Kisah Pilu Keluarga Perantau Dari Desa Lewohedo
Unknown
16:05
3
Senja baru saja berlalu, sementara sayup-sayup terdengar alunan
merdu musik dangdut dari kejauhan, dengan langkah tergesa-gesa, Siska
Da Gomes merapikan taplak meja sambil mempersilahkan penulis duduk.
Wanita berusia lima puluh tahun itu tampak hati-hati menyalakan lampu pelita dari kaleng “Maaf, agak kotor”, katanya malu-malu, “Tidak apa-apa”, jawab ku singkat.
Setelah ditinggal suaminya merantau delapan tahun lalu, Siska Da Gomes tinggal sendiri di rumah kecil yang dindingnya mulai berlubang sana sini. “Bapak pernah telepon atau kirim surat ka?”, tanya ku memecah kesunyian. “Tidak pernah pa”, jawabnya dengan nada sedih.
Sejenak saya tertegun, membayangkan Siska yang delapan tahun tanpa berita dari suami yang mengadu nasib di Malaysia. Delapan tahun bagi Siska bukan waktu yang singkat. Demikianlah salah satu potret dampak perantauan di Flores Timur. Kaum ibu rela ditinggal bertahun-tahun tanpa sandaran hidup. Banyak kaum ibu di Flores Timur yang harus menjadi kepala keluarga. Mereka mencari rezeki dari bumi Flores Timur yang gersang sekedar untuk mengisi perut dan biaya sekolah anak-anaknya.
Tidak jarang, anak-anak terpaksa putus sekolah karena tidak punya biaya. Siska memang tidak punya anak sehingga beban yang satu ini tidak ia rasakan. “Mereka yang anaknya masih sekolah itu memang susah betul pak”, komentarnya pelan. Siska lantas bercerita tentang kehidupan masyarakat Desa Lewohedo, Kecamatan Solor Timur yang dari dahulu gemar merantau ke luar negeri, terutama Malaysia.
Desa berpenduduk empat ratus tiga puluh empat jiwa ini tercatat memiliki delapan puluh empat orang penduduk yang masih berada di tanah rantau. Enam puluh empat laki-laki, dua puluh perempuan (data tahun 2009).
Banyak dari mereka yang merantau ke Malaysia Timur, Kota Kinabalu (KK), Sandakan, Tawao, Keningau, serta beberapa kota kecil lainnya. Beberapa di Malaysia Barat seperti, Kuala Lumpur dan Johor.
“Saya juga pernah merantau di Malaysia pa”, tutur Siska, memulai cerita. Orang Lewohedo merantau ke luar negeri sejak puluhan tahun silam. Jauh sebelum UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Terhadap Buruh Migran dikeluarkan Pemerintah Repubik Indonesia (RI).
Fenomena umum sebelum berangkat merantau, terlebih dahulu mereka meminjam sejumlah uang pada sanak keluarga atau tetangga dengan bunga seratus persen dan menigkat setiap tahunnya. Artinya, jika pinjaman dikembalikan sebelum satu tahun tahun, bunga tidak berlaku.
Lebih dari satu tahun, perhitungan bunga mulai berlaku dan akan terus menigkat. Sebagai contoh, jika seseorang meminjam satu juta, di tahun kedua ia harus mengganti dua juta. Molor sampai tahun ketiga, menjadi tiga juta, dan seterusnya. ‘Satu ganti dua’. Demikian istilah orang-orang di sana.
Setelah uang diperoleh, tanpa mengurus kelengkapan administrasi di daerah asal, calon TKI langsung berangkat menuju Nunukan Kalimantan Timur. Di Nunukan, kelengkapan administrasi diurus lewat calo yang juga orang dari Flores Timur (masyarakat menyebut “orang-orang kita sendiri”) dengan biaya berlipat.
Pada tahun sembilan puluhan, harga normal untuk sebuah paspor, antara dua sampai tiga ratus ribu rupiah, di tangan para calo, bisa meningkat hingga satu jutaan. Biaya tersebut masih ditambah akomodasi penginapan serta makan sehari-hari, hingga jumlahnya membengkak sampai angka satu juta lima ratus ribu rupiah. Sekarang, biaya mengurus paspor bisa mencapai dua juta.
Setelah tetek-bengek administrasi selesai, calon buruh migran langsung masuk Malaysia lewat jalur laut. Ada yang menggunakan perahu cepat (speed boat) ukuran kecil, hingga kapal cepat ukuran sedang. Jika tidak punya surat sama sekali, biasanya masuk lewat jalur ‘tikus’ dengan menyelinap di kegelapan malam menggunakan speed boat sewaan untuk menghindari Tentara Laut Diraja Malaysia. Kapal yang memberangkatkan calon TKI tanpa dokuman tersebut, kemudian mendarat di daerah rawa yang jauh dari perkampungan. Selanjutnya menyusup ke kota mencari kerja.
“Mama Siska dahulu, lewat jalur mana?”, tanyaku sambil membetulkan posisi duduk. “Oh, kalo saya pakai paspor pa”, jawabnya sambil tertawa.
Wanita paruh baya ini lantas melanjutkan penuturan kisahnya. Selama kaum suami di Malaysia, mereka para ibu biasa berperan ganda sebagai pencari nafkah, sekaligus ibu bagi anak-anak mereka. Ada yang membanting tulang di ladang, berjualan ikan di pasar, atau mencuci pakaian tetangga dengan upah hanya pas untuk makan sehari. Mendapat kiriman uang dari tanah rantau adalah hal yang paling mereka tunggu-tunggu. “Kadang tiga atau empat bulan sekali. Ada kalanya, setahun hanya sekali kirim”, kenang Siska dengan nada getir.
Tak jarang, kaum ibu di desa mereka, harus siap menerima kenyataan pahit, suami kawin lagi di tanah rantau. Mama Siska, sapaan akrab Siska, salah satu contohnya. suaminya menikah lagi dengan orang sekampung yang sama-sama merantau di Malaysia. Situasi semacam itu sangat menyakitkan bagi Mama Siska. Kondisi yang dialami mama Sisca seakan menjadi hal yang biasa di Flores Timur pada umumnya.
Salah satu realita yang sangat memprihatinkan saat ini adalah ketika beberapa suami mereka pulang membawa serta ‘oleh-oleh’ pahit HIV/AIDS. Data resmi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Flores Timur per Oktober 2009, jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak tiga puluh lima orang. Enam belas orang diantaranya adalah buruh migran, sedangkan ibu rumah tangga (IRT) sebanyak tiga orang.
Selain itu, kaum migran beserta keluarganya, sering kali mengalami ketidakadilan sejak pra keberangkatan hingga purna migrasi. Calon buruh migran masih sering diperas calo, buruh pelabuhan, oknum aparat, dan terkadang uang mereka dicopet di terminal atau di atas kapal. Serangkaian ironi itu adalah kisah kelam yang terlalu sering terdengar di Flore Timur. Situasi di pelabuhan Larantuka misalnya, buruh angkut tega memberi tarif untuk sekarung barang bawaan hingga satu juta rupiah, atau bahkan bisa lebih.
Ketika hal itu diadukan ke polisi, apa jawaban yang sering mereka terima? “Urus dame jo ama” (dalam bahasa Flores berarti diselesaikan secara kekeluargaan). Itulah sebabnya sejumlah kapal angkutan milik PELNI yang selama ini melayani rute Larantuka, dipindahkan ke Lewoleba, Kabupaten Lembata. Bukti kongkrit PEMDA Flotim yang kebanyakan pejabatnya ‘besar’ (maraup pundi-pundi uang) dari hasil orang-orang perantauan. Pemerintah daerah tampak tidak peduli terhadap nasib orang-orang kecil.
Hingga detik ini, belum ada satu pun regulasi yang dibuat PEMDA setempat dalam menyikapi persoalan ini. Forum Peduli Buruh Migran Flores Timur, saat ini tengah berusaha mempengaruhi para pembuat kebijakan untuk memperhatikan hal tersebut. Mudah-mudahan ada tanggapan serius dari pemerintah lokal.
Waktu mendekati pukul 20.00. Alunan musik dangdut tak lagi terdengar. Cahaya lampu minyak tanah nyaris padam diterpa angin malam yang dingin. Saya pun berpamitan, mengingat perut tak lagi mau diajak kompromi. Lapar. Wanita paruh baya itu pun mengantar saya ke depan pintu. Sampai di pintu pagar, saya sempat menoleh. Ia masih masih berdiri di depan pintu. Bayangannya meliuk-liuk seirama cahaya lampu, seakan mengajak ia berdansa bersama nasibnya yang suram. Malaysia….oh, Malaysia…!
Wanita berusia lima puluh tahun itu tampak hati-hati menyalakan lampu pelita dari kaleng “Maaf, agak kotor”, katanya malu-malu, “Tidak apa-apa”, jawab ku singkat.
Setelah ditinggal suaminya merantau delapan tahun lalu, Siska Da Gomes tinggal sendiri di rumah kecil yang dindingnya mulai berlubang sana sini. “Bapak pernah telepon atau kirim surat ka?”, tanya ku memecah kesunyian. “Tidak pernah pa”, jawabnya dengan nada sedih.
Sejenak saya tertegun, membayangkan Siska yang delapan tahun tanpa berita dari suami yang mengadu nasib di Malaysia. Delapan tahun bagi Siska bukan waktu yang singkat. Demikianlah salah satu potret dampak perantauan di Flores Timur. Kaum ibu rela ditinggal bertahun-tahun tanpa sandaran hidup. Banyak kaum ibu di Flores Timur yang harus menjadi kepala keluarga. Mereka mencari rezeki dari bumi Flores Timur yang gersang sekedar untuk mengisi perut dan biaya sekolah anak-anaknya.
Tidak jarang, anak-anak terpaksa putus sekolah karena tidak punya biaya. Siska memang tidak punya anak sehingga beban yang satu ini tidak ia rasakan. “Mereka yang anaknya masih sekolah itu memang susah betul pak”, komentarnya pelan. Siska lantas bercerita tentang kehidupan masyarakat Desa Lewohedo, Kecamatan Solor Timur yang dari dahulu gemar merantau ke luar negeri, terutama Malaysia.
Desa berpenduduk empat ratus tiga puluh empat jiwa ini tercatat memiliki delapan puluh empat orang penduduk yang masih berada di tanah rantau. Enam puluh empat laki-laki, dua puluh perempuan (data tahun 2009).
Banyak dari mereka yang merantau ke Malaysia Timur, Kota Kinabalu (KK), Sandakan, Tawao, Keningau, serta beberapa kota kecil lainnya. Beberapa di Malaysia Barat seperti, Kuala Lumpur dan Johor.
“Saya juga pernah merantau di Malaysia pa”, tutur Siska, memulai cerita. Orang Lewohedo merantau ke luar negeri sejak puluhan tahun silam. Jauh sebelum UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Terhadap Buruh Migran dikeluarkan Pemerintah Repubik Indonesia (RI).
Fenomena umum sebelum berangkat merantau, terlebih dahulu mereka meminjam sejumlah uang pada sanak keluarga atau tetangga dengan bunga seratus persen dan menigkat setiap tahunnya. Artinya, jika pinjaman dikembalikan sebelum satu tahun tahun, bunga tidak berlaku.
Lebih dari satu tahun, perhitungan bunga mulai berlaku dan akan terus menigkat. Sebagai contoh, jika seseorang meminjam satu juta, di tahun kedua ia harus mengganti dua juta. Molor sampai tahun ketiga, menjadi tiga juta, dan seterusnya. ‘Satu ganti dua’. Demikian istilah orang-orang di sana.
Setelah uang diperoleh, tanpa mengurus kelengkapan administrasi di daerah asal, calon TKI langsung berangkat menuju Nunukan Kalimantan Timur. Di Nunukan, kelengkapan administrasi diurus lewat calo yang juga orang dari Flores Timur (masyarakat menyebut “orang-orang kita sendiri”) dengan biaya berlipat.
Pada tahun sembilan puluhan, harga normal untuk sebuah paspor, antara dua sampai tiga ratus ribu rupiah, di tangan para calo, bisa meningkat hingga satu jutaan. Biaya tersebut masih ditambah akomodasi penginapan serta makan sehari-hari, hingga jumlahnya membengkak sampai angka satu juta lima ratus ribu rupiah. Sekarang, biaya mengurus paspor bisa mencapai dua juta.
Setelah tetek-bengek administrasi selesai, calon buruh migran langsung masuk Malaysia lewat jalur laut. Ada yang menggunakan perahu cepat (speed boat) ukuran kecil, hingga kapal cepat ukuran sedang. Jika tidak punya surat sama sekali, biasanya masuk lewat jalur ‘tikus’ dengan menyelinap di kegelapan malam menggunakan speed boat sewaan untuk menghindari Tentara Laut Diraja Malaysia. Kapal yang memberangkatkan calon TKI tanpa dokuman tersebut, kemudian mendarat di daerah rawa yang jauh dari perkampungan. Selanjutnya menyusup ke kota mencari kerja.
“Mama Siska dahulu, lewat jalur mana?”, tanyaku sambil membetulkan posisi duduk. “Oh, kalo saya pakai paspor pa”, jawabnya sambil tertawa.
Wanita paruh baya ini lantas melanjutkan penuturan kisahnya. Selama kaum suami di Malaysia, mereka para ibu biasa berperan ganda sebagai pencari nafkah, sekaligus ibu bagi anak-anak mereka. Ada yang membanting tulang di ladang, berjualan ikan di pasar, atau mencuci pakaian tetangga dengan upah hanya pas untuk makan sehari. Mendapat kiriman uang dari tanah rantau adalah hal yang paling mereka tunggu-tunggu. “Kadang tiga atau empat bulan sekali. Ada kalanya, setahun hanya sekali kirim”, kenang Siska dengan nada getir.
Tak jarang, kaum ibu di desa mereka, harus siap menerima kenyataan pahit, suami kawin lagi di tanah rantau. Mama Siska, sapaan akrab Siska, salah satu contohnya. suaminya menikah lagi dengan orang sekampung yang sama-sama merantau di Malaysia. Situasi semacam itu sangat menyakitkan bagi Mama Siska. Kondisi yang dialami mama Sisca seakan menjadi hal yang biasa di Flores Timur pada umumnya.
Salah satu realita yang sangat memprihatinkan saat ini adalah ketika beberapa suami mereka pulang membawa serta ‘oleh-oleh’ pahit HIV/AIDS. Data resmi Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Flores Timur per Oktober 2009, jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak tiga puluh lima orang. Enam belas orang diantaranya adalah buruh migran, sedangkan ibu rumah tangga (IRT) sebanyak tiga orang.
Selain itu, kaum migran beserta keluarganya, sering kali mengalami ketidakadilan sejak pra keberangkatan hingga purna migrasi. Calon buruh migran masih sering diperas calo, buruh pelabuhan, oknum aparat, dan terkadang uang mereka dicopet di terminal atau di atas kapal. Serangkaian ironi itu adalah kisah kelam yang terlalu sering terdengar di Flore Timur. Situasi di pelabuhan Larantuka misalnya, buruh angkut tega memberi tarif untuk sekarung barang bawaan hingga satu juta rupiah, atau bahkan bisa lebih.
Ketika hal itu diadukan ke polisi, apa jawaban yang sering mereka terima? “Urus dame jo ama” (dalam bahasa Flores berarti diselesaikan secara kekeluargaan). Itulah sebabnya sejumlah kapal angkutan milik PELNI yang selama ini melayani rute Larantuka, dipindahkan ke Lewoleba, Kabupaten Lembata. Bukti kongkrit PEMDA Flotim yang kebanyakan pejabatnya ‘besar’ (maraup pundi-pundi uang) dari hasil orang-orang perantauan. Pemerintah daerah tampak tidak peduli terhadap nasib orang-orang kecil.
Hingga detik ini, belum ada satu pun regulasi yang dibuat PEMDA setempat dalam menyikapi persoalan ini. Forum Peduli Buruh Migran Flores Timur, saat ini tengah berusaha mempengaruhi para pembuat kebijakan untuk memperhatikan hal tersebut. Mudah-mudahan ada tanggapan serius dari pemerintah lokal.
Waktu mendekati pukul 20.00. Alunan musik dangdut tak lagi terdengar. Cahaya lampu minyak tanah nyaris padam diterpa angin malam yang dingin. Saya pun berpamitan, mengingat perut tak lagi mau diajak kompromi. Lapar. Wanita paruh baya itu pun mengantar saya ke depan pintu. Sampai di pintu pagar, saya sempat menoleh. Ia masih masih berdiri di depan pintu. Bayangannya meliuk-liuk seirama cahaya lampu, seakan mengajak ia berdansa bersama nasibnya yang suram. Malaysia….oh, Malaysia…!
ini tulisan saya..
ReplyDeleteini tulisan saya. tulisan ini pertama kali sipublikasikan melalui portal buruhmigran.or.id
ReplyDeleteGood Day,
ReplyDeleteAdakah anda dalam apa-apa jenis masalah pinjaman kewangan? atau sama ada
Anda memerlukan pinjaman yang cepat untuk membersihkan debit anda dan
belakang untuk perniagaan Pada kadar faedah sebanyak 2%. Jika ya hubungi kami
melalui e-mel kami di bawah: tracybanksloanfirm@gmail.com
MAKLUMAT PERMOHONAN PINJAMAN DIPERLUKAN DARIPADA ANDA ..
1) Nama Penuh: ............
2) Seks: .................
3) Umur: ........................
4) Negara: .................
5) Nombor Telefon: ........
6) Work: ..............
7) Pendapatan Bulanan: ......
8) Jumlah Pinjaman Diperlukan: .....
9) Tempoh pinjaman: ...............
10) Pinjaman Faedah: ...........
terima kasih.