sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

HOME » » Kehilangan Bahasa Sama dengan Bencana


Unknown 18:03 0

Tradisi Lisan
Pudentia MPSS, Tradisi Lisan
KORAN MIGRAN, JAKARTA - HASIL penelitian United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menyatakan, dalam satu tahun, separuh bahasa di dunia punah. Karena itu, UNESCO menyediakan program penyelamatan dan revitalisasi bahasa di dunia yang berada dalam kondisi bahaya hingga hampir punah. 


Namun, tidak sembarang lembaga bisa menjalankan program itu. Di Indonesia, hanya Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) yang diakui UNESCO. 

"Kita menduduki posisi negara dengan bahasa terkaya di dunia nomor dua setelah Papua Nugini. Ini benar-benar bahasa, bukan dialek," ujar Pudentia MPSS, ahli tradisi lisan, kepada Media Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Berdasarkan data terakhir ATL pada 1999, ada 785 bahasa di Indonesia. Namun, ATL belum meneliti kembali karena terkendala biaya dan waktu. 

Bahasa daerah 
Pudentia mulai tertarik mempelajari tradisi lisan pada 1990. Pasalnya, banyak kebudayaan Indonesia yang luar biasa dan dituturkan dengan bahasa daerah. 

"Saat menikmati wayang misalnya, bagi yang mengerti bahasa Jawa bisa tertarik karena tahu artinya bagus. Tapi yang enggak ngerti dan penasaran? Ketika diterjemahkan, maknanya jadi beda dan rasanya kurang. Jika suatu bahasa digunakan untuk satu tujuan, makna terindah dan pas hanya terdapat dalam bahasa yang dipakai," kata dia. 

Sejak itu Pudentia senang mempelajari bahasa yang dituturkan dengan lisan. "Saya bukan linguis atau ahli bahasa, tapi mempelajari tradisi lisan yang memakai bahasa. Melihat fungsi bahasa dalam tradisi lisan," sambung dosen di Universitas Indonesia (UI) itu. 

Mempelajari bahasa saja, menurut Pudentia, berat dan kering. Namun saat kita melihat bahasa sebagai ekspresi, mengenai perasaan, pikiran, dan simbol-simbol, bahasa menjadi sangat menarik. 

Bahasa tak sekadar penyampai informasi. Banyak hal menarik dari bahasa selain mempelajari bunyi, fonem, dan jenis bahasa. "Karena bahasa bukan sekadar rentetan kalimat dan bunyi, dia adalah budaya dan peradaban," ujar Pudentia. 

Diwariskan secara lisan 
Dari ratusan bahasa daerah di Indonesia, hanya sembilan yang memiliki aksara, yakni Aceh, Batak, Lampung, Jawa, Bali, Bugis, Melayu, Sunda, dan Sasak. Adapun bahasa yang lain diturunkan dengan cara yang berbeda.

"Selama ini banyak bahasa yang diturunkan melalui percakapan sehari-hari, dengan ritual adat, bahkan melalui agama," kata Pudentia. 

Selain itu, pewarisan bahasa bisa melalui nyanyian, tembang, cerita rakyat, dan pentas seni. Ada juga melalui doa seperti suku Batak. 

Bila tak mempunyai peninggalan tertulis, lanjut Pudentia, suatu bahasa akan kehilangan jejak dan tinggal cerita. Cerita mengenai keberadaannya bahkan akan terlupakan dalam beberapa generasi. 

"Tradisi lisan kalau tidak ada di daerahnya, bahasanya sudah nyaris punah. Tapi kalau tradisi lisannya masih ada, bahasa masih hidup," kata Pudentia. 

Ahli tradisi lisan 
Dengan jumlah bahasa yang banyak, Indonesia membutuhkan banyak ahli tradisi lisan. Sayangnya di Indonesia jumlahnya masih kurang. 

Namun, pemerintah sudah mulai membenahi dengan mulai mencetak ahli tradisi lisan. Belum lama ini, Asosiasi Tradisi Lisan meluncurkan program Kajian Tradisi Lisan yang menjadi mitra Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti). 

"Saya dan ATL sangat berterima kasih pemerintah mau mengajak kerja sama dan memberikan beasiswa kepada anak muda yang ingin menjadi ahli tradisi lisan. Ini adalah wujud kepedulian yang kami tunggu," ujar Pudentia. 

Terhitung sejak pertama kali diluncurkan pada 2009, kini sudah hampir 150 mahasiswa menempuh pendidikan Kajian Tradisi Lisan di lima universitas negeri, yakni Universitas Indonesia, Universitas Udayana, Universitas Sumatra Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Gadjah Mada. 

Beasiswa itu diberikan untuk jenjang pendidikan S-2 dan S-3. "Jenjang S-1 sedang kami persiapkan kurikulumnya, tahun ini kami juga bekerja sama dengan Universitas Leiden di Belanda untuk program double degree S-3, dua tahun di Indonesia dan dua tahun di Belanda," tuturnya. 

Pudentia mengatakan sebagian besar mahasiswa yang mendaftar program itu berasal dari disiplin ilmu budaya. Setelah lulus, mereka diharapkan dapat menjadi dosen dan mengembangkan Asosiasi Tradisi Lisan di daerah masing-masing. 

"Sampai saat ini para peneliti bisa menerbitkan hasil temuannya pada jurnal ATL yang terbit dua kali setiap tahunnya. Jurnal tersebut diedarkan ke ATL daerah dan ke berbagai perpustakaan," kata Pudentia. 

Saat ini Pudentia sedang berada di Belanda untuk melakukan pendampingan dan monitoring mahasiswa ATL yang sedang menuntut ilmu di Universitas Leiden. (mediaindonesia)

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments

Leave a Reply

PEDOMAN KOMENTAR

Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Bila menemukan komentar bermuatan menghina atau spam, berikan jempol bawah, tanda Anda tak menyukai muatan komentar itu. Komentar yang baik, berikan jempol atas.

Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.