sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

BMI jatuh dari Apartemen

SBMI, SELANGOR - Seorang pekerja rumah tangga asal Indonesia, Sukini, meninggal dunia akibat terjatuh dari lantai 9 kondominium di wilayah Petaling Jaya, Selangor ketika mencoba melarikan diri dengan memanjat balkon rumah majikannya. 

Sejumlah media lokal di Kuala Lumpur, Jumat (30/11), melaporkan peristiwa yang menyayat hati itu terjadi pada Kamis (29/11) sekitar pukul 11.00 di sebuah kondominium di Kota Damansara. 

Ketika hendak memanjat, wanita asal Kalumpang, Sulawesi Barat itu telah tergelincir dan sempat memegang kuat-kuat beberapa menit pada tembok balkon sebelum dirinya terjatuh. Di tempat jatuhnya Sukini juga ditemukan satu bungkusan kain batik mengandung beberapa helai baju, celana panjang, dan sabun. 

Dari pengakuan seorang rekannya, Yanti, yang bekerja sebagai pegawai di pencucian pakaian, Sukini telah merencanakan untuk melarikan diri karena tidak tahan didera secara mental oleh majikannya. 

Rencana itu, kata Yanti, dituliskan Sukini di secarik kertas tisu. Pada kertas tisu tersebut tertuliskan, "Kakak tolong selamatkan saya. Kalau kakak tak boleh (bisa) tolong, saya nekat lari ikut balkoni." 

Yanti menjelaskan korban baru bekerja sejak dua minggu lalu dengan majikannya itu. "Sejak dua minggu lalu, saya mendapatkan tiga pesan yang dituliskan di kertas tisu yang dibuangnya setiap kali lewat di depan kedai saat bersama majikannya untuk membeli nasi lemak pada waktu pagi," ungkapnya. 

Tulisan di kertas tisu itu berkisar mengenai kesulitan dan kesengsaraannya sejak bekerja dua minggu lalu. 

Korban juga mengadu tidak dibenarkan berhubungan dengan siapa pun termasuk keluarganya yang berada di Kalumpang, Sulawesi Barat. Diceritakannya pula pada catatan keempat yang diterimanya meminta dia supaya menyelamatkan Sukini atau dia akan nekat lari melalui balkon karena sudah tidak tahan lagi sering dimaki-maki majikan. 

"Setelah membaca catatan keempat itu, saya telah melaporkannya kepada seorang satpam. Namun belum sempat diselamatkan, kami mendapat berita dia telah meninggal akibat terjatuh," ungkapnya. 

Kepala Kepolisian Daerah Petaling Jaya Asisten Komisioner Arjunaidi Mohamed membenarkan kejadian tersebut dan mengklarifikasikan kejadian tersebut sebagai kematian mengejutkan.
“Marilah kita mengangkat suara untuk memujikan wanita, Ibunda, sumber seluruh penaklukan kehidupan tak habis-habisnya!…Marilah bernyanyi untuk memujikan wanita, Ibunda, satu-satunya kekuatan terdahulu di mana kematian menunduk merendahkan kapalanya!…” (Gorky, Hikayat dari Italia)

IBUNDA, merupakan sosok perempuan yang hidup di masa Revolusi Demokratik berlangsung di Rusia, sekitar awal abad 20. Ia hidup di tengah peluit pabrik yang menjerit-jerit di atas perkampungan buruh yang kumuh. Menikah dengan Michail Wlassow, laki-laki peminum berat, yang berlaku amat kejam terhadapnya.

Keadaan berubah ketika suaminya meninggal dan Pawel, anaknya menjadi aktivis buruh dan terlibat dalam gerakan politik pada waktu itu. Rumah Ibunda dijadikan anaknya pusat membangun kesadaran dan tindakan revolusioner kawan-kawannya. Di tengah situasi itulah kesadaran Ibunda terbuka dan menginsyafi siapa dirinya – yang selama ini tak pernah ia kenal kecuali ketakutan dan kesengsaraan.

Keinsyafan itu membangun cinta kasihnya kepada semua anak-anak muda yang sedang berjuang meretas jalan kebenaran dan akal untuk menerangi dunia dengan sorga baru. Cinta kasih ibunda menyinari perasaan-perasaan tersulit anak-anak selama menghadapi represi kekuasaan Tsar. Ia dengarkan mereka bicara, ia sediakan makanan dan minuman, ia buatkan kaus kaki, sambil ia resapi pengertian “majikan dan tuan tanah yang mengisap darah orang kecil” dalam spirit religiusnya.

Ketika Pawel dan anak-anak itu satu-persatu ditangkap bahkan disiksa di depan matanya, Ibunda terjun ke kancah revolusi dengan peranannya sebagai pendistribusi pamplet ke kalangan buruh dan tani. Kemudian ia dituduh pencuri oleh seorang mata-mata, dan saat sedang ditangkap polisi militer dengan kekerasan, ia teriakkan, “bahkan samudera pun takkan mampu menenggelamkan kebenaran.”
5 Tips Jauhkan Anak dari Siaran Kekerasan
Pendidikan keluarga
KORANMIGRAN, JAKARTA - BERAGAM tayangan mengenai kekerasan kerap menjadi sajian yang dengan mudah disaksikan anak. Padahal, bukan tidak mungkin, di masa perkembangannya anak akan lebih mudah untuk meniru setiap adegan kekerasan yang ditampilkan. 

Sebagai orang tua, pastikan agar anak Anda tida mengonsumsi siaran yang berisi hal negatif tersebut. untuk menghindarinya, Anda bisa melakukan hal berikut. 
  1. Buatlah kesepakatan mengenai waktu menonton televisi dengan anak. Sebaiknya, jam menonton tidak mengganggu waktu belajar, makan, dan juga waktu istirahat mereka. Setelah kesepakatan selesai dibuat, pastikan bahwa Anda menjadi pengingatnya untuk mematuhi aturan tersebut. 
  2. Sebagai orang tua, Anda memang tidak bisa sepenuhnya untuk menemaninya menonton televisi, namun pastikan terlebih dahulu siaran apa saja yang hendak ditonton anak. 
  3. Jangan letakkan televisi di kamar tidur anak. Taruh televisi di tempat yang bisa Anda pantau. 
  4. Berikan waktu khusus untuk menemani anak menonton televisi, meskipun ia menyaksikan kartun kesayangannya. Pasalnya, tidak semua siaran film kartun cocok untuk anak Anda. Maksimalkan waktu tersebut, Anda bisa berdiskusi dengan anak mengenai cerita yang ditampilkan. Beritahu pula nilai-nilai dari setiap adegan yang diceritakan, sehingga bukan hanya aman, namun Anda dan anak akan lebih dekat. 
  5. Terakhir, pastikan pula Anda memberikan kegiatan yang melatih motorik anak. Berilah kegiatan yang melatih fisik anak, sehingga ia tidak dimanjakan dengan tontonan televisi.
BELUM LAMA ini, kasus buruh migran mencuat kembali ke permukaan. Sumiati (23), seorang Buruh Migran Indonesia (BMI) asal Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), dianiaya secara keji oleh majikannya di Arab Saudi, hanya karena dianggap tidak cakap dalam bekerja. ‘Kedua kakinya nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepalanya terkelupas, jari tengah retak, alis matanya rusak,’ ujar seorang petugas Rumah Sakit (RS) King Fahd seperti dilansir oleh Antara (15/11/2010). Lebih mengerikan lagi, bibir bagian atasnya digunting oleh majikannya.

Penganiayaan juga dialami oleh Kikim Komalasari, seorang BMI asal Cianjur, Jawa Barat, yang bekerja di Arab Saudi. Bedanya, kalau Sumiati masih hidup, Kikim disiksa majikannya sampai tewas. Jenazahnya pun dibuang ke tong sampah. Konon, ia dibunuh majikannya tiga hari sebelum Hari Raya Idul Adha. Informasi mengenai kematian Kikim disampaikan oleh seorang relawan Posko Perjuangan TKI (Pospertki) PDI-Perjuangan di Kota Abha.

Persoalan memang tak henti-hentinya menimpa buruh migran Indonesia. Menurut data Migrant Care, pada tahun 2010, terdapat 45.845 masalah buruh migran. Enam masalah terbesar adalah deportasi dari Malaysia sebanyak 22.745 kasus; disusul dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dan tidak digaji sebanyak 8080 kasus; lalu dipenjara di Malaysia sebanyak 6845 kasus; persoalan sakit saat bekerja sebanyak 3568 kasus; penganiayaan sebanyak 1187 kasus, dan pelecehan seksual sebanyak 874 kasus.

Sebelumnya, pada tahun 2009, terdapat 5314 kasus kekerasan terhadap buruh migran Indonesia. Dari 5314 kasus itu, 97 persen dialami oleh perempuan, sementara hanya 3 persen yang dialami laki-laki. Lalu, terdapat pula 1018 kasus kematian buruh migran di tahun 2009. Dari 1018 kematian tersebut, kasus kematian karena kecelakaan kerja berjumlah 90 kasus, sementara kematian karena kekerasan berjumlah 89 kasus. Adapun kematian yang tidak diketahui sebabnya berjumlah 268 kasus.

Selain persoalan-persoalan di atas, buruh migran juga menghadapi masalah pemerasan. Menurut Darto, Ketua Biro Buruh Migran Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), pungli terhadap TKI terjadi di setiap tahapan yang dilalui. Dimulai sejak rekrutmen di desa, mereka sudah terkena pungli dalam pembuatan dokumen-dokumen yang diperlukan. Misalnya, untuk membuat Surat Catatan Keterangan Kepolisian (SKCK) di kepolisian, mereka bisa terkena pungli Rp. 150 ribu. Belum lagi kalau menggunakan sponsor, punglinya bisa Rp. 700 ribu, bahkan sampai Rp. 1 juta.

Kemudian, saat pemberangkatan dan di negara tujuan, mereka terkena pungli lagi. Misalnya, ketika mau berangkat, mereka diminta uang Rp. 3 juta dengan berbagai alasan, seperti untuk biaya dokumen dan transpor. Pada saat pulang, pungli juga mengerubungi mereka kembali. Ketika tiba di Terminal IV, mulai dari pengangkut barang, pendataan sampai asuransi, memungut biaya ilegal dari mereka. Kemudian, saat diantar ke kampung halaman, mereka masih terkena pungli oleh sopir travel. Jumlahnya antara Rp. 300 ribu-Rp. 1 juta. Belum lagi, mereka juga rentan terkena pelecehan seksual oleh para sopir.

Pertanyaannya, kenapa buruh migran Indonesia rentan terkena masalah, terutama kekerasan dan pemerasan? Jamaluddin Suryahadikusuma dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyatakan, persoalannya ada di perlindungan hukum. Keengganan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum bisa terlihat dari keengganan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Muhaimin, untuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, padahal 80 persen buruh migran Indonesia bekerja di sektor rumah tangga.

Pendapat senada diungkapkan oleh Beno Widodo, Koordinator Departemen Pengembangan Organisasi (DPO) KASBI. Menurutnya, ada masalah dikemauan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum. Selain itu, Beno juga menyebutkan diserahkannya pengiriman buruh migran kepada swasta sebagai penyebab kerentanan mereka. ‘Karena diserahkan ke swasta, maka dia hanya cari untung,’ ujar Beno dalam diskusi publik Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP) yang bertajuk ‘Derita Buruh Migran Indonesia: Apa Jalan Keluarnya?’(3/12/2010).

Keengganan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum memang merupakan salah satu penyebab kerentanan buruh migran terhadap kekerasan dan pemerasan. Begitu pula dengan ‘privatisasi’ pengiriman buruh migran, karena watak swasta adalah mencari untung. Namun, yang patut ditanyakan lebih lanjut adalah kenapa pemerintah enggan memberikan perlindungan hukum? Kemudian, apabila peran swasta dihapuskan dan pengiriman buruh migran dilakukan oleh negara, apakah keadaan akan menjadi lebih baik?

Untuk menjawab kedua pertanyaan itu, perlu dilihat karakter negaranya. Menurut Nur Harsono dari Migrant Care, pemerintah memang sengaja mendorong pengiriman TKI untuk mengejar target devisa. Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan, pada tahun 2004, pemerintah menargetkan penempatan 400 ribu TKI dengan remiten 2 milyar dolar AS, sekalipun yang terealisasi adalah penempatan 380.690 TKI dengan remiten 1,9 milyar dolar AS.

Kemudian di tahun 2005, pemerintah menargetkan penempatan 700 ribu BMI dengan remiten 3 milyar dolar AS, meskipun yang terealisasi adalah 474.310 BMI dengan remiten 2,93 milyar dolar AS. Lalu, di tahun 2006, pemerintah menargetkan penempatan 700 ribu BMI dengan remiten 3,5 milyar dolar AS, walaupun yang terealisasi adalah 680.000 BMI dengan remiten 3,41 milyar dolar AS. Sementara, di tahun 2007, pemerintah menargetkan penempatan 750 ribu BMI dengan remiten 3,63 milyar dolar AS, sekalipun yang terealisasi adalah 108.732 BMI dengan remiten 0,884 milyar dolar AS.

Jadi, apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan program BMI ini sebenarnya adalah mengkomodifikasi rakyatnya, memperdagangkan, dan mengorbankan mereka demi mendapatkan devisa. Inilah sebabnya kenapa pemerintah tidak begitu peduli dengan perlindungan hukum, karena kepentingannya hanyalah mengejar devisa. ‘Kalau menghitung remitensinya, pemerintah sangat hafal, tapi kalau satu kasus saja, lima bulan belum tentu gol, karena tidak punya mekanisme penyelesaian kasus,’ tutur Nur Harsono.

Dengan karakter negara yang demikian, apakah akan ada perbaikan jikalau peran swasta dihapuskan dan pengiriman BMI/TKI dilakukan sepenuhnya oleh negara? Rasanya tidak. Ini bukan berarti peran Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) lebih baik, karena mereka juga terlibat dan menerima keuntungan dari perdagangan manusia ini. Baik negara maupun swasta dalam konteks ini memiliki watak yang serupa, yaitu sama-sama mencari keuntungan dengan memperdagangkan manusia. Yang menjadi persoalan di sini adalah sistem perdagangan manusianya itu sendiri.

Adapun sistem perdagangan manusia ini dimungkinkan karena banyaknya pengangguran di Indonesia. Program BMI/TKI sendiri selain ditujukan untuk mendapatkan devisa, juga untuk mengurangi pengangguran. Ini tentu bukan solusi bagi problem pengangguran. Seharusnya, pemerintah membuka lapangan pekerjaan dan bukannya melakukan perdagangan manusia. Dalam menanggapi apakah sebenarnya pengiriman buruh migran diperlukan atau tidak, Beno Widodo menyatakan, ‘kalau pertanyaannya perlu atau tidak perlu, jawabannya tidak perlu jika negara membuka lapangan pekerjaan.

Penulis, Zaki Hussein, Redaktur Majalah Mimbar Politik
Diterbitkan ulang untuk pendidikan dari indoprogress

Sebuah makalah yang ditulis oleh Drs. Abdul Haris, MA, mantan peneliti di PSKK UGM. Makalah ini disampaikan dalam agenda diskusi bulanan PSKK UGM pada 22 Agustus 2002

Pengantar


Rasanya tidak terlalu sulit untuk menebak arah kebijakan politik dan ekonomi Malaysia dalam konteks tenaga kerja internasional. Malaysia yang dibesarkan di bawah ketiak pekerja migran internasional sebenarnya tidak mampu untuk mendirikan “tenda perlindungan” apalagi gedung megah seperti yang terlihat sekarang tanpa kehadiran tenaga kerja asing. Sebuah ironi di mana perubahan drastis dari komunalisme ekonomi ke alam modernisasi telah melumpuhkan rasa terima kasih sebuah negara bangsa yang dibesarkan dan dibina oleh sebagian besar pekerja asing di hampir seluruh lini pembangunannya. Sebuah alasan politis yang sebenarnya telah menciptakan jebakan politik bagi hubungan-hubungan ekonomi sosial dan politik regional atas nama stabilitas dan keamanan dalam negeri. Akan tetapi, patut pula dipertanyakan tidakkah stabilitas ekonomi nasional baik dalam konteks negara asal maupun negara tujuan, juga telah diperkuat oleh aktivitas migrasi yang berlangsung dalam volmue tinggi? Jika aktivitas migrasi yang berlangsung selama ini telah memberikan kontribusi besar dalam proses pembangunan, lalu kenapa tidak ada satu penghargaan pantas yang pernah diberikan kepada para pekerja migran?

Negara penerima dan sekaligus pengguna jasa tenaga kerja asing, dari sudut pandang internasional telah melakukan tindakan pemerasan dan ekploitasi berlebihan terhadap para pekerja. Sebuah tindakan yang tidak dapat dipandang sebagai respon positif atas kehadiran dan jerih payah pekerja tidak terkecuali tenaga kerja Indonesia. Di sisi lain, pemerintah negara asal juga telah melakukan tindakan “kejahatan” dengan mendiskriminasikan proses perlindungan dan administratif tenaga kerja internasional lewat terminologi “haram” –“halal” atau “legal” dan ilegal”.

Tulisan ini mencoba memberikan fakta di balik aktivitas migrasi internasional yang berlangsung dari Indonesia dan khususnya dari Pulau Lombok-Nusa Tenggara Barat. Tanpa bermaksud menempatkan kebijakan pemerintah dalam program penempatan tenaga kerja luar negeri dalam posisi yang paradoks, tulisan ini juga dimaksudkan untuk memberikan koreksi pada kebijakan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang jauh dari harapan. Kehadiran tangan pemerintah yang tidak efektif kecuali sebagai simbol kepedulian semu pemerintah di negara tujuan, telah melemahkan tingkat bargaining tanaga kerja Indonesia terutama di kalangan pengguna jasa tenaga kerja. Lebih spesifik tulisan ini menyoroti persoalan migrasi tenaga kerja Ind onesia yang melakukan aktivitas ekonomi produktif di negara-negara Asia-Pasifik khususnya Malaysia. Sebagai sebuah sebuah stimulan, tulisan ini juga dimaksudkan untuk memberikan wacana perdebatan tentang bagimana pekerja migran internasional ditempatkan lebih layak di dalam hubungan-hubungan relasional kebijakan pembangunan yang lebih luas.


Migrasi Internasional dan Mitos Kemiskinan

Berbicara soal migrasi internasional mungkin tidak terlalu menarik jika dilihat hanya pada tataran permukaan sebagai sebuah gejala perpindahan penduduk yang melibatkan aspek-aspek ruang dan waktu. Akan tetapi, persoalan tersebut akan menjadi sebuah fenomena besar jika mengkaji substansi persoalan yang menyebabkan gejala tersebut muncul dan berkembang. Oleh karena itu, fenomena migrasi yang berlangsung khususnya dalam konteks global atau internasional tidak dapat dipahami hanya dengan mengoposisikannya di dalam terminologi negatif atau positif (IOM, 2000). Persoalan tersebut juga tidak dapat disederhanakan dengan menempatkan aktivitas migrasi ke dalam sistem ekonomi sederhana yang menempatkannya di dalam suatu kontak keuntungan material yang menghasilkan atau memberikan tekanan pada perubahanperubahan harga produksi.

Persoalan stereotif konseptual, migrasi selalu dipandang sebagai sebuah respon rasional atas kemiskinan di daerah asal. Realitas ini paling kurang mendapat pembenaran-pembenaran empirik di dalam berbagai kajian yang telah dilakukan terutama di negara-negara berkembang (Hugo, 1982, 1993, 1996; Mantra, dkk, 1999, 2001; Meier, 1995; Todaro, 1995, 2000: Zlotnik 1992, 1998). Namun demikian, kenyataan yang selalu tidak pernah terungkap adalah bagaimana sebuah aktivitas migrasi yang berlangsung antar daerah atau antarnegara telah menciptakan perubahan-perubahan struktural yang membawa sebuah wilayah ekonomi dan politik suatu negara ke tingkat yang lebih baik dari sebelumnya. Di samping itu, Aktivitas migrasi yang terjadi tersebut juga telah mampu menarik aktivitas etno-ekonomi ke dalam wilayah-wilayah yang jauh lebih luas, dalam konteks politik, sosial maupun kultural. Aktivitas ini bahkan telah menciptakan pengaruh kuat pada pola hubungan global yang bersifat mutualisme antara negara-negara terkait.

Namun demikian, mitos kemiskinan yang melekat pada aktivitas migrasi tersebut nampaknya ikut memberikan warna di dalam perkembangan fenomena migrasi yang terjadi. Kondisi ini secara umum telah melamhkan posisi migran di dalam seluruh proses aktivitas pasar kerja, baik di tingkat lokal, nasiopnal, maupun internasional. Buruknya posisi tawar pekerja migran tersebut diperburuk lagi oleh kebijakan penempatan tenagakerja internasional yang tidak memiliki dasar hukum cukup kuat untuk memberikan jaminan perlindungan kepada migran pekerja. Oleh karena itu, tidak terlalu berlebihan jika aktivitas migrasi yang berlangsung terutama dari negara-negara berkembang tidak terkecuali dari Indonesia, bergerak tanpa mekanisme yang memungkinkan keterlibatan mereka di dalam kegiatan pasar kerja global terjamin secara politis maupun hukum (IOM, 2000; 1999; Nagib, 2000).

Dalam konteks politik dalam negeri Malaysia, kehadiran pekerja asing sebenarnya merupakan dilema bagi pemerintah. Di satu sisi ketakutan pemerintah Malaysia akan komunitas pekerja migran yang makin besar diakawatirkan menjadi pesaing berat pekerja setempat. Hal ini memberikan implikasi langsung pada terjadinya tekanan pengangguran di level bawah struktur pasar kerja nasional Malaysia. Kenyataan yang ada adalah bahwa tingkat pengangguran di malaysia pada tahun 2000 mencapai 2,8 persen (Ismail dan Tahir, 2000). Kondisi ini dikawatirkan akan jauh lebih besar jika tenaga kerja asing masuk ke Malaysia dalam jumlah yang makin besar, apalagi pada era dimana pasar bebas regional segera diberlakukan. Di sisi lain, secara ekonomi sesungguhnya kehadiran pekerja asing yang sebagian besarnya dari Indonesia telah memberikan keuntungan besar kepada pemerintah Malaysia. Penggunaan tenaga kerja asing yang relatif murah telah memberikan kontribusi besar pada tambahan saving dana pembangunan. Di samping itu, pekerja asing juga telah ikut berperan mempercepat transformasi pembangunan di semua lini pembangunan Malaysia. Hal ini menjadi dasar penting untuk melihat dan mengkaji kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan asing di Malaysia khususnya menyangkut peluang dan penghargaan yang lebih fair pada saat sekarang dan akan datang.

Realitas kehadiran pekerja Indonesia di Malaysia merupakan fenomena yang tidak terhindarkan. Hal ini mengingat bahwa aliran pekerja Indonesia terutama ke bagian selatan semanjung Malaysia sudah berlangsung turun-temurun sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan secara rutin di luar kerangka politik. Pengetatan aturan keimigrasian yang dilakukan dibawah alasan stabilitas nasional Malaysia oleh karenanya merupakan sebuah sebuah eskapisme dari ketidakmampuan pemerintah dalam menciptakan manajemen tenaga kerja yang transparan dan ketakutan berlebihan atas dominasi pekerja asing terutama di sektor-sektor riil. Jika dilihat lebih sepsifik, kehadiran pekerja Indonesia sepanjang era krisis (1997-2002) telah memberikan sumbangan penting bagi berjalannya roda perekonomian Malaysia yang sebagiannya mengandalkan sektor perkebunan dan pertanian. Oleh karena itu, secara ekonomi hilangnya sebagian besar pekerja asing sebagai implikasi langsung dari kebijakan ketat yang diterapkan pemerintah Malaysia memberikan pukulan berat bagi perekonomian Malaysia paling kurang satu periode ke dapan. Logikanya adalah pengusiran tenaga kerja asing menciptakan kekosongan-kekosongan tenaga kerja di lapisan terbawah sementara pekerja lokal pun enggan untuk mengisi sektor pekerjaan tersebut. Kondisi ini secara substansial merupakan ancaman bagi stagnasi pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah-wilayah negara bagian yang banyak memanfaatkan tenaga kerja asing, seperti Slangor, Johor, Negeri Sembilan, Melaka dan negara-negara yang berada dibawah wilayah persekutuan Melayu.

Secara historis pembatasan masuk pekerja asing sebenarnya bukan hal baru bagi Malaysia. Pelanggaran-pelanggaran keimigrasian bahkan secara tradisional telah dilakukan dan “direstui” oleh kelompok-kelompok masyarakat yang sangat membutuhkan kehadiran pekerja terutama disektor perkebunan dan pertanian. Akta keimigrasian Malaysia 1959/1963 yang diperbaharui dengan Akta keimigrasian Agustus 2002 yang mengatur tentang pembatasan dan ijin tinggal warga asing di Malaysia misalnya merupakan salah satu penegasan aturan sbelumnya. Akta ini pula yang digunakan untuk mendakwa dan mengancam sebagian besar pekerja untuk berhati-hati melakukan aktivitas di wilayah semanjung Malaysia khususnya.

Namun demikian, faktanya adalah bahwa betapapun upaya pengetatan keimigrasian dilakukan, realitas kebutuhan pekerja yang sangat besar di lapisan bawah dalam stuktur pasar kerja Malaysia menyebabkan aliran masuk migran sulit untuk dikendalikan. Di samping itu, ketimpangan pertumbuhan ekonomi regional antara negara-negara tujuan migrasi (seperti malaysia) dengan negara asal migran menyebabkan aktivitas migrasi yang dilakukan hampir tidak mempertimbangkan resiko yang mungkin akan dihadapi sepanjang proses migrasi yang terjadi. Kemiskinan di daerah asal migran telah menjadi stigma yang menjadikan aktivitas migrasi seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisah. Di satu sisi, aktivitas tersebut mengandung resiko besar tetapi disisi yang lain juga ada harapan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga di daerah asal. Sebuah pilihan aktivitas yang juga bersifat dilematis, berada diantara pilihan-pilihan ekonomi politis yang sama beratnya.


Berkaca dalam Lumpur: Antara Indonesia dan Indon

Realitas objektif pemberlakukan pasar bebas global ataupun pasar bebas regional sebenarnya memberikan paling kurang tiga aspek penting bagi kativitas migrasi pekerja antar negara. Pertama, secara umum berlakunya pasar bebas regional ataupun global memberikan ruang lebih bebas bagi pekerja untuk melakukan aktivitas ekonomi produktif tanpa harus dibatasi oleh batasan-batasan politik antarnegara. Kedua, segmentasi pasar kerja yang makin kompleks juga memberikan kesempatan bagi pekerja pada berbagai tingkatan dan kualitas untuk memilih bidang-bidang atau sektor-sektor kerja yang sesuai dengan keterampilan dan kemampuan pekerja. Ketiga, secara hukum dan politis aktivitas ekonomi pekerja lebih terlindungi karena keterlibatannya di pasar kerja global dijamin berdasarakan hukum dan konvensi internasional (Fong, 1992).

Namun demikian, tidak semua negara bahkan termasuk negara yang menandatangi perjanjian perdagangan bebas rela membuka pasarnya untuk diisi oleh pekerja dengan berbagai latar belakang sosial kultural, bahkan politik. Hal ini disebabkan tidak adanya suatu konsep dan mekanisme jelas berkaitan dengan keterlibatan tenaga kerja asing untuk ikut bersaing di pasar kerja nasional negara-negara terkait. Negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Indonesia misalnya menyimpan kekawatiran besar sebagai konsekuensi tidak tepatnya strategi pengembangan sumberdaya manusia yang dilakukan. Hal ini menyebabkan respon yang diberikan selalu lebih lambat dari desakan kesepakatan pasar bebas yang terlanjur ditandatangani. Lebih jauh, pemerintah negaranegara di kawasan ini cenderung untuk melakukan proteksi dari keterlibatan pekerja asing. Sterilisasi pasar kerja nasional di masing-masing negara bahkan dibingkai dengan kepentingan politik yang semata-mata dilakukan untuk menghindar dari kesepakatan internsional.

Jeratan kepentingan politik terhadap realitas perkembangan ekonomi global telah menciptkan ruang diskriminatif yang menempatkan pekerja asing di suatu negara pada posisi yang dilematis. Di satu sisi kemiskinan dan tidak tersedianya kesempatan kerja memadai di negara asalnya menyebabkan pekerja migran terpaksa menetapkan pilihan dengan segala resiko yang dihadapi. Di sisi lain, pekerja pun nampaknya harus menghadapi kenyataan bahwa aktivitas yang dilakukan tidak berada pada jangkauan perlindungan yang mampu diberikan oleh negara asalnya bahkan oleh negara tempat dia bekerja (Rivera, 1992). Inilah sebuah kenyataan yang harus dihadapi migran di negara tujuan, di mana aktivitasnya telah menjadi bagian tidak terpisah dalam seluruh proses pembangunan yang dilakukan pemerintah negara terkait.

Dalam konteks Malaysia, Indon merupakan terminologi yang digunakan untuk menyebut pekerja Indonesia. Sebuah sebutan yang sesungguhnya lebih bernuansa kumuh, miskin dan ilegal ketimbang mengndung makna asal pekerja. Dengan demikian, jika seorang Indon melakukan pelanggaran, dalam konteks apapun maka indon-indon lain akan langsung merasakan akibatnya. Akan tetapi di sisi lain, terminologi tersebut bahkan telah menciptakan efek positif pada berkembangnya solidaritas antar pekerja migran. Indon, dengan demikian, dapat juga bermakna orang indonesia yang miskin dan senasib. Kenyataan ini hampir identik dengan tingkat sosial ekonomi mereka yang tidak pernah melampaui limit lapisan terendah dalam struktur sosial di Malaysia. Itulah sebabnya memahami realitas pekerja migran Indonesia yang ada di Malaysia hampir identik dengan berkaca di dalam lumpur. Mencoba melihat realitas kehidupan diri sendiri di dalam sebuah kuabngan lumpur. Sebuah realitas yang dapat menjadi cermin betapa buruknya kebijakan pemerintah dalam hal migrasi internasional. Di samping itu, realita tersebut dapat juga menjadi cermin betapa pemerintah tidak punya perhatian serius pada nasib pekerja migran meskipun pada setiap kesempatan persoalan ini dianggap positif bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasional.

Dalam konteks perlindungan pekerja, Malaysia sebenarnya bukan merupakan negara ideal. Meskipun Malaysia merupakan negara utama tujuan migrasi, tetapi kenyataan yang ada adalah bahwa negara tersebut termasuk dalam salah satu negara Asia Pasifik yang tidak mampu memberikan jaminan perlindungan memadai bagi aktivitas pekerja asing. Hal ini disebabkan institusi Malaysia tidak secara tegas menempatkan pekerja ke dalam akta-akta perburuhan kecuali perlindungan terhadap pekerja tempatan dari berbagai tindakan penyimpangan. Itulah sebabnya dalam setiap terjadi perselisihan kerja posisi pekerja asing hampir tidak pernah diposisikan pada situasi yang menguntungkan. Hal ini berbeda dengan negara-negara lain yang mengatur jaminan perlindungan jelas bagi pekerja tanpa melihat identitas sosial-politik pekerja bersangkutan. Paling kurang ada 6 negara Asia-Pasifik yang dapat memberikan jaminan jelas kepada pekerja migran yang melakukan aktivitas ekonomi, yaitu Australia, Irak, Iran, Yordania, Selandia baru, dan Philippine (Rivera, 1992). Oleh karena itu, perlakuan pemerintah terhadap pekerjanya pun baik yang melakukan aktivitas di dalam maupun di luar negerinya hampir tidak berbeda. Kondisi ini hampir tidak ditemukan di negara-negara yang tidak mengadopsi sistem jaminan sosial pekerja termasuk Indonesia.

Di Balik Jerat Hutang, Taikong, dan Perlindungan Hukum

Pertanyaan yang sering muncul ketika bersentuhan dengan aktivitas migrasi internasional adalah bagaimana sebuah proses panjang migrasi yang dilakukan dari daerah-daerah yang relatif miskin dapat berlangsung dalam volume yang besar. Lebih jelasnya, bagaimana mereka (para migran potensial) bisa membiayai perjalanan migrasi yang dilakukan? Sebuah pertanyaan yang jawabannya sbenarnya ada di dalam kantongkantong para calo dan agen-agen pengerah jasa tenaga kerja.

Jika sebuah aktivitas migrasi internasional yang berlangsung diasumsikan berasal dari wilayah-wilayah yang relatif miskin secara ekonomi, dapat dipastikan seluruh atau sebagian pembiayaan migrasi ditanggung oleh orang ketiga. Hal ini berarti aktivitas migrasi yang terjadi berlangsung dalam lingkaran hutang yang dikelola oleh kelompokkelompok pengerah jasa tenaga kerja luar negeri. Rantai migrasi yang belangsung dalam lingkaran tersebut menciptakan rangkaian sindikat yang melibatkan berbagai pihak hingga ke tingkat birokrasi. Persoalan ini pada gilirannya menyebabkan pengendalian aktivitas migrasi yang dilakukan di luar kerangka hukum formal menjadi semakin sulit dideteksi.

Fakta yang ditemukan dalam berbagai penelitian (Mantra, dkk, 1998, 2000, 2001; Haris, 2002) memperlihatkan bahwa sebagian besar aktivitas migrasi yang dilakukan terutama dari wilayah timur Indonesia, seperti NTB dan NTT dilakukan dengan sistem pinjaman modal kepada pihak-pihak pengerah jasa. Hal ini menyebabkan pekerja migran dan keluarganya hampir tidak punya peluang untuk memanfaatakan remitan yang dihasilkan di negara tujuan. Kisaran hutang dengan sistem berganda yang dilakukan pelaku pengirim tenaga kerja secara ekonomi berdampak negatif pada program pembangunan daerah.

Paling kurang ada dua argument yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, realitas putaran uang di daerah asal migran didominasi oleh kelompok-kelompok tertentu, seperti taikong atau calo dan biro pengerah jasa tenaga kerja. Oleh karena itu, meskipun jumlah nominal remitan masuk ke daerah asal tercatat relatif besar, tetapi potensi pemberdayaan ekonomi migran tidak mungkin dilakukan. Hal ini menyebabkan hampir tidak terjadi peningkatan pertumbuhan kegiatan ekonomi yang cukup signifikan. Kedua, dominasi kelompok pengerah jasa tenaga kerja terhadap seluruh proses migrasi yang terjadi di daerah asal menyebabkan kelompok-kelompok migran potensial kehilangan akses dengan program penempatan tenaga kerja yang diselenggarakan pemerintah. Hal ini membawa implikasi pada rendahnya tingkat keamanan pekerja migran karena kemungkinan untuk mengalami tindakan-tindakan menyimpang dari berbagai pihak jauh lebih terbuka. Di sisi lain, pemerintah pun berada pada posisi dilematis karena secara politis harus ikut bertanggungjawab melacak dan melakukan pengendalian terhadap aktivitas “liar” migrasi yang berlangsung diluar kerangka program formal pemerintah.

Kuatnya pengaruh taikong atau calo dalam seluruh proses migrasi internasional di hampir semua wilayah kantong migrasi di Jawa maupun luar Jawa sesungguhnya didukung oleh kuatnya desakan kebutuhan dari daerah tujuan. Oleh karena itu, untuk memenuhi target kebutuhan tersebut agen-agen pengerah jasa malakukan “grilya” hingga ke wilayah-wilayah plosok untuk tujuan perekrutan tenaga kerja yang akan ditempatkan secara ilegal di daerah tujuan. Kondisi inipun sebenarnya telah berlangsung cukup lama dibawah bayang-bayang birokrasi formal pemerintah. Artinya, meskipun pemerintah melakukan program penempatan tenaga kerja ke luar negeri secara legal, tetapi dibalik “baju” legalitas formal tersebut juga dilakukan pengiriman tenaga kerja tidak berdokumen oleh kelompok kelompok agen pengerah jasa. Alasan rumitnya birokrasi migrasi kemudian menjadi salah satu alasan yang seringkali dijadikan sebagai tameng untuk melegalkan seluruh aktivitas penempatan migran tenaga kerja ke luar negeri khususnya ke wilayah selatan smenanjung Malaysia.

Terlepas dari persoalan-persoalan yang ada di sekitar proses migrasi tersebut, kenyataannya regim calo dan agen-agen pengerah jasa jauh lebih kuat dibanding pengaruh pemerintah terutama di lapisan bawah struktur pasar kerja nasional. Pemerintah sebagai agen resmi negara bahkan hampir kehilangan legitimasi untuk menyampaikan berbagai informasi penting tentang kesemptan kerja di pasar kerja internasional. Ketidakmampuan agen-agen pemerintah untuk menanamkan pengaruhnya di lapisan bawah kelompok tenaga kerja menyebabkan program-program yang dilakukan mengalami stagnasi. Dalam arti bahwa tidak terdapat kemajuan berarti di dalam implementasi kebijakan pembangunan yang dijalankan. Kondisi ini, jika dibiarkan dalam jangka waktu tidak lama, maka pemerintah akan menuai ketidakpercayaan masyarakat terhadap program-program pembangunan terutama dalam bidang ketenagakerjaan. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah untuk melakukan antisipasi ke depan menyiapkan kualitas SDM yang dibutuhkan pasar di samping memperbaiki manajemen ketenagakerjaan khususnya berkaitan dengan antisipasi kebijakan migrasi internasional yang berpihak kepada kepentingan pekerja migran demi menjamin kepentingan nasional yang lebih besar.

Ketidakberdayaan pemerintah dalam menangani persoalan buruh migran baik di dalam negeri maupun di luar negeri terutama melalaui perwakilannya atau pun melalui lembaga-lembaga yang bertanggungjawab terhadap penempatan tenaga kerja luar negeri pada gilirannya menempatkan pekerja Indonesia pada posisi yang sulit. Di dalam negeri pemerintah tidak mampu memberikan jaminan ekonomi yang memadai karena kesempatan kerja sangat terbatas. Di lain pihak program penempatan tenaga kerja luar negeri pun umumnya tidak disertai perangkat hukum yang mampu menjamin keselamatan dan kenyamanan pekerja migran dalam melakukan aktivitasnya, seperti tercantum dalam bab III pasal 9 pada konvensi ILO yang sebenarnya telah dirativikasi oleh kebanyakan negara ASEAN. Pasal ini antara lain menegaskan perlunya memberikan jaminan perlindungan kepada pekerja dan keluarganya.

Negara-negara pengirim maupun penerima sebenarnya cukup punya dasar hukum kuat untuk memberikan proteksi kepada pekerja migran internasional yang melakukan aktivitas ekonomi di negaranya. Namun demikian kesepakatan internasional yang mencakup kewajiban negara penerima maupun negara pengirim untuk melindungi pekerja tidak dapat mengabaikan aspek-aspek sosial kultural masyarakat negara setempat. Hal inilah yang sebenarnya menjadi hambatan paling berat bagi negara pengirim untuk untuk mencoba melakukan terobosan-terobosan karena adanya perbedaan persepsi yang sulit disosialisasikan terutama dalam konteks hubunganhubungan hukum dan politis (Mantra, dkk., 2001). Akan tetapi, apapun bentuk hambatan yang dihadapi, sebagai sebuah negara yang bertanggungjawab atas nasib pekerjanya, maka sudah selayaknya pemerintah dengan berbagai upaya memberikan perlindungan maksimal tanpa melihat konteks ilegal atau legal. Jika konteks hukum tidak mampu memberikan perlindungan maka alternatif lain, seperti penekanan pada pasal-pasal kerjasama dan perjanjian bilateral pun masih mungkin dilakukan untuk mencairkan kebutnuan dialog dua negara. Dengan demikian, pekerja migran tidak diposisikan pada situasi kritis dan tidak aman dari berbagai ancaman resiko di dalam negeri dan terutama di negara tujuan migran.


Di Balik Ringgit dan Sebatan Rotan

Persoalan yang akhir-akhir ini banyak menimbulkan kontroversi terutama di Indonesia adalah persoalan hukum sebat yang dikenakan kepada para migran yang tidak mengikuti aturan keimigrasian Malaysia atau yang ijin tinggalnya habis atau yang melakukan aktivitas ekonomi diluar legalisasi hukum Malaysia. Akan tetapi, jika dilihat lebih jauh persoalan sebenarnya bukan pada hukum sebat yang diberlakukan oleh pemerintah Malaysia, tetapi lebih pada persoalan pemulangan sebagian besar tenaga kerja Indonesia. Jika persoalan hukum sebat diangkat ke permukaan, masalahnya kenapa baru muncul setelah ratusan ribu pekerja terdeportasi dari Malaysia. Kenapa pemerintah tidak melihat fenomena kekerasan baik yang dilegalkan maupun yang tidak pada periode-periode sebelumnya?

Sebuah kenyataan pahit yang ditakutkan pemerintah sebenarnya adalah kembalinya ratusan ribu pekerja ini dikawatirkan akan menjadi ancaman serius perekonomian dan sosial-politik Indonesia yang sudah terpuruk. Tambahan pengangguran ratusan ribu akan menjadi peringatan bagi Indonesia. Artinya jika pemerintah tidak segera memberikan alternatif bagi sebagian besar deportan migran, maka tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan berbagai persoalan sosial dan poltik seperti yang dialami Meksiko atau Argentina beberapa waktu lalu. Inilah yang sebenarnya menjadi titik total perdebatan, dan bukan pada substansi proses pemulangannya semata.

Kenyataan yang ada saat ini adalah bahwa tidak semua deportan migran yang dikirim dari negara tujuan kembali sampai daerah asal. Fakta menunjukkan bahwa pada setiap dua ribu deportan diketahui 500-750 deportan menghilang di perjalanan (Kopbumi, dan berbagai sumber, 2002). Ini berarti jika diakumulasi total separuh kurang lebih 600.000 deportan migran tidak kembali ke daerah asal atau menghilang dalam perjalanan. Berdasarkan fenomena ini dapat diprediksikan bahwa sebagian besar pekerja yang tidak kembali atau hilang dalam perjalanan hanya memiliki dua kemungkinan, yaitu tinggal sementara diperbatasan untuk kemudian kembali memasuki daerah tujuan atau pergi ke lokasi-lokasi lain yang diharapkan mampu memberikan alternatif ekonomi lebih baik. Jika alternatif pertama terjadi maka dapat dipastikan resiko yang dihadapi pekerja akan jauh lebih besar. Hal ini mengingat bahwa disamping resiko hukum, pekerja juga kemungkinan pekerja juga akan menghadapi resiko kemanusiaan lebih buruk berupa pemerasan atau jatuh dalam jaringan perdagangan manusia.

Berbagai fakta yang ada menunjukkan bahwa meskipun negara tujuan, Malaysia misalnya, memberlakukan hukuman pancung sekalipun migran internasional akan tetap berdatangan kecuali aktivitas pembangunan tidak dilakukan. Kenyataannya, ketika ratusan ribu pekerja migran Indonesia meninggalkan Malaysia, sektor properti dan sektor-sektor riil seperti perkebunan dan pertanian terancam stagnan atau tidak bisa beraktivitas. Oleh karena itu, mungkin dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk mendeportasi sebagian besar pekerja asing adalah sebuah arogansi sebagai akibat rasa percaya diri berl;ebihan dari pemerintah Malaysia. Namun apapun kontroversi hukum yang terjadi, kenyataan arus migrasi masuk ilegal pekerja khususnya dari kantong-kantong migran pekerja di kawasan timur Indonesia tetap berlangsung. Konflik kepentingan politik yang terjadi antara dua negara terkait seolah tidak berpengaruh pada aktivitas yang dilakukan. Inilah fakta yang terjadi dan harus dilihat secara proporsional, baik oleh pemerintah negara tujuan maupun oleh pemerintah Indonesia sendiri. Fakta bahwa ringgit itu jauh lebih manis dari resiko sebatan rotan atau 3 bulan penjara yang mungkin akan dialami oleh pekerja.

Dalam situasi sulit ini, kemudian patut pula diajukan sebuah pertanyaan kepada pemerintah adakah pemerintah telah serius memikirkan persoalan-persoalan ekonomi di lapisan bawah? Atau pernahkan pemerintah terketuk untuk menginisiasi sebuah jaminan perlindungan yang mampu melindungi rakyatnya bahkan pada lapisan paling bawah sekalipun yang berada di luar negeri? Jawabanya kembali kepada komitmen dan kemauan politik pemerintah dan parlemen, dan bukan pada pernyataan-pernyataan untuk meraih sebuah kursi jabatan.


Catatan Penutup

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membawa situasi buruh migran Indonesia dalam perdebatan yang kian rumit, akan tetapi lebih pada upaya membuka wacana untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang muncul berkaitan dengan situasi perburuhan yang kian tidak menentu. Dalam diskusi ini diharapkan akan muncul pemikiran-pemikiran alternatif yang dapat membawa nafas baru bagaimana memberikan solusi alternatif terhadap persoalan-persoalan migrasi internasional yang kian kompleks. Lebih jauh, diskusi ini diharapkan dapat menciptakan ruang lebih terbuka untuk diskusi yang lebih luas berkaitan dengan persoalan-persoalan migrasi internasional yang terus berkembang sejalan dengan perubahan-perubahan atmosfer ekonomi dan politik global. Semoga diskusi ini memberikan nafas baru bagi studi migrasi dan kependudukan pada umumnya.




Daftar Pustaka

Fong, Pang Eng. 1992. “Absorbing Temporary Foreign Workers: The Experience of Singapore” dalam Asia and Pacific Migration Journal, Vol 1(3-4) (495-510).

Haris, Abdul. 2002. Memburu Ringgit Membagi Kemiskinan, Fakta di Balik Migrasi Orang Sasak ke Malaysia. Yogyakarta Pustaka pelajar.

Hugo, Graeme. 1996. Economic Impact of International Labour Emigration on Regional and Local Development: Some Evidence from Indonesia. Paper to be Presented at annual meeting of Population Association of America, New Orlean.

—————. 1993. “Indonesia Labour Migration to malaysia: Trend and Policy Implication” dalam South-Asian Journal of Social Science, Vol 21. No.1.

————–. 1982. “Source pf International Migration in Indonesia: Their Potential and Limitation” dalam majalah Demografi Indonesia, no.17.

IOM. 1999. International Migration Policies and Programs. New York: Un Publication.

————–.2000. World Migration Report 2000. New York: UN Publication.

Ismail, Abd. Ghafar dan Md. Zyadi Md. Tahir. 1998. Makro Ekonomi Malaysia, Perspektif Dasar. Bagi: Universiti Kebangsaan Malaysia Press.

Keputusan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-104 A/MEN/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri.

Mantra, Ida Bagoes, Kasto dan Yeremias T. Keban. 1999. Laporan Penelitian Migrasi Tenaga kerja Indonesia Ke Malaysia: Isu Kemanusiaan dan Masalah Kebijakan (Kasusu NTT, NTB dan Jawa Timur). Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.

—————, Kasto dan Abdul Haris. 2001. Mobilitas Pekerja Wanita Indonesia ke Arab Saudi: Masalah Kekerasan dan Perlindungan Hukum (Kasus Cilacap-Jawa Tengah). Yoyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.

Meier, Gerald M. 1995. Leading Issues in Economic Development. New York: Oxford University Press.

Nagib, Laila (ed). 2000. Laporan Studi Kebijakan Pengembangan Pengiriman Tenaga kerja Wanita ke Luar Negeri. Jakarta: PPT-LIPI.

Rivera, Mauricio M. 1992. “Social Security Protection of Migrant Workers” dalam Asia and Pacific Migration Journal, Vol 1(3-4) (511-528).

Todaro, Micahel P. 1995. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (edisi Ind.). Jakarta: Erlangga.

—————. 2000. Economic Development. New York: New York University Press.

Zlotnik, Hania. 1992. “Emopirical Identification of International Migration System” dalam International Migration Systems, A Global Approach, Edited by Merry M. Kritz, et al. Oxford: Clarendon Press.
————–. 1998. “International Migration 1965-1996: an Overview” dalam Population and Development Review, Vol. 24 (3) (429-468).

BMI yang Dianiaya di Malaysia Lupa Ingatan
Save BMI
KORANMIGRAN, MALAYSIA - Satu lagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia, membawa cerita pilu. Dia adalah Suryani Abdullah (21 tahun), pembantu rumah tangga asal Kudus, Jawa Tengah, yang bekerja di rumah yang beralamat di Taman Sejahtera, Sungai Petani, Kedah, Malaysia. 

Suryani melarikan diri dari tempatnya bekerja karena tak tahan selalu dijadikan sansak hidup oleh majikannya. Saat melaporkan diri ke kantor polisi kemarin, tubuh Suryani terlihat lemah, bengkak, dan lebam. “Kami sedang mendampingi korban di kantor polisi. Saat ini masih diselidiki setelah tadi direkonstruksi oleh polisi,” kata Sofiana Mufidah dari Konjen KJRI Penang, 27 November 2012.

Tak banyak informasi yang bisa diperoleh dari Suryani, sebab dia sering pusing dan tiba-tiba lupa ingatan saat diajak bicara. Keterangan yang diperoleh Sofia menyebutkan, Suryani dianiaya majikannya sejak awal bekerja di sana, enam bulan lalu. Ia yang disuruh bekerja sejak pukul 05.00 (sebelum subuh waktu setempat) hingga larut malam, disertai tinju dan pukulan gagang sapu.

Puncaknya terjadi pada Jumat pekan lalu, saat Suryani bangun pukul 07.00 akibat bekerja hingga jauh malam. Pukulan pun berkali-kali mendarat di tubuhnya. Tak tahan dengan perlakuan majikannya, Suryani melarikan diri dan diselamatkan oleh tetangga majikannya. Selanjutnya ia diantarkan ke kantor polisi.

Duta besar Indonesia untuk Malaysia, Herman Prayitno mengaku sudah menerima laporan penganiayaan tersebut. “Kami menyayangkan kejadian ini kembali terulang. Saat ini KJRI sedang mendampingi korban dan kami telah menyiapkan langkah-langkah selanjutnya, termasuk langkah hukum,” kata dia. KJRI juga akan membawa Suryani ke penampungan TKI bermasalah setelah penyidikan rampung.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), Jumhur Hidayat, Siap mengundurkan diri apabila informasi soal delapan BMI yang akan di pancung seusai solat Jumat.Namun menurutnya berita itu simpang siur.

Jumhur mengaku telah menghubungi konsulat jenderal di Arab Saudi dan menyatakan berita itu tidak benar."Bila ada, saya mundur sebagai kepala badan" tegas Jumhur dalam acara Metro Siang di Metro TV, Jumat, (01/07/2011).

Seperti yang dilansir Metro TV ada delapan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang akan menjalani hukum pancung di Arab Saudi, Jumat (1/7). Eksekusi berlangsung usai salat Jumat di Arab Saudi atau sekitar pukul 17.00 WIB. Informasi itu didapat dari seorang wanita yang bekerja di Arab bernama Shinta Mawar.

Kedelapan orang itu yakni:

1. Suarni bin Kholil Salama asal Jawa Timur;

2. Rusdi bin Dulwahed asal Madura, Jawa Timur;

3. Karsih binti Ocim asal Karawang, Jawa Barat;

4. Suin asal Subang, Jawa Barat;

5. Emi binti Katma Mumu asal Sukabumi

6. Sulaimah asal Kalimantan Barat

7. Buhori asal madura

8. Jamila Binti Abidin Rifi asal Cianjur.
Rencana hukuman pancung masih mengacam Satinah binti Djumadi (38), Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Ungaran tepatnya RT 2 RW 3 Dusun Mrunten Wetan, Desa Kalisidi, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.

Satinah hingga kini masih mendekam di penjara menyusul dinyatakan bersalah oleh pengadilan Arab Saudi karena membunuh majikan perempuannya, Nura Al Garib pada 2007 lalu.

Informasi yang berhasil dihimpun menyebutkan, bila hingga batas waktu pengampunan dengan membayar diyat (pengganti darah-red) 14 Desember 2012 nanti tidak dipenuhi oleh pemerintah Indonesa, maka hukuman pancung akan dilaksanakan. Dalam hal ini, diyat yang harus dibayarkan sebesar tujuh juta riyal atau sekitar Rp 20 miliar.

Pihak keluarga saat ditemui, Selasa (27/11) siang, mengaku hanya bisa pasrah dan berharap pemerintah bisa membantu pembayaran diyat hingga pemulangan ibu dari Nur Afriana (18) ini.

Dikatakan kakak ipar Satinah, Sulastri (36), belum lama ini pihak keluarga berhasil menelpon Satinah berkat bantuan KBRI untuk Arab Saudi.

"KBRI memerintahkan kami untuk mengirimkan fotokopi KTP, KK, dan pas foto warna melalui email, katanya untuk keperluan pembuatan paspor. Dua perwakilan keluarga rencananya akan difasilitasi oleh pemerintah untuk bertemu Satinah awal Desember nanti," kata Sulastri.

Sementara itu, anak Satinah, Nur Afriana yang masih duduk di kelas 3 SMA Negeri 12 Semarang saat ditanya seputar ibunya mengaku berkeinginan menjemputnya pulang ke tanah air. Nur panggilan akrab Nur Afriana terakhir bertemu Satinah saat umur 12 tahun.

"Saya kangen sama ibu, yang jelas pemerintah harus membantu kepulangan ibu. Kami sekeluarga tidak mau ibu pulang hanya nama," tandas Nur Afriana.
Mestinya kalau pemerintah RI mau serius membela warga negaranya yang sedang menunggu eksekusi mati di negeri orang, diyat (uang pengganti darah-red) yang dipersyaratkan Kerajaan Arab Saudi sebesar Rp 20 miliar itu tidaklah menjadi persoalan.

Fatkhurosi, Direktur Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJ-HAM) Semarang, yang selama ini melakukan pendampingan atas keluarga terpidana mati TKW Satinah, menyatakan hal itu terkait dengan nasib kliennya yang saat ini berada di ujung tanduk.

Atas kondisi ini, pihaknya akan memprotes keras kepada sejumlah stakeholder yang berkaitan mengurusi masalah tenaga kerja wanita. "Kami akan lakukan investigasi dan mempertanyakan ke Kementerian Luar Negeri, Kementeria tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan pemprov dalam hal ini gubernur Jateng," kata Fatkhurosi.

"Kami akan menagih pada mereka sejauh mana keriusan pemerintah dalam membela warga negaranya. Kami perlu melakukan (pendampingan-red) ini karena Satinah berasal dari Ungaran Jawa Tengah," kata Oji, panggilan akrab Fathkurosi.

Bahkan lebih jauh lagi pihaknya akan melaporkannya ke Convention on The Elimination of all forms of Discrimination Against Woman (CEDWA), yakni komisisi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan di PBB. (suaramerdeka.com)
Kabar duka datang dari pihak keluarga seorang BMI asal Karawang Jawa Barat. Mereka menerima kabar lewat pesan singkat SMS, bahwa hukum pancung terhadap putri mereka, Karsih, yang bekerja di Arab Saudi, dilaksanakan hari ini, selepas shalat Ju'mat. 

Meski tidak meyakini kebenaran informasi tersebut, pihak keluarga tak urung kian cemas, dan meminta pemerintah segera bertindak. Kabar adanya eksekusi hukuman pancung atas 8 BMI asal Indonesia sehabis sholat Jumat waktu Arab Saudi hari ini dikirim melalui SMS dari ponsel seorang BMI di Riyad, Arab Saudi dengan nomor telepon 966535594397 kepada seorang kerabat Karsih di kampung halamannya. 

Menurut SMS tersebut, 8 BMI yang akan dieksekusi pancung hari ini termasuk Karsih binti Ocim asal kampung Pangaritan Desa Pagadungan, Kecamatan Tempuran, Karawang, Jawa Barat. Karsih terancam hukuman pancung karena dituduh meracuni anak majikannya bernama Ali Muhammad Idris Al Ashiri di Riyad Arab Saudi melalui mie instan yang disajikannya. 

Saat ditemui di rumahnya di kampung Pangeritan, Kecamatan Tempuran, Kerawang, Jawa Barat, ibunda Karsih, Acah menuturkan sampai saat ini pihak keluarga belum menerima informasi resmi dari pemerintah. Apalagi tentang pelaksanaan hukuman pancung terhadap Karsih. Keluarga berharap pemerintah segera mencari informasi menyangkut keberadaan Karsih dan memohon Karsih bisa segera dipulangkan ke kampung halamannya. Acah sendiri mengaku sudah 13 tahun tidak bertemu Karsih yakni sejak Karsih diberangkatkan menjadi TKW ke Arab Saudi.(indosiar.com)
Balai Pelayanan Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) bersama Polsek Bandara Sam Ratulangi (Samrat) serta PT Angkasa Pura I berhasil menangkap calo BMI non prosedur, sekaligus menggagalkan pengiriman BMI yang akan diberangkatkan ke Singapura via Batam, Kamis (15 Mei 2012).

Proses penangkapan yang dilakukan pun berlangsung cukup menegangkan. Petugas BP3TKI yang dipimpin langsung oleh Kepala BP3TKI Manado Jeffry Sigar melakukan pengintaian di Bandara Samrat setelah mendapatkan informasi dari masyarakat akan adanya pengiriman BMI non prosedur, menggunakan pesawat Batavia Air pada siang hari.

Tersangka Neitje Karolina Meteng (49) warga Mitra akan mengantar calon BMI sampai bandara dengan menggunakan mobil sewaan DB2929AB.

Ketika calo ilegal tersebut sampai di bandara, petugas BP3TKI yang dibantu oleh anggota Polsek Bandara tidak langsung menangkapnya, melainkan, menunggu calo atau yang lebih dikenal dengan sponsor, melakukan chek in terlebih dahulu. Namun agar targetnya tidak melarikan diri, terus mengikutinya.

Calo ilegal yang bernama Neitje yang tak mengetahui diikuti, setelah melapor ke loket Batavia Air, kemudian melakukan chek in untuk chek in bagi korbannya.

Setelah berhasil chek in dan keluar menuju ruang tunggu keberangkatan sebanyak enam petugas langsung menyergapnya. Petugas menanyakan identitasnya, dan tujuan melakukan chek-in.

Pelaku rupanya tidak kehilangan akal, ia mengaku mengantar anaknya yang akan pergi ke rumah saudaranya di Batam dengan transit di Jakarta. "Ini anak saya mau pergi ke Batam ke rumah saudaranya," ujarnya kepada petugas yang menyergapnya.

"Nama KTP anak ibu?," tanya petugas lainnya.

"Ada di dalam tas, yang dimasukan ke bagasi," tuturnya mengelak.

"Benar, dia ibu kamu?" Tanya seorang petugas kepada korban yang akan dikirim ke Singapura.

Korban yang sudah ketakutan dan menangis lalu mengatakan bukan. "Bukan. dia bukan ibu saya," ungkapnya di temani sang suami yang mengantarnya.

Petugas pun kemudian langsung membawanya ke Kantor Polsek Bandara untuk diinterogasi.

Dalam pengakuannya Nietje mengungkapkan korban akan dikirim ke Singapura melalui Batam untuk dipekerjakan menjadi pembantu rumah tangga. Namun demikian mereka akan diberi pelatihan dua minggu sampai dengan satu bulan di Batam. "Paspor serta kelengkapan lainnya akan dibuat di Batam," ungkapnya.

Ia mengaku baru kurang lebih satu tahun menjadi sponsor mencari orang yang ingin bekerja di luar negeri. "Saya terus terang saja, tidak pernah mencari, mereka saja yang datang," katanya.

Jika berhasil mengirim orang dari sini, saya oleh pak syarif dari perusahaan Maharani Anugerah Pekerti, selaku penyalur tenaga kerja memberikan uang Rp 4 juta. Namun Rp 2 juta akan diberikan kepada keluarga yang akan ditinggalkan. Syarat yang harus dilapirkan antara lain KTP

Surat izin suami, KK, Akte Nikah. "Belum terlalu banyak saya mengirim orang dari sini, tidak lebih dari sepuluh. Dua minggu lalu, saya kirim tiga orang, namun yang satu dikembalikan karena sakit," katanya.

Kasie Perlindungan dan Pemberdayaan BP2TKI Ronny P Anis SE MSi mengatakan pelaku merupakan pemain lama yang telah diincar oleh badannya. Menurut catatan yang ada padanya telah mulai beroperasi sejak 2009. "Namun kami kesulitan menangkapnya, karena ia cukup lihai untuk menghindari aparat," ujarnya.

Modus yang biasa dilakukannya adalah mereka jika akan mengirim warga yang akan bekerja tidak langsung memberangkat sekaligus, melainkan satu atau dua orang. Hal tersebut untuk menghindari kecurigaan petugas. Seperti sekarang ini mengirim satu orang dulu.

Pelaku dikatakan ilegal, karena perusahaan yang dikatakannya tidak ada perwakilan di Sulut. Lagi pula korban tidak memiliki dokumen yang lengkap seperti KTP, Paspor, namun tetap diberangkatkan.

Penangkapan yang dilakukan saat ini nantinya akan diteruskan ke BP2TKI pusat untuk ditindak lanjuti mengusut perusahaan tersebut.

Jumlah Buruh Migran Indonesia (BMI) yang bekerja di luar negeri sepanjang tahun 2011 lalu sebanyak 224 orang. Jumlah ini kebanyakan didominasi oleh BMI perempuan.

Demikian data yang disampaikan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Manado, Jefry Sigar, Kamis (8/3). “Perempuan yang menjadi TKI ada 201 orang dari jumlah keseluruhan di tahun 2011 lalu yakni 242,” ucapnya.

Ia menambahkan, secara year on year jumlah BMI asal Sulut mengalami peningkatan. Februari 2011 jumlah BMI asal Sulut hanya 12 orang naik menjadi 24 orang di bulan Februari 2012.

Sigar menuturkan sebenarnya angka ini lebih tapi ada warga yang menjadi BMI dari perusahaan tidak resmi. “Datanya sebenarnya banyak. BMI asal Sulut kebanyakan bekerja di negara Singapura, Malaysia, Hongkong termasuk juga Brunei Darusallam , Afrika dan negara lainnya,” katanya.


Masih Mengalami Kekerasan

Jefry Sigar, mengatakan kadang kala BMI diperlakukan tidak baik oleh Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS).

“Ada BMI yang semestinya berada di Hongkong, tapi dibawa ke Macau. Kalau sudah berada di Macau berarti statusnya menjadi ilegal, karena ijin kerjanya berada di Hongkong,” kata Sigar.

Dia menambahkan, beberapa pekan kasus seperti ini terjadi pada seorang BMI, dimana ketika terjadi perselisihan dengan majikan, BMI dibawa oleh agen ke Macau. “Kami menduga ini adalah trik agen agar BMI tersebut dibawa ke Macau,” tandasnya.

Dia mengatakan, ketika terjadi perselisihan dengan majikan atau agen, hendaknya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang berada di negara tersebut dapat menjadi rumah bagi BMI untuk mendapatkan perlindungan.

Jangan sekali-kali ketika terjadi perselisihan berkaitan dengan hubungan kerja, lari ke agen untuk mendapatkan perlindungan. “BMI yang menjadi korban pada akhirnya mengadu ke BP3TKI karena mendapat perlakuan tidak baik. Setelah terjadi pembicaraan dengan kantor pusat akhirnya BMI dipulangkan dari Macau ke Jakarta. Tidak langsung ke Manado,” bebernya.


Data Disnaker

Data pelaksanaan perekrutan calon tenaga kerja Indonesia (TKI) Sulut yang tercatat di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sulut menunjukkan, BMI yang bekerja di luar negeri berjumlah 133 orang dan tersebar di lima benua. “Wilayah Asia Pasifik mengantongi jumlah BMI terbanyak,” ujar Kepala Disnakertrans Boy Rompas.

Dari sejumlah negara Asia Pasifik yang menjadi tempat tujuan, Singapura dan Hongkong menempati peringkat satu dan dua sebagai daerah terbanyak menampung BMI, diikuti Malaysia di tempat ke tiga. “Untuk Korea, Jepang, Laos, Thailand serta Taiwan hanya berkisar1-2 orang BMI,” tambah Purwanto, Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja.

Ditanyakan tentang masalah apa yang dihadapi BMI, Purwanto mengatakan, sampai saat ini, pihaknya belum mendengar keluhan dari BMI maupun Negara tujuan seperti yang banyak dialami naker di daerah lain. 

Tidak terjadinya masalah tersebut kata Purwanto, karena Sulut selalu mengirim BMI yang memiliki kemampuan kerja serta sudah dibekali dengan ketrampilan berbahasa yang mumpuni. “Orang-orang yang kami kirim telah melewati beragam pelatihan sehingga kemampuan mereka tidak diragukan lagi,” jelasnya.

Dengan cara itu, masalah-masalah yang sering terdengar menyangkut pembayaran gaji dan tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh majikan tidak terjadi. Karena di samping menunjukkan hasil kerja yang baik, BMI juga menjalin komunikasi yang bagus. “Sampai saat ini semua berjalan lancar, keluhan mengenai pembayaran gaji belum terdengar dan mudah-mudahan itu tidak akan terjadi,” pungkasnya
Berbagai masalah muncul dalam pelayanan pemulangan Buruh Migran Indonesia (BMI). Adanya berbagai permasalahan ini muncul dalam investigasi Ombudsman RI. Hasilnya, Ombudsman RI menyimpulkan, masih terdapat maladministrasi di Terminal 4. 

Menurut Ombudsman RI, maladministrasinya berupa ketidaksigapan petugas dalam memberikan pelayanan, masih adanya pungli, masih adanya sarana dan prasarana yang perlu diperbaiki, dan minimnya informasi tentang hak layanan yang disampaikan kepada BMI.

Wakil Ketua Ombudsman RI, Azlaini Agus, mengatakan investigasi terhadap pelayanan pemulayang BMI yang dilakukan lembaganya ini dilakukan demi adanya perbaikan pelayanan terhadap pahlawan devisa ke depannya. Dirinya berharap penyampaian hasil investigasi mampu menjadi bahan perbaikan oleh pihak-pihak terkait dalam hal ini Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan BMI (BNP2TKI), Binapenta, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), dan Balai Pelayanan Pendataan Kepulangan BMI.

Pengiriman BMI sudah berlangsung lama, yang setiap tahunnya jumlahnya pun cenderung meningkat baik dari sisi jumlah maupun negara tujuan. Namun pengiriman BMI banyak menimbulkan masalah mulai dari pemberangkatan, penempatan dan pemulangan ke daerah asal. "BMI adalah penyumbang devisa tertinggi, jadi sudah seharusnya mendapat pelayanan yang baik," katanya. 

Awalnya, Ombudsman hendak melakukan investigasi dari hulu hilir, mulai dari pembekalan hingga pemulangan. Namun adanya keterbatasan waktu, dana dan sumber daya manusia, membuat niat tersebut diurungkan dan memilih investigasi dari sisi hilir saja. "Kami fokuskan di hilir, saat di bandara dan asuransi," ucap Azlaini.

Pengaduan ke Ombusman
KORANMIGRAN, JAKARTA - Komisi Ombudsman RI menilai kinerja Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tak maksimal. Anggota Ombudsman RI Bidang Pencegahan, Hendra Nurtjahjo, mengatakan, buruknya kualitas kerja BNP2TKI terlihat setelah pihaknya menginvestigasi sistem pelayanan pemulangan TKI di Terminal 2 dan 4 Bandara Soekarno-Hatta.

"Kinerja BNP2TKI belum maksimal. Menurut kami banyak yang perlu diperbaiki, karena hasil program mereka memang belum optimal sama sekali," kata Hendra, yang juga ketua tim investigasi pelayanan TKI, di kantornya, Senin, 22 Oktober 2012.

Hendra menjelaskan, Ombudsman melakukan investigasi sejak setahun lalu dengan memantau langsung terminal pemulangan TKI, wawancara dengan TKI, BNP2TKI, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Konsorsium Asuransi, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga terkait lainnya.

Dari hasil penelusuran, Ombudsman menemukan tidak ada koordinasi yang baik antarlembaga yang semestinya bisa mempermudah TKI dalam mendapat pelayanan. BNP2TKI dituding tidak akurat dalam mendata kepulangan WNI. Lembaga itu juga tidak menyediakan ruang pelayanan yang mumpuni dancall center yang mudah diakses.

Komisi Ombudsman, menurut Hendra, memberi waktu sebulan kepada BNP2TKI dan pemerintah untuk memperbaiki sistem pelayanan pemulangan TKI. Setelah sebulan, Ombudsman akan menilai apakah instansi terkait sudah menjalankan rekomendasi hasil investigasi.

Jika dalam waktu sebulan BNP2TKI diketahui tidak mematuhi rekomendasi, Ombudsman akan menjatuhkan sanksi yang bentuknya diatur Pasal 54 Undang-Undang Pelayanan Publik. "Sanksi itu pilihan terakhir. Kami menempuh upaya persuasif dulu agar mereka memperbaiki pelayanan," kata Hendra.

Ombudsman, Hendra menambahkan, tak sepakat dengan upaya pembubaran BNP2TKI yang sempat disuarakan Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai ekses munculnya konflik kepentingan lembaga tersebut dengan Kemenakertrans. Hendra menilai fungsi regulator dan operator tak perlu dihilangkan dari BNP2TKI, selama instansi itu meningkatkan kualitas pelayanannya untuk TKI.

Deputi Perlindungan TKI BNP2TKI, Lisna, mengatakan, hasil investigasi Ombudsman akan dijadikan sebagai masukan untuk memperbaiki pelayanan kepulangan TKI di Selapajang. BNP2TKI, kata dia, juga akan menindaklanjuti Peraturan Menteri No. 16 Tahun 2012 soal pemulangan TKI. "Itu bisa menyempurnakan rencana pemulangan TKI secara mandiri," ujarnya.