Wawancara Nuraini: "8 Bulan Disiksa! Hampir 10 Tahun Tak Digaji"
Unknown
09:43
0
![]() |
Wawancara dengan nuraini |
KORANMIGRAN, JAKARTA – Sembari memandangi langit Jakarta yang kotor, perempuan itu duduk termenung di kursi rodanya, di pelataran Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Namanya Nuraini, 32 tahun. Namun, dari wajahnya, nampak umur yang jauh lebih tua, (mungkin) karena beban hidup yang berat dan kepedihan yang dalam.
10 tahun ia menjadi TKI di negeri penghasil minyak dunia, Kuwait. Namun,
hanya 1 bulan dibayar. Dan delapan bulan disiksa oleh majikannya yang
ketiga.
Nuraini datang ke Jakarta bersama kedua orang tuanya dari Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat.
Ramches, aktivis Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), mendampingi
mereka selama di Jakarta. Ia, mencarikan bantuan untuk kursi roda,
tempat tinggal, advokasi hukum serta kampanye untuk kasus Nuraini.
Ramches memperkenalkan aku pada Nuraini. Lalu, kami masuk ke lantai
dasar Gedung YLBHI. Aku menyulut rokokku, sembari bertanya: “Mbak, boleh
wawancara?”
″Boleh″sahutnya.
″Mbak, bagaimana ceritanya selama jadi TKI di Kuwait?″
Dia mulai menuturkan.
″Saya
pergi ke Kuwait untuk jadi TKI, Pak. Saya mau bantu orang tua saya.
Umur saya 22 tahun waktu itu. Saya berangkat lewat PT. Al-Pindo Mas
Buana. 24 Desember 2003, tepatnya, saya berangkat ke Kuwait. Mereka
menjanjikan 35 Dinar (berkisar Rp. 1,5 Juta) untuk gaji tiap bulannya.
PT. Al-pindo Mas Buana, menempatkan saya di kota Sahra, Kuwait. Majikan
pertama saya bernama Naser. Satu tahun saya kerja sama Tuan Naser ini.
Tapi hanya bulan pertama saya diberikan gaji. Setelah itu tak pernah
lagi.″
″Apa kerja tuan Naser? Ada anak dan istri?″, potongku.
″Enggak ada anak dan istri. Dan dia sepertinya tidak ada kerjaan.″
″Lalu setelah Tuan Naser ini kemana?″
″Terus,
saya dipekerjakan di rumah Tuan Sanian Sulaiman. Dia punya istri dan 2
orang anak. Tapi saya hanya satu bulan kerja dirumahnya. Dan itu pun
tidak dibayar. Lalu saya pindah ke Majikan ketiga. Majikan ketiga ini
saudara dari Tuan Sanian Sulaiman. Sulaiman Sanian, namanya. Ia seorang
polisi. Istrinya bernama Fatimah. Mereka punya 3 orang anak.″
9 tahun saya kerja sama keluarga Sulaiman Sanian sebagai pembantu rumah
tangga atau mengurus anak-anaknya. Saya dapat ruangan untuk tidur,
tetapi sempit dan sekaligus untuk gudang rumah mereka. Kalau makan
bareng-bareng. Tapi saya tidak pernah dibelikan baju dan sabun mandi.
Uang untuk beli peralatan mandi saya minta sama teman-teman pembantu
lainnya. Sebelum saya, mereka pernah punya pembantu, juga orang
Indonesia, dari Jawa. Tetapi kabur, entah kenapa. Anak perempuannya yang
cerita sama saya.”
Sembari mendengarkan, aku melihat pada kedua kakinya. Banyak bekas luka.
Jari manis kaki kirinya tak normal, bengkok. Kedua kaki itu kurus,
seperti lumpuh. Dan kulitnya gelap, tak segar.
″ini kenapa? Bagaimana ceritanya kok sampai seperti ini?″
Air matanya mulai menetes. Ujung kain jilbabnya ia gunakan untuk menyeka air matanya. Bapak dan Ibunya lekas berkata.
″Yang kuat, tidak usah menangis. Yang kuat.″
″Saya
di siksa, Pak. 8 bulan di siksa. Pelakunya majikan perempuan. Ibu
Fatma. Kaki saya di ikat pakai tali nilon. Saya tak punya daya untuk
melepasnya. Saya disekap di kamar “gudang” tempat saya tidur. Saya sudah
teriak-teriak tapi tidak ada yang menolong. Di rumah hanya saya dan Ibu
Fatma. Majikan laki-laki pergi ke kampungnya. Ketiga anaknya pergi ke
tempat nenek mereka. Paha kanan kiri saya di tusuk pakai besi. Setiap
kali saya teriak mulut saya dipukul sampai 2 gigi saya rusak. Atau
kadang saya dicambuk. Makan 2-3 hari sekali. Cuma makan mie. Itu pun Bu
Fatma melempar makanan pada saya sembari teriak. ″Hei
Anjing, makan nich!”. Saya gak bisa kemana-mana. Makan di situ. Tidur
di situ. Beol dan kencing pun di tempat itu. 8 bulan Pak! Akhirnya kaki
saya nempel ke paha. Enggak bisa gerak. Kaku.″
″Awal mulanya Ibu Fatma jadi kejam begitu, kenapa?″
″Gara-gara
saya minta gaji saya. 9 tahun saya hanya disuruh menandatangi kuitansi
pembayaran gaji, tapi saya gak pernah nerima gaji saya. Mereka bilang
sudah dikirim. Tapi enggak jelas dikirim kemana.″
″Terus bagaimana bisa lepas dari penyiksaan dan penyekapan Ibu Fatma?″
″Suatu
malam, di bulan kedelapan. Ibu Fatma masuk kamar. Dia bilang, “jangan
berisik! Kamu tidur saja” sembari menutupi kaki saya yang diikat itu
dengan selimut. Gak lama, dua orang datang ke kamar. Dua orang pakai
seragam polisi. Satu lagi baju biasa. Saya gak kenal siapa mereka. Tapi
mereka sebut nama saya. Saya disuruh bangun. Saya bilang gak bisa kaki
saya diikat. Saya gak punya tenaga untuk bangun. Lalu selimut saya
mereka buka. Mereka lihat kaki saya diikat. Dan saya diangkat keluar dan
dibawa ke rumah sakit pakai ambulans. Saya gak lihat Ibu Fatma lagi di
rumah itu sebelum berangkat ke RS. Lalu saya dibawa ke RS Perwania.
Empat bulan saya di Rumah Sakit itu. Gak dikasih obat. Hanya makan dan
infus saja. Bulan ke empat saya disuruh pulang. Tapi kaki saya sudah
lumpuh. Saya gak bisa jalan. Dan kedua kaki saya masih nempel ke paha.
Direktur rumah sakit Perwania berkata, “RS ini bukan rumahmu. Kamu harus
pergi!″
″Saat
itu bulan Februari 2014. Datang dua orang menjemput saya di RS. 1 orang
Jawa dan Filipina. Saya di bawa keluar rumah sakit. Ke airport. Saya
dibawa ke Bandara Soekarno Hatta. Tapi 2 orang itu kembali lagi ke
Kuwait. Saya di titipkan ke Petugas BNP2TKI. Lalu dibawa ke RS Polri.
Cuma 1 hari di situ karena saya ingin pulang ke Sumbawa, ketemu Bapak
dan Ibu. Saya boleh keluar tapi petugas meminta agar saya menandatangani
surat agar tidak melakukan penuntutan. Tiga orang teman saya sesama TKI
dari Arab menjemput saya dan membawa saya pulang ke Sumbawa Besar.″
Saya diam. Diam karena pikiran dan hati saya sebagai pewawancara dilanda kegusaran yang dalam. Nuraini pun diam. Sesekali dia mengusap air matanya dengan ujung jilbab tuanya itu. Badannya kurus kering. Kadang ia garuk kedua kakinya itu dengan sepotong kecil kayu bambu. Gatal katanya.
Bapaknya memecah kebisuan.
″Sekarang
sudah bisa renggang kakinya, Pak. Dulu kaki sama paha, nempel. Sudah
bisa renggang, tapi kaku. Kakinya kami terapi pakai air hangat dan urut
pakai minyak kampung″
″Sekarang harapan bapak buat Nuraini apa, pak?″
″Saya mau nuntut keadilan dan hak-haknya, Nuraini. Anak saya diperlakukan seperti ini, kan, Biadab!″
″Ya, BENAR, harus dituntut!″ ujarku.
″Mbak Nur, umur kan baru 32 tahun. Apa cita-cita kedepan?″
Nuraini tak menjawab. Senyap. Hanya seberkas senyuman. Senyum kegetiran.
Nuraini adalah potret buram kegagalan pemerintah dalam menyediakan
lapangan pekerjaan; melindungi tenaga kerja dan sekaligus penyumbang
devisanya; serta memanusiakan warganya menjadi manusia bermartabat.
Sekian.
***
Artikel ini kami terbitkan ulang dari Solidaritas.net untuk kampanye
No comments