Unknown
14:33
0
Istilah feodalisme berasal dari bahasa Frankis (Perancis kuno) yang berbunyi fehu-ôd, feod, feud, dan yang berarti pinjaman, terutamalah tanah yang dipinjamkan, dan itupun untuk suatu maksud politik. Lawan kata itu adalah all- ôd atau milik sendiri. Dalam peristilahan hukum adat feodum menyerupai tanah Gumantung, Gaduh atau Paratantra, sedangkan Allod menyerupai tanah Yasan, Yosobondo atau Svatantra.
Adapun feodum atau pinjaman tanah seperti itu timbul dalam zaman lampau secara besar-besaran di negara-negara Eropa Barat yang diliputi oleh peristiwa desentralisasi kerajaan Francis sesudah Karen Agung. Maka kerajaan Frankis lahir sesudah tenggelamnya Imperium Romawi. Dalam hukum Romawi tercantum suatu kesadaran akan milik mutlak seseorang yang besar sekali, serta dijamin oleh serba macam ketentuan hukum. Imperium Romawi berbentuk pemerintahan yang amat sentralistis dan tepat dikatakan berazaskan kapitalisme-negara yang meruncing sejak Maharaja Diocletinus (286-305 M).
Dalam zaman Abad Tengah hampir tak terdapat peredaran uang dan pada umumnya tidaklah mungkin mengupahi suatu badan pegawai pemerintah maupun suatu tentara tetap, apalagi menyelenggarakan administrasi negara berpusat. Karena itu, justru untuk menyelenggarakan keamanan rakyat dan mencegah kekacauan, beberapa bentuk organisasi suku dari zaman sebelum kekuasaan Rum dihidupkan kembali. Maka dalam organisasi kesukuan itu kepunyaan bersama atau kolektif yang sangat kuat, bukanlah milik mutlak seseorang.
Pada tahun 1950 delapan sarjana internasional yang ternama dalam berbagai lapangan keilmuan (sejarah, antropologi, sosiologi, ilmu budaya) telah mengadakan rapat di Universitas Princeton untuk menyelidiki soal ini: adakah perkataan feodalisme, yang menurut bunyi lafalnya, berpangkal pada susunan pemerintah dalam suatu bagian dunia dan pada waktu tertentu, boleh dipakai untuk negara dan zaman-zaman lain? Soal feodalisme didekati oleh mereka dari segala sudut. Kesimpulan mereka diterbitkan dalam suatu buku tebal pada tahun 1956, membenarkan pemakaian istilah feodalisme untuk cara-cara pemerintahan dalam negara Byzantium kuno, Rusia baru, Nippon, Raiputana, Tiongkok di bawah raja-raja Chou, India di bawah Mughal-Raj dan Turki di jaman kesultanan. Dan daftar itu tadi masih boleh dilengkapi dengan sistem-sistem feodal yang tidak disebut disana, seperti: Mesir dengan faham Klerouchia dan Leitourgia di bawah raja-raja Ptolemide yang sudah seribu tahun sebelum zaman feodal Eropa; Khalifat Bagdad dengan sistem Iqta dan Qata’a; India-Hindu dengan Bhaga Deya, Dharmasima dan Kaniyatsi; Indonesia-Hindu dengan adanya Dharma Lepas atau Raja Dharma; Indonesia-Islam dengan adat wakaf dan tanah gaduh.
Apakah sebabnya maka sistem pemerintahan yang beragam itu dapat disebut dengan istilah satu saja? Karena dalam segala sistem tadi penyelenggaraan keamanan dan keadilan tidaklah berdasarkan suatu konstitusi yang menghubungkan pemerintah pusat dengan warga negara, melainkan dilaksanakan melalui perjanjian-perjanjian antara kepala negara (Taja, Khalif, Sultan, Khan, Tenno dll) dan orang menak, dan bersendikan hak tanggungan atas tanah.
Kaum menak itu dibebani wajib kemiliteran terhadap kepala negara dan wajib memberikan perlindungan kepada rakyat daerahnya masing-masing. Tanggung jawab dalam lapangan ini dibalas dengan peminjaman tanah yang hasilnya, sebagian diperuntukkan bagi mereka dan hak-hak istimewa lainnya. Sistem itu menumbuhkan pelbagai keuntungan maupun malapetaka.
Diantara akibat baik termasuk rasa solidaritas yang berlawanan dengan gaya individualisme borjuis; permusyawaratan antar pejabat pemerintah yang berlawanan dengan kediktatoran; penghargaan dan kesetiaan pada janji-janji; perlindungan akan kaum lemah, dan anggapan jabatan sebagai bakti kepada rakyat. Sebagai unsur yang buruk seperti gejala kesewenang-wenangan dan korupsi, desentralisasi dan sukuisme, kegilaan hormat, pengurangan kesadaran negara dan kemerdekaan pada orang jembel, kepemilikan tanah yang luas, dan akhirnya anggapan seolah-olah kebudayaan adalah milik dan hak istimewa kaum atasan saja.
Kebudayaan Neo-Feodalisme dalam Perekonomian Indonesia
Neo-feodalisme adalah feodalisme modern. Seperti yang kita ketahui feodalisme adalah sebuah faham dimana adanya pengakuan system kasta,dalam neo-feodalisme sistem kasta masih dipertahankan namun berubah bentuk menjadi penguasa dan kaum elite. Di Indonesia neo-feodalisme masih ada dan berkembang dalam sistem pemerintahan dan telah menjadi budaya yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan Negara kita.
Feodalisme terlahir dari adanya kerajaan-kerajaan hindu di Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa hinduisme telah dominan di Nusantara ini sebelum datangnya islam dan kolonialisme, arena memang kerajaan Hindu yang tertua berkuasa di Nusantara ini. Sistem yang melekat dalam kerajaan Hindu adalah sistem feodalisme. Pengelompokan manusia sesuai dengan derajat nya tersebut. Feodalisme yang terjadi pada zaman kerajaan hindu adalah pembagian kasta, dan menguasai nusantara sekitar 10 abad lamanya.
Feodalisme pun membekas keras dalam benak manusia Indonesia, pengaruhnya pun tidak mudah dihapus begitu saja,sehingga feodalisme masih ada dan berubah menjadi neo-feodalisme menjelang abad ke 21 ini. Contoh dari unsur feodalisme yang menonjolkan tentang jenjang atau tingkat masyarakat seperti apabila ada seorang menteri atau pejabat mengadakan pesta pora pernikahan anaknya, seluruh karyawan atau “balakeningratannya” akan ikut serta dalam kegiatan tersebut mereka diberi seragam sesuai dengan fungsi dan derajatnya, ada yang menjadi ketua panitia, penerima tamu tertentu, penerima tamu biasa dan seterusnya. Dengan kata lain manusia Indonesia itu terbiasa dengan pengkotak-kotakan dalam fungsi dan derajatnya sebagai karyawan dan juga sebagai pelayan “Bapak” seperti lazimnya dalam sistem feodalisme.
Selama 32 tahun manusia Indonesia pun seperti di “Brain-Washed” (Cuci Otak) oleh yang berkuasa melalui berbagai tradisi patuh pada pemimpin. Seperti telah dikemukakan terdahulu dalam sistem feodalisme kuno rakyat berorientasi ke atas,ialah sang raja yang dianggap keturunan dewa,yang bersifat keramat dan yang merupakan puncak dari segala hal dalam Negara dan meruapakan pusat dari alam semesta.
Selain feodalisme,pengaruh penjajahan Belanda pun memberi pengaruh yang besar terhadap masyarakat Indonesia.Hal ini disebut kolonialisme.Menurut Kishore Mahbubani, banyak Negara di Asia termasuk beberapa dari asia tenggara bersikap bahwa orang Eropa itu lebih unggul dari orang Asia. Inilah dampak yang amat melekat pada orang Asia, sehingga sampai sekarang sikap rasa rendah diri terhadap orang barat atau orang kulit putih masih sulit dihapus dari pola pikir orang asia. Kolonialisme telah mengakibatkan orang Asia pun tidak mampu berpikir, manusia Indonesia telah kehilangan kemampuan berpikir dan kemandirian. Orang Belanda sendiri menyadari kesalahan mereka. Perdana Menteri Belanda menyatakan bahwa tidak keberatan meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas tindakan orang Belanda selama menjajah di Nusantara ini.
Belanda menunjukan kemampuannya mengarungi lautan ke perairan Nusantara,mereka menaklukkan kerajaan-kerajaan di Tanah air,mereka mampu mengadu domba anggota kerajaan untuk kepentingan Belanda.Terlepas dari siasat keji yang mereka gunakan.Belanda dengan kemampuan nya mengusai kesultanan, menunjukan kepada mata rakyat bahwa mereka adalah manusia yang memiliki kelebihan dari sultan-sultan yang mereka kagumi. Tehnologi peperangan dan sistem pemerintahan Belanda pun dianggap kaum pribumi jauh lebih apik. Begitu juga dengan sistem organisasinya dibandingkan dengan apa yang kaum pribumi miliki. Mental kolonialisme itu sulit dihapus dari dalam benak bangsa ini.
Dampak kolonialisme mental itu terlalu berat adanya pada perilaku daya pikir bangsa.Ia telah mendarah daging dalam pribadi-pribadi bangsa sehingga sekitar 50 tahun setelah merdeka, pola pikir kolonialisme masih mendasari pembangunan ekonomi bangsa ini yang dilaksanakan oleh kaum teknokrat atau kaum elitis yang menentukan kebijakan pembangunan ekonomi bangsa di era orde baru.
Berikut adalah menurut Gunnar Myrdal, Ekonom Swedia yang adalah pemenang Nobel mengemukakan bahwa teori–teori yang cocok untuk orang Barat belum tentu baik untuk di Timur bahkan akibatnya amat buruk. Hal ini ditandai oleh adanya perusahaan-perusahaan Belanda yang besar seperti perusahaan perkebunan tebu, karet, sawit, Deli Spoor Matchappij perusahaan kereta api.
Akibat dari kebijakan mengutamakan golongan minoritas tersebut, rejim orde baru sebagai mana juga pemerintahan Hindia Belanda menindas rakyat jelata yang adalah golongan islam,mayoritas penduduk Indonesia sekitar 90%.Islam dibunuh secara massal di Aceh, di Priok, di Maluku, di Jawa Tengah dan sebagainya.
Dengan demikian jurang kemiskinan melebar karena dalam sistem ekonomi terbuka, kesempatan berusaha memang terbuka untuk semua orang tetapi kemampuan untuk menggunakan kesempatan tersebut tidaklah sama sehingga yang kuat dan mampu dan memiliki modal besar akan berhasil dan yang lemah dan tidak mampu akan tergeser dan terpukul habis.
Banyaknya pertumbuhan seperti berdirinya gedung-gedung mewah, supermarket, dan mall dan sektor jasa, jalan tol juga turut berkembang pesat. Kemajuan tersebut memang terlihat menakjubkan, namun semua hal itu dibangun dengan dana pinjaman dari luar negeri. Setelah Orde baru amblas, rakyat jugalah yang memikul beban hutang Negara. Bahkan jalan tol yang mulus itu hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil rakyat Indonesia, begitu juga dengan mall-mall dan supermarket, hotel bintang lima dan pembangunan orde baru lainnya.
No comments