sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

HOME » » » Stop Perbudakan! Kami Pekerja, Bukan Budak!


Unknown 22:44 0

Situasi BMI di luar negeri

KORAN MIGRAN, JAKARTA - Rentetan kasus terus saja terjadi di bumi pertiwi ini, tak terhentikan dan terkesan dibiarkan. Praktek perbudakan modern yang terjadi terhadap hampir semua buruh bahkan melegalkan politik buruh murah ke luar negeri adalah kebijakan frustasi rezim di negeri calo ini. Telah terjadi praktek penjualan manusia (Trafficking) secara besar-besaran (baca: massal) dan terus ditingkatkan jumlahnya hingga sekitar 8 juta penduduk Indonesia yang dipaksa bermigrasi keluar dari desa-desanya.

Dengan terus ditemukannya fakta-fakta penyekapan ratusan BMI yang akan dipekerjakan sebagai Buruh Migran Indonesia (BMI) untuk sektor domestik sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) dengan negara tujuan Timur Tengah menjadi alasan yang cukup kuat untuk tetap menuntup wilayah ini. Alasannya, ratusan korban terus berjatuhan dan tidak tertanggulangi. Bentuk penindasan dan kejahatan yang dialami BMI sangat buruk inilah yang menjadi alasan SBMI untuk tetap merekomendasikan agar wilayah Timur Tengah harus dimoratorium sebagai negara tujuan penempatan.

SBMI menemukan setiap tahun sedikitnya 5.000 BMI ditangkap tanpa alasan yang jelas, dipenjara lalu dideportasi tanpa mendapat kejelasan status bahkan barang-barang kami disita tanpa surat sita lalu dibuang ke perbatasan negeri kami sendiri. Alasan tidak berdokumen serta over stay menjadi modus umum yang dituduhkan ke kami BMI, sementara ancaman hukuman mati menjadi masalah yang sangat mengerikan yang harus kami hadapi. Belum lagi kasus-kasus pelecehan yang disasarkan kepada kami saat bekerja. SBMI mencatat beberapa BMI dibunuh dengan ditembak secara sewenang-wenang oleh aparat keamanan di Malaysia. Pemalsuan dokumen serta mangsa yang masih anak adalah modus jitu para calo tengik yang memperjual-belikan kami di luar negeri.

Rentetan dari kasus-kasus yang kami paparkan di atas ternyata tidak membuat bangsa ini tersinggung martabatnya. Kejahatan kemanusiaan hingga di luar batas-batas prikemanusiaan terus saja diabaikan oleh negara. Di Sumbawa, Makasar, Medan, Lampung, Banjarnegara dan banyak kota besar lainnya, SBMI menemukan serangan para calo yang terus masuk ke sekolah-sekolah mencari mangsa calon BMI dengan modus magang kerja serta janji dan impian praktek kerja di perusahaan perhotelan dan restoran mewah yang berujung pada penipuan dan eksploitasi.

SBMI dengan keterbatasannya terus berjuang menyelamatkan anggotanya yang dieksploitasi sejak di penampungan PJTKI. Cukup banyak yang diselamatkan sebelum diberangkatkan tapi begitu banyak BMI yang menjadi korban tidak mampu melawan. Diam karena ketidaktahuan, ketakutan dan pasrah adalah kondisi dari hampir kebanyakan dari kami BMI sebelum dikirim ke berbagai negara penempatan. 

Praktik yang menciptakan generasi budak memang terbuka untuk terus terjadi. Sejak lama, UU 39 tahun 2004 dijadikan syarat melegalkan kebijakan pengiriman massal BMI tentu saja dengan point minus perlindungan dalam pasal-pasalnya. Tragisnya Organisasi Buruh Internasional (ILO) bahkan menyebutkan Pekerja Rumah Tangga masuk dalam katagori sektor non formal disisi lain kontradiktif dengan pentingnya Ratifikasi C189 guna menekankan soal "kerja Layak PRT" sebagai upaya perlindungan secara menyeluruh bagi BMI yang katanya adalah Pahlawan Devisa.

Majikan yang mempekerjakan kami para BMI tergolong ”pemberi kerja”, bukan badan usaha, bukan pula ”pengusaha”, sehingga para PRT dipersulit bahkan dikriminalisasi (baca: dipenjara) bila menuntut perlindungan yang mengacu pada posisi sebagai pekerja. Bahkan  karena menuntut akhirnya mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Pola hubungan kerja yang diperbudak ini (menjadi korban sistem kerja kontrak dan outsourching dari agen dan PJTKI/PPTKIS) bila terjadi masalah dalam hubungan kerja dengan majikan. Seharusnya teriakan atas evaluasi kami, pihak swasta ini disingkirkan dari hubungan kerja kami BMI dan harus diambil alih oleh negara.

Lemahnya sistem pengawasan mulai dari tingkatan terendah yakni desa lalu ke kabupaten/kota hingga pusat terhadap PPTKIS adalah hal lain yang tak kalah pentingnya menurut kami ikut menjaga kenyamanan pelaksanaan kebijakan negara ini. Ratusan kantor Imigrasi yang menerbitkan Paspor/Visa bagi kami terus saja berpesta pora karena order job paspor dan visa yang terus meningkat dari tahun ke tahun tapi berkilah ketika diminta data anggota organisasi kami yang tidak tahu rimbanya. 

Kami hingga saat ini masih terus dipanggil "pembantu" dan identik dengan ”pelayan/budak” terutama di Timteng karena mereka merasa sudah membeli kami. Inilah alasan utama mengapa para majikan kami di semua wilayah jazirah arab ini menganggap kami ”BUDAK”. Mereka tidak akan kena sanksi sebagai pelanggar HAM (hak asasi manusia) dan bisa seenaknya mengabaikan hak-hak kami lainnya sebagai pekerja/buruh, misalnya tidak mendapat libur, hak cuti, tidak dibayar gajinya, upah dipotong, tidak dibuatkan dalam jaminan sosial, melanggar masa kontrak dan kemudian menyalahkan BMI bila ketahuan melanggar waktu kontrak yang disepakati.

Hebatnya, wakil negara yang duduk bekerja di Kedutaan atau Konjen di negara penempatan terkesan acuh terhadap kami bahkan ikut mengeruk keuntungan bermain mata dengan calo-calo di negara penempatan. Perwakilan negara di negara penempatan sungguh tidak bisa berbuat apa-apa konon untuk mengawasi para calo/agensi dan majikan kami yang jahat dan rakus itu. Seharusnya mereka bisa menjemput kami ketika dihubungi, malah kawan kami yang di penjara di salah satu negara Timur Tengah itu setelah vonis masa tahanannya habis tidak dijemput oleh atase negara kami yang tercinta Indonesia. Kami seperti orang yang tidak punya negara (unless state). Gelandangan dunia!

Buruh Migran merupakan fenomena pelik yang membutuhkan respons kebijakan komprehensif dan tanggung jawab penuh dari negara pengirim dan penerima. Sangat tidak adil, negara yang sudah menugaskan kami menjalankan kebijakannya sebagai duta penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, terus bekerja keras tanpa perlindungan dengan menanggung nama TKI di pundak kami juga dipundak anggota keluarga kami dan organisasi kami Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).. 

Sebagai bangsa dan negara yang beradab dan bermartabat, sudah selayaknya negara pengirim dan penerima memposisikan kami BMI sebagai pilar utama dalam pembangunan ekonomi negara mengingat berapa cadangan devisa dan remmitance yang telah kami sumbangkan untuk kesejahteraan negara dan perputaran ekonomi di tanah pertiwi ini. Namun di satu sisi bila kita melihat perlindungan terhadap kami sangat memprihatinkan sebagai pahlawan yang bermartabat.

Deklarasi Perlindungan Pekerja Migran ASEAN (Yang Mengecewakan)
Kami sempat sedikit berharap ketika ASEAN berhasil merumuskan ASEAN Declaration on The Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers. Deklarasi ditandatangani oleh 10 kepala negara dalam KTT ASEAN di Cebu, Filipina, Januari 2007. 

Dokumen ini yang lahir lebih dahulu dari ASEAN Charter (Piagam ASEAN) memandatkan adanya instrumen yang lebih operasional bagi perlindungan buruh migran yang bekerja di kawasan ASEAN. Namun, hingga tahun keempat setelah dokumen dilahirkan, tak pernah ada kemajuan berarti dari proses pembahasan instrumen buruh migran ASEAN yang dilakukan oleh ASEAN Committee on Migrant Workers. Dalam setiap putaran pembahasan, negara-negara penerima (terutama Malaysia dan Singapura) menyabotase mandat deklarasi dan selalu menghambat langkah yang lebih maju.

Dalam konteks Indonesia, pidato SBY juga mencerminkan keengganan rezim penguasa mengakui kontribusi buruh migran Indonesia. Bukannya memperjuangkan perlindungan buruh migran Indonesia dalam ASEAN Summit, Presiden SBY justru ikut serta menstigma Buruh Migran sebagai sumber masalah politik, sosial dan keamanan di ASEAN. Bajingan betul ya!

Dalam cita-cita membangun Komunitas ASEAN tahun 2015 dengan prinsip Satu Visi, Satu Identitas, dan Satu Komunitas. Prinsip ini mensyaratkan adanya ownership (rasa memiliki) dan inklusivitas (pelibatan seluruh elemen komunitas) yang mustahil terwujud jika tidak ada pengakuan terhadap kontribusi buruh migran di ASEAN. 

Namun, hingga ASEAN Summit ditutup pada 8 Mei 2011 tidak ada rekomendasi konkret untuk mengupayakan perlindungan hak-hak buruh migran ini di ASEAN. Itu terbukti bahwa hak pekerja dan perlindungan bagi BMI masih diabaikan apalagi bila ditelisik dalam UU 39 tahun 2004 tidak ada pasal yang menekankan pentingnya perlindungan bagi BMI. Jadi sangat mengecewakan sekali ya perjanjian ASEAN itu. Begitu menjijikkan karena berlindung di balik kata-kata hebat tentang rasa memiliki dan partisipasi semua pihak.


Dan sungguh mengecewakan lagi (dan membuat kami dendam dan marah besar) ketika terendus kabar bahwa moratorium ke Arab Saudi sudah dibuka kembali bahkan beberapa perjanjian MOU tentang perlindungan BMI sudah disepakati pula. Semua orang tahu bahkan dunia tahu kami terus diperbudak di negara-negara minyak itu. Lihatlah berapa puluh orang lagi BMI yang tersiksa dan terancam kepalanya dipancung. Bahkan ratusan kawan kami yang masih di penjara hanya bisa diam karena tidak tahu lagi memohon pada siapa kecuali pada Tuhan. Mereka tidak diam karena kami yakin dan percaya itu. Justeru pemerintah kaki tangan pemodal yang menguasai negeri ini terus mengilusi kami dengan janji-janji. Menyesatkan dan menggali lubang kubur kematian untuk kami rakyatnya sendiri. Pemerintah yang lemah mentalnya hingga kini tak punya posisi tawar yang kuat dan bermartabat di mata pemodal dan penguasa negeri-negeri kapitalis yang rakus itu. Mereka hanya bisa terus mengorbankan kami rakyat pekerjanya. (nelli)

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments

Leave a Reply

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.