tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO). Kebijakan ini kemudian diikuti dengan adanya Peraturan Presiden No. 69/2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Adanya UU tentang anti perdagangan orang di tingkat nasional memicu propinsi hingga tingkat desa membentuk Perda tentang perdagangan manusia. Apakah dengan adanya berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah ini telah secara efektif mengurangi atau bahkan memberantas perdagangan manusia khususnya anak-anak di Indonesia?
Penegakan hukum melalui UU PTTPO
Berdasarkan hasil penelitian Indonesia ACT yang dilakukan oleh Yayasan KKSP pada awal tahun 2012 menunjukkan bahwa pelaksanaan UU TPPO dan peraturan daerah berkenaan dengan perdagangan anak memiliki banyak hambatan.
Di dalam hasil penelitian itu disebutkan bahwa sampai saat ini belum ada kesepahaman antara hakim, jaksa dan polisi dalam menangani kasus. Hal ini mengakibatkan terhentinya kasus perdagangan anak. Jaksa masih berpedoman kepada bukti dan Saksi yang ada di dalam KUHP. Zainal Abidin, presidium Indonesia ACT, menuturkan, “sistem peradilan kita masih lemah, misalnya ketika polisi sudah berusaha menggunakan UU PTPPO, namun ketika kasus sampai di kejaksaan.
Mereka meminta bukti yang sesuai dengan KUHAP, hal ini menyebabkan banyak kasus perdagangan manusia dikembalikan. Akhirnya pasal yang dikenakan kasus penculikan, kekerasan terhadap anak dan lainnya”.
Hal senada juga disampaikan oleh Esther, Pengacara Publik Rumah Perempuan,” Harus ditemukan upaya hukum baru tentang trafiking. Polisi sudah memakai PTPPO tapi jaksa tidak berani, takut dimentahkan oleh hakim”. Tidak adanya kesepahaman di antara hakim, polisi dan jaksa menyebabkan korban perdagangan manusia, khususnya anak tidak mendapatkan keadilan.
Salah satu kasus perdagangan anak di Bangka Belitung yang ditangani KJHAM pada tahun 2011, pihak kejaksaan masih belum menggunakan UU PTPPO meski unsur-unsur kejahatan sudah masuk ke dalam UU tersebut. Usaha-usaha untuk menghambat proses peradilan oleh pelaku pun dilakukan untuk mencapai jalan damai. Proses hukum yang belum berpihak kepada korban menyebabkan korban mengalami trauma.
Proses reintegrasi dan rehabilitasi korban perdagangan anak juga masih belum berjalan maksimal. Adanya otonomi daerah menyebabkan proses reintegrasi/pemulangan korban diserahkan kepada masing-masing propinsi dimana korban menjadi warganya. Hal ini menjadi menghambat proses pemulangan terhadap korban karena korban selalu ditemukan di daerah tujuan dimana korban bukan menjadi warganya. Sehingga masih diperlukan adanya MoU antar propinsi untuk melaksanakan proses pemulangan ini.
Endang dar Perkumpulan Pancakarsa Mataram, menuturkan, “isu perdagangan manusia ini merupakan isu yang baru di berbagai daerah, sedangkan tradisi dalam pembuatan anggaran adalah copy-paste sehingga yang terjadi adalah tidak ada alokasi anggaran untuk korban perdagangan manusia”. Kendala di dalam anggaran menyebabkan anak yang menjadi korban sulit untuk mendapatkan proses rehabilitasi. Hal ini menyebabkan besar kemungkinan bagi mereka menjadi korban perdagangan anak kembali.
Melihat kendala tersebut, Indonesia ACT menilau bahwa usaha memerangi perdagangan anak perlu menjadi perhatian yang besar dari semua pihak. Oleh karena itu Indonesia ACT meminta kepada seluruh aparat penegak hukum untuk dapat mengimplementasikan UU PTPPO dan peraturan turunannya secara maksimal merupakan keharusan untuk menghapuskan perdagangan manusia.
Kedua, perlu adanya kesepahaman di antara jaksa, hakim sehingga proses hukum menjadi tepat, mudah, cepat dan tidak dipersulit dalam menangani kasus perdagangan anak. Kedua hal ini diperlukan sehingga anak yang rentan dapat terlindungi dari kejahatan perdagangan anak dan anak yang telah menjadi korban tidak lagi kembali menjadi korban.
No comments