Gejolak Buruh
Unknown
17:48
0
Media massa akhir-akhir ini memberitakan fenomena aksi dan gejolak
perburuhan di sejumlah daerah industri yang terus meningkat sejak
Januari 2012.
Dinamika aksi dan gejolak perburuhan tersebut dianggap oleh asosiasi pengusaha sebagai sesuatu yang dapat memprovokasi investor untuk merelokasi investasi mereka ke luar negeri. Sementara bagi kalangan buruh, gejolak yang terjadi adalah puncak aspirasi mereka untuk memperjuangkan penghapusan pekerja alih daya (outsourcing) dan upah murah yang dianggap merugikan hak mereka akan kepastian kerja dan hidup layak.
Fenomena gejolak aksi-aksi perburuhan saat ini terjadi bersamaan
dengan tren pertumbuhan ekonomi secara nasional, yang beberapa tahun
terakhir cukup tinggi (sekitar 6 persen) di tengah situasi krisis
ekonomi global. Gejolak perburuhan secara perlahan, tetapi pasti turut
meletup pada era Orde Baru, khususnya 1990-an, dengan berbagai aksi
pemogokan berskala kawasan hingga tingkat kota.
Pertumbuhan ekonomi kita tak disertai pemerataan kesejahteraan.
Ketidaksetaraan antar-lapisan sosial cukup mencolok, seperti dikomentari
peraih Nobel Ekonomi 2007, Erik Maskin. Dalam kunjungannya ke
Indonesia, Maskin menyoroti nasib buruh di kelas terbawah yang mengalami
tekanan persaingan pasar tenaga kerja yang sangat kompetitif.
Sistem kerja kontrak, alih daya dan politik upah murah adalah
karakteristik umum yang dikesankan jadi prasyarat keunggulan dan
pertumbuhan dalam relasi kita dengan globalisasi.
Padahal, bila kita kembali ke observasi Maskin—juga oleh Kaushik
Basu, guru besar ekonomi asal Cornell—justru ditemukan, globalisasi
adalah salah satu penyebab ketimpangan kesejahteraan. Terutama di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena menaikkan
pendapatan rata-rata, tetapi menimbulkan masalah distribusi pendapatan.
Solusi di tingkat lokal
Latar dari pertumbuhan yang menghasilkan kesenjangan dan juga fondasi
dari gejolak perburuhan dewasa ini ada di tingkat lokal. Kompetisi di
pasar tenaga kerja berlangsung dalam konteks desentralisasi sebagai
model kekuasaan yang diterapkan dalam hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah pada masa pasca-otoriterisme.
Akibatnya, keterlibatan negara didorong agar ”berkurang” dalam
politik perburuhan, dengan melimpahkan tanggung jawab untuk membereskan
konflik yang selalu terjadi dalam hubungan industrial kepada pemerintah
lokal. Struktur kesempatan politik yang tersedia saat ini memberikan
ruang bagi mobilisasi lebih leluasa buruh untuk berpolitik menggunakan
metode bersifat direct action.
Aksi massa, gangguan terhadap proses produksi di kawasan industri dan
sekitarnya cenderung memperkuat posisi politik mereka ketimbang harus
bergantung pada partai dan politisi yang cenderung dikuasai oligarki di
tingkat lokal. Karakter industri yang melayani mata rantai ekonomi
global mengakibatkan ”rasa kepemilikan” para oligarki juga relatif
terbatas.
Gejolak perburuhan semakin meluas juga akibat tidak lagi tersedia
kesempatan legal menggunakan represi dan keterlibatan aparat militer
dalam penyelesaian masalah industrial, seperti yang menjadi andalan
rezim otoriter Orde Baru.
Kesenjangan kesejahteraan yang bertemu tekanan hidup yang sangat
kompetitif menjadi faktor di tingkat tiap lokal daerah industri. Gerakan
yang mengikuti alur desentralisasi ini menjadi terhubung dan relatif
terkoordinasi antardaerah akibat tren upah yang relatif setara bila
diperhitungkan dengan beban biaya hidup antarkota yang turut memengaruhi
besar upah riil pekerja. Antardaerah dalam kerangka kompetisi telah
bersaing untuk menekan upah buruhnya, tetapi hasilnya justru kondisi
yang relatif setara karena biaya hidup juga tinggi di daerah-daerah yang
lebih tinggi upah rata-ratanya. Biaya hidup yang lebih tinggi adalah
buah pertumbuhan ekonomi yang cukup besar ditopang konsumsi domestik.
Ekspektasi hidup layak mendorong motivasi lebih besar buruh menuntut
perbaikan kesejahteraan.
Arena utama politik hubungan industrial secara faktual beralih ke
tingkat lokal. Di sanalah terjadinya gejolak-gejolak perburuhan yang
berakar dari tingkat perusahaan hingga terbangunnya berbagai jaringan
dan aliansi serikat buruh yang selama ini menginisiasi aksi-aksi secara
teritorial. Sementara di sisi pengusaha, kepentingan yang diutamakan
adalah pencarian profit dari kompetisi yang mengandalkan keunggulan
komparatif: buruh murah dan fleksibilitas tenaga kerja. Negara
”terpecah” posisinya akibat latar desentralisasi yang di satu sisi
mengalihkan urusan kepada pemerintah daerah, tetapi masih banyak
regulasi dan mekanisme perburuhan yang bersifat nasional. Situasi unik
terjadi ketika Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang dapat
diinterpretasikan sebagai penolakan kepada sistem kerja kontrak dan alih
daya.
Minimnya ruang demokratis untuk penyelesaian perselisihan di tingkat
lokal menjadi masalah, tetapi juga seharusnya menjadi titik tolak solusi
yang efektif.
Perubahan latar politik perburuhan harusnya memberikan lebih besar
lagi insentif bagi pemerintah daerah dan pelaku-pelaku politik lainnya
untuk mendorong demokratisasi yang lebih lagi dalam menangani hubungan
industrial. Tidak bisa lagi hanya bergantung pada mekanisme rutin
tripartit, seperti penetapan upah tahunan saja.
Pemimpin asosiasi pengusaha di tingkat pusat juga harus mengubah
strategi keterlibatan yang lebih proaktif dalam memajukan musyawarah,
mulai tingkatan perusahaan paling bawah hingga secara teritorial.
Tidak bertemunya praktik deliberasi (musyawarah) yang komprehensif
dari unsur-unsur dalam politik hubungan industrial di tingkat lokal
mengakibatkan pilihan metode perjuangan tuntutan dalam bentuk aksi
langsung: demo! (Irwansyah – Pengajar Politik Perburuhan Departemen Ilmu Politik UI)
Kompas – Sabtu, 15 September 2012
No comments