Negara Tak Ramah Buruh Migran
Unknown
13:49
0
SBMI, JAKARTA - Problem buruh migran selain kacaunya aturan pengiriman di negara asal, juga minimnya perangkat hukum yang melindungi mereka di negara penempatan.
Arab Saudi dan Malaysia memiliki hukum nasional yang paling parah terkait perlindungan buruh migran. Hongkong dinilai lebih manusiawi mengatur hukum pekerja domestik.
Lebih dari 8 juta buruh migran dari seluruh dunia saat ini bekerja di Arab Saudi. Jumlah tersebut mengisi lebih dari separo tenaga kerja nasional Arab Saudi.
Buruh migran –terutama sektor informal- di Arab Saudi rata-rata mengalami pelanggaran ganda dan eksploitasi tenaga kerja, yang kerap mengarah pada kondisi perbudakan.
Arab Saudi memberlakukan sistem kafala (majikan sponsor) yang memberikan hak bagi majikan untuk mengatur pergantian majikan atau izin keluar dari Arab Saudi. Kafala dianggap sebagai wali terutama bagi buruh migran perempuan.
Perusahaan perantara yang kadang bertindak sebagai majikan sponsor pengiriman buruh migran di Arab Saudi, memanfaatkan aturan ini untuk menyita paspor, menahan upah, dan mempekerjakan migran di luar aturan kerja.
Kasus pelanggaran yang pernah diekspos media adalah tunggakan upah buruh migran di bawah perusahaan Jadawel Internasional. Perusahaan penyalur tenaga kerja ini milik Syaikh Muhammad bin Issa Al Jaber, orang ketiga terkaya di Arab Saudi.
Syaikh Muhammad bin Issa Al Jaber menunggak membayar 6 bulan upah buruh migran “asuhannya”. Manajer perusahaan mengancam tidak mengembalikan paspor para buruh jika melaporkan kasus ini ke pengadilan perburuhan.
Sekitar 1,5 juta pekerja rumah tangga di Arab Saudi bekerja 15 sampai 20 jam sehari, tanpa libur. Pekerja rumah tangga yang kebanyakan perempuan, seringkali dikurung, kekurangan makanan, dan menjadi korban pelecehan psikologis, fisik, dan seksual yang parah.
Pada Oktober 2000, Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Saudissued, memerintahkan menghapuskan sistem sponsor dalam hubungan kerja. Aturan itu tetap diberlakukan untuk tujuan imigrasi dan izin tinggal.
Keputusan itu seharusnya melarang perusahaan sponsor menyita paspor buruh migran. Namun pada praktiknya, kejahatan itu masih terjadi.
Proposal ini juga tidak mengatasi problem perlindungan buruh migran. Sebab hukum perburuhan di Arab Saudi mengecualikan pekerja rumah tangga. Mereka tetap tidak mendapat jaminan pembatasan jam kerja dan memperoleh jatah libur seperti buruh sektor formal.
Buruh Migran Tak Berdokumen di Malaysia
Di Malaysia saat ini terdaftar 1,9 juta buruh migran. Satu dari 3 pekerja di negara tetangga ini adalah buruh migran. Jumlah tersebut mengcover 21 persen angkatan kerja yang membuat Malaysia sebagai importir tenaga kerja terbesar di Asia.
Malaysia tidak memiliki kerangka hukum atau undang-undang khusus untuk melindungi pekerja. Pemotongan upah untuk menutup biaya izin penempatan kerja, jam kerja panjang, tidak ada asuransi, penahanan paspor oleh majikan, dan pemecatan sepihak, lumrah terjadi di Malaysia.
Lebih buruk lagi, pemerintah Malaysia mendiskriminasi pekerja rumah tangga dan perkebunan. Kedua jenis pekerjaan ini dikecualikan dari peraturan baru ketenagakerjaan Malaysia yang mengatur upah minimum.
Pada 2011, lebih dari 1.500 buruh migran Indonesia dideportasi karena tidak memiliki dokumen kerja di Malaysia. Indonesia pernah menghentikan sementara pengiriman buruh migran sektor informal ke Malaysia. Namun, pengiriman BMI melalui jalur illegal di Entikong, masih terus terjadi.
Upah Layak di Hong Kong
Perjuangan buruh migran di Hong Kong mulai membuahkan hasil. Pada akhir September 2012, pemerintah Hong Kong menaikkan standar gaji pekerja rumah tangga.
Standar gaji yang sebelumnya HK$ 3.740 atau sekitar Rp 4,5 juta, naik menjadi HK$ 3.920 per bulan. Tunjangan kerja juga naik dari HK$ 775 menjadi HK$ 875.
Kenaikan upah tersebut berlaku untuk buruh migran yang menandatangi kontrak setelah tanggal 20 September 2012. Meski tidak wajib, banyak majikan lama yang mengikuti aturan baru ini.
Kenaikan upah menjadi angin segar bagi buruh migran Indonesia di Hong Kong. Sekalipun masih banyak persoalan yang harus diperjuangkan buruh migran seperti gaji di bawah standar, biaya penempatan yang terlampau tinggi (overcharging), dan berbagai pelanggaran hak lainnya.
Kasus overcharging misalnya. Untuk menjadi buruh migran di Hong Kong harus mengeluarkan biaya hingga Rp 26 juta. Tidak sedikit kemudian BMI terjerat utang kepada perusahaan pengirim TKI dan agensi di Hong Kong.
Kondisi BMI di Hong Kong lebih baik karena pemerintah setempat mengizinkan berdirinya serikat pekerja migran. Pemerintah Hong Kong menerima aspirasi serikat pekerja dan menerapkannya dalam kebijakan hukum.
Stop Pengiriman BMI Sektor Informal
Perbaikan ketrampilan dan pengetahuan hukum dapat meningkatkan posisi tawar buruh migran di bursa kerja global. Kemampuan bahasa dan keahlian di bidang tertentu membuka kesempatan BMI untuk masuk ke sektor pekerjaan formal.
Penempatan buruh migran seharusnya sesuai syarat kompetensi. Kemampuan itu dibuktikan dengan sertifikat dari lembaga sertifikasi profesi (LSP) yang ditunjuk oleh Kementerian Tenaga Kerja.
Masalahnya, kebanyakan calon tenaga kerja luar negeri masuk kategori unskilled labour (tenaga kerja tidak trampil). Padahal beberapa negara penerima pekerja migran di Uni Emirat Arab, Eropa, dan Amerika Serikat, mensyaratkan standar skil kerja tinggi. Buruh migran berketrampilan di negera-negara ini mendapat upah besar dan dilindungi hukum.
Arab Saudi dan Malaysia menjadi pilihan utama buruh migran Indonesia karena negara tersebut tidak menerapkan standar tinggi untuk calon pekerja. Desakan ekonomi membuat buruh migran nekat berangkat meski ke negara yang rawan pelanggaran.
Terlepas dari beradab atau biadabnya penerapan hukum buruh migran di negara penempatan, pemerintah Indonesia wajib melindungi BMI di manapun mereka berada.
Perolehan devisa negara dari buruh migran sebesar Rp 40 triliun (hingga Mei 2012), harus diimbangi dengan upaya serius melindungi mereka di luar negeri. Pemerintah tidak lagi bisa menolak melindungi BMI dengan alasan diberangkat lewat jalur illegal. Sebab devisa yang diterima negara tidak memilah apakah buruh migran tersebut legal atau ilegal. (VHR Media)
No comments