Ompong Perlindungan Buruh Migran
Unknown
22:19
0
SBMI - Jakarta, Akibatnya, asuransi yang diperoleh Taufik hanya dari perusahaan tempatnya bekerja di Kaohsiung, Taiwan. Itupun asuransi dibayarkan dengan cara dicicil 3 tahap. Tahap pertama, Taufik menerima 300 new dollar Taiwan (NT). Pada tahap selanjutnya, dia menerima masing-masing NT 90 ribu dan NT 300 ribu.
SBMI - Jakarta, Persoalan penempatan buruh migran, salah satunya terkait kewajiban memiliki kartu tenaga kerja luar negeri. Kartu “sakti” yang dikeluarkan BNP2TKI ini menjadi syarat utama bagi calon pekerja ke luar negeri.
Tanpa kartu tenaga kerja luar negeri, buruh migran dapat dianggap ilegal dan jika terkena masalah tidak mendapat perlindungan haknya.
Namun penerbitan kartu tenaga kerja luar negeri menjadi lubang baru praktik suap pegawai Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Padahal, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI mengklaim penerbitan kartu ini bebas biaya.
Sulami salah satu contoh buruh migran yang kehilangan haknya karena tidak memiliki kartu tenaga kerja luar negeri. Sulami yang berangkat ke Arab Saudi tahun 2006, mendadak dipulangkan ke kampungnya di Desa Bandarejo, Dagangan, Kabupaten Madiun, 1 Oktober 2012. Perempuan berusia 31 tahun ini pulang dalam kondisi linglung.
Pangkuh Rubiono, Kepala Direktorat Sosialisasi dan Kelembagaan Deputi Penempatan BNP2TKI, menyalahkan Sulami yang berangkat ke Arab Saudi tanpa dibekali kartu tenaga kerja luar negeri.
BNP2TKI tidak mengupayakan apa-apa saat Sulami dipulangkan tanpa membawa sepeser uang hasil 6 tahun bekerja di Arab Saudi. “Seharusnya dia pulang dulu untuk mengurus KTKLN,” kata Pangkuh.
Tapi ada kasus lain yang menunjukkan bahwa kartu tenaga kerja luar negeri ternyata tidak cukup sakti menjadi alat penyelesaian kasus buruh migran. Taufik, buruh migran asal Kediri tetap tidak mendapat uang klaim asuransi meski sudah mengantongi kartu tenaga kerja.
Kaki kanan Taufik diamputasi hingga lutut karena kecelakaan saat bekerja di kapal penangkap ikan di Taiwan. Klaim asuransinya hangus karena terlambat melapor ke UPT Pelayanan Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Jawa Timur dan BNP2TKI.
Menurut aturan UPT Pelayanan Penempatan TKI, asuransi akan dibayarkan jika buruh migran melapor maksimal 3 bulan setelah kecelakaan. Taufik mengalami kecelakaan kerja Oktober 2011 dan seharusnya sudah melapor paling lambat Januari 2012.
Taufik terlambat melapor karena mengaku tidak mengetahui ada batasan waktu melaporkan klaim asuransi.
Taufik terpaksa mengeluarkan uang sendiri untuk berobat jalan di RS Baptis Kediri. Dia sedikit terbantu karena mendapat bantuan kaki palsu dan kursi roda.
Revisi UU Perlindungan dan Penempatan TKI
Komisi IX DPR berencana merevisi UU Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dengan UU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri. Aturan ini ditargetkan selesai akhir 2012.
Anggota Dewan, Rieke Dyah Pitaloka mengatakan UU tersebut mengatur perlindungan dan jaminan keselamatan buruh migran. Dia mendesak pemerintah membuat daftar inventarisasi masalah yang mengacu pada Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya.
“Kami mengajak semua pihak termasuk masyarakat sipil untuk mengawal pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri. Tujuannya agar rancangan undang-undang tersebut selesai dan disahkan pada akhir tahun ini,” kata Rieke.
Migrant Care mengkritik perkembangan pembahasan revisi UU Penempatan dan Perlindungan TKI. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, tidak banyak perubahan dalam draft RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri.
Menurut Anis, draft UU yang baru hanya mengubah beberapa istilah tanpa mempengaruhi substansi. Peran perusahaan jasa pengiriman TKI misalnya masih dipertahankan.
Migrant Care mendesak pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri melibatkan pansus besar Komisi I, III, IX dan VIII. “Harus dipastikan bahwa anggota pansus bebas dari kepentingan bisnis penempatan TKI,” ujar Anis Hidayah.
Revisi undang-undang juga harus mencerminkan isi Konvensi Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Pemerintah dituntut berani mereformasi kebijakan penempatan dan perlindungan buruh migran sesuai standar hak asasi manusia.
Langkah yang harus segera dilakukan adalah meratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, serta Konvensi ILO 189 tahun 2011 tentang Kerja Layak untuk Pekerja Rumah Tangga. (VHRmedia)
No comments