sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

HOME » » Daerah Mulai Menolak BPJS


Unknown 19:31 0

Jaminan Sosial
Menolak BPJS Kesehatan, Perampasan Hak rakyat
KORAN MIGRAN, SURAKARTA - Meski pernah bersatu sebagai pasangan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surakarta, Joko Widodo dan FX Hadi Rudyatmo memiliki sikap berbeda soal pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Kesehatan Nasional (BPJS) Kesehatan.


Sebagai Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) menandatangani pengintegrasian program Kartu Jakarta Sehat (KJS) ke dalam JKN, 1 Januari 2014. Sementara itu, FX Hadi Rudyatmo menolak mengintegrasikan program Jamkesdanya ke dalam BPJS Kesehatan. 

Hadi mengatakan, pelaksanaan program JKN saat ini tidak sesuai amanat undang-undang (UU) tentang fakir miskin. Dalam UU itu disebutkan, seseorang masuk kriteria miskin apabila gajinya di bawah upah minimum kabupaten (UMK) atau seorang yang gajinya sesuai UMK, namun belum bisa memenuhi hidup layak.

“Tapi, karena pakai data BPS (Badan Pusat Statistik), itu masih amburadul dengan data pemerintah kabupaten. Banyak orang miskin di Solo tidak dapat Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat),” katanya ketika dihubungi, Jumat (3/1). 

Di Solo saat ini ada sekitar 12.500 orang miskin yang tidak ditanggung Jamkesmas. “Padahal, mereka dulu menerima Jamkesmas, sekarang tidak lagi,” katanya.

Oleh karena itu, pemerintahan Surakarta menjamin mereka dengan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Solo (PMKS) Gold. Langkah ini dilakukan supaya orang miskin tetap terlayani dan mendapatkan jaminan kesehatan, sesuai amanat konstitusi. 

Ia menambahkan, akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Komisi IX DPR, menteri sosial, dan menteri kesehatan. Ia akan menanyakan, apakah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bisa digunakan untuk program nasional seperti JKN.

Sesuai aturan, program nasional harus ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara itu, ABPD digunakan untuk pelaksanaan kegiatan di daerah, baik yang bersifat infrastruktur maupun noninfrastruktur. 

Kota Surakarta harus menyerahkan APBD sekitar Rp 3,6 miliar ke pemerintah pusat untuk menanggung orang miskin supaya masuk BPJS. “Saya tidak mau dituduh korupsi. Apa dibenarkan APBD membayar program nasional? Setahu saya, itu jelas tidak bisa,” tuturnya. 

Menurutnya, pemerintah seharusnya konsisten menggunakan UU Kesehatan untuk melaksanakan program JKN. Pemerintah harus membiayai seluruh orang miskin menggunakan APBN. “Ini tidak konsisten menjalankan UU,” katanya. 

Selain Surakarta, Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Sukoharjo, Jawa Tengah (Jateng), masih menjalankan program jamkesda sendiri. Menurut Ketua DKR Jawa Tengah, Prijo Wasono, di Jawa Tengah, baru Klaten dan Tegal yang bergabung dengan BPJS. Sejumlah daerah di Jateng keberatan karena biaya yang harus ditanggung pemda terlalu tinggi. 

“Kepala Dinas Kesehatan Sukoharjo, Guntur, saat bertemu pernah mengatakan, Sukoharjo masih memberlakukan Jamkesda,” ujarnya.

Jika dikelola BPJS, Kabupaten Sukoharjo harus membayar sekitar Rp 23 miliar per tahun untuk 98.952 warga miskin. Padahal, pemerintah Sukoharjo tidak memiliki anggaran sebesar itu. DPRD juga tidak sepakat. “Sekarang dengan Jamkesda, hanya Rp 2 miliar untuk dana kesehatan dan Rp 4 miliar untuk RSUD,” ia memaparkan.

Oleh karena itu, Kabupaten Sukoharjo masih melayani rakyat dengan Jamkesda dengan biaya maksimal Rp 5 juta untuk yang nonoperatif dan Rp 10 juta untuk kasus operatif. 

Kepala Dinas Kesehatan Karang Anyar Cucuk Heru Kusumo juga khawatir akan banyak persoalan yang muncul dengan BPJS. “Bagaimana dengan bayi para peserta? Bagaimana dengan para gelandangan yang telantar? Bagaimana dengan program Jampersal yang sudah berjalan? Semuanya bubar,” kata Prijo mengutip Cucuk.

Di Jawa Timur, anggota DPRD Surabaya, Yayuk Puji Rahayu, yang dihubungi SH menolak pemberlakuan BPJS di Kota Surabaya. “Surabaya siap menjalankan sendiri karena dari dulu sudah sendiri mengurus kesehatan rakyat,” ujarnya. 

Sementara itu, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) melakukan kebijakan yang sama seperti DKI Jakarta. Gubernur Sulut SH Sarundajang langsung menindaklanjuti dengan meluncurkan program JKN di Provinsi Sulut.

Launching JKN digagas Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulut melalui Dinas Kesehatan Sulut, dilaksanakan sekaligus dengan malam pergantian tahun 2013-2014. 

Tolak Bayar

Di kalangan masyarakat, program JKN yang dikelola BPJS juga menimbulkan pro dan kontra. Putri Ayu (28) dari Jakarta Barat mengatakan, sangat mendukung program JKN. Ia mengaku tidak sabar untuk segera mendaftar.

Ia berpendapat, dengan adanya JKN, urusan kesehatannya dan keluarganya terbantu. “Saya memantau program JKN ini sudah sejak lama. Biarpun banyak pro dan kontra, itu sah-sah saja, yang penting kesehatan keluarga saya. Dengan JKN, jadi lebih mudah dan praktis, gotong royong juga kan,” katanya. 

Namun, Rikwanto (45) menilai, BPJS sebenarnya asuransi yang berkedok jaminan sosial. “Kesehatan rakyat kan harusnya tanggung jawab dan urusan negara. Warga harusnya tidak dibebankan dengan iuran,” tuturnya.

Ia mengaku tidak memiliki banyak informasi mengenai hal ini. Ia hanya mengetahui BPJS dan JKN dari tetangganya.

“Kalau pemerintah berniat bentuk program ini, harusnya jauh-jauh hari diberitakan dan diberikan penyuluhan informasi. Tidak dua bulan mau terbit baru gencar diberitakan. Ini kan sama saja dengan pemaksaan,” ucapnya. (shnews.co)

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments

Leave a Reply

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.