Warung Tegal, Persaudaraan Urban Yang Bertahan
Unknown
13:56
0
Warteg, Urban Survival |
KORAN MIGRAN, Jakarta - Di pojok pertigaan Gang Sido Damai, Desa Sidokaton, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, terdapat rumah Daryono. Ia pemilik warung tegal di Marunda, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. ”Warungku di kampung dikenal dengan sebutan omah kontainer,” ungkap Daryono (45) terkekeh di rumahnya, Sabtu (25/8/2012).
Ruang tamu rumah Daryono berantakan. Banyak kardus minuman dalam kemasan dan kue berserakan. ”Maaf, Mas, habis syukuran selesainya renovasi rumah ini. Saya mengundang kerabat, sekitar 45 orang saja,” ujarnya lagi.
Mengundang kerabat untuk makan bersama, apa pun acaranya, penting bagi Daryono. Dengan makan bersama, ia tak hanya menunjukkan keberhasilannya, tetapi juga melestarikan persaudaraan di antara sesama pekerja dan pengusaha warung tegal (warteg) atau dikenal sebagai pewarteg.
Ini hakikat paseduluran pewarteg di Kabupaten Tegal yang kini berjumlah tak kurang dari 27.000 orang. Mereka setiap hari memberikan ”makan” kepada pekerja dan kaum urban di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bogor, dan sekitarnya. Juga di kota besar lain di Jawa. Warteg milik Daryono berlokasi di kawasan industri sehingga rumahnya pun disebut omah kontainer.
Selain Desa Sidokaton, Desa Sidapurna dan Krandon di Kabupaten Tegal juga dikenal sebagai kampung pewarteg. Mereka turun-temurun mewariskan sistem pengelolaan warteg sebagai mata pencarian yang tak monopolistik. Satu warteg bisa menghidupi 2-3 keluarga yang masih terhubung persaudaraan.
Kepala Desa Sidokaton Kasdunya menuturkan, warga desanya sekitar 3.000 keluarga atau sekitar 13.000 jiwa. Sekitar 70 persen berprofesi sebagai pewarteg. Hanya 30 persen yang petani dan pekerja bangunan atau pekerjaan informal lain.
”Memimpin desa yang sebagian besar warganya pengusaha jangan dibilang enak. Orang kaya di sini hanya akan menyumbang jika pembangunan desa itu menyangkut kepentingan orang banyak. Kas desa tak mudah bertambah,” ujar Kasdunya.
Ia mengatakan, paseduluran warga kampung warteg sangat tinggi dan kokoh turun-temurun. Mereka berprinsip, apabila mau kaya, harus bekerja keras. Dalam bahasa Tegalan, arep mulia kudu wani rekasa (kalau mau berhasil, harus berani susah).
Generasi penerus
Pemilik warteg lain, Asmawi, mengatakan, hingga kini paseduluran pewarteg masih kuat. Meski usaha warteg sudah diteruskan oleh generasi ketiga atau keempat, mereka tetap memelihara semangat persaudaraan. Walau harus mempertahankan usahanya, mereka tidak pernah saling mematikan, bahkan saling menghidupi.
”Pewarteg generasi ketiga itu lebih agresif. Misalnya, selain meneruskan usaha warteg orangtuanya, Daryono juga menambah warteg baru di lokasi lain. Kalau lokasi bagus untuk warteg meski sewanya Rp 65 juta per tahun, ia tetap ambil,” ujarnya.
Jika biaya menambah warteg baru itu tinggi, bisa digarap patungan dengan saudara atau tetangga di desa asal. Penambahan warteg berarti menambah tenaga kerja. Tenaga kerja warteg itu kebanyakan saudara atau tetangga di desa. Mereka adalah anak muda yang umumnya putus sekolah, maksimal hanya di tingkat SLTA, dan menganggur di desanya.
”Mengajak bekerja di kota besar daripada menganggur di desa adalah bentuk paseduluran yang kokoh selama ini,” kata Asmawi. Jika satu warteg ditangani empat orang, pemilik empat warteg berarti sudah memberikan lapangan pekerjaan bagi 16 kerabat atau tetangganya di desa. Mereka juga belajar menjadi pemilik warteg.
Meski bersifat persaudaraan, kerabat dan tetangga yang bekerja di warteg tetap digaji. Upah pekerja baru di warteg sekitar Rp 500.000 per bulan, dengan semua biaya kehidupan sehari-hari, termasuk makan, ditanggung pemilik warteg. Kalau pekerja sudah mahir melayani, mengambilkan menu, sampai memasak, upahnya bisa mencapai Rp 800.000 per bulan.
”Saya memberikan upah yang layak walau pekerja di warteg itu keponakan saya sendiri. Mereka harus dihargai,” kata Slamet (39), pewarteg lain di Desa Sidapurna. Ia berbincang dengan Kompas sambil membersihkan mobil Toyota Kijang Innova warna abu-abu terbaru di depan garasi rumahnya.
Hasil bekerja di warteg juga diperlihatkan Samir (22), warga Desa Sidapurna. Ia pulang kampung untuk merayakan Idul Fitri dengan mengendarai sepeda motor Honda Tiger terbaru. ”Ini hasil kerja saya di warung milik paman. Setiap bulan saya menabung sehingga akhirnya keinginan saya memiliki sepeda motor tercapai,” ujarnya. Samir bekerja di warteg di daerah Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.
Sepeda motor milik Samir itu seharga Rp 25 juta. Dia menabung sekitar tiga tahun untuk mewujudkan impiannya itu. Hal itu mungkin tak bisa diraih jika Samir yang hanya lulusan SMP bekerja di tempat lain.
Masih kuat
Budayawan yang juga dalang kondang di Tegal, Ki Enthus Susmono, mengakui, paseduluran pewarteg hingga kini masih kuat dan dapat dirasakan. Nilai itu diwariskan turun-temurun. Persaudaraan itu terbangun dari etos kerja mereka selama ini saat bekerja di warteg.
Mereka rela tidur di bawah kolong meja, berhemat, agar keluarganya di desa tidak miskin lagi. Begitu sedikit berhasil, mereka akan mengangkat saudaranya. Semakin berhasil, semakin banyak tetangga di desanya yang bisa diangkat dan dihidupi.
Semangat persaudaraan juga menetes sampai ke desa. Tidak hanya dalam bentuk kiriman dana setiap bulan atau sumbangan jika ada kegiatan di desa, tetapi juga untuk menjaga sentra pangan. Saat banyak pihak meresahkan hilangnya lahan sawah yang subur, yang beralih fungsi, kondisi itu tidak dihadapi warga Desa Sidapurna, Sidokaton, dan Krandon.
Lokasi desa ”sentra” pewarteg itu hanya 1,5 kilometer dari Kota Tegal sehingga banyak lahannya yang diincar pengusaha untuk perumahan atau industri. Pemilik warteg yang sudah berhasil mengirimkan dananya ke desa untuk memproteksi kebun dan sawah di desa itu agar tetap menjadi sentra pangan.
Bahkan, kata Kasdunya, warga di desa itu bertekad hanya menjualbelikan sawah, kebun, dan rumahnya kepada kerabat atau tetangga di desa itu. Tidak ada warga yang berani menjual lahannya kepada orang lain.
Semangat persaudaraan itu akhirnya tak hanya melindungi dan membangun desa, tetapi juga menjamin ketersediaan pangan yang akan dijual di warteg yang tersebar di negeri ini. (kompas)
No comments