Sekilas Tentang Nisma Abdullah, Presiden SBMI
Unknown
18:32
0
Nisma Abdullah, terus berlawan |
KORAN MIGRAN, JAKARTA - Penuh semangat. Itulah sosok Nisma Abdullah. Meski usianya tidak muda lagi, perempuan kelahiran Bunobogu, Buol, Sulawesi Tengah, 1965 itu begitu berapi-api saat bicara seputar buruh migran. Barangkali karena selain pernah mengalami kondisi yang tidak menyenangkan saat menjadi buruh migran di Timur Tengah, juga tak lepas dari aktivitasnya mendampingi dan memperjuangkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Apalagi perempuan yang dikaruniai 4 anak dan 4 cucu itu dipercaya sebagai ketua umum Dewan Pimpinan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) periode 2011-2015. Kepada KORAN MIGRAN, Nisma bercerita, saat menjadi buruh migran atau TKI di Arab Saudi pada tahun 1993 hingga 1996, begitu banyak masalah yang dihadapinya.
"Ini kasus trafficking
(perdagangan manusia). Namun, hari ini sidangnya ditunda. Kasus ini
sudah berjalan satu tahun," kata Nisma ketika berbincang di pengadilan. Sekitar satu tahun yang lalu, 156 pemuda menjadi korban
perdagangan manusia dari sebuah perusahaan tambang, jelasnya.
Mereka dipekerjakan sebagai anak buah
kapal (ABK), tetapi ditelantarkan perusahaan dan terdampar di
Trinidad dan Tobago, sebuah pulau di kawasan Karibia. "Mereka
telantar di atas kapal berbulan-bulan tanpa makanan. Mereka kemudian
turun ke daratan dan ditangkap aparat setempat," katanya. Namun,
hanya 56 ABK menggugat pemilik perusahaan itu.
Setiap hari, Nisma selalu berhadapan
dengan persoalan-persoalan serupa yang dialami buruh migran. Wajar saja,
karena Nisma kini menjabat sebagai Ketua Umum Serikat Buruh Migran
Indonesia (SBMI), sebuah organisasi yang anggotanya adalah buruh migran,
atau kita sering mendengarnya dengan istilah tenaga kerja Indonesia
(TKI).
Keterlibatan Nisma dalam organisasi
buruh migran berawal di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Setelah
mengakhiri kerja sebagai penata rambut di Kuwait pada 2003, Nisma
mengumpulkan rekan-rekannya sesama buruh migran yang pernah bekerja
di Arab Saudi dan Kuwait. Mereka membentuk kelompok yang dinamakan
Forum Komunikasi Buruh Migran Sepakat.
"Saya membentuk kelompok itu
awalnya untuk reunian saja. Tidak ada fokus atau rencana kelompok ini
nantinya bakal menerima kasus atau melakukan advokasi. Kami hanya
berkumpul sebulan sekali untuk sekadar memasak masakan Arab atau
mengobrol pakai bahasa Arab," kata Nisma.
Namun, setelah terbentuk, ia dan
rekan-rekannya justru menerima banyak permintaan bantuan dari
keluarga buruh migran. Banyak keluarga buruh migran ingin mencari
keberadaan anggota keluarganya yang sudah lama bekerja di luar
negeri, tetapi tidak pernah ada kabar
Nisma menjadi seorang buruh migran bermula pada 1993. Saat itu, Nisma sudah berkeluarga dengan memiliki empat anak. Ia merupakan istri seorang prajurit marinir TNI Angkatan Laut berpangkat kopral. Suaminya pernah mengikuti Operasi Seroja di Timor-Timur sekitar 1970.
Gaji suaminya saat itu hanya sekitar Rp 125.000 per bulan. Meski sudah ditambah pendapatannya dari usaha salon dan berjualan kue, ternyata masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya saat itu.
"Apalagi, saya punya keinginan anak-anak nantinya bisa kuliah. Saya ingin, paling tidak ada, anak-anak saya bisa seperti anak-anak lainnya. Alasan itu yang memutuskan saya bekerja ke luar negeri. Saya kemudian pamit ke bapak (suami) untuk berangkat ke luar negeri," Nisma mengisahkan alasannya menjadi buruh migran.
Namun, tekadnya bekerja ke luar negeri tak mudah direalisasikan. Posisinya sebagai istri seorang prajurit aktif membuatnya dan suami harus mendapatkan restu dari Panglima ABRI. Meskipun begitu, izin pun belum tentu bisa diperoleh seandainya diajukan.
"Akhirnya, saya (nekat) memutuskan tidak minta izin panglima. Langsung berangkat saja. Namun, saya berangkat atas izin suami," ujar Nisma seraya tersenyum.
Sebetulnya, Nisma sangat berat meninggalkan suami dan keempat anaknya di Tanah Air. Apalagi, anak terakhirnya ketika itu masih berusia tiga tahun. "Masih nete (menyusui)," ujarnya.
Namun, kebutuhan hidup yang harus dipenuhi saat itu "memaksa" Nisma mengadu nasib di luar negeri. Ia berharap mendapatkan rezeki yang lebih banyak ketimbang yang didapat di Indonesia dari keahliannya sebagai penata rambut. Negara pertama tempatnya bekerja adalah Madinah, Arab Saudi.
Tiga tahun lamanya Nisma bekerja di Madinah. Namun, agensi pekerja di sana justru menyalurkannya sebagai pekerja rumah tangga, bukan sebagai penata rambut. "Majikan saya di sana itu Ketua (organisasi) Sepak Bola Madinah," ujarnya.
Melawan Tindakan Manusiawi
Nisma mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi selama bekerja di Madinah. Perlakuan buruk juga ia dapat ketika bekerja selanjutnya di Kuwait. Majikan kerap memperlakukannya dan buruh migran yang lain dengan kasar.
"Hampir semua kawan-kawan pernah dilecehkan ketika bekerja di luar negeri," ujar Nisma. Tidak jarang, ia melanjutkan, pelecehan itu berujung pada pemerkosaan terhadap perempuan. Ia hampir menjadi salah satu korban pemerkosaan ketika bekerja di Kuwait.
Berdasarkan data dan laporan, kata Nisma, buruh migran Indonesia mendapatkan perlakuan sangat buruk ketika bekerja di negara-negara kawasan Timur Tengah dan Malaysia. Selain pelecehan dan kekerasan, ia melanjutkan, buruh migran Indonesia yang bekerja di kedua tempat itu sering kali menerima upah rendah, bahkan tidak dibayar sepeser pun.
Perlakuan buruk yang dialami buruh migran Indonesia terjadi akibat ketidaksiapan calon tenaga kerja untuk bekerja maupun beradaptasi. Banyak dari mereka yang tidak menguasai bahasa setempat.
Ketidaksiapan calon tenaga kerja Indonesia ini akibat tidak adanya tanggung jawab pemerintah dalam menyiapkan tenaga kerja yang profesional untuk bekerja di luar negeri. Selama ini, pemerintah hanya mau mengirim sebanyak-banyaknya tenaga kerja ke luar negeri tanpa memperhatikan kesiapannya.
Hal itu tercermin dari begitu gencarnya pemerintah menjaring warga untuk bekerja ke luar negeri, meskipun negara yang dituju tidak memiliki perjanjian kerja sama dengan Indonesia, contohnya Arab Saudi. Indonesia tidak memiliki perjanjian dengan Arab Saudi, tetapi pengiriman terbesar TKI ke negara itu.
"Padahal, dalam UU No 39/2004, pemerintah tidak boleh menempatkan buruh migran di negara yang tidak punya perjanjian dengan Indonesia. Bila dipaksakan, akhirnya tidak ada jaminan perlindungan terhadap buruh migran yang diberikan negara-negara tujuan penempatan," tuturnya.
Oleh karena itu, buruh migran harus bersatu memperjuangkan hak-haknya sehingga dijamin kelangsungan hidupnya saat bekerja di luar negeri. "Saya tidak rela apa yang terjadi pada saya di luar negeri juga akan dialami kawan-kawan lainnya," ujarnya.
Untuk itu pula, ia terus berjuang hingga kini. Baginya, jauh dari anak dan cucunya adalah sebuah risiko dari pilihannya. "Saya ingin mati dalam perjuangan," katanya.
Gaji suaminya saat itu hanya sekitar Rp 125.000 per bulan. Meski sudah ditambah pendapatannya dari usaha salon dan berjualan kue, ternyata masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya saat itu.
"Apalagi, saya punya keinginan anak-anak nantinya bisa kuliah. Saya ingin, paling tidak ada, anak-anak saya bisa seperti anak-anak lainnya. Alasan itu yang memutuskan saya bekerja ke luar negeri. Saya kemudian pamit ke bapak (suami) untuk berangkat ke luar negeri," Nisma mengisahkan alasannya menjadi buruh migran.
Namun, tekadnya bekerja ke luar negeri tak mudah direalisasikan. Posisinya sebagai istri seorang prajurit aktif membuatnya dan suami harus mendapatkan restu dari Panglima ABRI. Meskipun begitu, izin pun belum tentu bisa diperoleh seandainya diajukan.
"Akhirnya, saya (nekat) memutuskan tidak minta izin panglima. Langsung berangkat saja. Namun, saya berangkat atas izin suami," ujar Nisma seraya tersenyum.
Sebetulnya, Nisma sangat berat meninggalkan suami dan keempat anaknya di Tanah Air. Apalagi, anak terakhirnya ketika itu masih berusia tiga tahun. "Masih nete (menyusui)," ujarnya.
Namun, kebutuhan hidup yang harus dipenuhi saat itu "memaksa" Nisma mengadu nasib di luar negeri. Ia berharap mendapatkan rezeki yang lebih banyak ketimbang yang didapat di Indonesia dari keahliannya sebagai penata rambut. Negara pertama tempatnya bekerja adalah Madinah, Arab Saudi.
Tiga tahun lamanya Nisma bekerja di Madinah. Namun, agensi pekerja di sana justru menyalurkannya sebagai pekerja rumah tangga, bukan sebagai penata rambut. "Majikan saya di sana itu Ketua (organisasi) Sepak Bola Madinah," ujarnya.
Melawan Tindakan Manusiawi
Nisma mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi selama bekerja di Madinah. Perlakuan buruk juga ia dapat ketika bekerja selanjutnya di Kuwait. Majikan kerap memperlakukannya dan buruh migran yang lain dengan kasar.
"Hampir semua kawan-kawan pernah dilecehkan ketika bekerja di luar negeri," ujar Nisma. Tidak jarang, ia melanjutkan, pelecehan itu berujung pada pemerkosaan terhadap perempuan. Ia hampir menjadi salah satu korban pemerkosaan ketika bekerja di Kuwait.
Berdasarkan data dan laporan, kata Nisma, buruh migran Indonesia mendapatkan perlakuan sangat buruk ketika bekerja di negara-negara kawasan Timur Tengah dan Malaysia. Selain pelecehan dan kekerasan, ia melanjutkan, buruh migran Indonesia yang bekerja di kedua tempat itu sering kali menerima upah rendah, bahkan tidak dibayar sepeser pun.
Perlakuan buruk yang dialami buruh migran Indonesia terjadi akibat ketidaksiapan calon tenaga kerja untuk bekerja maupun beradaptasi. Banyak dari mereka yang tidak menguasai bahasa setempat.
Ketidaksiapan calon tenaga kerja Indonesia ini akibat tidak adanya tanggung jawab pemerintah dalam menyiapkan tenaga kerja yang profesional untuk bekerja di luar negeri. Selama ini, pemerintah hanya mau mengirim sebanyak-banyaknya tenaga kerja ke luar negeri tanpa memperhatikan kesiapannya.
Hal itu tercermin dari begitu gencarnya pemerintah menjaring warga untuk bekerja ke luar negeri, meskipun negara yang dituju tidak memiliki perjanjian kerja sama dengan Indonesia, contohnya Arab Saudi. Indonesia tidak memiliki perjanjian dengan Arab Saudi, tetapi pengiriman terbesar TKI ke negara itu.
"Padahal, dalam UU No 39/2004, pemerintah tidak boleh menempatkan buruh migran di negara yang tidak punya perjanjian dengan Indonesia. Bila dipaksakan, akhirnya tidak ada jaminan perlindungan terhadap buruh migran yang diberikan negara-negara tujuan penempatan," tuturnya.
Oleh karena itu, buruh migran harus bersatu memperjuangkan hak-haknya sehingga dijamin kelangsungan hidupnya saat bekerja di luar negeri. "Saya tidak rela apa yang terjadi pada saya di luar negeri juga akan dialami kawan-kawan lainnya," ujarnya.
Untuk itu pula, ia terus berjuang hingga kini. Baginya, jauh dari anak dan cucunya adalah sebuah risiko dari pilihannya. "Saya ingin mati dalam perjuangan," katanya.
No comments