Jaminan Sosial dan Posisi Konstitusi UUD 1945[1]
Unknown
17:00
0
SBMI, OPINI - Filosofi jaminan sosial termasuk didalamnya jaminan kesehatan sebagaimana yang termaktub dalam UU no 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berakar pada sistem kapitalisme, karena jaminan sosial diterjemahkan sebagai strategi penyediaan cadangan dana mengatasi resiko ekonomi yang timbul secara sistemik dalam siklus ekonomi kapitalisme (krisis).
Sejarah pembentukan sistem jaminan sosial termasuk jaminan kesehatan yang mengacu pada kaidah internasional dimasukkan dalam hukum nasional melalui Amandemen terhadap UUD 1945, dengan memasukkan kata jaminan sosial sebagai metode yang harus dikembangkan oleh negara pasca krisis ekonomi Indonesia 1998. Proses pembentukan jaminan sosial ini memperoleh dukungan dari IMF, World Bank dan Asian Development Bank, serta dukungan technical assisten dari berbagai organisasi internasional.
Sistem jaminan sosial dalam kaidah internasional ini menganut metode bantuan sosial dan asuransi sosial. Metode yang dipilih oleh Indonesia adalah metode asuransi sosial dengan sistem kepesertaan wajib dan kontribusi peserta sebagai pondasi dasar jaminan sosial. Dengan demikian dalam sistem ini rakyat wajib membayar untuk memperoleh jaminan sosial.
Modus pengumpulan dana masyarakat termaktub dalam UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yakni pasal 17, 20, 36,40,44, UU SJSN. Pasal 20 ayat 1 menyatakan Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Pasal 36 menyatakan Peserta jaminan hari tua adalah peserta yang telah membayar iuran.Selanjutnya Pasal 40 menyatakan Peserta jaminan pensiun adalah pekerja yang telah membayar iuran.Dan Pasal 44 menyatakan Peserta jaminan kematian adalah setiap orang yang telah membayar iuran.Penekanan kepada aspek dimana masyarakat wajib membayar menunjukkan tujuan dari pengadaan jaminan sosial adalah dalam rangka melakukan mobilisasi dana masyarakat.
Bahkan besarnya dana yang harus dibayar oleh masyarakat ditentukan melalui pertimbangan bisnis sebagaimana disebutkan dalam (pasal 24 ayat 1) terkait dengan iuran kesehatan. Besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah tersebut. Selain terdapat modus pengumpulan dana tambahan melalui pembayaran tambahan untuk jenis jaminan sosial tertentu seperti iur tanggung untuk pelayanan kesehatan dan untuk jenis-jenis pelayanan tertentu atau kecelakaan tertentu, pemberi kerja dikenakan urun biaya. (pasal 31 ayat 3).
Dalam pengalaman Indonesia, pelaksanaan program jaminan sosial nasional melalui asuransi sosial telah dilaksanakan sejak jaman orde baru terbatas pada sektor masyarakat tertentu, seperti buruh, PNS, TNI – Polri. Asuransi sosial tersebut dilaksanakan melalui BUMN jaminan sosial yang beroperasi secara sektoral. Sistem ini tidak sepenuhnya dapat mengatasi masalah – masalah pokok yang dihadapi oleh rakyat Indonesia.
Sistem jaminan sosial dengan konsep bantuan sosial diselenggarakan oleh pemerintah pusat dalam berbagai skema seperti BLT, Jamkesmas, Jampersal untuk masyarakat miskin. Namun sistem ini belum dapat diakses oleh seluruh masyarakat miskin yang jumlahnya sangat besar di Indonesia dikarenakan alokasi anggaran APBN yang masih cukup rendah dan sistem ini tidak dipayungi oleh peraturan perundangan yang jelas.
Selain itu sistem asuransi sosial juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah, sejalan dengan era otonomi daerah sebagaimana kewenangan yang diberikan oleh UU SJSN dan UU otonomi daerah. Sistem pelaksanaan jaminan sosial masih menganut asas kepesertaan, meskipun kepesertaan rakyat miskin dalam jaminan sosial daerah seperti jaminan kesehatan daerah dibayarkan melalui APBD. Sama halnya dengan program pemerintah pusat, jaminan kesehatan daerah belum dapat menjangkau seluruh rakyat miskin dikarenakan rendahnya APBD yang dialokasikan untuk tujuan tersebut dan dasar pelaksanaannya yang belum diatur melalui UU dan peraturan yang cukup jelas dan terintegrasi pada tingkat nasional. Sehingga seringkali dalam pelaksanaannya masih terdapat kerancuan dalam mekanisme pengaturan antara jaminan sosial nasional daerah dengan daerah dan jaminan sosial antara daerah yang satu dan daerah lainnya.
Meskipun demikian konsep jaminan sosial dengan sumber anggaran yang berasal dari APBN dan APBD yang dialokasikan bagi pelayanan kesehatan masyarakat miskin dengan konsep premi yang dibayarkan pemerintah dan pelayanan secara menyeluruh untuk segala jenis penyakit tanpa co-sharing dari masyarakat miskin memberi manfaat yang besar dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan di daerah. Hal ini dibuktikan dari jumlah masyarakat miskin yang menggunakan jaminan jamkesmas dan jamkesda semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Jaminan Sosial Konstitusional
Dalam UUD 1945 yang asli kata jaminan sosial tidak dikenal, akan tetapi prinsip-prinsip yang berkaitan dengan tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan kepada rakyatnya disebutkan dengan sangat jelas dalam pasal-pasal UUD 1945 sebelum amandemen.
Pasal-pasal tentang tanggung jawab negara terhadap rakyat terdapat dalam pasal 34 ayat tentang (1)Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Pasal Pasal 31 (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, Pasal 27 ayat (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat.
Dengan mengacu pada pasal tersebut maka haram bagi negara untuk memungut iuran dari rakyat untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial. Seluruh anggaran harus bersumber dari pajak, penerimaan sumber daya alam, pendapatan BUMN dan sumber-sumber lain yang konstitusional.
Selain itu badan hukum penyelenggaraan tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya secara tegas disebutkan dalam Pasal 33 UUD 1945 pasal (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Pasal (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dan pasal (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan pasal tersebut maka sistem jaminan sosial sama sekali tidak boleh berorientasi mengejar keuntungan dan penyelenggaraan jaminan sosial harus dilakukan oleh negara karena merupakan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Sedangkan pasca amandemen UUD 1945 kata jaminan sosial diatur secara khusus dan tumpang tindih pasal UUD 1945 yang asli. Dalam UU hasil amandemen yakni pasal 28H ayat (1) dikatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya ayat 3 yang menyatakan setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Peran negara dalam jaminan sosial diatur dalam Pasal 34 ayat 2 yang menyatakan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Selanjutnya pasal ini diterjemahkan dalam pasal UU SJSN dan UU BPJS sebagai asuransi sosial yang membalikkan tanggung jawab negara dalam menjamin terpenuhinya hak-hak sosial ekonomi dan budaya rakyat, menjadi kewajiban rakyat dalam membiayai negara dan pemilik modal besar.
Bukti utama bahwa sistem jaminan sosial nasional adalah kegiatan privatisasi dan komesialisasi adalah termaktub dalam UU SJSN Pasal 7 ayat 3 poin (b) dimana salah satu tugas Dewan Jaminan Sosial adalah mengusulkan kebijakan investasi Dana Jaminan Sosial Nasional. Meski dalam Pasal 47 ayat 1dikatakan Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai, namun pasal ini memberikan mandat secara penuh kepada BPJS untuk menentukannya kebijakan investasi.
Dalam UU BPJS, hak dan kewajiban badan penyelenggara jaminan sosial diatur secara lebih spesifik dalam hal memungut iuran, mengelola iuran dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang tidak membayar iuran. UU BPJS juga mengatur kewenangan BPJS dalam mengalokasikan dana untuk tujuan investasi pada berbagai sektor ekonomi dan melakukan pemidahan aset BPJS.
Didalam pasal 41 ayat 2 poin (d) tentang aset BPJS disebutkan bahwa aset BPJS dapat digunakan untuk investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan perundang-undangan. Selanjutnya pasal 43 ayat (2) poin c tentang aset dana jaminan sosial dikatakan bahwa aset dana jaminan sosial digunakan untuk investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perlu diketahui bahwa UU investasi baik penanaman modal langsung maupun penanaman modal tidak langsung di Indonesia sangat neoliberal khususnya dalam sektor keuangan.
Kesimpulan
Dengan demikian UU SJSN maupun UU BPJS bukan merupakan suatu bentuk pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap rakyat, khususnya rakyat miskin sebagai mana yang diamatkan oleh Proklamasi, Pancasila, Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945. UU SJSN merupakan peniruan terhadap mekanisme penyelenggaraan jaminan sosial di Eropa dan Amerika Serikat yang saat ini tengah bermasalah dan terancam bangkrut.
UU SJSN dan UU BPJS merupakan suatu pembalikan tanggaung jawab negara menjadi kewajiban rakyat. Mekanisme asuransi sosial semacam ini adalah mekanisme ekonomi untuk membiayai kehidupan segelintir orang kaya, pemilik modal besar, pelaku pasar keuangan, oleh mayoritas rakyat Indonesia. Krisis Eropa dan AS menggambarkan bahwa utang negara kepada dana jaminan sosial justru digunakan untuk bailout perusahaan-perusahaan keuangan.
Dengan demikian UU SJSN dan RUU BPJS merupakan bentuk komersialisasi jaminan sosial yang bertentangan dengan semangat konstitusi Indonesia. Sistem jaminan sosial semacam ini akan menyebabkan rakyat Indonesia khususnya masyarakat miskin akan semakin jauh dari akses terhadap kebutuhan dasar pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Ditulis Oleh Salamuddin Daeng (IGJ)
No comments