Anak TKI di Kediri Rentan Dikriminalisasi
Unknown
11:20
0
SBMI, Kediri – Perlindungan terhadap anak-anak di wilayah Karesidenan Kediri sangat minim. Anak, sebagai generasi penerus Bangsa rentan dikriminalisasikan. Sementara kemajuan teknologi dan kurangnya perhatian orang tua menjadi faktor utama kejahatan anak.
"Kemajuan teknologi memiliki efek positif dan negatif. Anak-anak menjadi semakin bebas, dan itu malah adalah sumber masalah. Pornografi dan pergaulan bebas diantara mereka. Ini bisa diketahui dari trend peningkatan kasus-kasus anak semakin hari, semakin tahun terus meningkat," ujar Yusril Yuska, Kepala Bapas Kediri, Jumat (25/01/2013).
Yuska menyebut, setiap hari terjadi satu kasus anak. Ini terlihat dari data Bapas bahwa, selama satu tahun 2012 lalu terjadi 360 kasus anak. Terdiri dari, 336 jumlah pelaku dan 276 korban kejahatan terhadap anak. Sementara hingga pertengahan bulan Januari ini sudah tercatat 20 an kasus anak. Kasus anak didominasi oleh, penyalahgunaan narkoba, kekerasan seksual dan pencurian.
"Memang faktor orang tua menjadi peranan penting dalam kasus anak. Ketika anak libur seolah, kasus anak meningkat. Daerah-derah yang menjadi kantong Tenaga Kerja Indonesia (TKI), orang tua mereka sibuk jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), itu disebabkan karena kurangnya perhatian dari orang tua. Di Jawa Timur ini banyak sekali kantong-kantong TKI," terang Yuska.
Indonesia sebenarnya sudah melakukan upaya perlindungan terhadap anak dengan mengkonvensi Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Ketentuan tersebut antara lain memberikan perlindungan terhadap anak yaitu, hak mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasa, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Sehingga, tindakan penahanan merupakan upaya terakhir, hak mendapatkan bantuan hukum, hak untuk tidak dihukum mati, serta hukuman seumur hidup. Kemudian Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, sebagai pengganti Undang-undang No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Kata Yuska, Undang-undang tersebut merupakan salah satu wujud bentuk restorative justice (keadilan restoratif) sebagai, perwujudkan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan mengedepankan diversi untuk tidak melakukan penahanan.
"Di lapangan jelas, malah justru semangat restoratif. Jika, unsur-unsurnya terpenuhi. Maka, inilah yang menyetujui agar anak yang terlibat pidana dibina dan tidak sampai di bawah ke pengadilan. Dalam menuju proses ini, masing-masing penegak hukum harus siap, ada hakim anak, dan pendampingan terhadap anak," terangnya.
Terpisah, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) SUAR Sanusi mengatakan, selain anak-anak, perempuan juga rentan dikriminalisasikan. Banyak persoalan perempuan, sehingga kaum ini juga perlu mendapatkan perlindungan khusus.
"Kami berharap ada kebijakan khusus yang berbasic anak dan perempuan. Ada kebijakan di DPRD sehingga melahirkan aturan yang bisa melindungi mereka. Sebenarnya, tahun lalu sudah ada Peraturan Daerah (Perda) Anak Jalanan (Anjal) di Kota Kediri. Kami berharap ada perda perlindungan perempuan," ungkap Sanusi. (beritajatim)
"Kemajuan teknologi memiliki efek positif dan negatif. Anak-anak menjadi semakin bebas, dan itu malah adalah sumber masalah. Pornografi dan pergaulan bebas diantara mereka. Ini bisa diketahui dari trend peningkatan kasus-kasus anak semakin hari, semakin tahun terus meningkat," ujar Yusril Yuska, Kepala Bapas Kediri, Jumat (25/01/2013).
Yuska menyebut, setiap hari terjadi satu kasus anak. Ini terlihat dari data Bapas bahwa, selama satu tahun 2012 lalu terjadi 360 kasus anak. Terdiri dari, 336 jumlah pelaku dan 276 korban kejahatan terhadap anak. Sementara hingga pertengahan bulan Januari ini sudah tercatat 20 an kasus anak. Kasus anak didominasi oleh, penyalahgunaan narkoba, kekerasan seksual dan pencurian.
"Memang faktor orang tua menjadi peranan penting dalam kasus anak. Ketika anak libur seolah, kasus anak meningkat. Daerah-derah yang menjadi kantong Tenaga Kerja Indonesia (TKI), orang tua mereka sibuk jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), itu disebabkan karena kurangnya perhatian dari orang tua. Di Jawa Timur ini banyak sekali kantong-kantong TKI," terang Yuska.
Indonesia sebenarnya sudah melakukan upaya perlindungan terhadap anak dengan mengkonvensi Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Ketentuan tersebut antara lain memberikan perlindungan terhadap anak yaitu, hak mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasa, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Sehingga, tindakan penahanan merupakan upaya terakhir, hak mendapatkan bantuan hukum, hak untuk tidak dihukum mati, serta hukuman seumur hidup. Kemudian Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, sebagai pengganti Undang-undang No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Kata Yuska, Undang-undang tersebut merupakan salah satu wujud bentuk restorative justice (keadilan restoratif) sebagai, perwujudkan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan mengedepankan diversi untuk tidak melakukan penahanan.
"Di lapangan jelas, malah justru semangat restoratif. Jika, unsur-unsurnya terpenuhi. Maka, inilah yang menyetujui agar anak yang terlibat pidana dibina dan tidak sampai di bawah ke pengadilan. Dalam menuju proses ini, masing-masing penegak hukum harus siap, ada hakim anak, dan pendampingan terhadap anak," terangnya.
Terpisah, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) SUAR Sanusi mengatakan, selain anak-anak, perempuan juga rentan dikriminalisasikan. Banyak persoalan perempuan, sehingga kaum ini juga perlu mendapatkan perlindungan khusus.
"Kami berharap ada kebijakan khusus yang berbasic anak dan perempuan. Ada kebijakan di DPRD sehingga melahirkan aturan yang bisa melindungi mereka. Sebenarnya, tahun lalu sudah ada Peraturan Daerah (Perda) Anak Jalanan (Anjal) di Kota Kediri. Kami berharap ada perda perlindungan perempuan," ungkap Sanusi. (beritajatim)
No comments