sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

Serikat Buruh adalah Sekolah Terbaik Bagi Buruh
Serikat Buruh adalah Sekolah
Salah satu perhatian terpenting untuk memperkuat Serikat Buruh ialah soal pendidikan di dalam organisasi buruh yakni sebagai sekolah terhadap anggota-anggotanya. Untuk memahami bagaimana pentingnya soal pendidikan ini di dalam organisasi buruh akan dipaparkan beberapa pokok-pokok pikiran yang harus kita terapkan di organisasi kita. Semoga berguna dan dapat dijadikan pegangan.

***

Sebagai seseorang buruh atau pekerja, kita mempunyai banyak tugas atau pekerjaan. Baik itu pekerjaan di kantor maupun tugas-tugas melaksanakan keputusan-keputusan organisasi, kita jadi sering melupakan soal pendidikan dan menggapnya “kecil” dan bahkan melupakannya.

Banyak orang mengatakan bahwa kita kekurangan tenaga "GURU" untuk melaksanakan "sekolah" ini. Pendapat demikian ini adalah keliru dan apriori. Sebenarnya kita mempunyai banyak tenaga, banyak orang-orang yang cakap. Tetapi kita harus memberi kesempatan kepada mereka untuk maju. Kita harus menempatkan para "guru" itu tepat pada tempatnya. Kita harus terus membangun kondisi "Belajar Bersama" dengan mereka pada soal-soal apapun itu.

Tiap-tiap kawan yang diberi tugas pekerjaan organisasi harus dilatih secara cukup dan diberi pengertian tentang program aksi organisasi buruh untuk mempertinggi kualitas anggota. Kita harus memperhatikan supaya anggota dan kader-kader itu tidak menjadi bosan dan “berkarat”. Tiap-tiap kali harus diambil tindakan untuk membersihkan debu yang melekat pada diri kader-kader itu.

Menggali dengan seksama kelebihan dari setiap anggota dan kader Serikat Buruh belumlah cukup. Kita harus memperhatikan supaya anggota-anggota yang baru itu diberi pengetahuan organisasi seluas-luasnya, supaya mereka merasa maju, dan lebih-lebih supaya merasa, bahwa mereka mendapat tuntunan setiap hari di dalam menjalankan kegiatan sebagai pekerja atau buruh. 

Kita harus juga mendidik mereka supaya mereka itu benar-benar merasa bertanggung jawab atas pekerjaan yang diberikan oleh organisasi, dan supaya mereka merasa, bahwa mereka 
telah mendapat pendidikan dari organisasi secara baik.

Setiap anggota Serikat Buruh harus diberi latihan di dalam "sekolah" Serikat Buruh, tetapi yang penting sekali ialah pendidikan di dalam menjalani pekerjaan politik yang praktis. Ini berarti, bahwa pendidikan atau "sekolah" kepada anggota-anggota harus selalu ditingkatkan kualitasnya sampai ke tingkatan yang setinggi-tingginya. Hanya dengan jalan ini perjuangan Serikat Buruh di lapangan dapat ditingkatkan.

Kita harus selalu menghubungkan semua teori yang dipelajari dengan permasalahan yang dihadapi sehari-hari. Juga kita harus selalu memberikan contoh bagaimana menggabungkan masalah-masalah teori yang sulit dengan perjuangan kita sehari-hari.

Sebagian dari sekolah-sekolah Buruh tidak mendapat hasil yang baik, karena pendidikan di dalamnya dilakukan menurut sistem pendidikan formal. Seorang buruh yang sadar bukanlah seperti seorang anak sekolah yang bodoh, melainkan seorang pemimpin yang mendapat latihan dan pendidikan khusus dari organisasi.

Sekolah itu hakekatnya ada di dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari, di dalam mempraktekkan semua teori di dalam perjuangan organisasi buruh. Seorang pekerja atau buruh yang sadar harus dididik dalam banyak hal, baik di dalam rapat-rapat maupun di sekolah-sekolah lainnya dari organisasi buruh. Oleh sebab itu, program-program baru kita bukan hanya harus merencanakan soal-soal yang mengenai peningkatan keterampilan lewat berbagai pelatihan keterampilan, tetapi juga harus memamsukkuan kurikulum yang memberikan visi bahkan ideologi dari tujuan organisasi. Setiap anggota Serikat Buruh harus dilengkapi dengan teori dasar-dasar tentang kesadaran sejati.

Kemajuan anggota-anggota Serikat Buruh tidak hanya tergantung kepada bagaimana kita melaksanakan tugas-tugas organisasi, tapi juga tergantung kepada banyaknya perhatian yang dicurahkan terhadap anggota-anggota organisasi serta kepada bagaimana cara kita memimpinnya.

Ditulis oleh Kawan Ram
Lawan Perampasan Tanah dan Ruang Hidup Rakyat!
Bangun Persatuan Gerakan rakyat, dok. photo: istimewa
KORANMIGRAN, JAKARTA - Masalah utama agraria (tanah, air, dan kekayaan alam) di Indonesia adalah konsentrasi kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria baik tanah,hutan, tambang dan perairan di tangan segelintir orang dan korporasi besar, di tengah puluhan juta rakyat bertanah sempit bahkan tak bertanah. Ironisnya, ditengah ketimpangan tersebut, perampasan tanah-tanah rakyat masih terus terjadi.

Perampasan tanah tersebut terjadi karena persekongkolan jahat antara Pemerintah, DPR-RI dan Korporasi. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk mengesahkan berbagai Undang-Undang seperti UU No.25/2007 Tentang Penanaman Modal, UU No.41/1999 Tentang Kehutanan, UU 18/2004 Tentang Perkebunan, UU No.7/2004 Tentang Sumber Daya Air, UU No. 27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 4/2009 Mineral dan Batubara, dan yang terbaru pengesahan UU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Keseluruhan perundang-undangan tersebut sesungguhnya telah melegalkan perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, wilayah tangkap nelayan, wilayah kelola masyarakat adat dan desa, kesemuanya hanya untuk kepentingan para pemodal.

Perampasan tanah berjalan dengan mudah dikarenakan pemerintah pusat dan daerah serta korporasi tidak segan-segan mengerahkan aparat kepolisian dan pam swakarsa untuk membunuh, menembak, menangkap dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya jika ada rakyat yang berani menolak dan melawan perampasan tanah.

Kasus yang terjadi di Mesuji, Bima, Karawang, Moria dan lain-lain adalah bukti bahwa Polri tidak segan-segan membunuh rakyat yang menolak perampasan tanah. Hal ini terjadi karena Kepolisian Republik Indonesia (Polri) secara jelas dan terbuka telah menjadi aparat bayaran perusahaan perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. Kasus PT.Freeport dan Mesuji Sumatera Selatan membuktikan bagaimana polisi telah menjadi aparat bayaran tersebut.

Cara-cara yang dilakukan oleh rezim boneka kapitalisme dalam melakukan perampasan tanah dengan menggunakan perangkat kekerasan negara, mulai dari pembuatan undang-undang yang tidak demokratis hingga pengerahan institusi TNI/polri untuk melayani kepentingan modal asing dan domestik sesungguhnya adalah sama dan sebangun dengan cara-cara Rezim Fasis Orde Baru.

Kami menilai bahwa perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, wilayah tangkap nelayan, wilayah kelola masyarakat adat dan desa yang terjadi sekarang ini adalah bentuk nyata dari perampasan kedaulatan rakyat.

Bagi Kami Kaum Tani, Nelayan, Masyarakat Adat, dan Perempuan perampasan tersebut telah membuat kami kehilangan tanah yang menjadi sumber keberlanjutan kehidupan.

Bagi Kami Kaum Buruh, perampasan tanah dan kemiskinan petani pedesaan adalah sumber malapetaka politik upah murah dan sistem kerja out sourcing yang menindas kaum buruh selama ini. Sebab politik upah murah dan system kerja out sourcing ini bersandar pada banyaknya pengangguran yang berasal dari proses perampasan tanah. Lebih jauh, perampasan tanah di pedesaan adalah sumber buruh migran yang dijual murah oleh pemerintah keluar negeri tanpa perlindungan.

Melihat kenyataan tersebut, kami berkesimpulan: Bahwa dasar atau fondasi utama dari pelaksanaan sistem ekonomi neoliberal yang tengah dijalankan oleh rezim borjuis penguasa Indonesia adalah Perampasan Tanah atau Kekayaan Alam yang dijalankan dengan cara-cara kekerasan.

Kami berkeyakinan bahwa untuk memulihkan hak-hak rakyat Indonesia yang dirampas tersebut harus segera dilaksanakan Pembaruan Agraria, Pembaruan Desa demi Keadilan Ekologis.

Pembaruan Agraria adalah penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, untuk kepentingan petani, buruh tani, perempuan dan golongan ekonomi lemah pada umumnya seperti terangkum dalam UUPA 1960 pasal 6,7,9,10,11,12,13,14,15,17. Pembaruan Agraria adalah mengutamakan petani, penggarap, nelayan tradisional, perempuan dan masyarakat golongan ekonomi lemah lainnya untuk mengelola tanah, hutan dan perairan sebagai dasar menuju kesejahteraan dan kedaulatan nasional.

Pembaruan Desa adalah pemulihan kembali hak dan wewenang di Desa atau nama lain yang sejenis, yang telah dilumpuhkan dan diseragamkan oleh kekuasaan nasional sejak masa Orba melalui UU No.7/1979 tentang Pemerintahan Desa. Penyeragaman tersebut telah menghilangkan pranata asli masyarakat pedesaan yang merupakan kekayaan “Bhineka Tunggal Ika” yang tak ternilai harganya.

Pembaruan Desa adalah pemulihan hak dan wewenang desa dalam mengatur sumber-sumber agraria di desa dengan cara memberikan wewenang desa dalam mengelola kekayaan sumber-sumber agraria untuk rakyat, memberikan keadilan anggaran dari APBN, menumbuhkan Badan Usaha Bersama Milik Desa untuk mempercepat pembangunan ekonomi pedesaan.

Bingkai utama dari pelaksanaan Pembaruan Agraria dan Pembaruan Desa adalah menuju Keadilan Ekologis. Dengan demikian, keseluruhan pemulihan hak-hak agraria rakyat, pemulihan desa adalah untuk memulihkan Indonesia dari kerusakan ekologis akibat pembangunan ekonomi neoliberal selama ini.

Kepada seluruh rakyat Indonesia yang terhimpun dalam organisasi-organisasi gerakan untuk merebut dan menduduki kembali tanah-tanah yang telah dirampas oleh pemerintah dan pengusaha. Diserukan agar seluruh rakyat Indonesia untuk membentuk organisasi-organisasi perlawanan terhadap segala bentuk perampasan tanah.

Juga mengajak kepada para cendikiawan, budayawan, agamawan, professional agar mengutuk keras dan melawan segala bentuk pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah dalam melakukan perampasan tanah.

Menghentikan Segala Bentuk Perampasan Tanah Rakyat dan Mengembalikan Tanah-Tanah Rakyat yang Dirampas.

Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati sesuai dengan Konsitusi 1945 dan UUPA 1960

Tarik TNI/Polri dari konflik Agraria, membebaskan para pejuang rakyat yang ditahan dalam melawan perampasan tanah.

Melakukan Audit Legal dan Sosial Ekonomi terhadap segala Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan, Hak Guna Bangunan (HGB), SK Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Izin Usaha Pertambangan (IUP) baik kepada Swasta dan BUMN yang telah diberikan dan segera mencabutnya untuk kepentingan rakyat.

Membubarkan Perhutani dan memberikan hak yang lebih luas kepada rakyat, penduduk desa, masyarakat adat dalam mengelola Hutan.

Pengelolaan sumber-sumber alam yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan mensegerakan UU PA-PSDA sesuai amanat TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Penegakan Hak Asasi Petani dengan cara mengesahkan RUU Perlindungan Hak Asasi Petani dan RUU Kedaulatan Pangan sesuai tuntutan rakyat tani.

Penegakan Hak Masyarakat Adat melalui Pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat.

Pemulihan Hak dan Wewenang Desa dengan segera menyusun RUU Desa yang bertujuan memulihkan hak dan wewenang desa atau nama lain yang sejenis dalam bidang ekonomi, politik hukum dan budaya.

Penegakan Hak Asasi Buruh dengan Menghentikan Politik Upah Murah dan Sistem Kerja Kontrak, Out Sourcing dan membangun Industrialisasi Nasional. Bentuk Undang-undang yang menjamin hak-hak Buruh Migran Indonesia dan Keluarganya

Penegakan Hak Asasi Nelayan Tradisional melalui perlindungan wilayah tangkap nelayan tradisional dengan mengesahkan RUU Perlindungan Nelayan, Menghentikan kebijakan impor ikan dan privatisasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pencabutan sejumlah UU yang telah mengakibatkan perampasan tanah yaitu UU No.25/2007 Penanaman Modal, UU 41/1999 Kehutanan, UU 18/2004 Perkebunan, UU 7/2004 Sumber Daya Air, UU 27/2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU 4/2009 Minerba, dan UU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan.
Kriminalisasi BMI
Yuni dan Suami yang menjengunuknya di penjara, dok.photo: tribunnews
SBMI, Semarang - Yuni Rahayu tak bisa menyembunyikan kesedihannya, saat berada di balik jeruji ruang tahanan Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Rabu (24/9). Sorot matanya menerawang, kosong, wajahnya tampak menyiratkan duka.

Betapa tidak, keinginannya untuk menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Hongkong, guna membantu perekonomian keluarga, kandas. Ia kini justeru harus mendekam di penjara, lantaran dipidanakan oleh perusahaan penyalur tenaga kerja, yang menampungnya.

"Hari ini, jadwalnya mendengarkan tuntutan dari jaksa," kata ia, lirih.

Sesekali ia, mengobrol dengan sang suami, yang setia menemani di luar ruang tahanan. "Sudah sekitar empat bulan saya di dalam (sel). Selama itu saya tak pernah bertemu dan ngobrol dengan anak-anak. Saya sedih sekali. Kini, saya hanya berharap keadilan," ujar ibu dua anak, warga jalan Gedongsongo, Semarang, itu.

Perkara itu bermula ketika ia mendaftarkan diri ke Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), PT. Maharani Tri Utama, pada Januari 2014 silam. Setelah memenuhi syarat administrasi, ia pun diwajibkan mengikuti pelatihan selama 60 hari, di penampungan.

"Namun, saya tidak bisa mengikuti pelatihan selama 60 hari penuh, lantaran ayah saya sakit keras. Saya beberapa kali meminta izin untuk menunggui beliau," ceritanya.

Bahkan, nyawa ayah Yuni akhirnya tak tertolong lagi. Ia pun begitu terpukul oleh peristiwa itu. Namun, belum kering air matanya lantaran sedih ditinggal sang ayah, Yuni mendapat kabar mengejutkan.

"Perusahaan mengirim surat pemberitahuan untuk mengembalikan biaya untuk pelatihan, uang saku, dan pembuatan pasport, total semuanya ada Rp19.250.000," ujar dia.

Lantaran tak bisa memenuhi tuntutan ganti rugi, hingga waktu yang ditentukan, Yuni dilaporkan oleh PT. Maharani Tri Utama ke Mapolrestabes Semarang, atas tuduhan penggelapan. Atas laporan itu, polisi kemudian menahan Yuni pada 7 Mei 2014.

"Sejak saat itu, saya mendekam di penjara sampai sekarang. Setelah beberapa waktu di tahanan polisi, kini saya mendekam di Lapas Wanita Bulu Semarang," ujar dia lirih.

Selama dalam proses pemeriksaan perkara, hingga saat ini, Yuni didampingi kuasa hukum dari LBH Mawar Saron. Direktur LBH Mawar Saron, Guntur Perdamaian, mengatakan kliennya adalah korban kriminalisasi PJTKI. (tribun)

________________________________________________________________________

Berikut analisa kasusnya:
Kasus yang menimpa Yuni calon BMI ke Hong Kong yang dikriminalisasikan hanya karena tidak menyelesaikan proses pelatihan di Balai Latihan Kerja/BLK yang disediakan oleh PJTKI atau PPTKIS adalah satu kekeliruan dari Perusahaan Pengerah. Bahwa Polrestabes, Pengadilan Negeri Semarang dan jajarannya sangat keliru dalam menafsir proses penempatan BMI ke luar negeri dan juga peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Didalam perjanjian yang ditandatangani antara Yuni dan juga PT Maharani Tri Utama Mandiri sudah jelas menyatakan "Jika terjadi perselisihan antara kedua belah fihak, maka diselesaikan secara musyawarah dan jika tidak memenuhi mufakat maka akan meminta mediasi kepada pejabat yang berwenang/ Kantor Dinas Tenaga Kerja setempat".
Indikasi bahwa PT Maharani tidak membelikan asuransi bagi Yuni, kejanggalan ketika visa sudah keluar, padahal Yuni tidak pernah menandatangani kontrak kerja Hong Kong. Menjadi dasar untuk mencari rekayasa proses dalam kontrak kerja selama ini.  Kenapa visa bisa keluar? Seharunya yang diperiksa adalah PT Maharani bukan BMI.
Kejanggalan lain adalah PT. Maharani belum pernah mengadakan mediasi dengan BMI di Dinas Tenaga Kerja untuk menyelesakan permasalahan dengan Yuni. Apakah pihak kepolisian dan pengadilan juga berlaku adil dalam memeriksa kedua belah fihak dalam penyidikan kasus ini? Sekali lagi ini adalah tindak kriminalisasi terhadap BMI.
Undang Undang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UUPPTKILN No. 39/2004) yang sangat lemah dalam memberikan perlindungan dan pengakuan hak atas BMI beserta keluarganya adalah akar masalah yang akan terus mengeksploitasi buruh. 
Begitupun undang undang ini dalam pasal 85 ayat satu (1) dan dua (2),
dan kemudian ditegaskan lagi dalam UU No.6 Tahun 2012 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Keluarganya, pasal 20 ayat satu (1). “Tidak seorang pun pekerja migran /anggota keluarganya boleh dipenjara semata-mata atas dasar kegagalan memenuhi suatu kewajiban perjanjian”.
Seharusnya pasal ini menjadi dasar untuk tidak mengkriminalkan BMI dan anggota keluarganya dan menjadi harapan atas keadilan dan perlindungan atas Yuni dan seluruh BMI bisa terbebas dari jerat jeruji besi.
Jika pemenjaraan ini terus terjadi maka telah dilakukan secara bersama-sama oleh pelapor dan juga pemerintah Indonesia melalui aparatur negara, polisi dan juga pengadilan atas pelanggaran hak asasi BMI dan anggota keluarganya.
Yuni sebagai warga negara dari klas buruh yang seharusnya berhak mendapatkan pekerjaan justru di penjara karena gagal berangkat kerja. Malapetaka sudah jatuh ditimpa tangga pula, rumah orang tua Yuni digusur pelebaran jalan kereta api, kehilangan bapak karena sakit lalu harus mendekam dipenjara hanya karena tidak menyelesaikan proses di BLK. Cita-cita menjadi tulang punggung keluarga untuk membesarkan kedua anaknya direnggut oleh sistem yang tidak melindungi buruh, dan tidak berpihak pada BMI dan anggota keluarganya. Negara sudah seharusnya mengambil peranan terdepan dalam melindungi dan menjamin hak atas keadilan hukum bagi setiap BMI dan keluarganya bukan kepada para pemodal. kebobrokan UUPPTKILN No. 39/2004 sudah selayaknya diganti dengan undang undang perlindungan bagi buruh migran dan keluarganya.

Bebaskan Yuni sekarang juga!
Rindu Perayaan 17 Agustus, Yanto Ikut Upacara di KBRI
Perayaan Kemerdekaan di KBRI Malaysia, dok.Photo: istimewa
KORANMIGRAN, KUALALUMPUR - Buruh migran Indonesia (BMI) yang kangen atau rindu dengan perayaan 17-an mengatakan sengaja datang ke KBRI, meski tidak diundang. 

Yanto, BMI asal Surabaya sengaja datang dengan baju dan topi berwarna merah putih, mengaku sangat mencintai Indonesia dan tidak rela ada ada orang yang menjelekan Indonesia. 

“Saya cinta Indonesia dan saya cinta Bangsa Indonesia juga, Dan saya tidak terima kalau ada yang menjelekan Indonesia baik dari rakyat sampai Presiden manapun. Marwah bagi saya no satu, kalau harta nomer sekian,” kata Yanto selepas mengikuti upacara.

Upacara peringatan Kemerdekaan RI ke 69 yang diselenggarakan di Malaysia, dipusatkan di KBRI Kuala Lumpur. Sekitar seribu orang rakyat Indonesia terlihat mengikuti upacara HUT RI itu, Minggu (17/8/2014) pukul 08.00 waktu Malaysia. Ada anak sekolah, pegawai KBRI dan keluarganya terlihat hikmat mengikuti upacara bendera. KORANMIGRAN melihat perayaan HUT RI di luar negeri adalah situasi khusus karena hampir di semua KBRI dan KJRI terlihat perayaan diikuti oleh BMI yang tinggal di luar negeri juga di Malaysia. 

Hebatnya para BMI ini datang dengan berbagai ragam baju, termasuk kaos dan sandal jepit untuk bisa mengikuti Upacara Bendera. Termasuk juga membawa anak mereka untuk ikut perayaan ulang tahun kemerdekaan bangsa Indonesia. 

Duta Besar Indonesia untuk kerajaan Malaysia Herman Prayitno, mengaku terharu dengan antusias masyarakat Indonesia di Malaysia, untuk mengikuti upacara bendera di KBRI. Bahkan halaman KBRI Kuala Lumpur sampai tidak bisa menampung seluruh rakyat Indonesia yang datang, 

Herman berharap warga Indonesia yang ada di Malaysia, paska Pemilihan Presiden bulan Juli lalu, agar bisa kembali akrab dan menjaga persatuan bangsa, meski berbeda pilihan. 

“Saya merasa terharu dan bersemangat, dalam rangka memimpin upacara kemerdekaan yang ke 69,” kata Herman.

Layaknya upacara bendera peringatan Hari Kemerdekaan di Indonesia, pengibaran bendera merah putih dilakukan oleh Paskibraka, namun jumlah anggota Paskibraka hanya 10 orang, berbeda dengan yang ada di Istana Negara.

Di Hong Kong, sekelompok BMI terlihat berkumpul menyelenggarakan upacara bendera dan tentu saja seijin pemerintah setempat.
 Setelah upacara mereka kemudian mengikuti berbagai lomba dengan beraneka macam perlombaan ala tradisional, dari makan kerupuk sampai balap kelereng.

Di Belanda dan Arab Saudi ternyata sangat berbeda, sejumlah BMI menyatakan keprihatinannya saat HUT RI ke 69 ini. Mereka protes karena merasa terkekang akibat kesulitan memperpanjang paspornya.

"Tanpa bukti identitas dari pemerintah Indonesia, apakah kami masih merupakan anak bangsa Indonesia? Apakah kami pantas turut merayakan kemerdekaan Indonesia hari ini?"  ujar Yasmin. (dari berbagai sumber)
Kami Belum Merdeka
Perayaan 17 Agustus di Hong Kong, dok.photo: istimewa
KORANMIGRAN, JAKARTA - Di hari kemerdekaan Indonesia yang ke-69 ini, lagi-lagi teriakan tidak sepenuhnya merdeka kembali terlontar. Sejumlah Buruh Migran Indonesia (BMI) merasa terus dikekang 
karena dipersulit hak-haknya bahkan status dokumen kewarganegaraannya (Paspor bukan SPLP).

"Tanpa bukti identitas dari pemerintah Indonesia, apakah mereka masih merupakan anak bangsa Indonesia? Apakah mereka pantas turut merayakan kemerdekaan Indonesia hari ini?" ujar Soraya kepada media.

Kekecewaan yang sama juga ditunjukan Liana, BMI perempuan di Jeddah. Dilaman facebooknya, Liana menuliskan pendapatnya bahwa peringatan kemerdekaan merupakan hari besar untuk rakyat Indonesia. Tapi hari besar tersebut terlihat hanya milik mereka yang mempunyai kedudukan dan jabatan. Menurut Liana, apa salahnya KBRI/KJRI mengundang BMI ikut upacara.

"Semoga ditahun berikutnya akan ada perubahan tanpa harus memilah dan memilih. Apalagi membedakan antara orang besar dan orang kecil, karena Indonesia tercipta atas perjuangan 
semua kalangan," pungkas Liana. 

Safaruddin, BMI lainnya menulis bahwa di Arab Saudi belum merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya. Banyak BMI yang teraniaya, terancam hukuman mati, bahkan diperbudak. 
Pemerintah Indonesia belum memberikan perlindungan yang sejati kepada BMI dan keluarganya.

Seharusnya KBRI dan KJRI mengeluarkan surat edaran seperti yang pernah dilakukan pada PILPRES lalu ditujukan pada majikan dan agensi serta pemerintah negara penempatan agar 
memberi cuti bagi BMI untuk mendatangi KBRI/KJRI mengikuti peringatan kemerdekaan.

Aksi menggugat perlindungan terhadap BMI dari Malaysia
Aksi menggugat perlindungan terhadap BMI dari Malaysia
Nisma, Ketua Umum SBMI berharap agar para BMI yang dikirimkan ke luar negeri dipersiapkan dengan baik, sehingga dapat bekerja dengan lebih baik. BMI dimanapun juga 
mengharapkan kegiatan pembinaan dan kesempatan untuk meningkatkan keterampilan dapat diperbanyak. Pihak swasta yang menjadi pengelola penempatan dan perlindungan dianggap telah gagal mengemban tugas yang diberikan pemerintah. Yang terutama, 
Pemerintah itu wajib menciptakan lapangan kerja di Indonesia sehingga rakyatnya tidak perlu "dipaksa" bekerja di luar negeri.

Dirgahayu Indonesiaku!
Editorial Edisi 4: Kami Belum Merdeka
BMI Menggugat Kemerdekaan
Merdeka, Merdeka, Merdeka...!

Makna kemerdekaan bagi buruh yang harus bekerja di negeri asing adalah kesesakan, kontradiksi dengan momen merdeka itu sendiri. Bukankah seharusnya dengan kemerdekaan kita mendapatkan jaminan pekerjaan. Jadi setiap kali memperingati hari kemerdekaan terutama bagi kami Buruh  Migran Indonesia (BMI) adalah sebuah perjuangan yang belum selesai melawan penjajahan, melawan perbudakan.

Disisi lain gelar Pahlawan Devisa semakin membebani dan begitu dipaksakan oleh negara ini bagi kami para BMI yang diutus oleh negara untuk berjuang menambah devisa bagi negara. 
Belum lagi hak-hak kami sebagai pekerja selalu dirampas bahkan kami dijerumuskan dalam jebakan hutang yang tak pernah kami minta. Di Hong Kong walau kami mendapat hak libur tapi tidak sedikit dari kami menjadi bulan-bulanan  majikan dan agensi. Pada intinya, kondisi kami pekerja yang bekerja di negeri asing hanya tunduk pada apa yang dikatakan majikan, agensi dan peraturan negara-negara kapitalis maka dengarlah gugatan kami.

Padahal kemerdekaan yang diimpikan BMI itu sendiri tak muluk-muluk. BMI hanya ingin setelah kewajiban-kewajiban kami tunaikan, maka hak-hak kami pun seharusnya otomatis diberikan. Tapi kenyataan adalah kebalikannya. Hak-hak BMI malah dijadikan momok apalagi bila menyangkut soal upah layak ataupun upah yang tak dibayarkan oleh majikan. Namun sebenarnya masih banyak lagi hak-hak kami yang terus dirampas oleh majikan, diantaranya soal hak libur/cuti termasuk cuti saat haid, disamping juga tempat tinggal dan makanan yang layak, seringkali terlalaikan. Hak-hak tersebut adalah komponen dalam perjanjian kerja yang selama ini ditekankan dan dihilangkan. 

Perjanjian kerja adalah kekuatan daya tawar kami untuk menjadi acuan memenuhi dan menghormati hak-hak kami. Sayang di negeri kami sendiri bahkan kami tidak dilindungi karena Undang-Undang yang mengatur lebih condong pada penempatan bukan perlindungan. Karenanya, kami menuntut pemerintah untuk membuat perjanjian penempatan yang lebih bermartabat agar bangsa ini dihargai bukan hanya sekedar kesepakatan. Apalagi banyak dari kami bekerja di dalam ranah domestik yang dianggap wilayah privat dan sulit sekali tersentuh hukum yang menyebabkan kami rentan terhadap kekerasan.

Kami akan menggap  benar-benar merdeka bila pekerjaan kami tidak disepelekan lagi dan kami ingin bekerja sebagai sebuah pekerjaan bermartabat bukan pekerjaan yang dilakukan sebagai keterpaksaan akibat lemahnya kondisi ekonomi bangsa ini maupun pendidikan yang minim, melainkan sebuah pilihan kerja atas kemampuan dan keterampilan kami sebagai pekerja yang merdeka. 

Terkait dengan kemerdekaan dalam sebuah bangsa yang beraneka ragam, baik suku, agama, ras maupun profesi, diharapkan nantinya kemerdekaan bukan saja berarti lepas dari penjajahan, tetapi lebih pada pemerdekaan semua elemen bangsa, yang salah satunya adalah kemerdekaan bagi semua BMI tidak terkecuali BMI yang bekerja di sektor domestik sebagai Pekerja rumah tangga ( PRT) dalam mendapatkan haknya selaku pekerja.

Salam Juang,
Redaksi KORANMIGRAN
Penipuan calo
Baynah, dok. detik
SBMI, Pontianak - Kisah pilu dialami Baynah, BMI asal Serang, Banten. Dijanji upah ratusan ringgit bekerja Brunei Darussalam selama 2 tahun, dia kini terdampar di Pontianak dan hanya bisa membawa pulang 50 ringgit Brunei.

Kini, Baynah, berada di Shelter Dinas Sosial Kota Pontianak setelah dirujuk oleh LSM lokal. Dia pun bercerita apa yang telah dialaminya sejak pergi dari Banten untuk bekerja sebagai BMI atau sering disebut TKI di Brunei.

Keinginan kuat dia untuk mewujudkan keinginan anak keduanya membeli sepeda motor, membuat dia memutuskan untuk meninggalkan 4 anak dan suaminya, Bakrie (50), yang bekerja sebagai tukang becak, menuju Brunei Darussalam. Janji manis seorang calo yang mengaku warga Pontianak, Kalimantan Barat, bakal mempekerjakannya di Brunei dengan gaji 300 ringgit Brunei, membuat dia optimis bisa mewujudkan keinginan anaknya itu.

Bertolak ke Brunei bersama 6 orang warga Serang lainnya, Baynah terpaksa harus berhutang Rp 2 juta dengan tetangganya saat itu untuk biaya akomodasi Jakarta-Pontianak. Pinjaman itu pun, berbunga perhari Rp 100.000.

"Saya yakin bisa bayar hutang setelah saya bekerja di sana (Brunei Darussalam) dengan gaji segitu (300 ringgit)," kata Baynah, di Shelter Dinas Sosial Kota Pontianak, Selasa (12/8/2014).

Tiba di Pontianak, Baynah sempat ditempatkan di penampungan yang dia tidak tahu persis lokasinya sebelum akhirnya dia diberangkatkan ke Brunei Darussalam menggunakan armada angkutan gelap melalui Kuching, Sarawak, Malaysia.

Di Brunei Darussalam, Baynah diserahkan sang calo ke agen pekerja di Brunei dan disalurkan sebagai Pekerja Rumah Tangga. Selama 2 tahun, Baynah memiliki 2 kali majikan berbeda dengan gaji 250 ribu ringgit Brunei. Selama itu, Baynah tidak pernah menikmati gajinya lantaran dipaksa dan diminta agen sebagai alasan membayar hutang kepada agen. (detik)
Kerja
Kerja adalah jalan untuk bermartabat, menolak meminta-minta
KORANMIGRAN, JAKARTA - Seorang eksekutif muda sedang beristirahat siang di sebuah kafe terbuka. Sambil sibuk mengetik di laptopnya, saat itu seorang gadis kecil yang membawa beberapa tangkai bunga menghampirinya.

"Om beli bunga Om."

"Tidak Dik, saya tidak butuh," ujar eksekutif muda itu tetap sibuk dengan laptopnya.

"Satu saja Om, kan bunganya bisa untuk kekasih atau istri Om," rayu si gadis kecil.

Setengah kesal dengan nada tinggi karena merasa terganggu keasikannya si pemuda berkata, "Adik kecil tidak melihat Om sedang sibuk? Kapan-kapan ya kalo Om butuh Om akan beli bunga dari kamu."

Mendengar ucapan si pemuda, gadis kecil itu pun kemudian beralih ke orang-orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Setelah menyelesaikan istirahat siangnya, si pemuda segera beranjak dari kafe itu. Saat berjalan keluar ia berjumpa lagi dengan si gadis kecil penjual bunga yang kembali mendekatinya.

"Sudah selesai kerja Om, sekarang beli bunga ini dong Om, murah kok satu tangkai saja."

Bercampur antara jengkel dan kasihan si pemuda mengeluarkan sejumlah uang dari sakunya.

"Ini uang 2000 rupiah buat kamu. Om tidak mau bunganya, anggap saja ini sedekah untuk kamu," ujar si pemuda sambil mengangsurkan uangnya kepada si gadis kecil. Uang itu diambilnya, tetapi bukan untuk disimpan, melainkan ia berikan kepada pengemis tua yang kebetulan lewat di sekitar sana.

Pemuda itu keheranan dan sedikit tersinggung.

"Kenapa uang tadi tidak kamu ambil, malah kamu berikan kepada pengemis?"

Dengan keluguannya si gadis kecil menjawab, "Maaf Om, saya sudah berjanji dengan ibu saya bahwa saya harus menjual bunga-bunga ini dan bukan mendapatkan uang dari meminta-minta. Ibu saya selalu berpesan walaupun tidak punya uang kita tidak bolah menjadi pengemis."

Pemuda itu tertegun, betapa ia mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari seorang anak kecil bahwa kerja adalah sebuah kehormatan, meski hasil tidak seberapa tetapi keringat yang menetes dari hasil kerja keras adalah sebuah kebanggaan. Si pemuda itu pun akhirnya mengeluarkan dompetnya dan membeli semua bunga-bunga itu, bukan karena kasihan, tapi karena semangat kerja dan keyakinan si anak kecil yang memberinya pelajaran berharga hari itu.

Tidak jarang kita menghargai pekerjaan sebatas pada uang atau upah yang diterima. Kerja akan bernilai lebih jika itu menjadi kebanggaan bagi kita. Sekecil apapun peran dalam sebuah pekerjaan, jika kita kerjakan dengan sungguh-sungguh akan memberi nilai kepada manusia itu sendiri. Dengan begitu, setiap tetes keringat yang mengucur akan menjadi sebuah kehormatan yang pantas kita perjuangan.