sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

HOME » » Semangat Laissez Faire Dalam RUU Perdagangan


Unknown 09:29 0

SBMI, Jakarta - Ditengah-tengah kencenderungan berbagai negara di dunia memperkuat peran pemerintah dalam perekonomian. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah justeru sepakat untuk menyerahkan pengelolaan perekonomian pada mekanisme pasar.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan yang kini tengah dibahas DPR secara jelas dan tegas mereduksi peran pemerintah terbatas hanya sebagai fasilitator—sebuah peran sederhana sebagai penjaga malam (Night Watchmen State) bagi bekerjanya mekanisme pasar (laissez faire).

Semangat laissez faire tampak pada penjelasan umum dalam RUU tersebut, yang secara gamblang menyatakan bahwa rumusan UU Perdagangan ini merupakan pengejawantahan paradigma baru dalam cara pandang terhadap peran pemerintah di bidang perdagangan yang terbatas sebagai fasilitator dan mengurangi peran dominannya sebagai regulator.

Perlindungan Bagian lain yang menunjukan semangat laissez faire pada RUU itu terdapat pada pasal 2 ayat 1 huruf c dan e yang berbunyi ; perdagangan diselenggarakan berdasarkan asas pemberian kesempatan yang sama bagi seluruh pelaku usaha, dan pelakuan yang sama terhadap produk yang beredar di pasar dalam negeri.

Laissez faire menuntut perlakuan yang sama antara produk impor dengan produk nasional yang diperdagangkan di pasar dalam negeri. Sederhananya, jika pemerintah memberikan fasilitas pada industri dalam negeri, maka fasilitas serupa harus pula diberikan pada industri pesaingnya dari luar negeri.

Padahal ditinjau dari berbagai aspek produsen lokal dengan produsen asing berada dalam posisi yang asimetris (tidak seimbang). Produsen asing jauh lebih unggul baik dalam aspek permodalan, teknologi, jaringan distribusi maupun harga jual produk.

Akibatnya, keberadaan RUU perdagangan dapat mengancam kelangsungan hidup pelaku usaha lokal, yang semestinya memperoleh perlindungan agar dapat tumbuh dan berkembang.

Kasus hancurnya industri alas kaki dan garmen akibat penerapan ACFTA (Asean-China Free Trade Aggrement) seharusnya menjadi isyarat bagi perlunya campur tangan pemerintah dalam perdagangan, melalui proteksi terhadap produk-produk lokal dalam berbagai bentuk kemudahan dan fasilitas.

Pasar Rakyat Perlindungan itu, agaknya semakin jauh bagi pelaku-pelaku usaha lokal, terutama para pedagang kecil. Pasar rakyat—tempat bagi usaha bermodal kecil dengan proses jual beli dengan cara tawar menawar—dimungkinkan dikembangkan oleh swasta (termasuk swasta asing), sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat 1 huruf a RUU Perdagangan.

Pengembangan pasar rakyat oleh swasta akan membuat biaya retribusi dan sewa kios menjadi mahal, karena perusahaan pengelola pasar rakyat cenderung berorientasi profit, berbeda ketika pasar rakyat dikelola oleh pemerintah atau asosiasi pedagang pasar, para pedagangan mendapat subsidi dan keringanan biaya sewa dan retribusi.

Disisi lain, tingginya biaya sewa kios dan retribusi, bila pasar rakyat dikelola perusahaan swasta akan dikompensasi dengan peningkatan harga-harga barang. Padahal konsumen utama pasar rakyat adalah masyarakat berpenghasilan rendah. Ini tentu berlawanan dengan tujuan RUU Perdagangan itu sendiri, yaitu terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Suasana kebatinan penyusunan RUU Perdagangan agaknya memang bertujuan menjalankan agenda liberalisasi yang menghendaki perekonomian diserahkan kepada mekanisme pasar.

Melawan Arus Pilihan menyerahkan perekonomian kepada mekanisme pasar berlawanan dengan kecenderungan di banyak negara-negara Eropa dan Amerika beberapa tahun terakhir, yang kembali memperkuat peran pemerintah dalam perekonomian sejak krisis melanda kawasan tersebut, yang dituding disebabkan kegagalan pasar (market failure).

Semangat laissez faire dalam RUU Perdagangan harus dikoreksi karena tidak ada satupun negara di dunia yang menyerahkan ekonominya pada mekanisme pasar, bahkan di negara paling liberal sekalipun.(kompas)
 
Penulis:Edy Burmansyah,Peneliti di Resistance and Alternative to Globalization (RAG)

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments

Leave a Reply

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.