sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

Penampungan Ilegal
Penampungan Ilegal di Bekasi
KORAN MIGRAN, BEKASI - Mabes Polri menggerebek tempat penampungan tenaga kerja wanita (TKW) di Perumahan Jaka Permai Indah, Jalan Cendana 14 Nomor 21, Kelurahan Jakasampurna, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (24/12) dini hari.

Kepala Unit (Kanit) IV pada Unit Traficking, Direktorat Pidana Umum Subdit III, Kompol Arie Dharmanto menyatakan pihaknya masih menyelidiki kasus tersebut.

Menurutnya, penyidik telah mengamankan dua orang tersangka yakni Y dan V di NTT. Keduanya hingga kini masih menjalani pemeriksaan oleh penyidik. "Kedua tersangka diperiksa berkaitan dengan dugaan human trafficking," tuturnya.

Ratusan para calon TKW tersebut didatangkan dari sejumlah desa di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), berbagai daerah di Pulau Jawa, serta Pulau Sumatra.

Tempat penampungan TKW milik PT Mahkota Ulfa Sejahtera (PT MUS) ini dinilai menyalahi prosedur perekrutan calon tenaga kerja, yaitu dengan merekrut anak-anak di bawah umur. Dari lokasi penampungan itu polisi mengamankan 161 calon TKW, 22 di antaranya masih anak-anak di bawah umur.

Hingga Selasa (24/12) siang, sebanyak 139 calon TKW masih berada di dalam penampungan, sedangkan 22 anak di bawah umur sudah dibawa ke Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) Mabes Polri.

Para calon TKW itu mengaku telah ditampung antara 1 hari hingga 4 bulan lalu. Belum satupun diantara mereka disalurkan ke negara tujuan sesuai janji PT MUS, penyalur tenaga kerja yang akan mempekerjakan mereka ke luar negeri.

Heni (30) salah satu TKW yang berasal dari Lampung mengaku sudah tiga bulan berada di penampungan. Rencananya dia hendak disalurkan ke Singapura sebagai pembantu rumah tangga. "Katanya gajinya Rp4,2 juta, tapi sampai sekarang belum juga diberangkatkan," kata Heni, Selasa (24/12).

Nana (35), rekan Heni, bahkan mengaku telah menerima uang muka Rp4 juta dari sponsor yang mengajaknya ikut bekerja. "Sponsor saya, Pak Roy. Awalnya dapat Rp4 juta, tapi dipotong Rp1 juta, dan Rp2 juta dikirim ke orangtua saya di kampung," kata dia.

Anggota Komisi III yang juga Wakil Ketua Tim Pengawas TKI DPR RI, Komjen Adang Daradjatun saat mengunjungi lokasi sempat menanyai langsung para TKW itu. Karena belum juga ada kejelasan kapan diberangkatkan, umumnya para calon TKW itu ingin dipulangkan ke kampung mereka masing-masing.

Anisa Raihana (23), calon TKW asal Brebes, Jawa Tengah yang baru satu hari di penampungan sudah putus asa.
Awalnya, dia tergiur hendak bekerja di Singapura dengan gaji Rp4 juta per bulan. "Tapi kalau keadaannya begini, lebih baik pulang saja," tuturnya sembari terisak.

Tempat penampungan dua lantai ini terlihat sangat berantakan. Para calon TKW mengaku tidur dengan alas seadanya di ruang tamu. Tidak ada tempat tidur khusus yang diperuntukkan bagi mereka.

Adang Daradjatun mengatakan bahwa kasus seperti itu tidak bisa didiamkan, karena sudah menyangkut masalah human traficking, ketenagakerjaan, dan hak-hak anak.

Tim Pengawas TKI yang dibentuk DPR, kata dia, telah mendatangi beberapa lokasi di Batam, Kuala Lumpur, dan Pangkal Pinang. Hasil kunjungan itu, diketahui pola kriminalisasi terhadap TKW itu semakin beragam.

"Mereka umumnya tidak tahu, dibawa ke suatu tempat penampungan, dan diberlakukan tidak manusiawi. Mereka juga tidak tahu keberadaan paspornya," kata dia.

Menurut Adang, banyak lembaga yang semestinya bertanggungjawab terhadap masalah TKW itu. Negara juga harus bertanggungjawab untuk memulangkan mereka. "Apapun juga, ini tanggungjawab pemerintah untuk membawa mereka kembali ke kampung masing-masing," kata dia.

Adang menegaskan, aparat penegak hukum semestinya tak segan menghukum perusahaan perekrut tenaga kerja yang tak becus. "Banyak saudara kita yang ditipu, kalau terbukti memenuhi unsur pidana, harus pidanakan perusahaan perekrutnya," tandasnya. (wartakota)
SBMI, Kualalumpur - Berbagai bentuk penyiksaan dialami oleh korban perdagangan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Romana de Yesus (14) remaja asal Nusa Tenggara Barat (NTB).

Selama dirinya dijual di Malaysia, perilaku kasar mulai dari tamparan, pukulan hingga tendangan diterimanya dari seorang agen penyalur, Mam dan mantan majikannya, Ooahong.

Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Sub Direktorat III, Dittipidum Bareskrim Mabes Polri, Kombes Pol Agung Yuda. Diungkapkannya, penganiayaan tersebut sudah dirasakan oleh Romana sesaat setelah menginjakkan kaki di negeri Jiran pada Maret 2013 lalu. Mam yang menampung Romana tersebut sering memukulinya dan mempekerjakannya tanpa digaji.

Romana pun katanya sering kali harus makan dari makanan tidak layak maupun makanan bekas milik Mam. Nasib tidak beruntung pun dirasakan oleh Romana saat disalurkan ke seorang Warga Malaysia bernama Ooahong. Bukannya mendapatkan kehidupan yang lebih baik, Romana juga mengaku kerap dipukuli walaupun baru bekerja selama dua minggu.

"Atas penganiayaan yang dideritanya, korban lantas meminta dipindahkan oleh Mam. Selama menunggu pekerjaan yang baru, Romana bekerja pada Mam tapi tidak digaji sampai akhirnya Romana disalurkan ke rumah Siti Aisyah," jelasnya.

Lebih lanjut ungkapnya, selama bekerja pada majikannya yang baru, Siti Aisyah, Romana merasa betah dan kerasan. Namun, nasib mujurnya hanya bertahan selama dua bulan, Romana ditarik kembali untuk bekerja kepada Mam. Perilaku kasar dan penyiksaan pun kembali dirasakannya hingga akhirnya Romana memberanikan diri melarikan diri ke rumah mantan majikanya, Siti Aisyah.

Kepada Siti, Romana menceritakan penderitaan dan penyiksaan yang dialaminya kemudian keduanya melaporkan hal tersebut ke kantor polisi untuk diteruskan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kualalumpur, Malaysia.

Seperti diberitakan sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Mabes Polri berhasil melakukan pengungkapan kasus penjualan manusia yang kerap terjadi pada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Ilegal.

Kepala Sub Direktorat III, Dittipidum Bareskrim Mabes Polri, Kombes Pol Agung Yuda mengatakan, awal mula terungkapnya kasus perdagangan manusia tersebut berawal dari laporan seorang korban bernama Romana de Yesus (14) asal Nusa Tenggara Barat di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kualalumpur, Malaysia.

Romana yang berhasil dijual dan dipekerjakan di negeri Jiran itu berhasil melarikan diri dan meminta pertolongan kepada seorang Warga Negara Malaysia, Siti Aisyah setelah mendapatkan penyiksaan dari seorang penyalurnya, Mam. Berdasarkan laporan tersebut, ungkapnya, tim penyidik kemudian melakukan penelusuran dan berhasil mengamankan Vita, seorang perekrut TKI ilegal di NTB.

"Tim penyidik berhasil menangkap pelaku perekrut perdagangan manusia berkedok penyalur tenaga kerja ke Malaysia. Pelaku bernama Vita ini berhasil menjual Romana ke Malaysia untuk disalurkan ke seorang agen penyalur bernama Mam," jelasnya.

Vita sendiri dijerat Pasal 2, 4, dan 6 UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp 200 juta hingga Rp 2 miliar.

"Romana sekarang ditampung di shelter, safe house di Malaysia untuk menjalani sidang terkait penyiksaan dan praktik perdagangan manusia oleh Mam dan Ooahong. Sementara kasus masih terus didalami tim penyidik untuk mencari agen diatasnya Vita," jelasnya.
 
Sumber Tribun
SBMI, Denpasar - Sejumlah organisasi massa rakyat dunia yang tergabung dalam International People's Alliance (IPA) melakukan aksi penolakan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 World Trade Organization (WTO) di Bali yang berlangsung dari tanggal 2 – 6 Desember 2013. Aksi penolakan WTO ini dilakukan lewat pertemuan kemah rakyat sedunia lewat People's Global Camp sejak tanggal 3-6 Desember 2013. SBMI ikut tergabung dalam IPA sebagai bagian dari Gerakan Perjuangan Rakyat bersama sejumlah organisasi pergerakan lainnya dari berbagai dunia international.

Massa aksi yang berkumpul bersama dalam Perkemahan Rakyat Dunia tersebut menolak pelaksanaan Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO karena dinilai merugikan pihak Negara Dunia ketiga. Konferensi WTO dianggap sebagai upaya penipuan dan manuver baru terhadap kehidupan rakyat di dunia termasuk Indonesia selaku negara yang dimiskinkan.

“Konferensi WTO di Bali merupakan siasat busuk neoliberalisme untuk membangun kembali paradigma baru neoliberal yang telah terbukti gagal. Seiring dengan krisis yang terus bergema hampir di seluruh belahan dunia telah nampak pada kehidupan rakyat miskin. Pertemuan ini didalangi oleh kekuatan imperalis yang dipimpin oleh Amerika Serikat yang frustasi dengan globalisasi neoliberalismenya melalui apa yang disebut Paket Bali”, tegas
Ramses dari SBMI disela-sela aksi di depan kunsulat  Amerika Serikat di Bali .

"Buruh migran terpaksa bermigrasi karena kemiskinan kronis di Indonesia, sebagai imbas dari penghisapan panjang negara-negara adikuasa (imperialis) terhadap alam dan rakyat. Penghisapan inilah yang kemudian perlahan melahirkan gelombang kemiskinan yang kian melebar. Kelaparan, buta huruf, penyakit menular, tingginya tingkat kematian menjadi konsekwensi yang tidak terhindarkan. Akhirnya, rakyat yang menanggung semua konsekwensinya perlahan meninggalkan kampung halaman untuk bekerja ke kota, pulau lain dan luar negeri sebagai buruh murah. Penghisapan ini yang menghancurkan masyarakat kita dan menggusur kita dari tanah kita sendiri", tambah Sam dari SBMI Sumbawa.

Di tengah krisis global, pemerintah menciptakan ilusi bahwa program pengiriman tenaga kerja bisa bermanfaat untuk pembangunan. Tetapi siapa yang diuntungkan dari program ini? Tentunya segelintir para pemodal dunia termasuk WTO dan para pejabat negara pengikutnya yang sedang berusaha menghidupkan kembali sistem globalisasi neoliberal. Sebuah skema yang dilegalisasikan melalui Global Forum on Migration and Development (GFMD).

Akibat dari krisis yang semakin akut, kondisi rakyat Indonesia akan semakin buruk, terlebih rezim SBY - Boediono telah berhasil menggolkan paket Bali (WTO) melalui menteri perdagangan Gita Wiryawan. Kemiskinan, penghisapan, penggusuran/perampasan tanah, dan represi terhadap rakyat semakin merajalela. PHK masal akan terjadi, dikarenakan adanya penggantian tenaga manusia dengan mesin akibat dari over produksi mesin-mesin.

Pemilik modal besar asing sengaja menciptakan Ekspor Buruh Migran untuk menghadapi krisis, dengan menciptakan buruh murah dan sistim kontrak agar laba yang diterima terus bertambah. Indonesia sebagai negara anggota WTO dan juga sekaligus sebagai boneka negara adikuasa juga menerapkan kebijakan yang diiginkan oleh tuannya negara adikuasa pimpinan Amerika Serikat. WTO merampasi sumber hidup dan merendahkan martabat rakyat dunia.

Selain menolak WTO, SBMI juga menuntut untuk segera  Memberikan Perlindungan Sejati Bagi Buruh Migran Indonesia & Keluarganya, Tolak Segala Bentuk Pemerasan dan Penindasan Mengatasnamakan Perlindungan, Bongkar dan Lawan Skema Kebijakan Ekspor Tenaga Kerja Mengatasnamakan Pembangunan, Bangun Lapangan Pekerjaan dengan Industrialisasi Nasional.
Kejahatan Badan-badan Keuangan dan Badan-badan Perdagangan Dunia Serta Agen-agen lokalnya

Sekilas Sejarah Ekonomi Liberal
Sebenarnya, krisis pokok ekonomi global—yang lebih dahulu diderita oleh negeri-negeri berkembang—adalah: kelimpahan produksi tanpa daya beli masyarakat (excess supply). Dan krisis itu lah justru yang kemudian mematikan sektor riil, bukan sebaliknya, atau bukan kematian sektor riil yang menyebabkan krisis. Lebih jauh lagi, dilihat latar belakang ideologis penyebabnya, krisis tersebut merupakan hasil dari respon cara pandang liberalisme terhadap pasar liberal dunia. Dan lebih rinci lagi, biang keladinya adalah metode ekonomi liberal:
  1. Balasan nilai yang tidak setara—berupa pendapatan masyarakat—dari pemilik modal terhadap tenaga kerja (produsen barang dan jasa);
  2. Spekulasi pasar saham; spekulasi porto folio, spekulasi derivatif, spekulasi sekuritas dan jaminan utang lainnya, spekulasi perdagangan uang, serta transaksi-transaksi spekulatif lainnya ;
  3. Persaingan dengan pemilik modal lain.
Memang benar bahwa, dalam tahap awalnya, skala operasi modal dan “pemanfaatan” buruh-upahan telah semakin meluas dan meningkat dikarenakan akumulasi keuntungan oleh perusahaan-perusahaan, atau mengakibatkan terjadinya sosialisasi modal (dalam bentuk join-stock company) serta sosialisasi tenaga kerja (dalam bentuk saling ketergantungan manfaat tenaga kerja antar cabang produksi). Formasi joint-stock companies tersebut, yang akan meningkatkan skala produksi, menyebabkan perusahaan-perusahaan yang mereka miliki berpotensi semakin bisa disosialisasikan (social enterprises), atau perusahaan-perusahaan tersebut menjadi semakin menguasai hajat hidup orang banyak. Fenomena social enterprises sebenarnya merupakan tanda, bukti, adanya potensi bahwa sosialisasi tenaga produktif dapat diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat dan pemilkan kolektif (sosial) tenga produktif—namun tidak demikian, pada kenyataannya. Fenomena joint-stock companies tersebut terbentuk pada paruh kedua abad ke-19.

Ketika kontradiksi antar perusahaan semakin menajam maka persekutuan agung joint-stock company tak lagi menjadi sakral (untuk dilanggar) karena perusahaan-perusahaan tersebut kemudian, mau tak mau, berkecenderungan monopolistik. Setelah itu, tumbuh gejala perdagangan finansial, yang mencari keuntungan spekulatif—yang tak meningkatkan nilai produksi barang dan jasa; yang pasti hanya akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa. Itu lah gejala yang disebut sebagai perdagangan/bursa saham (Stock exchange), suatu institusi untuk menambah kekuatan modal keuangan (finance capital)—suatu kekuatan yang bisa dibuat mobil (bergerak) dan fleksibel melewati batas-batas nasional, mendunia, menjauhkankannya dari proses produksi langsung (baca: harga sahamnya bisa meningkat tanpa menambah nilai barang dan jasa), dan memudahkannya terkonsentrasi (pada segelintir orang).

Kehidupan ekonomi dan politik yang didominasi oleh kekuasaan finansial negeri-negeri maju menandai babak baru dalam sejarah dunia, babak sejarah dominasi baru yang, bila dibandingkan dengan tahun-tahun 1871 hingga 1914 (Perang Dunia I), lebih menekan, penuh dengan perubahan-perubahan mendadak, sarat dengan konflik, suatu babak yang, bagi rakyat, akan diakhiri dengan kengerian, horor.

Penguasaan negeri-negeri berkembang dan terbelakang kini dijadikan JALAN KELUAR bagi mereka, dan badan-badan keuangan/perdagangan dunia merupakan perangkatnya. Sekarang, penguasaan negeri-negeri berkembang mendapatkan topeng barunya: globalisasi—konsentrasi (baca: penyerakahan) nilai produksi masyarakat oleh perusahaan-perusahaan multinasional dalam bentuk penyatuan modal bank, finansial dan produksi. Jumlah perusahaan multinasional telah meningkat dari 7.000 (pada tahun 1970) menjadi 37.000 (pada tahun 1992). Perusahaan nasional, langsung atau tak langsung, dilekatkan dengan erat—sampai ke tingkat ketergantungan yang tinggi—pada perusahaan-perusahaan asing besar. Bahkan, kekuatan ekonomi perusahaan multinasional lebih besar ketimbang kekuatan ekonomi banyak negara-negara nasional. Contohnya, penjualan mereka telah meningkat dari $5 trilyun (pada tahun 1980) menjadi $35 trilyun (pada tahun 1992), dan diharapkan melebihi $80 trilyun (pada tahun-tahun belakangan ini)—tiga kali lebih besar dari nilai total barang dan jasa yang diproduksi oleh aktivitas ekonomi negeri-negeri maju. Dan hasil globalisasi tersebut: pengukuhan kekuasaan finansial, yang bukan saja menguasai perusaaan-perusahaan industri, namun juga bank-bank dan perusahaan-perusahaan asuransi, tidak saja di Amerika tapi di dunia. Menurut Laporan Investasi Dunia 1993, yang diterbitkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terdapat 37.000 korporasi transnasional, yang memiliki 170.000 anak perusahaan di luar negeri. 90% dari korporasi transnasional itu berkantor pusat di negeri-negeri maju.

Jauh dari apa yang disebut “penyebaran aset” seperti yang digembar-gemborkan dalam konsep teoritikus-teoritikus “globalisasi”, dan sekali pun penjualan mereka telah menyeberangi bola bumi, justru korporasi-korporasi transnasional lebih memusatkan produksi dan penjualan komoditi mereka di negeri-negeri “induk”. Ini mencerminkan adanya distribusi yang sangat tak setara (uneven), tak adil, dalam hal investasi langsung dan perdagangan global.

Sebaiknya juga kita telusuri sejarah bagaimana sistim ekonomi-politik liberal mencoba mengatasi krisis dan ekses-ekses yang ditimbulkannya, agar bisa dimengerti mengapa sampai pada kesimpulan: NEOLIBERALISME MERUPAKAN JALAN KELUAR SISTIM EKONOMI-POLITIK LIBERAL, yang hasilnya adalah krisis dan ekses-ekses juga.

Tak seperti situasi sekarang, pada akhir 1920-an, kelimpahan kapasitas produksi di segala bidang (structural overcapacity) dan pasar finansial, yang (walaupun) diawasi dengan ketat, telah menyebabkan ledakan spekulasi stock-market. Tak seperti sekarang juga, saat itu krisis diatasi dengan meningkatkan suku bunga untuk menahan laju permintaan kredit konsumsi—yang dianggap akan meningkatkan harga-harga inflatory barang dan jasa. Pada tahun 1929, stock-market mengalami kehancuran, harganya mengalami penurunan gila-gilaan, mengakibatkan banyak investor dan kreditor bangkrut, serta investasi produksi menurun secara dramatik. Bank sentral Amerika (US Federal Reserve) tak bisa lagi mempertahankan sistim perdagangan internasional yang melibatkan bantuan antar-pemerintah secara besar-besaran. Negeri-negeri maju yang saling bersaing semakin meningkatkan penjagaan proteksionisnya. Pada tahun 1933, di Amerika pengangguran meningkat menjadi 13 juta orang. Krisis sosial politik (potensial) siap meledak, yang bukan saja akan melanda Amerika namun juga berpengaruh secara global.

Untuk menghindari ledakan krisis sosial politik itu, Presiden Franklin D. Roosevelt mendorong pemerintahannya untuk campur tangan lebih besar dalam kehidupan ekonomi, yakni dengan memusatkan perhatiannya pada penyediaan lapangan kerja secara besar-besaran (massive). Pada musim dingin 1933-34 saja sudah 4 juta orang bisa diberikan pekerjaan dalam program-program pekerjaan umum dengan basis legitimasi fiskal (anggaran belanja defisit) dan juridis (UU Jaminan Sosial/Social Security Act of 1935). Roosevelt’s New Deal tersebut tak lain merupakan pengakuan: bahwa dalam babak (sejarah) dominasi perusahaan-perusahaan monopolistik dan dominasi modal keuangan, ekonomi liberal membutuhkan intervensi negara karena, bila tanpa itu, atau bila hanya mengandalkan mekanisme pasar semata, maka sistim itu akan runtuh. Hanya negara yang sanggup memperpanjang hidup liberalisme.

Perbaikan atau jalan keluar bagi ekonomi Amerika—bisa menyelesaikan depresi ekonomi seperti, misalnya saja, pengangguran bisa ditekan menjadi 4,5 juta (dari 13 juta orang)—hanya berlangsung selama 2 tahun saja (1936-1937), karena pada bulan Maret, 1938, pengangguran meningkat lagi menjadi 11 juta orang, dan 10 juta orang menjelang Perang Dunia II. Cara Keynesian di atas hanya lah akan mendorong inflasi harga barang dan jasa bila para investor, yang menguasai bisnis, tak bisa MEMPERLUAS PASAR bagi peningkatan produksinya. Selama Depresi Besar tersebut tak ada perluasan pasar seperti yang mereka harapkan, itu lah mengapa keampuhan kebijakan Keynesian, sebenarnya, memiliki keterbatasan. Hanya atas dorongan pemerintah lah—melalui anggaran defisit yang diarahkan pada pembelanjaan untuk mempersenjatai PD II—pengangguran bisa diatasi. Hanya perang atau persiapan perang saja yang ternyata bisa memperluas pasar—melalui pembelian barang-barang kebutuhan perang oleh pemerintah. Persis, seperti yang dikatakan Keynes dalam tulisannya The General Theory of Employment, Interest and Money: “Perang telah menjadi satu-satunya bentuk pembelanjaan dalam skala besar (berbentuk hutang pemerintah) yang harus disetujui, diabsyahkan, oleh para negarawan.” Jadi, adalah MITOS menyimpulkan bahwa adopsi kebijakan Keynesian lah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejak 1940-an hingga 1970-an. Karena, sebenarnya, restorasi tingkat keuntungan (dalam investasi produksi) lah yang menyelamatkannya, yakni melalui:
  1. Direndahkannya atau ditekannya upah riil (karena tingkat pengangguran tahun 1930-an);
  2. Hancurnya kompetisi bisnis, dan terjadinya konsentrasi modal secara besar-besaran (massive);
  3. Anggaran defisit negara yang dibelanjakan untuk membeli barang-barang kebutuhan perang sejak awal 1940-an.
Terdorong oleh perang dan peningkatan persenjataan, maka seluruh cabang produksi mengalami revolusi teknologi—terutama penemuan peralatan-peralatan teknologi yang mempercepat otomasi proses produksi, yang dapat lebih melimpahkan hasil produksi. Revolusi teknologi itu menyebabkan berlipatgandanya profit karena bisa menghemat ongkos produksi, yang memungkinkan penjualan barang menjadi lebih murah dengan konsumen yang lebih besar. Lagi-lagi, anggaran belanja defisit negara pada massa Perang Dunia II dan Perang Dingin lah, yang disalurkan untuk penelitian dan pengembangan (research and development) serta perbaikan/peningkatan teknis (technical improvements), yang mendorong meningkatnya penemuan-penemuan teknologis (technological innovations) pada paruh kedua abad ke-20.
 
Di atas basis penemuan-penemuan teknologi itu lah impian para investor diletakkan: bisa menggunakan segala cara untuk memaksakan perluasan pasar, menekan biaya tenaga kerja dan pengerukan sumberdaya global—semuanya itu sering dihaluskatakan (euphemism) menjadi “globalisasi”. Spekulator besar seperti George Soros pun mengkawatirkan bahwa “globalisasi” dan “pasar bebas” neoliberal akan mengabaikan kepentingan publik—terutama kelas pekerja—sehingga mereka tak akan lagi patuh pada sistim parlementer yang menunjangnya dan akan mencari alternatif lain: mengambil alih pemerintahan ke tangannya, seandainya pun mereka masih dalam keadaan belum profesional (bagaimana respon kelas pekerja dan kelas-kelas sosial yang dirugikan dengan neoberalisme lihat dalam Rakyat Berlawan, Pembebasan edisi I dan II).
 
Dan depresi global seperti tahun 1929-an—krisis finansial dan keruntuhan ekonomi seperti yang juga menghantam negeri-negeri seperti Jepang, pada tahun 1989, Mexico, tahun 1994, Korea Selatan, Thailand dan Indonesia, pada tahun 1997, serta Rusia, pada tahun 1998—oleh negeri-negeri maju, terutama Amerika dan Inggris, tak lagi diatasi dengan cara Keynesian tapi dengan cara NEOLIBERALISME—dan tanggungjawab tersebut juga diserahkan kepada badan-badan keuangan dan perdagangan internasional (sebagai perangkatnya): IMF, WB, WTO, GATT, Paris Club, NAFTA, APEC dan sebagainya. Bersambung....
 
Ditulis oleh Danial Indrakusuma
SBMI, Kuala Lumpur - Ada hampir 3 juta warga negara Indonesia (WNI) berada di Malaysia. Banyak di antaranya datang tanpa dokumen resmi, untuk mengadu nasib di Negeri Jiran.

Tiap tahunnya, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur pun disibukkan dengan ribuan kasus tenaga kerja Indonesia: mereka yang berbuat pidana atau sebaliknya jadi korban -- ada yang tak dibayar gajinya, jadi obyek kekerasan fisik, trafficking, KDRT, juga kekerasan seksual.

Yang terakhir menimpa seorang WNI berusia 29 tahun yang diperkosa seorang oknum Polis Diraja Malaysia.

Liputan6.com mewawancarai secara khusus Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia, Marsekal Purnawirawan Herman Prayitno di KBRI Kuala Lumpur tentang perkembangan kasus tersebut, juga tantangan apa yang ia dihadapi ketika memimpin Kedubes paling repot di negeri jiran dan salah satu korps diplomatik RI yang paling sibuk di seluruh dunia.

Ada kasus baru yang terjadi di mana seorang WNI diperkosa oleh oknum anggota Polis Diraja Malaysia. Apa yang sudah dilakukan KBRI?

Sejak kita tahu dari surat kabar Metro, saya langsung minta tim Satgas KBRI Kuala Lumpur untuk segera melakukan kroscek dan klarifikasi pada Kepolisian di KL. Dan itu memang betul bahwa ada seorang WNI yang diperkosa oleh oknum polisi. Oknum tersebut telah ditangkap, disidik, diberkas, dan kemudian akan dikirim ke mahkamah.

Lalu, bagaimana dengan korban?
Tim telah menghubungi pihak korban lewat ponsel. Korban menyampaikan, ia sudah lapor pada polisi dan sudah jelaskan semua. Dan bertanya, ‘untuk apa KBRI bertemu saya lagi?’ Kita jelaskan, kita ingin membantu dan memberi perlindungan. Dia bilang oke dan siap menerima perlindungan. Tim Satgas lalu menuju tempat tinggalnya. Ketika sampai di sana, korban dan suaminya sudah tidak ada di tempat. Sampai sekarang kami belum ketemu dan melakukan kontak kembali.

Prosedur KBRI, jika ada WNI bermasalah, apa saja yang dibantu?
Jika WNI dianggap bersalah, kita siapkan lawyer, sehingga hak-hak dia terpenuhi. Kalau toh dia di Malaysia tidak ada penampungan atau tidak mampu, kita siapkan shelter untuk menampung sementara.

Bagaimana pendampingan untuk sisi korban?
Kita sediakan lawyer. Lawyer kita akan rajin menayakan pada polisi sampai di mana kasus ini, juga terkait urusan di mahkamah. Kita ingin, jika warga kita jadi korban, pelaku harus diberi hukuman yang setimpal.

Ada pendampingan psikologis?
Kami punya tim konsuler, diplomat muda-muda juga ada yang mendampingi korban. Kita kawal terus korban. Termasuk sisi psikologisnya.

Ini bukan kasus pertama WNI diperkosa. Apa yang bisa dilakukan agar kasus seperti ini tak terulang?

Pembelajaran dari kasus-kasus seperti itu, seperti yang selalu kita sampaikan, WNI yang ke sini harus memiliki dokumen lengkap, KTP, paspor, dan jangan sampai overstay atau ilegal. Karena kalau ilegal, rentan jadinya dan gampang di-bully.

Bagaimana respon Polis Diraja Malaysia dalam kasus pemerkosaan? Terutama jika pelakunya adalah oknum polisi.

Mereka menganggap itu aib bagi institusinya. Mereka sudah menyidik, menuntut, dan mempertanggungjawabkan perbuatan. Kepala Polisi Malaysia bahkan mengatakan sendiri, kalau ada polisi bertindak salah, pasti akan dihukum. Pihak Malaysia juga ingin polisinya baik.

Selain pemerkosaan, kasus apa lagi yang ditangani KBRI?
Ada banyak. Beberapa memprihatinkan seperti ada yang overstay, narkoba, merampok sampai juga membunuh pegawai bank, ada yang mencuri, berkelahi, ada yang tidak bisa bekerja dengan baik – seperti memutar-mutar bayi yang diasuhnya.

Saya mengimbau kembali agar WNI menempuh cara yang benar dalam hal dokumen, mungkin prosesnya agak lambat, namun agar di sini bisa menikmati pekerjaan dan hidupnya. Tapi kalau kadung tidak legal, kan perasaan nggak tenteram. Ada rasa takut.

Patuhilah aturan demi keselamatan diri sendiri, meski KBRI akan selalu melayani dan melindungi WNI -- baik legal maupun illegal. Itu tugas kita. Tapi jangan sampai ilegal, sebab kalau illegal jadi rentan, seperti tidak dibayar berbulan-bulan, akhirnya melarikan diri. Setahun sampai 1.000 orang yang kita tampung di shelter. Kita juga menangani TKI meninggal di Malaysia yang hampir 1.000 orang per tahun -- dengan berbagai penyebab.

Dari seluruh negara bagian Malaysia, mana yang paling berat?
Semenanjung.

Tugas KBRI bukan hanya TKI, apa lagi yang dilakukan korps diplomatik di Malaysia?
Tugas utama duta besar dan staf KBRI adalah memelihara hubungan bilateral, Indonesia dan Malaysia. Mempromosikan persahabatan di bidang politik, bilateral dalam segala bidang. Ada tim-tim dari Indonesia-Malaysia yang selalu bertemu membuat MoU kerja sama. Dan puncaknya pada 19 Desember ada annual leader consultation di Jakarta, PM Najib dan Presiden SBY, didampingi para menteri, bertemu untuk membicarakan peningkatan kerjasama bilateral.

Di bidang kebudayaan saya sudah menyelenggarakan konser 3 kali, memperkenalkan budaya dan penyanyi Indonesia di sini untuk meningkatkan hubungan people to people.

Banyak artis dan penyanyi Indonesia yang terkenal di Negeri Jiran. Ada Rossa yang dapat gelar ‘Datuk’ dari Sultan Pahang, Yuni Shara, Ruth Sahanaya, Ungu, Ahmad Dhani. Di bidang musik dan kebudayaan, kita diakui oleh Malaysia.

Tahun depan kami juga akan menggelar food festival, yang akan mengetengahkan sop buntut, sate, rawon setan. Digelar sekitar 9 September 2014.

Apakah diplomasi kebudayaan punya arti signifikan?
Biar orang yang menilai, kami hanya berupaya, setidaknya people to people contact bisa terjalin baik. Selama ini antara presiden dan PM tak ada masalah, para menteri dan dirjen juga tak ada masalah, tapi rakyat yang banyak ini yang harus ditingkatkan persaudaraannya. Apalagi sejatinya kita saudara serumpun.

Apa tantangan yang Anda hadapi dalam memimpin korps diplomatik RI yang paling sibuk di dunia?

Ke dalam, saya minta para staf disiplin. Untuk tidak menyalahgunakan kerentanan. Misalnya, ada 500 orang membuat paspor setiap hari, kadang-kadang ada dokumen tak lengkap, lalu dimanfaatkan calo -- yang tentu bekerja sama dengan oknum staf.

Saya ingin KBRI bersih. Saya sering mendengar ada TKI diperas, prinsip saya, jangan sampai staf KBRI ikut terlibat. Saya juga mengimbau staf kita menjaga diri baik-baik dan jaga stamina karena pekerjaan amat banyak.

Kita senang sekali jika ada wartawan datang dan ikut memonitor kita, mencari tahu dari TKI-TKI, bagaimana performa pelayanan KBRI. Kami juga memberikan kuesioner dan kotak pos untuk menerima pengaduan. Dan masih ada juga yang belum puas, seperti WC tidak bersih, staf dianggap tidak lemah lembut, menunggu lama dari pagi sampai sore. Tahun depan kami akan memperbaiki fasilitas agar lebih nyaman, lebih baik, dan lebih manusiawi.

Sementara, tantangan di luar, kami terus mengadakan pertemuan dengan pihak Malaysia, dengan Wisma Putra untuk melancarkan hubungan bilateral. Kemudian bergaul dengan diplomat asing lainnya. Setiap minggu ada saja pertemuan.

Apakah isu terkait Malaysia, soal klaim budaya, yang beberapa kali ramai di Tanah Air berpengaruh dengan hubungan dua negara?

Berdasarkan pengalaman, isu batik, misalnya. Dulu orang Malaysia senang memakai batik Indonesia, tapi setelah isu klaim batik ramai, mereka mengarang batiknya sendiri: Batik Malaysia. Coraknya beda. Kalau sebelumnya ketika ke Indonesia orang Malaysia membeli batik, sekarang tidak lagi.

Apa yang menjadi target KBRI Malaysia tahun depan?
Pertama, masalah perbatasan, mudah-mudahan selesai. Isu-isu klaim kebudayaan tak ada lagi, terus TKI-TKI sudah ada kemajuan dalam kelengkapan dokumen, dan agen-agen menjadi tertib dan tak ada kasus-kasus TKI.

Kami tetap memprioritaskan pelayanan dan perlindungan WNI -- apapun masalahnya. Agar WNI, terutama TKI merasa punya bapak di sini, punya pelindung.

Ada imbauan yang ingin disampaikan pada pihak di Indonesia?Saya ingin agar kepala daerah benar-benar menyiapkan warganya yang ingin bekerja di luar negeri, terutama Malaysia. Jangan sampai mereka tertipu agen-agen sehingga terjadi semacam perdagangan manusia.

Sumber: Liputan6


SBMI, Mataram - Nusa Tenggara Barat, Provinsi dengan 2 pulau yakni Lombok dan Pulau Sumbawa adalah sebuah kawasan yang sangat indah, namun juga menyimpan segudang masalah. Salah satunya NTB adalah daerah kedua terbesar pengirim tenaga kerja ke luar negeri setelah provinsi Jawa Timur. Menurut data APJATI NTB sepanjang tahun 2012 NTB mengirimkan BMI sebanyak 55 ribu orang ke luar negeri diantaranya paling banyak ke negara Malaysia dan Arab Saudi Data ini adalah data BMI yang berangkat melalui jalur resmi, sementara yang tidak melalui jalur resmi diperkirakan jumlahnya dua sampai tiga kali lipat.

Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan daerah pemasok jasa tenaga kerja Indonesia ke luar negeri yang cukup besar. Selama empat bulan pertama 2011, NTB mengirim 15.000 BMI ke sejumlah negara, baik Malaysia maupun Timur Tengah. Pada 2010, NTB mengirim 56.162 BMI, meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 54.000.

Pengiriman jasa tenaga kerja itu dilakukan hampir seluruh kabupaten/kota di NTB, seperti Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, Lombok Utara, Kota Mataram, Kota Bima, Kabupaten Bima, Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, dan Dompu. Tidak heran jika di NTB banyak ditemukan kawasan-kawasan yang penduduknya memilih bekerja di luar negeri, daripada mengais rezeki di desanya.
 
Kawin Muda
NTB sebagai lumbung BMI meninggalkan persoalan yang spesifik diantaranya kawin di usia muda hingga kasus kawin cerai yang seolah olah sudah membudaya di kalangan masyarakat NTB. Berdasarkan Hasil survey yang dilakukan oleh Yayasan Keluarga Sehat Sejahtera Indonesia dan Forum Peduli Kawin Cerai dan Hak Anak (FPKCH), tahun 2001 silam, mengungkapkan, dari 3600 kepala keluarga yang dijadikan sample penelitian, 50 persen lebih melakukan kawin cerai. Pada satu orang bisa terjadi perkawinan sampai 32 kali, Sedangkan perceraian terjadi antara satu hingga 22 kali.

Kawin muda nampaknya menjadi salah satu penyebab mudahnya terjadi perceraian, Persoalan kawin muda lalu bercerai ini seolah-olah sudah menjadi trend terutama di kalangan masyarakat ekonomi lemah yang kemudian berimbas kepada bertambahnya jumlah pengangguran sehingga banyak diantara mereka memilih untuk mengadu nasip ke luar negeri. Hasil perkawinan singkat tersebut anak kemudian dititipkan kepada sanak saudara sementara orang tua mereka berangkat keluar negeri menjadi BMI maupun TKW.

Belum lagi dampak dari anak-anak yang terabaikan karena ditinggal kerja oleh ibunya ke luar negeri ini merupakan salah satu masalah yang cukup serius. Masalah anak ini berdampak pada berbagai masalah, seperti kesehatan anak-anak tidak terjamin hingga kerap terjadi kasus gizi buruk hingga busung lapar. Pendidikan anak menjadi terlantar hingga menjadi pemicu akar rendah kualitas SDM NTB. kenyataan yang ada anak-anak bahkan terpaksa bekerja dan kehilangan haknya untuk mendapat haknya akan pendidikan. Tidak heran akibat sikap yang demikian menjadi pemicu timbul masalah baru yakni banyaknya kasus kawin muda.

Masalah ini mendatangkan banyak dampak negatif seperti tingginya angka kelahiran bayi, tingginya angka kematian ibu dan bayi, kualitas kesehatan bayi yang rendah, dan lain-lain. Semua masalah di atas berakar pada kasus krusial NTB, yakni kawin muda kemudian cerai hingga memilih mengadu nasip menjadi BMI/TKW.

Anggka Pengangguran Tinggi
Tingginya angka pengangguran bagi masyarakat usia produktif yang mencapai 40 persen menjadi alasan banyaknya masyarakat yang memilih menjadi BMI. Lagipula, rata-rata pengangguran itu banyak didominasi lulusan sekolah menengah atas. Mereka ini dinilai tidak memiliki keahlian dalam bidang pekerjaan tertentu, sehingga memilih bekerja sebagai buruh kelapa sawit di Malaysia atau menjadi sopir di Arab Saudi.

Sementara itu, perempuan dari provinsi ini
cukup tinggi jumlahnya memilih menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia atau Timur Tengah. .Kalau saja pilihan bekerja di sektor formal seperti ke Jepang biayanya murah maka pilihannya ke Jepang pasti juga cukup tinggi. Biaya yang dimintai Rp24 juta untuk dapat ke Jepang.

Agar dapat bekerja ke luar negeri, masyarakat di NTB rata-rata mengandalkan pinjaman uang. Bagi pekerja laki-laki, untuk ke Malaysia saja rata-rata harus mengeluarkan biaya Rp 4 juta. Sementara itu, untuk bekerja ke Arab Saudi mereka harus mengeluarkan biaya lebih dari itu.

Lain halnya dengan BMI Perempuan yang ingin berangkat ke Timur Tengah. Perusahaan Pengiriman Jasa Tenaga Kerja Indonesia yang sebenarnya sudah mendapat bayaran dari majikan di Arab Saudi tidak memungut biaya bagi BMI perempuan yang ingin bekerja di Timur Tengah. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang diberikan uang untuk keluarga yang ditinggalkan sebelum pemberangkatan.

Meski banyak yang memilih menjadi BMI, perangkat desa tidak memiliki data yang memadai mengenai BMI, baik siapa saja yang berangkat dan daerah tempat dia bekerja. Hal ini ditengarai karena banyaknya perekrut tenaga kerja yang tidak mengoordinasikan pengurusan data-data atau persyaratan BMI di kantor desa setempat.

"Kebanyakan mereka mengurus persyaratan sendiri-sendiri, baik terkait kartu tanda penduduk, kartu keluarga, atau surat izin keluarga. Jadi, pihak desa sulit mempunyai data pasti. "Ke depan, kami berupaya memperketat pendataan ini agar lebih transparan," info dari salah seorang Kepala Dususn di Desa Sira, kecamatan tanjung, Kabupaten Lombok Utara yang tidak mau disebut namanya.

Pengiriman Satu Pintu
Provinsi Nusa Tenggara Barat menerapkan sistem Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) untuk penempatan dan perlindungan BMI keluar negeri. LTSP itu dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur No 32/2008. LTSP ini merupakan penyatuan pelayanan dari seluruh instansi terhadap dokumen BMI. LTSP i ni katanya akan mempermudah penempatan BMI (baca: eksport buruh) ke luar negeri sehingga dapat menurunkan jumlah BMI bermasalah. Tapi nyatanya tidak ada jaminannya apalagi yang ke jazirah Arab. Data BP3BMI NTB menyebutkan terdapat 204 kasus yang dihadapi BMI asal NTB.

LTSP melibatkan unsur/instansi terkait meliputi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB, Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Imigrasi, Sarana Kesehatan, Bank Peserta Program, Konsorsium Asuransi, Pelayanan Pajak BFLN, dan Maskapai Penerbangan (Merpati).

Selain kasus tersebut, ada juga kasus BMI yang kabur dari majikannya karena upah yang mereka terima tidak sesuai kesepakatan. Pada 6 Mei 2011 lalu sebanyak 163 BMI NTB yang bekerja di Arab Saudi dipulangkan ke daerah asalnya.

Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebutkan di antara 163 BMI bermasalah itu sebanyak 15 perempuan hamil, 11 balita, dan tujuh orang anak-anak. Rata-rata BMI itu dipulangkan karena sejumlah masalah seperti habis masa kontrak kerja, perlakuan dari majikan dan pelecehan seksual.
SBMI, Hongkong - Sekitar 902 orang Buruh Migran Indonesia di Hong Kong pada hari Minggu, tanggal 1 Desember 2013 menggelar aksi tolak Konfrensi Tingkat Mentri (KTM) k3-9 World Trade Organization (WTO) di Bali. 

Aksi tersebut dilakukan oleh International League of Peoples’ struggle (ILPS), International Migrants Alliance (IMA) - Asian Coordinating Body (AMCB) di Hong kong serta Jaringan BMI Cabut UUPPTKILN No.39/2004 (JBMI) dan Indonesian People Alliance (IPA).

Selain menolak WTO, buruh migran yang berda di Hongkong juga menuntut untuk mengakhiri migrasi terpaksa dan ciptakan lapangan kerja, bangun industri nasional dan wujudkan reforma agraria sejati serta. wujudkan kedaulatan rakyat. (migrantstruggle)
Oleh: Edy Burmansyah[2]

“if goods can not enter the boundaries, soldier do (jika barang dagangan tidak bisa masuk ke perbatasan, maka yang akan masuk adalah tentara) Komodor Matthew Calbraith Perry (1794 – 1858 )


Perdagangan dan kekerasan seringkali memiliki hubungan yang erat. Kita ingat kisah Komodor Perry dari USA dengan Armada perangnya yang memaksa Jepang membuka perdagangan dengan Amerika Serikat. Pada tahun 1854, Komodor Matthew Perry menggunakan Persetujuan Kanagawa untuk memaksa Jepang membuka pelabuhan di Shimoda dan Hakodate kepada Amerika Serikat dan mengakhiri kebijakan tertutup Jepang yang telah berlangsung 200 tahun. Selanjutnya berdasarkan Treaty of Amity and Commerce pada tahun 1858, Pelabuhan Yokohama dibuka untuk kapal-kapal AS.

Namun, Paska perang dunia II, pendekatan semacam ini, perlahan-lahan hilang kepopulerannya. Sejak tahun 1945 dunia mengalami polarisasi baru yakni berada diantara dua sistem yang sama sekali berbeda dalam hubungan international; pertama sistem teritorial yang menekankan pada penguasaan wilayah. Kedua Sistem Oceanic atau perdagangan sebagai warisan kebijaksanaan Inggris tahun 1850-an.

Sistem teritorial melihat kekuasan berdasarkan luas wilayah yang dimiliki; semakin luas wilayah, semakin besar kekuasaan. Secara teoritis, negara besar ingin mempunyai wilayah yang cukup luas sehingga mereka dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada negara lain, mereka mau menguasai sumber-sumber alam, bahan mentah dan daerah pasar supaya mencapai kondisi swasembada dan swadaya. Sebaliknya, sistem Oceanic atau perdagangan berpandangan bahwa kondisi swasembada dapat dicapai melalui perdagangan bebas dan terbuka.

Sejak berakhirnya perang dunia II, pendekatan teritorial, meskipun masih tetap digunakan, namun tidak lagi dominan seperti masa lalu. Barat cenderung lebih mengutamakan pendekatan soft power melalui intervensi kebijakan dan perdagangan, karena dinilai jauh lebih efektif dan murah.

Sistem perdagangan pada mulanya dimaknai sebatas pertukaran barang antar negeri tanpa mendapatkan hambatan atau kesulitan di sepanjang perjalanan. Hambatan itu dapat berupa tarif bea masuk atau pajak atas barang impor (yang dibeli dari luar negeri) atau peraturan-peraturan lain (seperti kuota). Dalam perkembanganya, didorong oleh kepentingan negara-negara besar dan perusahaan-perusahaan multinasional, serta diikuti oleh lembaga-lembaga international seperti WTO (World Trade organization), IMF (Dana Moneter International) dan Wold Bank (Bank Dunia) mulai diperluas tidak sebatas perdagangan, namun menyangkut hal-hal lain.

Lembaga-lembaga multimalateral merumuskan dokrin baru perdagangan kedalam empat pilar utama yakni :
  • Free Flow of Goods
  • Free Flow of Invesment
  • Free Flow of Service
  • Free Flow of Labour
Berdasarkan keempat prinsip perdagangan bebas tersebut maka peranan negara dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar (negara minimal), dalam hal ini negara hanya berperan menegakan aturan hukum, dan sama sekali tidak terlibat dalam kesejahteraan rakyat. Dalam khasana ilmu ekonomi-politik sistem ini dikenal dengan istilah neo-liberalisme.

Para kaum neoliberal memandang bahwa eksistensi negara itu kontradiktif bagi eksistensi pasar. Negara dipandang merusak mekanisme pasar, sehingga menimbulkan aneka macam distorsi, karena itu mereka berkampanye: negara harus sekecil-kecilnya, dan pasar seluas-luasnya.

Sebagaimana diketahui Globalisasi menuntut peran negara yang menciut; kekuasaan lebih besar kini berada di tangan MNC dan tiga institusi internasional yang besar yaitu IMF (Dana Moneter Internasional), Bank Dunia dan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). IMF dan Bank Dunia sering memberlakukan persyaratan mengenai deregulasi dan privatisasi, sementara liberalisasi pasar adalah domain WTO.

Dalam perkembangannya, sebagaimana dikemas dalam paket Konsensus Washington, peran negara dalam neoliberalisme ditekankan untuk melakukan empat hal sebagai berikut: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi (Stiglitz, 2002).

Negara VS Warga Negara
Pemasungan Negara oleh kaum neoliberal pada akhirnya berdampak pada menghilangnya paham tentang “warga negara” dan digantikan dengan paham “rakyat”. Rakyat yang berarti penghuni sebuah Negara sangat jauh berbeda pengertianya dengan warga Negara. Sebagai warganegara – demikian kata TH Marshall – dia memiliki tiga macam hak: politik, sosial dan sipil. Dia bisa menuntut bahwa kebebasannya terjamin, keamanannya terjaga, tetapi juga kesejahteraannya tidak terabaikan. Konsep warganegara menuntut bahwa negara tidak berpangku tangan terhadap warganegaranya.

Sementara apa yang disebut dengan rakyat dalam pandangan kaum neoliberal dianggap sebagai penghuni sebuah negara yang disetarakan dengan konsumen. Semua orang kini harus membeli produk. Rakyat dipersilahkan membeli produk-produk yang tersedia di pasar. Banyak hal memang bisa diserahkan kepada pasar dan rakyat membeli produk. Tapi celakanya rakyat juga harus membeli “produk pendidikan” dan “produk kesehatan,” dua hal yang tidak mungkin diserahkan kepada pasar.

Hilangnya konsep warga negara, membuat Negara diperbolehkan tidak peduli degan mereka (laissez faire). Rakyat harus mengurus dirinya sendiri, dengan terjun dalam arena pasar. Rakyat dipersilahkan untuk menjadi kaya, menjadi pandai, menjadi hebat, tetapi sekaligus juga dipersilahkan untuk menjadi miskin, menjadi bodoh, dan menjadi terpuruk-puruk. Kaya-miskin, pandai-bodoh, adalah urusan si rakyat. Menurut I. Wibowo (2003), pada perkembangan ini relasi Negara dan warga Negara pada akhirnya merosot menjadi hubungan antara “konsumen dan produsen” Negara melepaskan tanggung-jawabnya terhadap warganegara. Negara cukup menyediakan dan memberi fasilitas kepada para pengusaha swasta – lokal maupun global – untuk menghasilkan produk-produk yang bisa dibeli oleh rakyat sebagai

konsumen. Hubungan jual-beli ini dijadikan pola yang paling utama dalam mengelola negara. Dengan sendirinya uang menentukan dalam segala sesuatu.

Negara pada akhirnya malah berfungsi sebagai pelindung para pemilik modal! Dengan senang hati negara membiarkan dan memberi izin pengusaha swasta untuk mengelola pendidikan, kesehatan, dan bahkan juga keamanan (security). Istilah outsourcing tepat dipakai di sini karena negara tidak mau mengurus hal-hal yang merepotkan. Tugas negara utama bergeser melindungi pengusaha atau segelintir dari warganegara, dengan membiarkan sebagian besar warganegara menjadi konsumen atau tidak menjadi konsumen. Bahkan kalau perlu menjual warganegara menjadi tenaga kerja murah perusahaan global.

MNC dan Konflik
Menciutnya peran negara dan meluasnya peran swasta acapkali menjadi sumber konflik baru ditengah masyarakat, yang berwujud dalam berbagai bentuk; konflik antar agama, antar suku, maupun maupun penyingkiran masyarakat lokal dari tempat tinggalnya (displacement) yang sudah diwarisinya secara turun-temurun.[3] Masuknya perusahaan-perusahaan multinasional (Multinational Coorporation/MNC) mengeskploitasi sumberdaya alam yang ada disatu wilayah seringkali diikuti dengan disingkirkannya masyarakat local dari ruang hidupnya. Tersingkirnya masyarakat local menjadi landasaran baru bagi konflik-konflik selanjutnya dimasa depan.

Perang antar-suku di Papua, di wilayah dekat pertambangan Freeport, merupakan contoh yang nyata dari dipertahankan terusnya konflik lokal. Rakyat yang sudah begitu dalam tenggelam dalam konflik menghabiskan waktu dan energinya untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi siapa saja untuk merebut sesuap nafkah, dan tidak memiliki kesempatan lagi untuk mempertanyakan tanah mereka yang sekarang sudah diambil-alih oleh investor internasional untuk produksi pangan atau untuk pertambangan.

Logika semacam ini tampak dari pernyataan presiden George W Bush tidak lama setelah peristiwa 11 September 2001 “teroris menyerang World Trade Center, dan kita akan mengalahkan mereka dengan memperluas dan mendorong perdagangan dunia”. Didalam negeri, hal yang sama dapat kita jumpai saat peserta pertemuan rekonsiliasi konflik di Sulawesi Tengah dan Maluku ketika meninggalkan tempat pertemuan dan kembali ke masing-masing kampungnya membawa tas pertemuan yang bertuliskan: ”Conflict No, Investment Yes”.

Paskah peristiwa pembunahan massal 1965-1996 dan kejatuhan presiden Soekarno, kebijakan pertama-tama yang diambil pemerintah Soeharto adalah menerbitkan Undang-undang No 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing. Sejak itu berbondong-bondong perusahaan multi nasional mengsekplotasi sumber daya alam Indonesia; Freeport di papua, Newmont di Nusatenggara, dll Investasi dan perdagangan dianggap sebagai jalan penyelesai paling jitu dari berbagai konflik yang terjadi. Padahal dibalik maraknya investasi dan meluasnya perdagangan bentuk-bentuk lain dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bersiap muncul kepermukaan.

Hak Ekosob
Apa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM tidak hanya tentang pelanggaran hak sipil dan politik, namun juga tentang tidak terpenuhinya hak dasar bagi kehidupan manusia, seperti hak atas kesehatan, pelayanan sosial, kebebasan politik dan sipil, serta hak kultural[5].

Lepasnya peran negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan pendidikan, kesehatan, air bersih, ketersiaan pangan (ketahanan pangan) dengan menyerahkannya kepada pihak swasta (privatisasi) sehingga membuatnya sebagai barang dagangan, dan tidak murah untuk diakses masyarakat terutama oleh kelompok masyarakat miskin adalah bentuk

Pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial dan kultural sama parahnya dengan pelanggaran hak sipil dan politik. Karena itu pada 2001, laporan Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights menegaskan kembali keterpaduan, saling ketergantungan, dan keterkaitan antara hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan cultural/budaya atau hak Ekosob sebagai kerangka HAM universal. Hal ini berarti bahwa akses pada sumberdaya, pelayanan kesehatan, air bersih, pendidikan, ketahanan pangan, dan hak mendapatkan informasi juga merupakan bagian dari HAM.

Menurut laporan Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights (2001), pada era liberalsiasi ekonomi saat ini masalah HAM menjadi lebih kompleks. Hampir tidak ada aspek dari kehidupan manusia yang tidak tersentuh oleh dampak liberalisasi. Sementara masalah hak sipil dan politik belum tuntas ditegakkan, kini muncul potensi pelanggaran hak-hak lain akibat liberalisasi, Misalnya liberalisasi paten atas obat menyulitkan akses rakyat miskin terhadap obat-obatan esensial, yang artinya melanggar hak masyarakat atas kesehatan.[6]

Namun didalam negeri dalam penegakan HAM tersebut masih menyimpan standar ganda, khususnya terhadap penegakan aksesibilitas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Menurut Sri Palupi hak ekosob saat ini masih cenderung dipandang sebagai hak yang tidak justiciable. Masih ada kesesatan cara pandang, dimana hanya hak-hak sipil politik yang dapat dilanggar dan terdapat penyelesaiannya menurut hukum, sedangkan hak ekonomi, sosial dan budaya tidak[7]. Karena itu sebagaimana dinyatakan, Human Rights Working Group (HRWG) dalam laporan tahun 2013, pertumbuhan ekonomi belum sejalan dengan penegkan HAM. Bahkan menurut catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas Ham) sepanjang tahun 2012-2013 terjadi lonjakan pengaduan masyarakat atas pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi kepada Komnas HAM. Laporan terhadap korporasi merupakan tertingi kedua yang diterima oleh Komnas HAM. Dalam kaitan tersebut saat ini Komnas HAM dikabarkan sedang menyusun panduan pertumbuhan ekonomi yang tak bertentangan dengan penegakan HAM.
 
Kesimpulan
Berbagai bentuk pelanggaran HAM yang terjadi belakang ini di Indonesia tidak lepas dari pilihan kebijakan yang ditempuh pemerintah yang hanya menyandarkan diri pada ekspor bahan mentah terutama tambang dan hutang, dengan mengundang investasi asing sebanyak-banyaknya. Kebijakan semacam ini, menurut ekonom C.M. Dent pada tingkat makro merupakan perubahan umum dari sistem neo-merkantilis ke neo-liberal[8]

Model pembangunan seperti saat ini hanya akan memperlebar jurang kemiskinan, karena pertumbuhan ekonomi hanya dinikmti oleh segelintir orang kaya yang jumlahnya cuma sekitar 1%. Ini tampak pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 6,5% akhir 2011, tidak berbanding lurus dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dari 187 negara dunia yang di survey PBB. Indonesia berada pada posisi 124 turun 16 peringkat dari tahun lalu yang berada peringkat 108.

Disamping itu klaim penurunan jumlah penduduk miskin yang kini tinggal berjumlah 30 juta jiwa, tidak benar-benar akurat. Pemerintah Belanda, seperti dikatakan Menteri Urusan Eropa dan Kerja Sama Pembangunan Belanda, Ben Knapen, saat konferensi pers di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta, Selasa, 5 Juli 2011 bahwa penduduk miskin Indonesia berjumlah sekitar 100 juta jiwa.[2]

Karena itu yang harus dilakukan adalah mengembalikan sistem ekonomi Indonesia pada penafsiran utuh Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen). Sebagaimana dikemukan sistem perekonomian Indonesia ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi berdasarkan tiga prinsip utama (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Selanjutnya sebagaimana dilengkapi Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara antara lain: (1) mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.

Langkah lebih lanjut yaitu mencabut segala Undang-Undang yang bertentangan dengan Pasal 33, pasal 27, pasal 34 UUD 1945, diantaranya UU tentang Sumber Daya Air, UU Migas, UU Minerba, UU BHP, UU Penanaman Modal, UU Bank Indonesia, UU BUMN, UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Perlindungan Varietas, UU Ketanagalistrikan, UU Panas Bumi, UU Perikanan, dan banyak lagi lainnya. Selama ini berbagai undang-undang tersebut menjadi alat legitasi korporasi asing (MNC) melakukan penindasan dan pengerukan sumberdaya ekonomi Indonesia.

Hanya dengan mengembalikan sistem perekonomian Indonesia sebagai mana yang telah rumuskan para pendiri bangsa pada UUD 1945 (sebelum amandemen), maka cita-cita para pendiri bangsa menemukan jalannya kembali; masyarakat adil dan makmur. ***

[1] Disampaikan pada semiloka Membangun Sinergisitas Implementasi Hak Asasi Manusia (HAM) Berbasis Komunitas, Lombok, NTB, 19 November 2013
[2] Peneliti Resistance and Alternatives to Globalization (RAG
[3] Don K Marut, Makalah Pendekatan Struktural dalam Gerakan Humanitarian: Peluang dan Tantangan bagi Masyarakat Sipil, Juli 2012, hal 4
[4] Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia PBB 1948 terdiri dari empat dokumen yaitu; International Covenant on Civil and Politicial Rights, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan Right to Development.
[5] Dikutif dari Hira P. Jhamtani, Globalisasi Korporasi, Perebutan Ruang Hidup & Hak Azasi Manusia, June 2009
[6] Sri Palupi, Problem dan Tantangan dalam Akses Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dalam Prasetyohadi & Savitri Wisnuwardhani (Ed),Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10 Tahun Reformasi, (Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2008), hlm 102,
[7] Dent, C.M, ”Networking the Region? The Emergence and Impact of Asia-Pacific Bilateral Free Trade Agreement, the pacific review, Vol 16, No,1 hal 25
[8] Vivanew.com 5 juli 2011


Daftar Pustaka
Bahagijo, Sugeng, dkk, Globalisasi Menghempas Indonesia, LP3ES, 2002
Bhagwati, Jagdish, Proteksionisme, Angkasa, Bandung, 1992
Burger, D.H Prof, Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, Pradnjaparamita, Djakarta 1962
Chandra, Alexander C, ”Indonesia dan Ancaman Perjanjian Perdagangan Bebas Bilateral” Institute for Global Justice, Jakarta, 2005
Dent, C.M, ”Networking the Region? The Emergence and Impact of Asia-Pacific Bilateral Free Trade Agreement, the pacific review, Vol 16, No,1
Eppler, Erhard, The return of The State ?, Forumpress, United Kingdom, 2009
Harvey, David, Imperialisme Baru, Resist Book dan Institute for Global Justice, Jakarta, 2010
I.Wibowo, Neoliberalisme, Cindelaras, Yogyakarta, 2003
Marshall, TH, Citizenship and Social Class, W.W. Norton and Co, New York, 2009
Norberg, Johan, Membela Kapitalisme Global, Freedom Institute, Jakarta, 2008
Nurkse, Ragnar prof, Masalah Pembentukan Modal Di Negara-Negara jang sedang berkembang, Bhratara, djakarta, 1964
Oxfam International, Briefing papaer ”Resep Pembawa Petaka” 2006
Oxfam International, Briefing Paper ” A raw deal for rice under DR-CAFTA”, 2004
Pascual, Maria Teresa D, ” Perjanjian-perjanjain Perdagangan Bebas Bilateral Amerika Serikat di Asia” Asia Pasific network for Food Sovereignty, 2006.
Rosecrance, Richard, ”Kebangkitan Negara Dagang, Perdagangan dan Penaklukan di Dunia Modern” Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991
Stiglitz, Joseph E., 2002. Globalisation and Its Discontent, New York: WW Norton and Company