sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

Penutupan Lokalisasi Dolly
Solidaritas untuk FPL
SBMI, Surabaya - Kita mungkin tahu perihal bentrokan aparat-warga saat penutupan lokalisasi Dolly-Jarak yang terjadi beberapa hari lalu. Sebenarnya penutupan ini sudah lama direncanakan. Deklarasi penutupan juga sudah dilakukan pemerintah kota Surabaya sejak 18 Juni lalu. Namun gabungan masyarakat yang berkepentingan terhadap lokalisasi dan kemudian membangun Front Pekerja Lokalisasi (FPL) bersikap menolak penutupan lokalisasi tersebut.

Dari berbagai informasi yang didapat dari kelurahan setempat maupun dari FPL dapat diketahui, bahwa lokalisasi Dolly-Jarak telah menghidupi tidak kurang 1100 pekerja seks, ribuan pedagang kecil, buruh cuci, warung, dan ribuan masyarakat sekitar yang tinggal di 5 Rukun Warga (RW). Penutupan Dolly-Jarak tentu akan berdampak pada ribuan masyarakat yang biasa menggantungkan hidupnya pada lokalisasi. Dalam penutupan itu, pemerintah memang berjanji memberikan kompensasi kepada setiap pekerja seks dan mucikari dari 5 hingga 7 juta rupiah. Namun kompensasi tersebut juga ditolak oleh gabungan masyarakat karena dinilai belum menjawab dampak menyeluruh dari penutupan.

Ketegangan sempat mereda karena menjelang bulan puasa, aktivitas lokalisasi memang biasanya berhenti dan pekerja seks pulang ke kampung-kampung halaman mereka. Artinya, tutupnya lokalisasi Dolly-Jarak untuk sementara waktu di bulan Juni-Juli tidak berarti para pekerja seks dan masyarakat sekitar lokalisasi sudah menyetujui penutupan lokalisasi. Dalam deklarasi penutupan sebelumnya oleh pemerintah kota Surabaya, gabungan masyarakat tetap menolak dan bersikap akan terus beroperasi sebelum ada bentuk tanggung jawab riil pemerintah terhadap dampak-dampaknya. Sebagian besar pekerja seks bahkan menolak dan mengembalikan uang kompensasi pemerintah.

Persoalan berlanjut menjelang hari raya Idul Fitri kemarin. Pemerintah memaksakan kehendaknya (baca: otoriter) atas penolakan warga dengan memasang plakat penutupan di wilayah Dolly-Jarak, dan mengatasnamakan tindakannya sebagai penegakan moral dan hukum. Tindakan otoriter ini berdampak pula pada cara-cara kekerasan yang dipakai, dimana puluhan warga yang melawan ditangkap dan dipukul sehingga mengalami luka-luka. Tidak hanya itu, ratusan warga juga mendapat intimidasi dari serangan dan sweeping aparat terhadap warga yang menolak penutupan di wilayah lokalisasi Dolly-Jarak.



Berangkat dari Fakta

Fakta dari para pekerja seks menyebutkan, mereka pada dasarnya tidak menyukai bekerja sebagai pekerja seks. Salah seorang pekerja seks, sebut Nety misalnya, mengatakan “siapa sih yang mau kerja beginian kalo gak terpaksa mas.” Mereka umumnya tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan hidup diri sendiri maupun tanggungan anak dan keluarga karena ketiadaan tanah untuk bertani, ketiadaan ijazah sekolah untuk melamar pekerjaan atau ketiadaan modal untuk berusaha membuka warung dan sebagainya. Menghadapi rencana penutupan lokalisasi, pekerja seks dan warga dalam beberapa kesempatan bahkan mengajukan, solusinya bukan menutup semena-mena, tapi terlebih dahulu menjamin pekerjaan yang sanggup menghidupi mereka.

Terhadap solusi yang diajukan pekerja seks dan warga, pemerintah hanya bungkam. Uang kompensasi senilai 5-7 juta sudah dianggap sanggup bagi setiap pekerja seks untuk membangun usaha ketrampilan atau modal bertahan hidup menunggu datangnya pekerjaan baru. Tapi bagi pekerja seks dan warga, hal itu jauh dari kenyataan. Pengalaman penutupan lokalisasi yang pernah terjadi justru memperlihatkan hal sebaliknya. Uang kompensasi tidak dapat dipakai berusaha dalam jangka waktu lebih dari setahun, karena akhirnya merugi. Beberapa yang bekerja di perusahaan umumnya hanya bertahan 1 tahun karena dikontrak dan mendapat upah sangat kecil. Ketrampilan yang disalurkan pemerintah juga selalu berujung pada tidak terjualnya hasil-hasil ketrampilan karena pemerintah tidak menjamin pembelian hasil-hasil ketrampilannya. Akhirnya, sebagian besar kembali lagi melakukan perdagangan seks dengan tersembunyi dan tersebar, yang mana berkonsekuensi pada kekerasan lebih lanjut terhadap perempuan pekerja seks. Ini telah menjadi fakta yang menyertai setiap penutupan lokalisasi tanpa adanya jaminan negara.

Belum lagi dengan para pedagang dan masyarakat sekitar yang ikut hidup dari lokalisasi tersebut. Pemerintah bahkan tidak memikirkan apapun untuk memindahkan pedagang atau menjamin pekerjaan kepada masyarakat yang biasa menjadi juru parkir, ojek, tukang cuci, tukang pijat, dll. Jangankan memikirkan masa depan rakyat sekitar lokalisasi, berdialog dengan warga untuk mengetahui aspirasi pun tidak dilakukan oleh pemerintah. Sehingga penutupan lokalisasi atas nama penegakan moral dan hukum–apalagi peraturan itu tidak dibuat sendiri oleh rakyat–tetaplah tindakan otoriter dan tidak berpihak pada rakyat.





Bersikap Adil

Kita bisa mengatakan ‘seks yang diperdagangkan’ memang menyalahi prinsip-prinsip kemanusiaan. Tapi jika dicermati lebih jauh, sistem hari ini, kapitalisme, memang telah mengubah segala hal menjadi barang-dagangan. Seperti misalnya air yang sebenarnya milik semua orang namun diperdagangkan, atau tenaga kerja manusia yang diperdagangkan dengan upah (murah). Ini berarti bahwa perdagangan seks hanya turunan dari sifat barang-dagangan yang dijalankan kapitalisme. Apalagi kemudian, aktivitas perdagangan seks hanya buah dari ketidakmampuan negara/pemerintah menyediakan lapangan kerja yang layak bagi rakyatnya.

Disini kita tidak boleh melihat perdagangan seks sebagai sebuah penyimpangan moral dan hukum negara tetapi lupa bahwa negara juga lah yang awalnya membuka jalan terhadap perdagangan ini. Disaat yang sama kita harus juga melihat bahwa arena perdagangan ini telah mampu menghidupi sebagian masyarakat yang umumnya adalah kelas buruh, yaitu kelas yang tidak memiliki alat produksi dan harus menjual ‘tenaga kerja’ nya untuk bisa hidup.

Masalahnya, pemerintah tidak mampu lagi membangun lapangan pekerjaan layak yang sanggup menyerap tenaga kerja. Dalam pengertian itu, sebelum mengirim ribuan aparat untuk memaksakan kehendak penutupan, seharusnya pemerintah lebih dulu mengkongkretkan tanggung jawabnya pada penghidupan rakyat (khususnya yang hidup dari lokalisasi). Jika berpikir untuk penghidupan rakyat, misalnya, uang kompensasi yang jika ditotal mencapai 7 miliar sebenarnya dapat saja dipergunakan sebagai awal untuk membangun usaha/industri kerakyatan yang dikelola pekerja seks dan masyarakat lokalisasi sebelum kemudian menutup lokalisasi. Tapi pemerintah memang tidak menyediakan program strategis bagi kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, tindakan otoriter menutup lokalisasi, walau dibalut kompensasi 5 juta, adalah jawaban tidak langsung dari negara bahwa negara tidak sanggup menjamin kehidupan rakyatnya. Itu berarti uang kompensasi hanyalah pesan untuk memperpanjang hidup lebih lama tanpa solusi mendasar mengatasi kemiskinan yang menjadi alasan lahirnya pekerja seks. Jika di pabrik, ini dapat dilihat sebagai PHK sepihak tanpa pertanggungjawaban.

Tapi hal yang wajar jika kita memahami bahwa negara sekarang adalah negara nya para pemodal. Negara pemodal bukan hanya mampu mengorbankan rakyat demi dongeng-dongeng moral yang mereka ciptakan, tapi juga berlaku tidak demokratis dan memiskinkan rakyatnya. Maka dari itu, perjuangan rakyat yang tergabung dalam FPL patut didukung oleh sesama kelas yang tidak memiliki alat produksi, yaitu kelas buruh, tanpa menyimpan prasangka buruk yang dihembuskan negara pemodal. Semua orang yang ditangkap karena melawan juga harus diperjuangkan untuk dibebaskan.

Dengan itu pula, bagi setiap orang yang menyetujui penutupan lokalisasi ini sembari mencibir pekerja seks sebagai pihak yang bersalah, lebih baik jika dia juga memastikan negara menjamin kehidupan pekerja seks dan masyarakat lokalisasi jika penutupan dilakukan. Atau setidaknya bertanya dalam diri sendiri, berapa orang dari ribuan masyarakat itu yang mampu dia jamin kehidupannya. Mungkin itu bisa membuat kita lebih adil sejak dalam pikiran.

Pada akhirnya, negara kapitalis tidak akan mampu menghapus perdagangan seks dengan hanya menutup puluhan atau ratusan lokalisasi, karena kapitalisme selalu menyediakan syarat bagi perdagangan seks, baik tersembunyi maupun terbuka. Celakanya lagi kita memang hidup dalam masyarakat kapitalis yang melanggengkan budaya patriarki, dimana tubuh perempuan selalu dijadikan objek (seksual), yang membuat semakin lengkap sudah penempatan  tubuh perempuan sebagai komoditas. Perdagangan seks hanya bisa terhapus lewat pembangunan berorientasi kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan, atau dalam kata lain, lewat hancurnya masyarakat barang-dagangan berjuluk kapitalisme. (arahjuang)
Politik Upah Murah
Tolak politik upah murah
Persoalan upah hingga saat ini, masih menjadi dinamika yang cukup tajam bagi dunia perburuhan. Tarik ulur kepentingan penetapan besaran upah antara buruh dan pengusaha, masih terus terjadi. Bahkan hukum ekonomi politik menyatakan bahwa konflik kepentingan antara buruh dan pengusaha dalam hal penentuan upah, akan terus terjadi hingga salah satu pihak saling menyisihkan. Ini didasari oleh logika ekonomi kedua pihak yang saling bertentangan. Satu sisi buruh ingin secara terus menerus meningkatkan kualitas upah untuk menjamin kehidupannya, sementara disisi yang lainnya pengusaha justru ingin menekan upah serendah mungkin agar dapat mencapai akumulasi keuntungan sebesar-besarnya.

Faktanya, dalam hal penentuan nilai upah selama ini, buruh cenderung “inferior” terhadap pengusaha. Hal tersebut diakibatkan oleh posisi tawar buruh yang relatif lemah dihadapan pengusaha. Situasi ini mengingatkan kita kepada “teori upah besi” yang dikemukakan oleh Ferdinand Lassalle. Ia mengasumsikan bahwa pengusaha berada pada posisi yang kuat, dan ingin memaksimalkan keuntungannya, sementara buruh berada pada posisi yang lemah, atau tidak mempunyai kekuatan tawar-menawar sama sekali. Posisi buruh yang lemah ini membuat mereka pasrah pada nasib, dan bersedia menerima upah pada tingkat serendah apapun demi untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Itulah sebabnya teori upah ini dinamakan upah besi, karena upah yang diterima buruh benar-benar hanya untuk memenuhi kebutuhan minimal hidupnya .

Dari apa yang dikatakan oleh Lasalle, setidaknya mengajarkan kita 2 (dua) hal, yaitu : Pertama, bahwa sesungguhnya upah yang layak tidak semata-mata ditentukan oleh regulasi atau aturan pengupahan yang telah ditetapkan oleh Negara. Namun juga sangat ditentukan oleh variabel yang ada disekelilingnya, seperti tekanan politik,ekonomi, budaya hingga keadaan sosial disekitar. Kedua, Lasalle ingin mengajarkan kepada kaum buruh, bahwa hanya dengan kolektivitas yang kuat melalui serikat , kaum buruh dapat memperjuangkan kebijakan pengupahan yang adil dan memihak kepentingan kaumnya. Tulisan ini hendak membangun pola pikir yang tidak hanya sekedar mencoba mendalami arti upah laya bagi buruh, namun juga sekaligus mencoba menawarkan metode dan cara untuk memperjuangkan upah layak tersebut.

Upah Layak
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan . Prinsip upah sejatinya harus mengabdi kepada kemanusiaan dengan perlakuan yang seadil dan selayak mungkin. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusi Negara kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28D ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Hal ini juga diperkuat melalui Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa, “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Lantas apa yang disebut dengan upah layak?

Mendefnisikan upah layak memang bukan perkara yang mudah. Layak memiliki konotasi, “ukuran”, “batasan”, ataupun “takaran”. Dalam terminologi kemanusiaan, layak dapat ditemukan dalam padanan kata “patut”, “pantas”, “mencukupi”, “setimpal”, “terhormat” dan “mulia”. Namun menurut Engels, untuk membangun pengetahuan mengenai upah yang dinilai layak, jangan kita bersandar pada ilmu pengetahuan moral atau hukum dan keadilan, atau pada sesuatu perasaan kemanusiaan yang sentimental, kewajaran, atau bahkan kedermawanan yang secara moral layak, yang bahkan adil menurut hukum, mungkin sekali sangat jauh daripada layak secara sosial . Lebih lanjut menurut Engels, “Kelayakan atau ketidak-layakan sosial ditentukan oleh satu ilmu pengetahuan saja-ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan kenyataan-kenyataan material dari produksi dan pertukaran, ilmu pengetahuan ekonomi politik”.

Engels mencoba untuk menyajikan pemahaman upah layak berdasarkan skala kebutuhan upah buruh dalam sehari kerja. Menurut Engels, upah sehari kerja, dalam kondisi-kondisi normal, ialah jumlah yang diperlukan oleh pekerja untuk memperoleh bekal-bekal kehidupan (means of existence) yang diperlukan, sesuai standar hidup; kedudukan dan negeri, dan untuk menjaga agar dirinya dalam kemampuan kerja dan untuk mengembang-biakkan kaumnya (race). Tingkat upah-upah yang nyata (aktual), dengan fluktuasi-fluktuasi perdagangan, kadang-kadang mungkin di atas, kadang-kadang di bawah tingkat ini; tetapi, dalam keadaan-keadaan layak, tingkat itu seharusnya merupakan rata-rata semua ayunan (oskilasi).

Secara umum dari apa yang dikemukakan oleh Engels, upah yang layak dapat dimaknai sebagai keseluruhan komponen biaya yang dibutuhkan oleh seorang buruh untuk bekerja, baik dalam aspek fisik maupun non-fisik, termasuk dalam hal kehidupan sosial. Aspek fisik adalah aspek yang menunjang pengembangan jasmani seorang buruh agar dapat bekerja secara efektif. Aspek ini mencakup kebutuhan gizi baik makanan dan minuman, tempat tinggal termasuk MCK, sarana kesehatan, pakaian yang layak, istirahat dan rekreasi hingga transportasi. Sedangkan aspek non-fisik adalah aspek yang dapat menunjang kualitas harkat dan martabat seorang buruh. Diantarnya sarana yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan kaum buruh, baik berupa buku, majalah, koran hingga media berbasis online sebagaimna yang kita kenal diabad modern sekarang ini. Aspek ini juga termasuk sarana komunikasi yang dapat membantu seorang buruh menjalani rangkaian aktivitas sosial disekelilingnya.

Upah Minimum
Selain upah layak, sistem pengupahan di Indonesia juga mengenal istilah “Upah Minimum”. Istilah ini tentu saja berbeda dengan upah layak. Upah minimum hanya merupakan salah satu komponen dalam upaya pencapaian kebutuhan hidup layak. Untuk menentukan besaran upah minimum, maka diperlukan perangkat untuk menghitung “standar kebutuhan hidup” sebagai dasar penetapan upah minimum. Menurut Sidauruk, selama lebih dari 40 tahun sejak upah minimum pertama kali diberlakukan, Indonesia telah 3 kali menggantikan standar kebutuhan hidup sebagai dasar penetapan upah minimum. Komponen kebutuhan hidup tersebut meliputi; kebutuhan fisik minimum (KFM) yang berlaku Tahun 1969-1995; Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) yang berlaku Tahun 1996-2005 dan kemudian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang berlaku Tahun 2006-hingga sekarang ini .

Namun, paradigma upah minimum ini telah bergeser dan tidak lagi dimaknai hanya sebatas jaring pengaman (safety net). Dalam prakteknya, upah minimum cenderung dijadikan sebagai upah maksimum. Seakan-akan pengusaha yang telah membayar upah buruh sesuai dengan ketentuan upah minimum, merasa telah memenuhi kewajibannya berdasarkan ketentuan Pemerintah. Harus dipahami bahwa upah minimum hanya untuk buruh yang bekerja dibawah satu tahun dan berstatus lajang. Sedangkan buruh yang telah bekerja lebih dari satu tahun atau yang sudah memiliki keluarga, patut mendapatkan upah di atas rata-rata upah minimum. Inilah sesat pikir yang harus kita bongkar. Terlebih pemahaman upah minimum kini berlaku umum hampir disemua perusahaan yang ada di Indonesia. Walhasil, tidak ada keraguan pengusaha untuk menetapkan standar upah hanya berdasarkan upah minimum yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Bukan berdasarkan perhitungan aspek fisik dan non-fisik, maupun tingkat resiko dan kesulitan pekerjaan yang dibebankan kepada buruh.

Logika upah layak yang dipersonifikasikan melalui isu upah minimum, tentu saja membentengi pengembangan konsep mengenai upah layak sesuai dengan tuntutan kaum buruh. Hal ini dibuktikan dengan penentuan upah minimum berdasarkan standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan rill kehidupan kaum buruh. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen Dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, hanya menetapkan 60 item komponen kebutuhan hidup layak bagi buruh lajang. Namun masih begitu banyak hal yang membunuh akal sehat terkait perhitungan komponen kebutuhan hidup layak ini. Pertama, kebutuhan hidup buruh yang menunjang baik untuk fisik dan non-fisik yang belum dimasukkan kedalam komponen tersebut. Sebut saja untuk komponen pendidikan, hal yang paling vital untuk membangun pengetahuan buruh. Dalam permenakertrans tersebut, komponen pendidikan hanya berisi majalah/radio dan ballpoint/pensil. Apa itu bisa dianggap layak sebagai sarana untuk membangun pengetahuan buruh? Tentu saja tidak. Item lain seperti buku, televisi, atau sarana untuk akses media online, adalah kebutuhan pengetahuan yang sudah menjadi keharusan saat ini. Begitu halnya dengan alat komunikasi, buruh perlu untuk diberikan kemudahan untuk bersosialisasi dengan ruang sosialnya melalui ketersediaan sarana komunikasi berupa handphone dan pulsa.

Kedua, beberapa komponen dalam perhitungan kebutuhan hidup layak berdasarkan Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012, yang tidak relevan lagi dengan kondisi kaum buruh saat sekarang. Sebut saja sarana transportasi dengan menggunakan angkutan umum. Sebagai sebuah konsep, sarana transportasi massal memang menjadi kebutuhan ditengah kemacetan dimana-mana. Namun harus diakui bahwa dihampir seluruh daerah, rata-rata buruh memiliki kendaraan pribadi berupa motor yang memerlukan bahan maker yang nilainya tidak sama dengan biaya angkutan umum. Untuk itu, item yang tedapat dalam Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 tersebut, sepatutnya ditinjau ulang dan disesuaikan dengan kondisi saat ini. Anehnya, setelah beberapa tahun tuntutan revisi komponen kebutuhan hidup layak tersebut diajukan oleh kaum buruh, Pemerintah tetap tidak bergeming dan cenderung menutup mata terhadap keinginan kaum buruh.

Membangun Posisi Tawar
Perjuangan untuk mewujudkan upah layak, harus diletakkan ditangan dan pundak kaum buruh sendiri. Menggantungkan harapan kepada Negara yang sejatinya dimonopoli oleh kaum pemodal, adalah naïf dan secara histories telah terbukti gagal. Prinsipnya, kesejahteraan kaum buruh bukanlah hadiah dan pemberian. Tetapi merupakan hal yang harus diperjuangkan. Untuk itu, sebagai tahap awal dari rangkaian perjuangan upah layak, maka kaum buruh penting untuk membangun posisi tawar (bargaining position), agar suara dan tuntutan dapat mempengaruhi kebijakan pengupahan yang selama ini cenderung dicampakkan oleh kekuasaan. Buruh selama ini dipandang sebelah mata oleh kekuasaan. Bukan karena posisi dan arti penting kaum buruh yang nihil, namun karena gerakan buruh masih terpencar dan membatasi dirinya hanya sebatas gerakan yang berbasis tuntutan ekonomis.

Dalam membangun posisi tawar yang kuat terhadap Negara, terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan secara seksama, antara lain : Pertama, penguatan serikat atau organisasi buruh. Secara umum, perbandingan antara keseluruhan jumlah buruh di Indonesia dan serikat buruh yang ada, masih terlampau jauh rasio dan jarak-nya. Data statistik Badan Pusat Statistik (BPS) tentang keadaan ketenagakerjaan pada bulan februari 2013, menunjukkan bahwa penduduk yang bekerja di Indonesia berjumlah 114,0 juta orang. Sedangkan jumlah keseluruhan anggota serikat buruh di Indonesia sebesar 3.414.455 orang, yang tersebar di 11.852 buah serikat buruh tingkat perusahaan, 92 buah federasi serikat buruh, 6 buah konfederasi serikat buruh dan 170 buah serikat buruh disektor BUMN . Dengan demikian jika dirata-ratakan, maka jumlah presentase buruh di Indonesia yang tergabung atau menjadi anggota serikat buruh, hanya sekitar 2,9 persen. Angka itu tentu saja terbilang sangat kecil sehingga jika berbicara hitungan diatas kertas, maka posisi tawar kaum buruh dihadapan Negara dan pemilik modal akan sangat lemah. Penguatan serikat buruh ini tidak hanya bermakna kuat secara kuantitas. Namun justru kuantitas yang besar inilah yang akan mendorong kualitas gerakan yang lebih baik.

Kedua, serikat-serikat buruh yang terpencar dan cenderung berjalan sendiri, harus menemukan muara persatuan sebagai syarat meningkatnya daya dobrak gerakan buruh terhadap Negara dan pemilik modal. Kita mungkin sudah cukup lama mendengar teriakan persatuan diantara berbagai macam kelompok. Tetapi usaha persatuan tersebut selalu gagal pada tataran praktek, atau dengan kata lain, persatuan hanya terbatas pada ide dan gagasan belaka. Kenapa selalu gagal? Secara singkat, setidaknya terdapat 3 (tiga) alasan mendasar mengapa gagasan persatuan ini gagal diterjemahkan dengan baik. Pertama, akibat sentimen serikat yang terlampau besar mendahului tujuan perjuangan buruh. Walhasil, masing-masing kelompok hanya sibuk menonjolkan warna bendera dan eksistensi serikatnya masing-masing, dibandingkan melatih diri untuk bekerja bersama. Kedua, kesenjangan pemahaman (baca : teori) diantara anggota serikat buruh. Hal inilah yang menumbuhkan kecenderungan “politik patronase” dikalangan serikat buruh. Pendapat pimpinan adalah mutlak dan tidak boleh dibantah, rapat dan pertemuan cukup dihadiri pimpinan, kemanapun pimpinan bergerak anggota harus nurut, dll adalah praktek yang akan minihilkan proses belajar bagi anggota. Akibatnya, watak dan karaktek intelektual dengan mentalitas borjuis kecil, tumbuh subur dalam serikat buruh. Ketiga, kelemahan pada level ideologisasi anggota serikat buruh. Ideologisasi bermakna pengetahuan dan pemahaman akan tujuan yang akan dicapai oleh serikat. Apakah tujuan perjuangan buruh sebatas memenuhi tuntutan ekonomis atau selangkah lebih maju menjadi tujuan politis, yakni menghantarkan kaum buruh menuju kekuasaan Negara.

Ketiga, gerakan buruh harus mampu memperluas cakupan isu dan tuntutan. Dengan demikian, gerakan buruh tidak dicap sebagai kelompok yang eksklusif yang berkutat pada isu dan tuntutan disektor buruh saja. Cakupan isu gerakan buruh, harus mampu menarik persoalan yang pada umumnya muncul ditengah massa rakyat. Sebut saja isu Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan berpendapat, kebijakan non-populis pemerintah (kenaikan tarif BBM, TDL, listrik, pendidikan, kesehatan, dll), kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, hingga persoalan lingkungan, perempuan, sosial dan budaya. Dengan cara inilah, maka entitas gerakan buruh dapat berdiri tegak dihadapan massa rakyat. Bukan sekedar sebagai kekuatan yang hanya mampu memperjuangkan kaumnya sendiri. Dengan demikian, sokongan dari massa rakyat secara luas juga akan bermuara kepada gerakan buruh, sebagai kekuatan alternatif yang dapat dipercaya.

Keempat, gerakan buruh harus mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap momentum. Selama ini, gerakan buruh terlampau menjadikan momentum sebagai “zona nyaman”. Sebagai analogi, dalam setahun setidaknya gerakan buruh tidak pernah luput dari 2 (dua) rutinitas momentum, yakni momentum perayaan hari buruh (mayday) dan momentum pembahasan Upah Minimum Propinsi (UMP) dimasing-masing daerah. Terlepas bahwa gerakan buruh harus memanfaat momentum dengan baik, namun gerakan buruh harus mampu menciptakan momentumnya sendiri. Momentum yang tidak hanya secara langsung terkait dengan kepentingan kaum buruh sendiri, namun juga momentum yang menyangkut problem pokok massa rakyat Indonesia. Intensitas melahirkan momentum inilah, menjadi jalan untuk menunjukkan kekuatan kaum buruh sekaligus untuk menguji konsistensi perlawanan terhadap kekuasaan. Posisi tawar gerakan buruh justru akan lebih kuat dengan pola gerakan yang tidak maju mundur dan timbul tenggelam.

Perjuangan Politik
Syarat perjuangan untuk mewujudkan upah layak selanjutnya adalah perjuangan politik. Perjuangan yang tidak terhenti hanya sebatas dipenuhinya tuntutan ekonomis kaum buruh, namun perjuangan dalam pengambilalihan kekuasaan dari tangan pemilik modal. Loginya, tuntutan ekonomis semisal upah, bisa saja dipenuhi berkali-kali oleh Negara. Namun harus dipahami bahwa persoalan upah tidak akan pernah selesai jika bukan kaum buruh sendiri yang mengambil alih kekuasan Negara dan memutuskan sendiri kebijakan pengupahan berdasarkan kepentingan kaumnya. Sebab membebaskan diri dari penghisapan, adalah tugas dari kaum buruh sendiri. Untuk itulah, perjuangan kaum buruh harus mampu dimanefestasikan dalam gerakan politik, dengan jalan membangun organisasi politiknya sendiri. Organisasi politik yang akan menuntun jalan sejati pembebasan kaum buruh dari keserekahan pemilik modal yang selama ini merampas hak dan kepentingan kaum buruh.

Seperti apakah wujud dan fungsi organisasi politik kaum buruh tersebut? Seperti kayu yang tidak akan pernah berubah menjadi abu tanpa api, seperti ikan yang tidak akan pernah hidup tanpa air dan seperti bayi yang tidak akan pernah mampu berlari tanpa belajar berjalan. Organisasi politik kaum buruh seperti api yang akan mendorong perubahan nasib kaum buruh. Dari terbelenggu oleh sistem yang menindas, menuju sebuah sistem yang membebaskan. Dari terpenjara kekuasaan menuju memenjarakan kuasa pemilik modal. Organisasi polik kaum buruh seperti air yang menyodorkan kehidupan yang lebih baik bagi kaum buruh. Tanpa organisasi politik, maka impian jalan kemenangan akan menjadi sulit tercapai. Dan organisasi politik kaum buruh seperti balita yang belajar berjalan untuk dapat berlari. Dengan organisasi politik-lah maka kaum buruh dapat melatih dirinya untuk bertempur dan melancarkan perang terhadap pemilik modal. Tanpa itu, maka kaum buruh akan latah dan gamang dalam pertempuran yang akan dihadapi dalam upaya mengambil alih kekuasan Negara.

Tugas organisasi politik adalah menjadi sekolah dan penuntun bagi kaum buruh untuk bergerak dan melancarkan perjuangan. Dengan organisasi politik pula, kemandirian perjuangan kaum buruh dalam mencapai tujuan politiknya, dapat dilepaskan dari anasir yang akan merontokkan jalan menuju kekuasaan. Sebagaimana yang diutarakan Lenin tentang posisi Sosial Demokrasi Rusia, bahwa tugasnya bukanlah melayani gerakan klas pekerja secara pasif pada setiap tahap-tahapnya yang terpisah, melainkan mewakili kepentingan gerakan secara keseluruhan, menunjukkan tujuan-tujuan pokok dan tugas-tugas politiknya, dan melindungi kemandirian politik dan ideologinya. Kalau gerakan buruh terisolasi dari Sosial Demokrasi, gerakan buruh akan menjadi picik dan secara tak terelakkan menjadi berwatak borjuis; dengan hanya melakukan perjuangan ekonomi, klas pekerja kehilangan kemandirian politiknya; ia menjadi buntut dari partai-partai lain dan mengkhianati slogan besar : “Pembebasan klas buruh haruslah menjadi tugas klas buruh itu sendiri”.

Organisasi politik dan serikat adalah dua hal yang berbeda, tetapi tidak harus dipertentangkan. Serikat akan menjadi ladang untuk menyebar keresahan seputar persoalan yang dialami oleh kaum buruh. Sedangkan organisasi politik berfungsi untuk menyalurkan energi agar perjuangan kaum buruh dapat dilokalisir menjadi satu kekuatan yang tergorganisir dan terpimpin. Dengan organisasi politik, maka transformasi kesadaran kaum buruh akan terbentuk secara ideologis. Dari kesadatan ekonomis menuju kesadaran akan arti penting perjuangan politik. Perjuangan yang akan menghantarkan kaum buruh dalam merebut kekuasaan Negara dari tangan pemilik modal. Sebab hanya dengan cara mengambil alih kekuasaan Negara-lah, maka seluruh kebijakan Negara akan memihak kepentingan kaum buruh. Tanpa perjuangan politik melalui organisasi politik, maka gerakan buruh hanya akan menjadi semacam ritme hidup yang terus berputar secara mekanis, tanpa pernah membebaskan kaumnya dari penghisapan pemilik modal.

Oleh : Castro, Kontriutor Arah Juang dan Anggota KPO-PRP.
(Dikutip dari Arahjuang untuk diterbitkan ulang di Media weblog ini untuk pendidikan)

Catatan Kaki :
- Friedrich Engels, “Upah Sehari Yang Layak Bagi Kerja Sehari Yang Layak!”. Sumber : Marxist.org. Diakses tanggal 29 Agustus 2014.
- Sidauruk, Markus. “Kebijakan pengupahan di Indonesia; Tinjauan Kritis dan Panduan Menuju Upah Layak”. Bumi Intitama Sejahtera Jakarta. Juli 2013, hal 52. Disadur dari dokumen pertemuan ILO yang bertajuk, “Situasi Pengupahan Di Indonesia”, 2 April 2013. Sumber : ILO. Diakses pada tanggal 29 Agustus 2014.
Wikipedia, “Padanan Kata Layak”. Sumber : Wikipedia.
- Fadjri, dkk. Ringkasan Eksekutif Penelitian, Pola Verifikasi Serikat Pekerja/Buruh Dalam Kerangka Kebebasan Berserikat. Sumber : Kemenakertrans. Diakses pada tanggal 30 Agustus Tahun 2014.
- V.I. Lenin dalam artikel, “Tugas-Tugas Mendesak Gerakan Kita”. Diterjemahkan dari V. I. Lenin, Collected Works, 4th English Edition, Progress Publishers, Moscow, 1972, Vol. 4, pp. 366-71, The Urgent Tasks of Our Movement. Ditulis awal bulan November 1900, diterbitkan bulan Desember 1900 di Iskra, No. 1. Sumber : Marxist.org. Diakses pada tanggal 30 Agustus 2014.
Joshua saat orasi, dok.photo: reuters
SBMI, Hong KongJoshua Wong oleh media pemerintah China dia dilabelkan sebagai 'ekstrimis'. Di balik tubuhnya yang kurus dan wajah yang lemah lembut, ternyata Joshua Wong adalah sosok yang gagah dengan opini politiknya yang begitu progresif dan memiliki militansi yang sangat besar.

Tidak sebanding dengan perawakannya yang kurus dan telihat lunglai. Bahkan usianya pun tidak cukup untuk dapat menyetir kendaraan di Hong Kong. Namun, pemuda 17 tahun ini ketika memimpin aksi terlihat sangat gagah, tidak tanggung-tanggung, dia mampu memimpin 120 ribu orang massa aksi.

Dia juga memicu gelombang pembangkangan sipil dengan tujuan agar China menyerah dan memenuhi tuntutan mereka untuk memilih hak pilih universal untuk Hong Kong.

Sebagai seorang siswa dia membangun gerakan pro demokrasi yang memprotes pemerintah China di Beijing soal kebijakan Pemilu yang tidak memberi hak pilih bagi warga Hong Kong.

"Hak pilih universal adalah misi era ini dan era ini adalah milik orang-orang muda. Jadi biarkan orang-orang muda menyelesaikan misinya. Orang-orang muda akan selalu menjadi pelopor," kata Wong kepada Bloomberg seperti dilansir IBTimes.com, Senin (29/9/2014).

Wong dan gerakannya adalah satu bukti dari kesadaran perlawanan atas serangkaian ingkar janji pemerintah China yang ada di Hong Kong. Seharusnya pasca lepasnya koloni Inggris dan Hong Kong kembali ke pemerintahan China dan menyepakati otonomi di Hong Kong oleh kedua negara. Pemilihan umum harus dilakukan secara demokratis dalam memilih pemimpinnya sendiri.
Pemilu di Hong Kong
Gas Air mata digunakan terakhir tahun 2005

Pemilu di Hong Kong
Lautan massa tetap berkumpul hingga malam

Pemilu di Hong Kong
Lautan Massa Lumpuhkan Hong Kong

Pemilu di Hong Kong
Mahasiswa korban gas air mata

Pemilu di Hong Kong
 Berbaris, berkumpul satu tuntutan

Pemilu di Hong Kong
Terus berlawan

Pemilu di Hong Kong
Aparat dengan gas mata, kembali digunakan untuk menghalau massa

Pemilu di Hong Kong
Massa terus mendesak tuntutan

Pemilu di Hong Kong
Bertahan terus berlawan

Massa Vs Aparat, gas air mata 

Pemilu di Hong Kong
Lumpuhkan angkutan kota

Pemilu di Hong Kong
Liputan Media di Hong Kong
SBMI, Hongkong - Kericuhan pecah di Hong Kong, Minggu 28 September 2014. Aparat kepolisian menyemprotkan gas air mata guna menghalau kerumunan massa pro demokrasi yang menduduki jalan utama di pusat pemerintahan negara bagian Tiongkok itu.

Apa yang memicu warga Hong Kong melakukan aksi demonstrasi besar-besaran itu? Dilansir Reuters, mereka memprotes kebijakan pemerintah pusat di Beijing yang menghapus pemilihan kepala pemerintahan Hong Kong secara langsung.

Mirip yang terjadi di Indonesia yang protes terhadap penghapusan Pilkada Langsung, mereka juga mengusung poster dan teriakan yel yel "shame on you."

Sampai Minggu sore, demonstran masih memblokir jalan utama di Hong Kong. Padahal, aparat telah memberikan peringatan untuk membubarkan diri.

Rupanya, peringatan aparat itu tidak digubris demonstran, sehingga semprotan gas air mata diberikan. Semprotan gas air mata terhadap demonstran ini merupakan kali pertama dilakukan sejak 2005 silam.

Seorang Juru Bicara Kantor Urusan Macau dan Hongkong China mengatakan bahwa pemerintah pusat telah menginstruksikan kepada otoritas berwenang di Hong Kong menangani demonstasi itu berdasarkan hukum yang berlaku. Sementara itu, di bawah semprotan gas air mata, massa terus merangsek mendekati kantor pemerintahan dibalik mantel palstik dan masker.

Hong Kong kembali menjadi daerah di bawah pemerintah China pada 1997 mengacu model yang terkenal dengan sebutan "one country, two systems" yang menjamin derajat otonomi yang tinggi dan kebebasan yang tidak dapat dinikmati warga China daratan. 

Beijing pada bulan lalu, mengeluarkan kebijakan menghapuskan sistem pemilihan langsung untuk pemimpin kota Hong Kong di periode mendatang. China hendak memastikan pemimpin berikutnya loyal pada Beijing. (dari berbagai sumber)
Penampungan batu 8 Tanjungpinang
Penampungan batu 8 Tanjungpinang

Penampungan batu 8 Tanjungpinang
Nonton bareng

Penampungan batu 8 tanjungpinang
Penampungan Batu 8 khusus untuk TKI Laki-laki

Penampungan Batu 8 Tanjungpinang
Ruang berobat penampungan Batu 8 Tanjungpinang






SBMI, Batam - Ratusan TKI yang dideportasi dari Malaysia ke Indonesia banyak yang mengeluhkan sakit setiba di penampungan yang terletak di Batu 8 Tanjungpinang. Menurut Tim kesehatan Puskesmas di Selter penampungan, semenjak kedatangan mereka sudah 120 orang yang mengeluhkan sakit ke tim pengobatan. 

"Kebanyakan mereka menderita Infeksi gangguan pernapasan (Ispa). Dari kemarin sudah hampir 120 orang," ujar petugas puskesmas salter, Jumat (23/11).

Penyakit ispa cepat menyebar ke orang lain. Apalagi mereka tinggal dalam satu ruangan. Hal ini tentunya membuat cepat penyebaran virus tersebut. "Memang penyakit ini cepat menyebar. Kalau tidak cepat ditangani nanti penderitanya bertambah banyak," kata petugas kesehatan.

Eli, salah satu TKI yang berobat disana mengatakan, dia batuk dan sesak napas semenjak berada di penampungan Malaysia. "Di sana berobat susah, terkadang orang sana (Malaysia) tidak mau melayani," pungkasnya. (tribun)
Sejumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bermasalah berada di penampungan sementara Dinas Sosial Kota Batam, Selasa (15/4). Sebanyak 15 orang TKI dan satu anak dipulangkan ke daerah asal mereka oleh KJRI Johor melalui Batam karena bekerja di Malaysia tanpa dokumen yang sah.

Seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bermasalah bersama anaknya berada di penampungan sementara Dinas Sosial Kota Batam, Selasa (15/4). Sebanyak 15 orang TKI dan satu anak dipulangkan ke daerah asal mereka oleh KJRI Johor melalui Batam karena bekerja di Malaysia tanpa dokumen yang sah.


Penampungan Ilegal
Penggrebekan penampungan di KDA, Tak ada Tersangkanya?
KORANMIGRAN, Batam - Pasca penggerebekan lokasi penampungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal yang berada di Komplek KDA Jl Perkit 4 No.4 dan 6 yang dilakukan jajaran Polsek Batam Kota, Selasa (10/9/2013) dinihari lalu dan selanjutnya diserahkan ke Unit PPA Satreskrim Polresta Barelang, sampai saat ini tidak ada satupun yang ditetapkan sebagai tersangka.

Bahkan sebelumnya, dari penggerebekan itu, pihak kepolisian berhasil mengamankan 26 orang calon TKI ilegal yang hendak diberangkatkan ke Malaysia, yang terdiri dari 17 orang wanita dan sisanya sembilan orang merupakan pria.

Kanit PPA Satreskrim Polresta Barelang, Iptu Retno Ariyani menuturkan dari penggerebekan yang dilakukan Polsek Batam Kota dan dilimpahkan ke Unit PPA sama sekali tidak ada ditetapkan sebagai tersangka.

Bahkan lokasi yang diduga sebagai  penampungan TKI ilegal yang berada di Komplek KDA Jl Perkit 4 No.4 dan 6 tidak terbukti.

"Jadi lokasi itu hanyalah lokasi transit untuk para TKI yang hendak ke Malaysia," kata Retno, Jumat (20/9).

Dari 26 calon TKI ilegal yang diamankan itu, sedikitnya enam orang dipulangkan ke kampung halamannya dan sisanya memilih bekerja karena paspornya masih ada.

Sebelumnya, terungkapnya kasus ini setelah 3 orang calon TKW atas nama Dina, Rani dan Jeni berhasil melarikan diri dari lokasi penampungan.

Bahkan dari cerita ketiga calon TKI ilegal yang berhasil melarikan diri ini, mereka diberangkatkan dari kampung masing-masing melalui Surabaya dan menuju ke Jakarta. Saat berangkat dari Kupang, NTT, dari total 25 orang calon TKI, 2 orang melarikan diri. Dan sehingga setibanya di Jakarta tinggal 23 orang.

Kemudian dari Jakarta, mereka diberangkatkan ke Batam via kapal laut melalui pelabuhan domestik sekupang. Namun, setibanya di Batam, 3 orang lainnya juga melarikan diri karena mencium gelagat yang tidak baik dari proses pengiriman mereka ke Malaysia.

Bahkan sebelumnya, ketiga calon TKI Ilegal yang kabur ini sudah mengadakan pertemuan dengan pihak pengelola pengiriman TKI tersebut, dan sudah disepakati bahwa keseluruhan calon TKI akan dikembalikan ke kampung halaman masing-masing. Namun sayangnya pihak pengelolah malah mengangkangi perjanjian itu. (Tribun)
Perekrutan
Estelina menolak jadi PRT
SBMI, Batam - Estelina Taneo (22) satu dari dua warga Nusa Tenggara Timur (NTT) nekat kabur dari penampungan sementaranya. Ia mengaku lari dari penampungan yang berlokasi di Batu Besar Nongsa, Batam. Alasannya, ia tidak bersedia dijual ke Malaysia sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT).

"Awalnya kami dijanjikan pekerjaan yang menarik, namun belakangan kami mendengar kalau kami akan dijual dan dipekerjakan sebagai pembantu,” ujar Estelina yang diiyakan teman senasibnya, Yorence Lakapu (20) yang sama-sama dari NTT, Kamis (13/6/2013).

Kepada media di tempatnya nginap sementara di Rumah liar (Ruli) Palm Spring, Batam Center, Estelina menceritakan kejadian ini berawal saat mereka direkrut dari tempat asalnya untuk dipekerjakan di Jakarta sebagai salah satu karyawan di sebuah perusahaan garmen.

Malang, dalam perjalanan, mereka malah dibawa ke Batam dan ditampung di salah satu rumah besar berlantai dua warna merah jambu di daerah Nongsa, Batam.

“Saya juga tidak tahu alamat pastinya, namun kata orang-orang di sana saat saya bertanya ini daerah mana, orang-orang itu menuturkan ini daerah Batu Besar, Nongsa,” ujarnya seraya menuturkan dirinya masih ingat lokasi tempat mereka ditampung.

Menaiki Mobil Sayur Untuk Menyelamatkan Diri
Estelina dan Yorence lolos dari penyekapan dan tiba di ruli Palm Spring, Batam Centre. Yorence menuturkan, keduanya menumpang pick up yang akan berbelanja ke Pasar Pagi di daerah Sukajadi.

“Beruntung tanpa basa-basi sopir itu mau mengangkut kami. Akhirnya kami diturunkan di halte Simpang Jam sekitar pukul 23.30 WIB, Senin (10/6/2013) lalu,” ujar Yorence.

Saat di Simpang Jam, lanjut Yorence, dirinya sempat bingung akan pergi ke mana. Beruntung keduanya bertemu dengan seorang pria yang namanya tidak dikenal.

Lalu pria itu menghubungi temannya yang bernama Linus yang kebetulan satu daerah dengannya. Akhirnya keduanya menumpang di kediaman Linus.

Semantara Linus, yang ditemui di kediamannya mengaku tidak begitu mengetahui informasi dari temannya itu. Ia pun langsung bergegas ke halte Simpang Jam itu untuk menemui Estelina dan Yorence.

“Saya tidak tega melihatnya, makanya saya bawa kekediaman saya,” katanya.

Lebih jauh Linus mengakui, pada Rabu (12/6/2013) malam, dirinya sempat didatangi seorang pria bernama Kusmadi. Pria itu, sebut Linus, mengaku sebagai pihak yang bertanggung jawab di penampungan dan akan membawa paksa Estelina dan Yorence.

“Karena Estelina dan Yorence enggan ikut Kusmadi, akhirnya saya juga membantu mereka untuk tidak dibawa paksa oleh Kusmadi. Bahkan saya juga sempat adu mulut, karena ingin membantu Estelina dan Yorence,” ujar pria yang kesehariannya bekerja sebagai sekurity.
Kami Disekap dan Tak Boleh Berinteraksi

Kami Disekap dan Tak Boleh Berinteraksi
Kaburnya Estelina dari penampungan berkat alasan dirinya yang tepat. Ia beralasan ingin pergi ke warung untuk berbelanja keperluan wanita. “Saat itulah kami langsung melarikan diri. Bahkan saat akan melarikan diri, kami juga bingung mau lari ke mana,” ujar Estelina, Kamis (13/6/2013).

Ia mengatakan, letak lokasi penampungannya tergolong sunyi karena jarak antara rumah satu dengan rumah lainnya sangat jauh. “Kami sangat menderita di sana, bahkan untuk makan kami sangat sulit, sebab satu bungkus nasi itu untuk makan berdua. Terkadang, satu hari kami makan hanya satu kali,” kenangnya.

Senada juga diungkapkan Yorence Lakapu yang menuturkan selain mereka berdua, di lokasi penampungan itu juga masih ada sekitar ratusan orang lainnya yang senasib dengan dirinya.

“Bedanya yang lain itu disekap di lantai dua, dan tidak diperbolehkan berinterkasi dengan warga sekitar. Bahkan kesehariannya hanya di dalam rumah dan tidak bolah keluar dan secara bertahap kami dibuatkan paspor oleh pihak penampung yang kemudian diberangkatkan ke Malaysia menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT),” ujarnya polos.


Perekut Berkilah Tidak Menipu Korban

Estelina Taneo (22) dan Yorence Lakapu (20) dua warga Nusa Tenggara Timur (NTT) yang kabur dari lokasi penampungan di Batu Besar, Nongsa, Batam. Keduanya tidak bersedia 'dijual' ke Malaysia untuk dijadikan pembantu rumah tangga (PRT). 

Sekitar pukul 14.55 WIB, Jumat (14/6/2013), keduanya dipulangkan ke kampung halamannya di Nusa Tenggara Timur. Estelina dan Teneo dipulangkan ke kampungnya oleh perekrutnya dengan menggunakan maskapai Lion Air tujuan Kupang. Dari Kupang ia melanjutkan perjalanan ke kampung halamannya di NTT.

"Benar Estelina dan Teneo kini sudah dipulangkan ke kampung halannya di NTT melalui jalur Batam-Kupang. Kemungkinan sekarang sudah tiba di kampung halamannya," ujar salah satu warga ruli Palm Spring, Batam Centre yang minta identitasnya dirahasiakan, Minggu (16/6/2013).

Seorang warga yang tahu kasus ini menuturkan, Estelina dan Teneo pulang diantar oleh orang yang merekrutnya. "Kalau tidak salah dengan Kusnadi selaku perekrutnya, dia yang memulangkan Estelina dan Teneo," ujarnya. 

Senada juga diungkapkan oleh Frans, pria yang mengaku tinggal di ruli Palm Spring. Ia menuturkan hingga Estelina dan Teneo dipulangkan, kasus ini sama sekali tidak dilaporkan kepada pihak yang berwajib.

"Diselesaikan secara kekeluargaan, sebab sejak tiba di sini, Estelina dan Teneo sama sekali tidak ada terlihat berpergian dan mereka berdua terlihat di rumah saja," ungkapnya.

Di bagian lain, ini dibenarkan Kusnadi yang diketahui perekrut kedua warga NTT itu. Bahkan saat ditemui di Batam Centre, pria ini mengaku dirinya sama sekali tidak ada niat untuk membohongi Estelina dan Teneo.

"Tidak benar itu jika ada yang menuturkan saya telah membohongi Estelina dan Teneo. Sebab dari awal perekrutan, kedua memang ditawarkan untuk bekerja di Malaysia sebagai PRT. Lagipula keduanya tidak memiliki ijazah SMA sederajat yang merupakan salah satu persyaratan untuk bekerja di perusahaan industri, makanya mereka menerima bekerja sebagai PRT di Malaysia," ungkapnya.

Tak hanya itu, Kusnadi juga membantah kalau dirinya telah menyekap Estelina dan Teneo bahkan yang belakangan disebutkan ada 100 orang lagi. "Kalau benar kami menyekap, masa Estelina dan Teneo kami biarkan untuk pergi ke warung dengan alasan untuk membeli perlengkapan wanita," kata dia.

"Lagipula tempat penampungan kami bukanlah lokasi yang sepi, seperti yang diungkapkan. Karena berada di ruko di kawasan Batu Besar," kata Kusnadi lagi.

Lantas kenapa Estelina dan Teneo ingin pulang kekampung halamannya, Kusnadi menyebutkan hal ini karena Estelina dan Teneo bosan selama berada di Batam. Sebab proses pemberangkatannya ke Malaysia mengalami penundaan oleh sebab belum siapnya administrasinya.

"Sebelumnya dia sudah mengaku dengan saya minta dipulangkan dan saat itu juga saya setujui. Namun mungkin karena kelamaan saya mencarikan tiket pesawat, jadi akhirnya mereka pergi dengan alasan ingin membeli perlengkapan wanita. Lagian kenapa bisa sedikit lama, karena saya mencari tiket yang pas untuk memberangkatkan Estelina dan Teneo dan akhirnya didapatlah, Jumat (14/6/2013) sekitar pukul 14.55 WIB dengan rute Batam-Kupang dan kemudian dari Kupang melanjutkan perjalanan ke NTT," ujarnya. (tribun)
Penampungan ilegal
Roko Permata Bandara, Nongsa - Batam
SBMI, Batam - Beberapa ruko lantai dua yang diduga menjadi lokasi penampungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal tutup. Nyaris tidak ada kegiatan di dalamnya. 

Berbeda dengan hari-hari sebelumnya banyak dipenuhi TKI laki-laki dan perempuan di sekitar ruko yang terletak di Jalan Hang Tuah, Komplek Ruko Permata Bandara, Nongsa, Batam, Jumat (14/5/2013).

Pantauan di lokasi, unit-unit ruko tersebut biasa dijadikan penampungan para TKI sebelum diberangkatkan ke Malaysia tertutup rapat. 

Beberapa kali diketuk pintu garasinya, tidak ada satupun orang yang menyahut dari dalam. Terlihat di bagian depan atau samping ruko berserakan bungkus makanan dan minuman yang masih baru. 

Informasi yang diperoleh warga sekitar, tiga unit ruko yang dijadikan tempat penampungan TKI ilegal itu sering terdengar kagaduhan dari dalam ruko berlantai dua itu. Bahkan tidak jarang TKI wanita terdengar berteriak-teriak minta tolong. 

Dari pantauan warga, dua hingga tiga kali seminggu banyak TKI yang didatangkan dari luar Batam. Sehari atau dua hari kedepan, para TKI yang didatangkan itu sudah berganti dengan wajah baru.

"Tiga unit ruko itu penampungan TKI semua. Sekali datang bisa ratusan. Tapi tidak lama-lama ditampung dalam ruko itu. Paling lama tiga-empat hari. Kalau tidak salah, salah satu penampungan itu ada oknum aparatnya. Tapi tidak tau apakah oknum yang punya penampungan itu," ujar salah seorang warga Perumahan Permata Bandara menuturkan. 

Saat ditanya jumlah TKI dan TKW yang kabur dari penampungan, warga itu menyaksikan berkali-kali TKI atau TKW kabur dari penampungan. Namun yang terakhir ini, tegasnya, warga sekitar tidak ada yang mengetahui. 

"Emang ada lagi yang kabur dari penampungan itu ya? Saya tidak tahu bang. Tapi sudah sering TKI-nya kabur, kadang ada yang kabur perumahan di belakang. TKI nya minta tolong dipulangkan ke Kampung halamannya," ungkap warga meyakinkan. 

Beberapa TKI yang berhasil kabur sebelum-sebelumnya, katanya, umumnya TKI wanita. Alasan para TKI itu kabur, karena tidak tahan ditampung didalam ruko itu. 

Selain itu, tambah penuturan warga, banyak TKI yang dibohongi oleh tekong TKI-nya. Ada yang dijanjikan kerja di restoran namun kenyataannya dijadikan pembantu di Malaysia. Bahkan ada juga yang perkerjakan ditempat hiburan malam. (tribun)
Penampungan Ilegal
BMI di Penampungan Ilegal Batam
SBMI, Batam - Poltabes Barelang menggerebek sebuah rumah di kawasan Villa Pesona Asri Blo A-20-9, Batam Centre. Rumah ini diperiksa karena digunakan sebagai tempat penampungan para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang masuk ke Indonesia secara Ilegal.

Di dalam rumah tersebut aparat kepolisian menemukan 26 orang asal Lombok, NTT. Rata-rata mereka berusia antara 19 sampai 71 tahun ini tenaga kerja asal Indonesia yang bekerja di Malaysia sebagai tenaga buruh lepas di Area Sawit dan dibeberapa perusahaan lainnya.

Informasi yang dihimpun Tribun Batam diketahui para TKI yang masuk ke Indonesia dengan cara ilegal tersebut baru saja masuk ke Indonesia melalui Batam dengan menggunakan Pancung atau Speed boat yang disewanya dengan harga yang bervariasi. Para TKI ini mendarat di Batam melalui pelabuhan rakyat Tanjung Sengkuang pada Jum'at (9/7/2010) dini hari.

Begitu tiba para TKI tersebut ada yang secara langsung bergerak menuju ke Bandara ataupun ada juga yang sebagain singgah dan menerap di salah satu kerbat mereka yang ada di Batam .

Namun juga ada yang langsung di jemput oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Anti Trafiking. LSM ini kabarnya membawa para TKI Ilegal tersebut ke rumah di kawasan Villa Pesona dimana didalam rumah tersebut sudah ada beberapa TKI yang lebih dulu ada dan berada di dalam rumah tersebut.

"Semalam kita bawa sekitar 20 orang dari pelabuhan rakyat di Tanjungsengkuang , dan ini sudah ke dua kalinya kita lakukan," kata Syamsul yang mengaku sebagai ketua LSM tersebut.

Dari keterangan Syamsul juga di ketahui bahwa para TKI yang masuk ke Indonesia secara ilegal tersebut nantinya akan segera dipulangkan ke kampung halamannya masing-masing sambil menunggu turunnya harga tiket menuju Lombok yang masih sangat tinggi pasca masa liburan sekolah berlangsung.

"Ini bukan rumah penampungan mas namun hanya rumah singgah saja bagi para TKI ini," dalih Syamsul yang juga mengaku telah memberikan penyuluhan tentang pencegahan terjadinya transaksi penjualan orang kepada para TKI tersebut.

Penggerebekan yang di kepalai oleh Kanit I Poltabes Barelang Iptu Abdul Aziz tersebut langsung melakukan pendataan identitas. Terlihat ke 26 TKI yang masih didalam rumah tipe 45 ini tidur berjejer dengan saling beradu kaki diruangan tamu yang hanya di beri kipas angin berdiri dan sebuah televisi berukuran 20 inch.

Dari keterangan seorang sumber yang bisa di percaya mangatakan bahwa TKI yang berada dalam penampungan ilegal tersebut tidak memiliki pasport ataupun permit untuk pulang ke Indonesia meski telah beberapa kali keluar dan masuk di kedua negara tersebut melalui jalur yang sama.

"Dan mereka takut untuk membuat ijin baru kembali karena takut di penjarakan oleh Satpol PP nya Malaysia dan mereka rata-rata membayar uang sebesar Rp. 700 ribu hingga Rp1 juta untuk bisa pulang ke Indonesia dari Malaysia dengan menggunakan jalur tersebut," katanya. (tribunnews)
Kondisi penampungan jalan Transito Tanjungpinang, Kepri. dok. tanjungpinang pos
Mensos Nasihati TKI Deportasi Tak Lagi Masuk Malaysia

Sejak Tahun 2004 Tanjungpinang dijadikan tempat transit TKI yang dideportasi dari Malaysia. Bisa dibayangkan betapa banyaknya jumlah mereka, ketika ditampung di penampungan TKI Kelas B Jalan Transito kondisinya tak ubahnya ikan sarden karena kelebihan kapasitas.

Sudah ada pejabat tinggi negera ini mengunjunginya. Jumat kemarin (25/11) giliran Menteri Sosial RI Dr H Salim Segaf Al Jufri bertandang, mengunjungi 94 TKI yang dideportasi dari Malaysia. Menteri ditemani Gubernur Kepri Muhammad Sani, Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A Manan dan Wakil Bupati Bintan Khazalik berdialog langsung dengan TKI.

Baru melihat kondisinya, Mensos merasakan penderitaan TKI deportasi. Tanpa pendingin ruangan, hawa panas segera menyambut kulit. Apalagi jika pendeportasian dilakukan dalam jumlah besar, dipastikan para TKI rela berhimpitan. Kapasitas idel bangunan ini hanya untuk 350 orang, nyatanya selama ini harus menjadi penampungan 500 hingga 600 jiwa.
“Pak Menteri inilah kondisi penampungan kita sejak Tanjungpinang dijadikan sebagai kota transit TKI dari Malaysia yang dideportasi. Kalau over kapasitas seperti ikan sarden terhimpit-himpit,” kata Wali Kota Tanjungpinang Suryatati A Manan saat memberikan kata sambutan kepada pak Menteri.

Menurut Suryatati A Manan, sejak tahun 2004 lalu hinga sekarang, TKI yang dideportasi melalui Tanjungpinang mencapai 243.942 jiwa atau sudah melebihi jumlah penduduk kota Tanjungpinang yang sekitar 200-an ribu.

Celakanya, tak semua TKI kondisinya sehat. Ada yang stres, hamil, terinveksi HIV/AIDS.
Sesuai dengan data yang diterima dari satgas TKI di penampungan TKI Tanjungpinang, sudah ada 39 TKI yang hamil, 13 TKI melahirkan di penampungan, lima TKI terinveksi HIV/AIDS dan ada tujuh TKI yang stres.

Wako juga menjelaskan kalau kondisi penampungan sudah tidak layak lagi, terutama saat over kapasitas. Selama TKI berada di penampungan TKI di berikan makan tiga kali sehari, dihibur organ tunggal dan diberi siraman rohani.

“Perlu juga saya informasikan kalau honor satgas yang melibatkan 12 intanasi hanya Rp400 ribu per bulan, tidak cukup dengan tugas yang cukup berat,” tegasnya.

Wali Kota juga menjelaskan jumlah TKI yang dikirim kembali ke kampung halamanya melalui kapal Pelni ke Jakarta, tidak sesuai dengan data yang sampai di Jakarta. Dalam perjalanan TKI justru banyak berkurang.

“Masih ada oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pemulangan TKI yang mengaku saudaranya. Kemudian TKI itu dimasukkan kembali ke Malaysia melalui pelabuhan tidak resmi,” paparnya.

Zaki Zainuddin, TKI asal Nusa Tenggara Barat (NTB), menceritakan pengalaman selama ia dipenjara. Zaki mendapatkan hukuman enam bulan penjara di Malaysia karena visanya sudah mati, dan mulai dipenjara tanggal 13 Juli 2011 lalu. Selama dipenjara dia mendapatkan hukuman cukup berat harus menerima tiga kali campuk mengunakan rotan.

“Saat dicambuk apakah merasakan sakit atau cambuknya pelan-pelan,” tanya Salim Segaf berbalik bertanya kepada Zaki. Kata Zaki cambuknya cukup keras, petugas yang mencambuk mengunakan rotan adalah tim khusus untuk mencambuk.

“Bukan dicambuk saja tapi kita diberi makan tidak manusiawi,” sambung Zaki. Kata juga dikatai-katain dengan kata yang tidak baik seperti “Kalau ini Anjing,” tega Zaki. Zaki juga menceritakan kalau selama ditahan di Malaysia uang dan pakaian justru diambil oleh petugas penjara.

Juga ditambahkan Maryati, TKI asal Surabaya. Janda empat anak ini mengaku dipenjara selama dua tahun di Malaysia. Selama di penjara ia mendapatkan perlakukan tidak senonoh, selain dicaci maki uang dan pakaian yang bagus-bagus diambil.
“Tolong Pak Menteri sediakan lapangan kerja untuk kami, bukan kami tidak mau bekerja di Indonesia tapi gaji di tanah air sekarang tidak bisa menghidupi keluarga kami di kampung,” tegasnya.

Mensos menyadari kondisi penampungan memang tidak layak, tapi harus bagaimana lagi itulah yang terbaik untuk sekarang. Dengan adanya pembangunan penampungan TKI yang baru, yang baru dibangun oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Sosial di Senggarang, diharapkan penderitaan TKI bisa teratasi.

“Kementerian Sosial hanya bisa membantu kolektif bukan perorangan, misalnya melalui program kelompok usaha, jadi kalau sudah sampai ke kampung halaman nanti jangan lagi masuk ke Malaysia,” ujarnya.

Usai meninjau penampungan TKI, Mensos mengunjungi pembangunan rumah penampungan TKI yang berada di Senggarang. Rombongan ini menanam pohon durian di halaman calon gedung penampungan TKI yang lebih nyaman ini.

“Semoga pohon ini nanti bermanfaat,” doa Mensos.

Dengan selesainya bangunan penampungan TKI yang baru akhir tahun ini, kalau ada TKI yang dideportasi tidak lagi harus berhimpit himpitan.

Mensos menyempatkan diri salat Jumat di Masjid Raya Tanjungpinang, makan siang di Gedung Daerah, mengunjungi Pulau Penyengat dan mengadakan rapat korrdinasi dengan Gubernur serta SKPD di Gedung Daerah. (tanjungpinang pos)