PRT: Sebuah Masalah Rumit-Memprihatinkan yang Terabaikan
Unknown
10:34
0
Di Indonesia, Pekerja Rumah Tangga (PRT) –mengacu pada para pekerja rumah tangga yang bekerja pada keluarga di dalam negeri– merupakan kelompok pekerja dan masyarakat yang memiliki berbagai keunikan persoalannya sendiri. Dan, persoalan-persoalan tersebut adalah persoalan rumit yang sebenanarnya sangat memprihatinkan rasa kemanusiaan dan keadilan kita. Sayangnya, dengan persoalan rumit yang sejujurnya sangat memprihatinkan itu, perhatian serius –utamanya dari pemerintah—masih sangatlah kecil.
Umumnya, mereka adalah perempuan, baik anak-anak maupun dewasa; sedikit saja yang laki-laki. Karena mayoritas perempuan itu pula, perhatian terhadap kelompok PRT tak bisa dilepaskan dari agenda gerakan perempuan di negeri kita ini. Selain itu, seperti akan dipaparkan di bawah, pentingnya gerakan perempuan terlibat dalam advokasi hak PRT juga karena masalah ini tidak terlepas dari cara pandang gender yang bias, misalnya, menempatkan pekerjaan rumah tangga yang sering dialihlakukan pada PRT sebagai pekerjaan tidak produktif, tidak memiliki nilai sosial, ekonomi dan politik.
Pandangan stereotip tentang pekerjaan ini dan pekerjanya menjadi salah satu sumber munculnya kompleksitas persoalan yang menyelimuti pekerjaan PRT. Dalam masyarakat kita sendiri, hanya sebagian kecil, bahkan sangat kecil yang menganggap pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan dan si pekerjanya adalah pekerja. Masyarakat kita, termasuk yang terdidik sekalipun, juga para pembuat kebijakan sekalipun, lebih suka menyebut mereka dengan nama-nama stereotipikal yang cenderung merendahkan; yang paling populer adalah pembantu –sesuatu yang jelas berkonotasi tidak produktif secara ekonomis, sosial dan politis. Tentu ini masalah rumit, masalah cara pandang yang sudah melekat dalam alam pikiran kita sebagai sebuah bangsa.
Belum adanya aturan baku yang mengatur pekerjaan PRT termasuk aturan tentang upah, libur kerja, cuti, jam kerja, dll, juga menjadi sumber persoalan lain. Perlakuan terhadap PRT, dalam ketiadaan aturan tersebut, lebih banyak didasarkan pada pertimbangan personal yang fleksibel. Tidak ada kekuatan legal khusus yang bisa mengontrol terjadinya tindakan-tindakan pelanggaran dan eksploitasi. Tidak adanya aturan perundangan yang bisa melindungi PRT dari berbagai eksploitasi tidak bisa dilepaskan juga dari pandangan steoreotip yang menganggap pekerjaan tersebut berserta pelakunya sebagai kelompok masyarakat “tidak penting yang tak perlu sebuah aturan, apalagi dalam bentuk undang-undang.”
Kenyataan bahwa PRT bekerja di wilayah yang dikategorikan sebagai privat yang penuh dengan privasi, hubungan kekeluargaan di mana kontrol orang lain sangat kecil menjadi maslaah tersendiri yang melingkupi kerja PRT. Sebagai akibatnya, PRT live-in, yang tinggal bersama keluarga yang mempekerjakannya, seringkali mengalami tindak kekerasan, eksploitasi, pelecehan dan kekerasan seksual, perendahan martabat, penghinaan dan lain-lain bentuk kekerasan. Dan, itu terjadi secara berulang di tengah kontrol sosial yang lemah karena, di antaranya, tabu ”mencampuri urusan rumah tangga orang lain.” Bagaimana kita ”memperlakukan” para PRT masuk dalam ranah urusan rumah tangga orang lain itu. ”Kekaburan” relasi kerja yang tidak dijelaskan dalam kontrak kerja dan potensi eksploitasi terhadap PRT menjadi kerentanan dan ancaman serius yang perlu difikirkan dampak-dampak dan solusinya.
Hubungan kerja PRT yang unik dengan pengguna jasanya memunculkan kerentanan berupa eksploitasi terselubung dan hubungan patron-klien (mistress/master-servant) menjadi sangat niscaya. Betapa tidak, hubungan yang seringkali dibungkus rapih dengan nama kekeluargaan atau menganggap PRT sebagai bagian dari keluarga justeru menghilangkan substansi persoalan mengenai upah, jam kerja, hari libur, fasilitas dan hak yang seharusnya didapatkan. Eksploitasi terselubung seringkali tak kelihatan (invisible) karena dengan alasan ”menganggap PRT sebagai bagian dari keluarga” menjustifikasi dan melegitimasi apapun menjadi dibolehkan. Namun, apakah benar, hubungan personal dan kerja PRT-majikan setara dan tidak ada ketimpangan kelas dan perbedaaan relasi kuasa? Penting di sini untuk juga memperhatikan persoalan kelas dan kuasa karena PRT seringkali diposisikan pada posisi tidak berdaya dan tidak punya kuasa dan merupakan kelas sosial dan ekonomi bawah.
Relasi personal dan kekeluargaan –hingga sebagian orang menyebut PRT sebagai labor love, ”seperti anak sendiri”– membawa dampak yang sangat merugikan PRT. Bila PRT diperlakukan sama rata dan sama rasa, maka kasus memakan nasi basi, beban kerja yang berat, tidak ada hari libur, jam kerja yang tidak jelas, kelaparan, mencuri makanan karena lapar, disiksa, mendapatkan kekerasan verbal, fisik, seksual, dan psikologis, tidak dibayar dll tidak akan didapatkan dan diterima mereka. Batasan antara kerja dan tidak bekerja menjadi kabur bila hubungan ini yang lebih dikedepankan. Hubungan personal dan keluarga memang harus tetap dibangun dan dipelihara, namun hubungan kerja juga harus dijelaskan. Bila menjadi bagian keluarga bisa seiring sejalan dengan pemberian hak-haknya sebagai pekerja, maka relasi personal dan profesional tidak akan menimbulkan persoalan.
Bagaimana sebenarnya mendefiniskan hubungan kerja PRT? Rollins (1985) mengkaji hal ini dan menganalisa bahwa hubungan keduanya adalah penggabungan rasa suka dan tidak suka, perasaan yang saling bertolak belakang, respect, dukungan dan juga rasa bermusuhan dan saling menghina. Penilaian terhadap pekerjaan yang dilakukan PRT seringkali bukan berdasarkan kualitas kerja atau tugas namun lebih pada kualitas hubungan interpersonal dengan anggota keluarga dan majikan.Pekerjaan juga tidak didasarkan kontrak kerja yang mensyaratkan tanggungjawab, hak dan kewajiban kedua belah pihak secara profesional. Majikan menuntut PRT-nya loyal dalam melayani anggota keluarga mereka sehingga hubungan yang ada adalah berdasarkan keinginan majikan atau lebih tepatnya keinginan baik majikan. Analisa seperti ini juga dilontarkan oleh Romero (2002). Misalnya saja, gaji PRT yang sesuai UMR, libur sehari dll didapatkan PRT berdasarkan kebaikan hati majikan bukan didasarkan pada adanya aturan, hak PRT dan tidak didasarkan atas pekerjaan yang dilakukan.
Menurut Rubbo and Taussig (1983), pekerja rumah tangga dilihat sebagai penjembatan kelas dominan dan kelas yang didominasi pada tingkatan rumah tangga. Menurut mereka, pekerja rumah tangga bukan merupakan keluarga inti atau anggota keluarga yang benar-benar dianggap sebagai bagian dari keluarga, namun lebih sebagai pseudo-family member di tempat di mana mereka bekerja. Belum lagi pekerjaan mereka dianggap sebagai unskilled labor. Hal ini dibantah Phillips dan Taylor (1980) yang menyatakan bahwa status unskilled pada pekerjaan yang dilakukan perempuan atau pekerjaan yang diasumsikan sebagai pekerjaan perempuan melekat dan dilekatkan pada jenis pekerjaan rumah tangga. Menurut keduanya, terminologi-nya sendiri sudah sangat bias seks. Status subordinasi perempuan dibawa sampai ke tempat kerja dan status tersebut mendefiniskan dan menentukan nilai dari pekerjaan yang mereka lakukan. Mereka juga mengatakan bahwa, sangat jauh dari kenyataan yang obyektif, skill justeru merupakan kategori yang di-impose terhadap jenis-jenis pekerjaan tertentu yang dikaitkan dengan jenis kelamin dan power orang yang melakukannya. Lebih lanjut, Kemp (1994) misalnya mengungkapkan kesetujuannya pada Phillips dan Taylor bahwa istilah skill memang mengandung label politik yang disengaja dan dikonstruksi sedemikian rupa di mana sebuah pekerjaan dapat dikatakan skilled bila yang melakukan laki-laki dan sebaliknya unskilled bila yang melakukannya perempuan. Dengan demikian konsekuensinya adalah karena pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai ”unskilled” labor, maka mereka mendapat gaji yang tidak layak. Kategori unsklilled kemudian menjadi patokan untuk menilai dan menghargai secara kurang pekerjaan itu hanya karena pekerjaan itu dilakukan perempuan. Dalam konteks ini, gender memang sangat memegang peran penting dalam mendefinisikan pekerjaan yang dikategorikan skilled danunskilled sehingga pekerjaan yang dilakukan perempuan kurang bernilai (ekonomi-sosial) daripada pekerjaan yang dilakukan laki-laki.
Salah satu persoalan rumit dalam hubungan kerja PRT ditemukan pada PRT yang bekerja di keluarga kelas menengah ke bawah. Jangan salah. Memang tidak sedikit PRT bekerja di keluarga menangah-bawah itu. Umumnya, seperti pernah saya jumpai di komplek Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta, keluarga-keluarga itu adalah keluarga para buruh yang bekerja di berbagai pabrik. Suami dan isteri bekerja seharian, meninggalkan anak dan segala pekerjaan rumah tangga mereka. PRT akhirnya menjadi kebutuhan mereka juga. Dengan situasi keuangan mereka sendiri yang terbatas, apakah mungkin hak-hak ekonomi PRT sebagai pekerja akan bisa terpenuhi? Apakah kita harus menentukan standar yang sama antara PRT di keluarga menengah-atas dengan PRT di keluarga menengah-bawah? Hal-hal ini penting sekali difikirkan serius, karena kita memahami, saat membicarakan hak-hak PRT, kita juga tidak boleh abai pada kewajiban mereka, yang juga menjadi hak si pengguna jasa.
Yang terpenting, hubungan PRT-pengguna jasa sudah seharusnya membangkitkan solidaritas sesama perempuan. Solidaritas feminis perlu dibangun untuk mendukung gerakan perempuan dalam melakukan advokasi hak-hak PRT. Inilah pekerjaan rumah kita, sebagai bagian dari gerakan perempuan untuk memfasilitasi terbangunnya solidaritas feminis dari hubungan PRT dan pengguna jasanya. Pendekatan terhadap kedua belah pihak dalam konteks ini menjadi sangat mendesak dilakukan. Yang lebih mungkin lagi, karena banyak di antara aktivis perempuan yang juga mempekerjakan PRT, kita bisa memulai upaya membangun solidaritas feminis dalam hubungan kerja PRT dan pengguna jasa mulai dari kelompok ini.
Selain itu, penguatan isu PRT sebagai isu perempuan juga perlu dibangun dan ditingkatkan karena bagaimanapun isu PRT merupakan isu perempuan yang perlu diperhatikan sangat serius karena luput dari banyak agenda para aktivis dan pejuang HAM dan perempuan. Bila seluruh elemen gerakan perempuan dan juga gerakan buruh dapat bersatu dan mengadvokasi dan mengkampanyekan hak-hak dan perlindungan PRT maka kekuatan untuk mendobrak kultur servant dan feodalisme serta eksploitasi dan kekerasan terhadap PRT dapat diupayakan dengan maksimal.
Akhir-akhir ini, PRT memang menjadi kelompok masyarakat langka karena pilihan menjdi PRT merupakan pilihan terakhir bagi perempuan yang sulit mencari pekerjaan dan berpendidikan rendah. Pilihan bekerja sebagai buruh migran lebih banyak diminati para para pencari kerja (job seekers) karena selain gaji bekerja di sana lebih tinggi, mereka juga akan lebih mempunyai pengalaman bekerja di negara lain. Ada perasaan untuk merasa lebih ”bergengsi” dan dapat meningkatkan status sosial bila dapat bekerja di sana, meski kondisinya tak lebih baik dari kolega mereka yang bekerja di dalam negeri, bahkan kadang lebih parah. Masalahnya, pandangan ”gengsi” ini juga melanda para pengambil kebijakan, khususnya bidang ketenagakerjaan dan ekonomi. PRT migran meski belum banyak kebijakan produktif untuk perlindungan mereka, satu-dua muncul perhatian pemerintah. Sayang, bukan karena kepentingan ingin melindungi warganya, perhatian itu lebih karena PRT migran dianggap punya ”gengsi” sebagai sumber devisa. Karena kepentingan ”gengsi” atas nama devisa inilah, pada PRT domestik yang dianggap tak memiliki kepentingan eknomi apa-apa, para pembuat kebijakan tutup mata-tutup telinga, erat-erat.
Proses advokasi terhadap persoalan PRT ini telah mulai diinisiasi beberapa organisasi seperti Rumpun Gema Perempuan (RGP), JARAK, Rumpun Tjoet Nyak Dien, PKPA, dll. Usaha yang mereka lakukan antara lain mengkampanyekan libur sehari dalam seminggu bagi PRT dan pembatasan jam kerja, mengupayakan kontrak kerja, sosialisasi perspektif yang menghargai status mereka sebagai pekerja dan perlindungan hak-hak mereka baik sebagai pekerja, perempuan, anak (dalam beberapa kasus), dan warga negara.
Di sisi lain, beberapa upaya bagi para PRT sendiri seperti program-program pemberdayaan sangat penting disediakan bagi mereka dan sudah mulai banyak difasilitasi beberapa lembaga. Di antaranya, termasuk, training tentang hak-hak perempuan, hak pekerja, hak anak, dan hak asasi manusia secara umum Program pengembangan keterampilan dan pengetahuan, termasuk pendidikan luar sekolah bagi PRT anak dan PRT lainnya juga sangat penting dilakukan. Pengorganisasian sebagai bagian dari konsolidasi gerakan pemenuhan dan perlindungan hak-hak PRT menjadi strategi penting yang perlu dilakukan. Tentu saja, program-program tersebut perlu dilakukan secara inovatif agar bisa disesuaikan dengan kondisi kerja mereka.
Saat ini, advokasi untuk disusunnya perundang-undangan khusus yang bisa melindungi PRT sedang dalam proses; Rancangan Undang-undang Perlindungan PRT sudah masuk Prolegnas 2010. Dengan UU ini, kita berharap negara kita memiliki sebuah payung hukum yang kuat terkait hak dan kewajiban PRT, baik dalam hubungan kerja maupun hubungan sosial lainnya. Bukan saja atas nama gerakan perempuan, tapi, lebih dari itu, atas nama kemanusiaan, kita semua perlu mengawal agar proses pembuatan UU itu bisa berjalan cepat dan lancar, dengan aturan-aturan yang benar-benar bisa melindungi hak-hak para PRT. Setelah itu, mulai dari sekarang, kita juga tidak boleh lupa untuk memikirkan proses implementasi dari perundang-undangan itu, sehingga peraturan tersebut tidak masuk angin, menjadi peraturan melempem yang tidak efektif. Semua upaya ini bisa menjadi sumbangan minimal kita bagi perjuangan pemenuhan hak-hak para PRT itu.
Ditulis oleh Diah Irawaty dan diterbitkan untuk pendidikan
No comments