TKI, Semuanya Itu Bagai Mie Instan
Unknown
02:06
0
SBMI, JAKARTA - Entah sejak tahun berapa banyak sekali warga Indonesia mencari peruntungan di berbagai negara. Tidak mengapa, karena sebenarnya, negara mendapat untung dari adanya devisa negara yang masuk, begitu juga warga yang bekerja di luar negeri yang mengharapkan gaji dan keuntungan yang lebih banyak lagi daripada tinggal di negara sendiri.
Kemudian, baik pria maupun wanita berbondong-bondong berebut ingin bekerja di luar negeri. Para pria menjadi tenaga buruh kasar ataupun pekerja pabrik sementara yang wanita menjadi pembantu rumah tangga.
Hal ini dianggap sangat menguntungkan sampai masalah para pekerja yang mulai “disiksa” muncul ke permukaan…
Mulai dari kekerasan kecil -atau bisa dikatakan “Kalau boleh saya sebut kecil?”- yaitu tidak diberi makan, ataupun meski diberi makan, bagi para muslim pekerja Indonesia itu bukanlah makanan yang halal, namun mereka tidak punya pilihan sehingga mau tak mau harus memakannya, sampai kasus pembunuhan yang dilakukan para majikan di luar sana.
Kalau sudah begitu, siapa coba yang harus dan mau disalahkan??Pemerintah???Tidak juga…..
Mari kita kembali ke sifat basic orang Indonesia yang cenderung mau cepat a.k.a Instan -Ini hanya opini saya setelah mengamati beberapa hal dan orang tentunya- Kita bisa menyalahkan para pekerjanya sendiri kalau mereka mengalami penyiksaan seperti apa yang mereka dapatkan sekarang..Kedengarannya kejam ya?Tapi begitulah menurut saya…
Kenapa?
Pertama sebenarnya ‘kan sebelum berpikiran untuk mencari pekerjaan- apalagi pekerjaannya menjadi PRT- di luar negeri, kenapa mereka tidak mencari pekerjaan di dalam negeri dulu? Saya tidak membahas mengenai para Pria, karena jelas para pria mendapat kodrat untuk mencari nafkah bagi keluarganya entah bagaimana caranya asalkan makanan yang dimakan kelurganya tersebut adalah hasil halal perolehannya.
Sementara wanita, kenapa tidak mencoba peruntungan di negeri sendiri terlebih dahulu? Iming-iming gaji yang lebih besar, dan tinggal di luar negeri mungkin menyilaukan mata dan beribu janji siap untuk digenggam, tapi siapa yang tahu kalau janji bakal hanya jadi janji??? Banyak kok, rumah tangga di Indonesia yang membutuhkan para pekerja, jadi meskipun seburuk-buruknya PRT disiksa di sini, mereka masih bisa kabur ke rumahnya tanpa pusing memikirkan visa atau paspor yang ditahan oleh si majikan..Ya ‘kan? Belum lagi, keluarga yang ditinggalkan. Saya melihat banyak PRT -kebanyakan baru menikah- memiliki anak-anak yang masih kecil, yang masih memerlukan bimbingan ibunya sendiri untuk tumbuh. Namun si Ibu apa daya, harus pergi ke negeri seberang demi si anaknya yang kelaparan, yang sebenarnya lapar akan kasih sayang si ibu.
Lalu, kenapa kerap kali ada saja kasus-kasus penyiksaan? Tidak mungkin ‘kan kalau si majikan ujug-ujug, tiba-tiba tidak ada angin tidak ada hujan, tidak ada si komo lewat membentak, memarahi, memaki, menyiksa, bahkan menggunting bibir si PRT???Kecuali kalau si majikan itu Psikopat….
Kembali ke masalah orang Indonesia yang maunya serba instan.. Ingat bagaimana caranya para TKI dan TKW pergi ke luar negeri menjadi pejuang devisa?? Ya, kebanyakan lewat calo…
Seharusnya, setelah mengumpulkan modal yang cukup - Sekarang ada program KUR yang bisa membantu biaya pengurusan para TKI/TKW yang mau bekerja ke luar negeri- para calon TKI/TKW ini mendatangi biro jasa yang jelas, dengan kelegalan hitam di atas putih dan memiliki mitra yang terpercaya di luar sana. Setelah yakin, biro yang baik pun akan mengharuskan para calon TKI/TKW untuk menjalani proses latihan terlebih dahjulu. Baik itu latihan berbahasa, tata krama, ataupun budaya tmpat para calon akan ditempatkan nanti. Nah, disinilah maslahanya, banyak para calon abahakn bironya ingin mengurus secepatnya akan para calon segera berangkat bekerja ke luar negeri menjadi para TKI/TKW. Maka terciptalah jalan pintas yang disebut uang, yang membolehkan para calon melenggang pergi tanpa mendapat sertifikat kelulusan dari tempat pelatihannya.
Disini (mungkin) masalahnya. Banyak yang menganggap remeh proses pelatihan ini. Padahal dari yang saya tahu, pelatihan, selain berguna untuk mempelajari bahasa negara yang akan ditempati, pemberitahuan mengenai tata krama dan budaya sangatlah penting dan malah merupakan elemen krusial dari pelatihan itu sendiri.
Mengapa? Pasalanya, jangan jauh-jauh ke negeri orang dulu deh…di negeri sendiri saja, para PRT suka bersikap tidak sopan dan melanggar. Contohnya dari pengalaman teman saya yang mengatakan bahwa saat menyuapi adiknya, bukannya sendok penuh nasi masuk dilahap adiknya, malah dihabiskan oleh si pembantu. Ada lagi banyak modus-modus pencurian yang dilakukan oleh para pembantu. Contoh kecil saja seperti mencuri pulsa telepon, mencuri uang belanja, sampai tindakan ekstrim penjarahan alias merampok rumah si majikan. Nah lho…Kan?? Di Negara sendiri saja begitu, bagaimana di negara orang?? Beberapa saudara saya yang berpengalaman tinggal di Arab sana dan mengenal para tetangga Arabnya pernah bercerita. Di suatu rumah tetangga Arabnya mempunyai beberapa pembantu, baik dari Filipin, atau _apa gitu saya lupa, maaf- juga Indonesia bekerja di rumahnya. Nah, si pekerja Filiphin dan yang berasal dari negara satunya bekerja dengan rajin dan disiplin waktu juga mengetahui tata krama kehidupan di sana, semenatara yang Indonesia suka seenaknya membuka lemari es mencari makanan kecil, dan lambat bekerja. Melihat kasus begini, siapa coba yang harusnya dimarahi???Seharusnya Indonesia ini menjalankan asas “ALon-alon asal Kelakon”-nya itu dijalan saja, jangan saat bekerja. Disiplin, rapih, mengerti tata krama, sigap, dan gesit. Itu yang dibutuhkan di luar sana. Sementara yang kita sediakan??Hanya segelintir orang yang menurut mengikuti latihan dan bekerja dengan benar di sana…Hh..
Untuk kasus di Arab Saudi…kalian tentu tahu, Arab SAudi..Tanah Suci tempat semua hukuman (Entah kecil…) dilakukan saat itu juga bagi mereka yang takabur dan melupakan syukur atas ALlah S.W.T…
Para calon TKI/TKW bekerja sama dengan bironya…memalsukan umur, riwayat mereka agar bisa cepat bekerja di Tanah Suci tersebut. Jangankan TKI/TKW, para jemaah saja yang sekedar mengucapkan : “Ah, Tidak apa..aku berani sendiri” kemudian disesatkan jalannya -dalam arti harfiah-, apalagi para TKI/TKW yang berbohong di Tanah Suci tersebut?? Bisa, Anda lihat sendiri kejadiannya seperti apa ‘kan..??
Dan sebenarnya, bukanlah hal yang bijakasana bagi negara membiarkan para warga perempuannya untuk meninggalkan kampung halaman, jadi seharusnya biarkan laki-laki saja yang pergi sementara para wanita berjuang di negeri sendiri, tidak jauh dari anak yang berhak mendapatkan kasih sayangnya…
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya sampaikan, tapi kebetulan saya sedang kehabisan kata-kata..barangkali ada yang mau menambahkan ya monggo….Mohon maaf apabila ada kesalah kata ataupun penulisan dalam postingan amatir ini, Salam (kompasiana)
Penulis : Hasna shafa Gita Pramesari
Remaja yang suka memperhatikan dan mengkritik orang tetapi sulit untuk membantu memperbaikinya ini, kesehariannya biasanya menjadi translator, interpreter, guru, guru privat, tukang masak, orang kurang kerjaan, mahasiswa, dan kakak dari 7 bersaudara. Dengan cita-cita keliling dunia bermodal bahasa Jepang dan pengalaman sebagai guru, saya ingin mengubah pandangan dunia tentang Indonesia. Susah?yaa...kan ada yg bilang kalau "If you want to thin, think BIG"
Catatan redaksi:
Tulisan ini dimuat karena ditulis dengan sudut pandang remaja yang melihat buruh migran sebagai pembantu atau budak bukan sebagai pekerja. Banyak catatan miris yang dituliskan remaja ini dan membuat kabur akar masalah dari buruh yang di kirim paksa oleh sebuah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan komprador di Indonesia. Silahkan untuk memberikan tanggapan atas tulisan ini...
No comments