Mayoritas Gaji Buruh Dinilai Tak Layak
Unknown
13:08
0
SBMI, Yogyakarta - Mayoritas gaji yang diterima buruh dinilai belum memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Upah minimum provinsi atau regional juga hanya 80 persen saja dari pemenuhan kebutuhan hidup. Persoalan juga bertambah karena jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,35 juta pada Mei 2012.
"Apalagi pekerja yang di sektor informal, itu sangat rentan dan jauh dari menuju kesejahteraan," kata peneliti Akatiga, Pusat Analisis Sosial Bandung, Indrasari Tjandraningsih, dalam acara seminar nasional "Menjawab Tantangan Masalah Kesempatan Kerja di Indonesia: Menyusun Agenda Penelitian Untuk Kebijakan" di Yogyakarta, Jumat, 28 September 2012.
Pekerjaan formal, seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan milik negara, atau pegawai perusahaan yang sudah mapan, dianggap lebih bisa menyejahterakan para pekerja. Sedangkan pekerjaan informal sangat rentan soal penggajian pekerja dan sulit mewujudkan kesejahteraan.
Ia menambahkan, mulai 2020 akan terjadi "bonus demografi", yaitu penduduk Indonesia lebih banyak usia remaja produktif (15-25 tahun) dibandingkan dengan penduduk usia lanjut dan anak-anak. Ketersediaan lapangan kerja diharapkan bisa mampu menampung pekerja di sektor formal.
"Selain itu, juga ada pelatihan kewirausahaan untuk masyarakat supaya tidak bermental kuli, tetapi justru menciptakan lapangan kerja," kata dia.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, upah minimum provinsi yang diberlakukan sejak Januari 2012 sebesar Rp 892.9660. Padahal, menurut usulan dari para buruh atau pekerja, upah untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) sebesar Rp 1,1 juta.
Menurut Anggota Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta, Ahmad Sumiyanto, setiap tahun mestinya upah minimum harus disesuaikan dengan kebutuhan hidup pekerja.
Apalagi, Yogyakarta yang dulu dikenal sebagai daerah dengan biaya hidup masyarakat yang murah, kini sudah bergeser. Karena, harga-harga kebutuhan hidup juga terus naik. "Kami mengusulkan supaya UMP naik," kata dia.
Ia menambahkan, angka kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta tergolong tinggi yaitu 16 persen, melebihi persentase nasional yang hanya 13 persen saja.
Dengan adanya Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, diharapkan anggaran yang dikucurkan juga bisa menyejahterakan dan mengurangi kemiskinan masyarakat.
"Maka rencana pembangunan jangka menengah daerah dan peraturan daerah istimewa segera diselesaikan paling lambat Februari 2013 untuk mengejar APBNP," kata Ahmad.(tempo)
"Apalagi pekerja yang di sektor informal, itu sangat rentan dan jauh dari menuju kesejahteraan," kata peneliti Akatiga, Pusat Analisis Sosial Bandung, Indrasari Tjandraningsih, dalam acara seminar nasional "Menjawab Tantangan Masalah Kesempatan Kerja di Indonesia: Menyusun Agenda Penelitian Untuk Kebijakan" di Yogyakarta, Jumat, 28 September 2012.
Pekerjaan formal, seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan milik negara, atau pegawai perusahaan yang sudah mapan, dianggap lebih bisa menyejahterakan para pekerja. Sedangkan pekerjaan informal sangat rentan soal penggajian pekerja dan sulit mewujudkan kesejahteraan.
Ia menambahkan, mulai 2020 akan terjadi "bonus demografi", yaitu penduduk Indonesia lebih banyak usia remaja produktif (15-25 tahun) dibandingkan dengan penduduk usia lanjut dan anak-anak. Ketersediaan lapangan kerja diharapkan bisa mampu menampung pekerja di sektor formal.
"Selain itu, juga ada pelatihan kewirausahaan untuk masyarakat supaya tidak bermental kuli, tetapi justru menciptakan lapangan kerja," kata dia.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, upah minimum provinsi yang diberlakukan sejak Januari 2012 sebesar Rp 892.9660. Padahal, menurut usulan dari para buruh atau pekerja, upah untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) sebesar Rp 1,1 juta.
Menurut Anggota Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta, Ahmad Sumiyanto, setiap tahun mestinya upah minimum harus disesuaikan dengan kebutuhan hidup pekerja.
Apalagi, Yogyakarta yang dulu dikenal sebagai daerah dengan biaya hidup masyarakat yang murah, kini sudah bergeser. Karena, harga-harga kebutuhan hidup juga terus naik. "Kami mengusulkan supaya UMP naik," kata dia.
Ia menambahkan, angka kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta tergolong tinggi yaitu 16 persen, melebihi persentase nasional yang hanya 13 persen saja.
Dengan adanya Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, diharapkan anggaran yang dikucurkan juga bisa menyejahterakan dan mengurangi kemiskinan masyarakat.
"Maka rencana pembangunan jangka menengah daerah dan peraturan daerah istimewa segera diselesaikan paling lambat Februari 2013 untuk mengejar APBNP," kata Ahmad.(tempo)
No comments