sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

 
Siaran Resmi

Tim Advokasi Hukuman Mati untuk TKI
Dewan Pimpinan Nasional Serikat Buruh Migran Indonesia
(DPN SBMI)

Selamatkan Wilfrida Soik
Dari Ancaman Tiang Gantungan Hukuman Mati
Untuk Perlindungan Sejati Bagi Seluruh Buruh Migran Indonesia

Kita semua harus menolak jika Wilfida hidupnya berakhir di tiang gantungan. Walau hakim akan memutuskan vonis terhadap Wilfrida pada 30 September 2013. Kita segenap rakyat Indonesia dimanapun berada masih punya waktu, mari kita perjuangkan Wilfrida agar hakim di Malaysia menolak tuntutan mati terhadap dirinya. Sudah terang bahwa karena tidak adanya jaminan kepastian perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga migrant dimana Wilfrida harus berhadapan dengan tuduhan melakukan kejahatan karena membunuh majikannya.

Sesungguhnya yang dia lakukan adalah upaya untuk membela diri dan martabatnya dari tindak kekerasan dan tindak pelanggaran HAM lainnya yang dikatagorikan berat. Saat kejadian, 7 Desember 2010, ia tengah berupaya membela diri dari perlakuan kekerasan majikan.

Sejatinya kasus ini adalah dampak dari tidak adanya jaminan perlindungan sejati terhadap buruh migrant Indonesia dari tindak kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, kerja paksa/perbudakan, trafiking, hilang kontak dan upah rendah dan lain sebagainya yang dialami oleh BMI/TKI. Persoalan kemiskinan dan minimnya lapangan pekerjaan menjadi latar belakang atas dikeluarkannya kebijakan pragmatis Pemerintahan rezim SBY dengan melakukan pengerahan besar-besaran rakyat Indonesia secara “paksa” menjadi buruh di luar negeri.

Tak pernah dibayangkan Wilfrida sebelumnya kalau ia dipekerjakan untuk merawat majikan berumur tua. Hanya selama dua bulan bekerja, Wilfrida merasakan perlakuan layaknya bukan manusia. Menerima pukulan, bahkan siksaan.

Selain itu, saat diberangkatkan ke Malaysia untuk bekerja, Wilfrida adalah anak di bawah umur, belum genap 17 tahun. Ia lahir di Belu tahun 1993. Keterangan ini dipalsukan calo pada paspornya menjadi tahun 1989.

Di dalam kehidupannya yang dimiskinkan oleh system secara sistematis di Belu, ia termakan oleh iming-imingi gaji besar oleh calo yang memberangkatkannya ke Malaysia sebagai PRT.

Saat itu (Oktober 2010) pemerintah Indonesia tengah menghentikan sementara penempatan TKI ke Malaysia. Tak ada satu pun TKI boleh ditempatkan ke Malaysia. Lalu mengapa masih terjadi?

Wilfrida adalah korban sindikat perdagangan orang lintas negara dengan modus rekrutmen yang memalsukan umurnya menjadi 21 tahun. Atas dasar kemanusiaan, Wilfrida harus kita selamatkan dari hukuman mati. Apalagi Indonesia dan Malaysia sama sama memiliki komitmen dalam melindungi anak-anak dan perempuan, termasuk memberantas tindak pidana perdagangan orang.

Kami buruh migran Indonesia yang tergabung dalam Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengutuk praktek perbudakan moderen dan praktek menjual rakyat ke negeri kapitalis lainnya di luar negeri untuk dihisap secara semena-mena. Mayoritas dari BMI adalah pekerja domestik sebagai Pekerja Rumah Tangga di luar negeri yang bekerja tanpa jaminan perlindungan. Sejatinya tugas untuk memberikan kesejahteraan dan perlindungan sejati bagi kaum buruh migran adalah tanggung jawab negara akan tetapi hal tersebut diabaikan.

Untuk itu kami Tim Advokasi Ancaman Hukuman Mati Terhadap BMI menuntut:

1. Mendesak pemerintah untuk menyelamatkan Wilfrida dari hukuman mati tiang gantungan di Malaysia dengan cara extraordinary dan melaporkan perkembangan informasi kepada keluarga korban, organisasi buruh migrant dan masyarakat sipil lainnya.

2. Mendesak agar upaya membuka kembali pengerahan rakyat Indonesia untuk dijadikan buruh migrant ke negara-negara yang terbukti melakukan pelanggaran HAM Berat terhadap BMI/TKI yakni Malaysia dan Arab Saudi dihentikan secara permanen dan selama-lamanya.

3. Mendesak agar Pemerintah RI segera menghentikan pengiriman BMI/TKI ke Malaysia secara permanen untuk selamanya. Tidak ada lagi kompromi pengerahan rakyat Indonesia untuk menjadi buruh di luar negeri karena SBMI tidak percaya dengan janji memberikan perlindungan sejati bagi BMI/TKI. Bahkan SBMI mendesak agar pemerintah memutuskan hubungan dengan negara Arab Saudi dan negara-negara lain yang tidak bisa memberikan jaminan perlindungan bagi rakyat Indonesia yang bekerja di negaranya.

4. Mendesak Negara Republik Indonesia dalam hal ini melalui Pemerintahan Rezim SBY untuk menangani langsung seluruh kasus ancaman hukuman mati terhadap warga negara Indonesia di luar negeri secara extraordinary dan terfokus.

5. Mendesak agar DPR RI meninjau ulang seluruh mekanisme perekrutan, penempatan dan sistem perlindungan dan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengerahan buruh migran ke luar negeri.

Lawan Sekarang atau Tertindas Selamnya!

Jakarta, 26 September 2013
PIMPINAN KOLEKTIF DPN SERIKAT BURUH MIGRAN INDONESIA

TTD

NISMA ABDULLAH
Ketua Umum

Contact Persons:
Ramses D Aruan (081364578636)
Koord. Tim Advokasi Ancaman Hukuman Mati Terhadap BMI


PRT
Perlindungan PRT oleh Negara
KORAN MIGRAN, Jakarta - Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI Indonesia) dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) berharap pemerintah segera meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) No.189 sebagaimana disampaikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada forum sidang ILO pada 16 Juni 2011.

Selain itu, pemerintah juga diminta untuk mewujudkan UU Perlindungan PRT dan segera mempercepat pengurusan dokumen BMI di Jeddah.


Wakil Ketua ATKI Karsiwen mengatakan dengan pengesahan Konvensi ILO 189 pada 16 Juni 2011 sehingga tanggal tersebut dijadikan sebagai Hari PRT se-Dunia adalah bentuk pengakuan bahwa PRT merupakan satu sektor pekerjaan yang wajib diberi hak-hak dasar dan perlindungan. Dengan konvensi tersebut, maka paradigma bahwa pekerjaan perempuan adalah pekerjaan kodrat perempuan pun terpatahkan.

"Konvensi ILO 189 ini adalah hasil dari jerih payah perjuangan dan teriakan PRT atas penindasan dan pengisapan yang dialami oleh PRT di seluruh dunia," kata Karsiwen, saat konferensi pers di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat (14/6).


Karsiwen mengatakan sejak 11 Juni 2011 saat Presiden SBY mendapat standing ovation masing-masing dari berbagai negara, di mana dalam pidatonya Presiden mengatakan pekerja rumah tangga harus dilindungi dan pentingnya Konvensi ILO 189 harus diratifikasi dan dijadikan dasar hukum bagi perlindungan PRT di dalam maupun di luar negeri oleh setiap negara sebagai pengakuan atas hak-hak PRT.

"Tapi, hingga saat ini pemerintah belum membuat undang-undang perlindungan PRT dan belum ada kontrak standar yang dapat menjamin dan memastikan hak-hak PRT bisa dipenuhi oleh majikan atau pengguna PRT," ujarnya.


Karsiwen menjelaskan berdasarkan hasil kajian ATKI Indonesia di dalam dan luar negeri masih banyak PRT mengalami berbagai macam permasalahan serius, seperti upah tidak dibayar, rendahnya upah yang diterima PRT, jam kerja yang panjang, tidak ada hak libur, kekerasan, pelecehan seksual hingga pemerkosaan, adalah PR besar yang harus segera dipenuhi pemerintah.


"Karenanya, pemerintah harus segera meratifikasi Konvensi ILO 189, mewujudkan UU Perlindungan PRT, dan kontrak kerja standar bagi pemenuhan hak-hak PRT sebagai pekerja serta situasi kerja layak," katanya.

Tidak hanya itu, pemerintah juga diminta untuk segera membuat posko-posko pembuatan paspor di pusat-pusat BMI dengan memperpanjang jam pelayanan yang disertai tenda peneduh, posko kesehatan, makanan dan minuman, toilet umum, serta pelayanan lain yang dibutuhkan.

"Kami juga mendesak pemerintah menyediakan biaya kepulangan bagi BMI yang tidak mampu," ujarnya.

SBMI, Singapura - Singapura akan mewajibkan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di negeri ini untuk mendahulukan warga Singapura untuk posisi-posisi kerja berkeahlian sebelum mempertimbangkan pelamar dari luar negeri.

Langkah ini diambil setelah ada tekanan kuat di dalam negeri menyusul membludaknya warga asing dalam dekade terakhir.

"Kebijakan itu mungkin akan berarti lebih banyak kerumitan dan kertas kerja bagi perusahaan-perusahaan, dan bahkan itu akan memperlambat tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang," kata Michael Wan, ekonom pada Credit Suisse di Singapura.

Mulai Agustus tahun depan, perusahaan-perusahaan yang memiliki lebih dari 25 karyawan mesti mengiklankan lowongan kerja untuk posisi profesional atau manajerial yang bergaji kurang dari 12.000 dolar Singapura sebulan, selama paling sedikit 14 hari, demikian pernyataan Kementerian Tenaga Kerja negeri ini seperti dikutip Reuters.

Setelah jangka waktu itu perusahaan itu boleh membuka lowongan untuk pekerja asing.

Singapura juga akan menaikkan upah untuk pelamar yang lolos seleksi kerja paling sedikit 3.300 dolar Singapura sebulan, naik dari 3.000 dolar Singapura yang saat ini berlaku, mulai Januari 2014.

Langkah ini mengurangi persaingan pada posisi awal kerja yang biasanya mensyaratkan pendidikan tersier.

Pusat keuangan global dan basis Asia ountuk banyak bank dan perusahaan-perusahaan multinasionals itu adalah salah satu negara dengan ekonomi paling terbuka.

Pekerja asing mencapai 40 persen dari total 5,3 juta penduduk Singapura, dan kebanyakan menempati posisi-posisi senior dan manajemen menengah. Sedangkan pada posisi bergaji rendah, lebih banyak lagi karena penduduk setempat tak meminatinya.

Asosiasi Perbankan Singapura yang menghimpun lembaga-lembaga keuangan yang beroperasi di negara kota itu mengatakan bank-bank perlu menyesuasikan lagi proses penggajiannya demi memenuhi ketentuan baru pemerintah itu.

"Kami perlu menghitung dampak yang akan muncul dari aturan baru ini," kata juru bicara asosiasi tersebut.

Warga Singapura kini mengeluhkan terlalu banyaknya warga asing telah membuat jalan-jalan dan kereta dijubeli penumpang sehingga tak lagi membuat mereka nyaman, selain karena harus bersaing mendapatkan pekerjaan.

Mereka mengeluhkan para manajer asing yang lebih memilih rekan sebangsanya ketimbang warga lokal Singapura. Sumber

Kontroversi Layanan Menyusui
Hak Menyusui
Jasa menawarkan layanan menyusui orang dewasa membuat banyak warga China marah.

KORANMIGRAN, Shenzhen – Layanan memberi air susu ibu (ASI) menjadi kemewahan baru baru orang-orang kaya di China. Laporan yang mengungkapkan bahwa beberapa perusahaan menawarkan jasa perawat yang dapat menyusui membuat banyak warga China meluapkan kemarahan dan kejijikannya lewat di media sosial. 


Xinxinyu, sebuah agen jasa rumah tanggu di Shenzhen, kota kaya yang berbatasan dengan Hong Kong, menyediakan perawat yang dapat menyusui bayi yang baru lahir, orang sakit, dan orang dewasa yang mau membayar harga tinggi untuk mendapatkan gizi bari dari ASI itu, menurut Southern Metropolis Daily, Kamis (4/7).


"(Klien) dewasa dapat langsung disusui atau mereka dapat minum ASI yang dipompa dari payudara jika merasa malu," kata pemilik perusahaan Lin Jun, seperti dikutip Southern.

Untuk menyusui orang dewasa, para perawat tersebut dibayar sekitar 16.000 yuan atau sekitar Rp25,920.000 per bulan. Ini empat kali lipat dari upah rata-rata perawat di Negeri Tirai Bambu. Dan, para perawat “yang sehat dan berpenampilan menarik” dapat menerima duit yang lebih besar, menurut laporan tersebut.


Memang, ada kepercayaan tradisional di beberapa wilayah China bahwa ASI adalah nutrisi terbaik dan paling mudah dicerna oleh orang sakit.


Meski begitu, pemberitaan jasa menyusui ini tak urung memicu perdebatan di media massa dan media sosial. Kebanyakan pengguna media sosial mengutuk layanan itu karena dinilai tidak etis.


Cao Baoyin, seorang penulis dan komentator di berbagai media China, bahwa kegiatan ini hanya menambah masalah baru di China. “Memperlakukan perempuan sebagai barang konsumsi dan degradasi moral orang-orang kaya China,” Baoyin menulis di blog-nya.


Regulator di Shenzhen, Kamis, menyatakan telah memerintahkan Xinxinyu untuk menghentikan operasinya dan mencabut izin usahanya untuk beberapa alasan, termasuk lalai melakukan pemeriksaan tahunan. Meski begitu, layanan menyusui tidak termasuk dalam faktor-faktor pelanggaran.


Pejabat perusahaan juga tidak dapat dihubungi AFP ketika diminta berkomentar.

Sore ini, ada hampir 140.000 posting di Sina Weibo, sejenis Twitter di China, yang mengangkat topik ini.


Dalam jajak pendapat online, hampir 90 persen peserta memilih menentang dan mengatakan layanan itu "melanggar nilai-nilai etika". Tidak lebih dari 10 persen orang menganggap menyusi orang dewasa sebagai "praktik bisnis yang normal".


Pengguna bernama White Lotus menulis di Weibo, “Tolong jangan sampai kehilangan rahmat sebagai seorang ibu dan jadi bodoh.” 


Postingan lain dengan sinis mengatakan itu cuma masalah fulus.


"Ini hanya bisnis, tak ada yang salah," kata A Xiao Shuai. "Orang-orang tidak peka soal etika ketika ada uang di atas meja."


Di antara populasi China yang masih nomor wahid di dunia, tingkat menyusui terbilang rendah, hanya 28 persen menurut laporan UNICEF 2012. Ini terjadi karena pembatasan waktu cuti hamil dan pemasaran susu formula yang sangat gencar. 

SBMI, Jakarta - Redaksi coba mencari solidaritas yang harus diberikan untuk buruh di semua tempat di dunia. Untuk awal kampanye mari kita mendukung para buruh/pekerja di tiga negara.

Di Filipina, surat perintah penangkapan telah dikeluarkan untuk tiga pemimpin serikat buruh yang telah didakwa dengan kejahatan palsu sehubungan dengan kegiatan pemberontak Tentara Rakyat Baru. Seorang pemimpin serikat didakwa dalam kaitannya dengan dugaan perkelahian yang pecah dalam protes anti-militerisasi. Hal ini menerik perhatian Serikat buruh dari berbagai tempat yang membanjiri pemerintah Filipina dengan pesan protes menuntut bahwa tuduhan polisi tersebut dibatalkan. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut dan untuk mengirim pesan Anda:

http://www.labourstartcampaigns.net/show_campaign.cgi?c=1691

Di El Salvador, pekerja layanan dasar bandara yang membentuk serikat pekerja setempat telah menemui perlawanan sengit dari majikan mereka, termasuk pemecatan 96 karyawan, hampir seluruh staf. Para serikat pekerja setempat dan Federasi Serikat Buruh Transportasi Internasional menyerukan protes mendesak. Kirim pesan Anda dengan mengklik di sini:

http://www.labourstartcampaigns.net/show_campaign.cgi?c=1692

Dan di Amerika Serikat, pekerja rumah tangga dan restoran di kasino-hotel Las Vegas yang dimiliki oleh Stasiun Kasino LLC dan dioperasikan oleh Fertitta Entertainment LLC terus memperjuangkan hak mereka untuk mengorganisir serikat pekerja. Majikan mereka, pelanggaran terburuk hukum perburuhan dalam sejarah industri game Nevada, telah diperintahkan oleh pemerintah untuk mengirim pemberitahuan kepada karyawan di semua fasilitas yang menyatakan: "Dewan Nasional Hubungan Perburuhan telah menemukan bahwa kita melanggar hukum tenaga kerja federal dan telah memerintahkan kami untuk mengirim dan mematuhi pemberitahuan ini. " Namun para pekerja terus menuntut hak-hak mereka. Mereka membutuhkan dukungan kita - klik di sini untuk mengirim pesan Anda dan mendukung kampanye IUF:

http://www.iuf.org/cgi-bin/campaigns/show_campaign.cgi?c=730

Apakah Kampanye ini bekerja? Jawaban singkatnya adalah - ya mereka bekerja, kadang-kadang. Jawaban panjang ada pada buku baru LabourStart , Online campaign and Winning. Buku ini biayanya hanya $ 4,99 dan dapat dipesan langsung dari penerbit - https://www.createspace.com/4104805. Silakan memesan beberapa salinan untuk serikat buruh Anda.

Akhirnya, sebagai pengingat bahwa 31 Januari adalah batas waktu untuk Penghargaan Svensson, hadiah $ 84.000 diberikan oleh serikat buruh Norwegia untuk "orang atau organisasi yang telah bekerja untuk mempromosikan hak serikat buruh dan / atau memperkuat pengorganisasian serikat buruh di seluruh dunia." Rincian lengkap di sini:

http://www.svenssonprize.com/
Ternyata, kejujuran tidak ada korelasinya dengan jenis kelamin dan usia.


SBMI, New York - Empat benua, 16 kota dan 192 dompet "hilang". Demikian rumusan eksperimen terbaru yang dilakukan Reader's Digest untuk mencari tahu kota mana yang paling jujur.

Sejumlah wartawan dari majalah tersebut menjatuhkan sejumlah dompet di taman, pinggir jalan dan dekat pusat perbelanjaan di sejumlah kota internasional, yang tersebar di empat benua, yaitu Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia dan Eropa, mulai dari New York, AS hingga Mumbai, India dan menunggu untuk mengetahui apakah ada orang yang akan mengembalikan dompet-dompet tersebut. Setiap dompet berisi uang yang jumlahnya setara dengan US$ 50, sebuah telepon genggam, beberapa lembar kartu nama, kupon dan sebuah foto keluarga.

Hasilnya? Hampir separuh atau 47 persen dompet-dompet tersebut dikembalikan.

"Jika Anda menemukan uang, Anda tidak bisa berasumsi bahwa dompet itu milik seorang kaya raya," kata Ursula Smist, yang mengembalikan salah satu dari lima dompet yang disebar di London. "Dompet itu mungkin saja berisi uang terakhir yang dimiliki oleh seorang ibu yang harus memberi makan keluarganya," kata Smist, yang berasal dari Polandia. Tujuh dompet lainnya yang dijatuhkan di London tak ada yang mengembalikan.

Dari 12 dompet, ada satu dompet yang diambil oleh seorang pengemudi tram laki-laki di Zurich yang atasannya mengelola kantor yang mengurusi barang-barang yang hilang dan ditemukan di kota itu. Di Warsawa, lima dari 12 dompet dikembalikan, sementara tujuh dompet lainnya diambil oleh perempuan. Majalah ini menyimpulkan bahwa dalam hal kejujuran, jenis kelamin dan usia tidak bisa diprediksi.

"Temuan yang paling mengejutkan bagi tim Reader's Digest adalah bahwa kejujuran tidak ada kaitannya (dengan jenis kelamin dan usia)," kata Raimo Moysa, pemimpin redaksi Majalah Internasional Reader's Digest. "Bagi semua orang yang mengembalikan dompet, itu adalah satu-satunya cara untuk bertindak dalam situasi seperti ini."

"Ini adalah sesuatu yang Anda lakukan secara alamiah," kata asisten optik berusia 30 tahun di Praha ketika ditanya mengapa ia mengembalikan dompet. Seorang nenek berusia 73 tahun di Rio de Janeiro mengatakan hal yang sama. "Karena dompet itu bukan milik saya," tulis Moysa mengutip sang nenek dalam surat elektroniknya.

Berikut adalah daftar kota yang paling jujur berdasarkan eksperimen Reader's Digest:

- Helsinki, Filandia mengembalikan 11 dari 12 dompet
- Mumbai, India mengembalikan 9 dari 12 dompet
- Budapest, Hungaria mengembalikan 8 dari 12 dompet
- New York, AS mengembalikan 8 dari 12 dompet
- Moskow, Rusia mengembalikan 7 dari 12 dompet
- Amsterdam, Belanda mengembalikan 7 dari 12 dompet
- Berlin, Jerman mengembalikan 6 dari 12 dompet
- Ljubljana, Slovenia mengembalikan 6 dari 12 dompet
- London, Inggris mengembalikan 5 dari 12 dompet
- Warsawa, Polandia mengembalikan 5 dari 12 dompet
- Bukares, Rumania mengembalikan 4 dari 12 dompet
- Rio de Janeiro, Brasil mengembalikan 4 dari 12 dompet
- Zurich, Swis mengembalikan 4 dari 12 dompet
- Praha, Republik Ceko mengembalikan 3 dari 12 dompet
- Madrid, Spanyol mengembalikan 2 dari 12 dompet
- Lisbon, Portugal mengembalikan 1 dari 12 dompet

Sumber : CNN
Sejumlah BMI mengadakan aksi bagi rekan mereka yang disiksa majikannya di depan Pengadilan Wanchai di Hongkong (18/9). REUTERS/Bobby Yip
SBMIDPN, Hong Kong – Kasus penyiksaan terhadap tenaga kerja asal Indonesia yang dilakukan oleh pasangan suami istri asal Hong Kong telah merusak reputasi Hong Kong sebagai tempat yang aman untuk bekerja. Hal ini juga membuat pengadilan kembali menegaskan bahwa setiap pekerja, baik warga asli Hong Kong maupun warga dari negara lain, dilindungi oleh hukum.


Laman Reuters, Kamis, 19 September 2013, melaporkan Tai Chi-wai, 42 tahun, seorang sales alat listrik, divonis penjara selama 3 tahun 3 bulan. Sementara istrinya, Catherine Au Yuk-shan, 41 tahun , seorang asisten rumah sakit umum, mendapat hukuman lebih berat, yakni 5 tahun 6 bulan penjara.

Pasangan ini terbukti bersalah karena melakukan penyiksaan terhadap Kartika Puspitasari. Wanita berusia 30 tahun ini merupakan asisten rumah tangga mereka yang berasal dari Indonesia.

“Kami meminta pihak berwenang Hong Kong untuk membuat reformasi yang diperlukan untuk mengantisipasi kejadian seperti yang dialami Kartika,” ujar Koalisi Penyedia Layanan untuk Etnis Minoritas di Hong Kong dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari laman Reuters, Kamis, 19 September 2013.

Hong Kong memiliki sekitar 300 ribu asisten rumah tangga yang sebagian besar berasal dari Filipina dan Indonesia. Namun, ada pula yang berasal dari Nepal, India, dan Pakistan. Banyak dari mereka yang mendapat upah minimun dan menjadi korban penyiksaan dan pelanggaran hak.

Salah satu korban penyiksaan itu berasal dari Indonesia. Kartika Puspitasari mendapat perlakuan kasar dari majikannya. Ia kerap kali dipukul dengan rantai sepeda dan ditetesi besi panas di wajahnya. Untungnya, kini majikan Kartika yang merupakan pasangan suami-istri itu divonis bersalah dan akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di penjara. (sumber)
Oleh Aulia Dwi Nastiti

Luasnya pemberitaan media mengenai kasus Sumiati ini menjadi menarik untuk dikaji jika dihadapkan pada multi dimensionalitas permasalahan TKI karena memunculkan ruang bagi berbagai pertanyaan mengenai sikap media terhadap kasus penyiksaan TKI, khususnya kasus Sumiati. Bagaimana media memandang kasusSumiati? Bagaimana media mengkonstruksi realitas kasus TKI? Apakah media juga memandang kasus tersebut secara multidimensional atau menonjolkan kasus TKI sebagai permasalahan dimensi tertentu? Untuk menjawab pertanyaan mengenai sikap media dalam konstruksi realitas kasus Sumiati itulah, kajian ini menggunakan analisis framing terhadap pemberitaan kasus Sumiati di editorial dua harian nasional, yaitu Kompas dan Media Indonesia.Bagian editorial dipilih secara purposif sebagai unit analisis karena editorial merupakan elemen berita yang paling merepresentasikan sikap media secara resmi dalam pemberitaan (Walbert, 2010)

Harian Kompas
Problem Identification, Melalui editorialnya, Kompas mengidentifikasi kasus Sumiati, dan kasus TKI secara umum, sebagai permasalahan sosial-ekonomi. Pada lead artikel, Kompas menekankan pada aspek sosial kasus dengan mengungkapkan kekhawatiran bahwa kepedulian terhadap TKI hanya berlangsung sesaat. Kompas takmembahas kasus Sumiati sebagai fokus, tapi menyikapi kasus Sumiati dan Kikim Komalasari, seorang TKI yang dibunuh, sebagai contoh bahwa kasus penyiksaan TKI selalu berulang dan hanya mampu menarik perhatian tanpa menghasilkan tindakan penyelesaian. Selain dimensi sosial, Kompas juga menempatkan kasus ini sebagai permasalahan ekonomi. Kompas mengajukan argumen bahwa penyiksaan TKI tak akan terjadi jika TKItak mengadu nasib ke luar negeri karena tak adanya jaminan atas lapangan pekerjaan di dalam negeri.b. 

Causal Interpretation, Kompas menonjolkan kegagalan pemerintah dalam aspek ekonomi sebagai penyebab terjadinya penyiksaan TKI. Kompas berpandangan bahwa penyebab jumlah TKI yang bekerja di luar negeri tetap tinggi meskipun keselamatannya diragukan ialah karena pemeritah gagal menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai di dalam negeri. Dari aspek sosial, Kompas menyebutkan bahwa kasus penyiksaan Kompas menggambarkan bahwa penyiksaan TKI terus terjadi karena kehebohan atas nasib naas yang ditimpa para TKI tak disertai dengan tindakan nyata untuk menjamin perlindungan keselamatan bagi para TKI yang bekerja di luar negeri. Kompas juga menyebutkan bahwa perlindungan pemerintah terhadap TKI juga masih minim meskipun tetap lebih menekankan pada penyebab ekonomi.

Moral Evaluation, sesuai dengan main frame yang digunakan Kompas yaitu frame sosial dan ekonomi,Kompas pun mengevaluasi kasus ini dalam dimensi sosial dan ekonomi. Dalam dimensi sosial, Kompas menilai bahwa perhatian yang begitu besar terhadap kasus ini cenderung hanya menjadi kepedulian sesaat. Kompasmenilai hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif dengan menyatakannya sebagai “kehebohan dan kegaduhan yang tidak sampai menggerakkan pikiran dan perasaan untuk melakukan terobosan membela kepentingan TKI”.

Kompas juga mengevaluasi bahwa ekspresi keprihatinan yang ditunjukkan pemerintah tidak cukup jika tidak ada tindakan konkret untuk melindungi TKI. Di sini Kompas mengalamatkan  evaluasinya pada khalayak umum karena Kompas tidak menuliskan subjek spesifik sebagai pihak atau nama yang digambarkan "heboh sesaat‟ tersebut. Selanjutnya dalam dimensi ekonomi, Kompas mengavaluasi pemerintah secara negatif dengan menggambarkan bahwa pemerintah gagal menjamin tercukupinya kebutuhan lapangan kerja di dalam negeri.Kompas menilai pemerintah telah mengecewakan banyak pihak karena belum menunjukkan komitmen serius untuk melindungi nasib TKI dan membiarkan TKI bersusah-susah mengadu nasib di negeri orang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.

Solution Recommendation, untuk menyelesaikan kasus penyiksaan TKI, Kompas merekomendasikan solusi dalam dua dimensi. Yang pertama dari segi sosial, Kompas menyatakan bahwa diperlukan langkah konkret bagi perlindungan keselamatan TKI di mancanegara. Selain itu, Kompas menyebutkan bahwa yang paling penting adalah menjamin ketersediaan lapangan kerja yang lebih luas di negeri sendiri. Dari sini terlihat bahwa Kompas menempatkan kebutuhan ekonomi sebagai akar masalah TKI ini sehingga solusi yang dibutuhkan untuk memangkas akar masalah ini adalah dengan menyediakan lapangan kerja di dalam negeri bagi para TKI ini.

Harian Media Indonesia
Problem Identification, dalam editorialnya, Media Indonesia mendefinisikan kasus Sumiati, dan TKI pada umumnya, sebagai masalah politik. Terlihat bahwa sejak awal Media Indonesia berupaya menarik masalah ini dalam koridor masalah politik dengan menuliskan lead yang cukup provokatif dan sarat istilah-istilah politis yang memojokkan pemerintah.

Lead tersebut berupaya untuk menggiring interpretasi khalayak untuk langsung menempatkan masalah penyiksaan TKI sebagai implikasi kinerja buruk pemerintah. Nuansa politik juga semakin terasa karena Media Indonesia menonjolkan buruknya birokrasi manajemen pengiriman TKI serta memperbandingkan kinerja pemerintah Indonesia dengan pemerintah Filipina yang lebih baik dalam mengelola tenaga kerja di luar negeri, juga mengaitkan permasalahan dengan pergantian menteri tenaga kerja yang sudah beberapa kali berganti tanpa disertai perbaikan yang signifikan terhadap nasib TKI di luar negeri. Media Indonesia juga tak membahas kasus Sumiati, dan juga Kikim Komalasari, sebagai kasus spesifik, tetapi menempatkan cerita keduanya dalam frame besar pelanggaran HAM terhadap TKI yang terus saja terjadi akibat ketidakmampuan pemerintah untuk melindungi warganya sendiri.

Causal Interpretation, dari keseluruhan editorial, Media Indonesia menekankan dan cenderung memojokkan pemerintah sebagai penyebab berulangnya kasus penyiksaan TKI. Media Indonesia menggambarkan bahwa pemerintah tak menunjukkan kesungguhan dalam memutus mata rantai permasalahan TKI yang kompleks.Media Indonesia mengambarkan penyiksaan TKI ini sebagai masalah kompleks yang berakar pada kualitas TKI yang memang kurang dalam hal kemampuan bekerja dan kecakapan bahasa. Media Indonesia menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya pihak yang paling bertanggung jawab atas minimnya kualitas TKI yang diberangkatkan ke dalam negeri karena pemerintah berkewajiban untuk memberikan pembekalan yang memadai agar mereka mampu bekerja di lingkungan asing serta menjamin keselamatan warga negara yang berada di luar negeri, terutama para TKI. Selain itu media juga menekankan buruknya birokrasi pengiriman TKI yang terkesan liar dan buruknya posisi tawar pemerintah ketika kasus penyiksaan seperti ini terjadi. MediaIndonesia memandang bahwa masalah seperti ini terjadi karena pemerintah telah mengetahui akar masalahnya, hanya saja tak punya cukup kemauan dan kreativitas untuk membenahi kualitas TKI dan proses pengirimannya.

Moral Evaluation, evaluasi moral yang ditonjolkan secara dominan dalam editorial Harian Media Indonesia, evaluasi negatif terhadap kinerja pemerintah. Media Indonesia menggambarkan kesalahan pemerintah pada tiga hal besar. Yang pertama pemerintah seakan menutup mata pada buruknya kualitas TKI dengan membiarkan TKI diberangkatkan tanpa diberi pembekalan yang memadai. Kedua, pemerintah tidak memiliki sistem yang tertata dalam manajemen TKI, baik dari prosedur pemberangkatan maupun jaminan perlindungan ketika bekerja di negeri orang. Dalam hal kedua ini, Media Indonesia mengevalusi pemerintah dengan cara membandingkan dengan manajemen pemerintah Filipina. Ketiga, kesalahan pemerintah ialah mengetahui bahwa permasalahan berakar pada buruknya kualitas TKI dan manajemen pengurusan TKI tetapi tetap diam dan tak menunjukkan upaya perbaikan sehingga timbul kasus penyiksaan TKI yang berulang-ulang.

Solution Recommendation, karena menyikapi kasus ini sebagai masalah politik, maka Media Indonesia pun merekomendasikan solusi dalam koridor politik, yaitu moratorium. Hal ini direkomendasikan Media Indonesia dengan argumen bahwa upaya pemerintah baru terlihat ketika insiden perlakuan kejam terhadap TKI mengemuka dan upaya pemerintah itu pun tak berdampak siginifikan dalam menjamin keselamatan TKI.Setelah berita insiden tersebut tak lagi jadi berita, pemerintah kembali seperti tak ada masalah apa-apa. Media Indonesia berpandangan bahwa moratorium sepatutnya dilakukan untuk mencegah TKI dari perlakuan kejam majikannya karena pemerintah belum sanggup memberikan perlindungan dan membenahi pengurusannya.

Berdasarkan uraian konseptual dan temuan data analisis teks berita editorial di tiga surat kabar nasional, sertahasil interpretasi yang dilakukan, penulis merumuskan beberapa kesimpulan terkait dengan representasi sikap media dalam konstruksi realitas kasus Sumiati. Beberapa kesimpulan yang diperoleh antara lain:
  1. Dalam teks berita editorial, media cenderung memandang suatu isu secara general. Hal inidiinterpretasikan penulis berdasarkan hasil analisis framing yang menunjukkan bahwa Kompas dan Media Indonesia membahas kasus penyiksaan TKI di luat negeri dan hanya menempatkan kasus Sumiati sebagai sampel dari sebuah isu besar yang general, yaitu penyiksaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) diluar negeri.
  2. Media yang berbeda mengkonstruksi realitas sosial yang sama secara berbeda. Konstruksi realitas ini dilakukan dengan cara melakukan simplifikasi realitas sosial yang kompleks dan multidimensional menjadi masalah yang dipandang dari suatu dimensi tertentu saja. Penulis menginterpretasikan hal ini setelah mengetahui fakta bahwa Kompas dan Media Indonesia mengkonstruksi realitas kasus TKI yang multidimensional secara berbeda. Kompas menempatkan kasus penyiksaan TKI dalam dimensi permasalahan ekonomi sementara Media Indonesia memandang dari dimensi politik.
  3. Konstruksi realitas yang dilakukan media dalam teks berita editorial merepresentasikan sikap mediatersebut terhadap suatu isu. Berdasarkan hasil analisis framing yang dilakukan, penulis menginterpretasikan hal ini setelah mendapati bahwa Kompas cenderung bersikap netral dalam isu penyiksaan TKI, sedangkan Media Indonesia memiliki kecenderungan sikap kontra terhadap pemerintah.Sedangkan jika dipandang dari segi orientasi sikap, penulis menginterpretasikan bahwa dalam kasus penyiksaan TKI ini, sikap Kompas cenderung memiliki orientasi ekonomis sementara orientasi sikap Media Indonesia adalah cenderung ke arah politis.

Hukuman Mati

KORAN MIGRAN, Jakarta - Masih adakah yang ingat Sumiati Bt Salan Mustafa asal Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang di aniaya oleh majikannya bernama Khalid Saleh Al Akhmin di Madinah Arab Saudi? Sumiati berusia 23 tahun bekerja ke Madinah Arab Saudi pada 18 Juli 2010.

Kini Sumiati telah berada di tanah air. Atas masalah yang dihadapinya, Sumiati mendapatkan sumbangan dari Presiden sebesar 50 juta rupiah, dari Kemen PPA 5 Juta rupiah, asuransi 40 Juta rupiah. Tapi kita harus bertanya cukupkah konpensasi itu bagaimana dengan hak-haknya yang lain sebagai buruh migran perempuan dan warga negara?

Selamat datang Sumiati, semoga kau akan dapat menjalani hidup seperti kawan2 yang lain. "Kepada kawan-kawan SBMI Dompu semoga dapat terus mendampinginya menjadi kawan bagi Sumiati dalam kesehariannya." harap Nisma, Ketua Umum SBMI kepada kawan-kawannya.

Penganiyaan sadis yang dilakukan warga Arab Saudi terhadap Sumiati Binti Salam Mustafa tergolong pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. 

Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menegaskan hal ini dalam sebuah kesempatan di bulan Nopemeber 2010, di kantornya. "Di dunia ini, penganiayaan seperti itu tergolong pelanggaran HAM berat," tegas Patrialis.

Pemerintah, menurutnya, telah bertemu pihak keduataan besar Arab Saudi di Indonesia. Mereka berjanji menindaklanjuti kasus tersebut dan akan memproses majikan Sumiati sesuai hukum yang berlaku. "Kita sudah ketemu dengan Dubes Arab Saudi di sini. Dubes Arab Saudi mengutuk habis perbuatan kejam dan zalim itu. Kita bersyukur pemerintah Arab Saudi berjanji akan menindaklanjuti proses hukum," papar Patrialis.

Sebagaimana diberitakan, Buruh migran asal Dompu, Nusa Tenggara Barat itu dibawa ke RS King Fahad pada 8 November 2010 setelah mengalami penyiksaan oleh majikannya. Kondisi Buruh Migran Domestik malang tersebut sangat memprihatinkan dan sangat lemah.

Seorang petugas rumah sakit mengungkapkan, kedua kaki Sumiati nyaris lumpuh, kulit tubuh dan kepalanya terkelupas, jari tengah retak, alis matanya rusak. Yang lebih parah, bibir bagian atasnya hilang.

Diduga majikan wanita Sumiati kerap kali melakukan kekerasan terhadapnya, sebab terdapat banyak luka di sekujur tubuhnya. Antara lain luka bekas setrika panas. Sumiati diketahui tidak bisa berbahasa Arab maupun Inggris.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan kasus yang menimpa Sumiati binti Salan Mustapa, 23 tahun, buruh migran asal Indonesia yang disiksa majikannya di Arab Saudi, menjadi contoh bahwa TKI di Arab Saudi sangat rentan terhadap masalah ketenagakerjaan.
Marty mengatakan pemerintah telah mengajukan protes keras kepada Arab Saudi dalam kasus Sumiati. Perlindungan hukum terhadap Sumiati, kata dia, juga akan terus dilakukan meski pengadilan di Arab Saudi berbeda dengan pengadilan di negara lainnya.
Hasilnya pelaku DIBEBASKAN dengan jaminan, sebuah ironi jika kita membandingkan dengan ratusan buruh migran yang terancam hukuman mati di Luar Negeri. Kalau buruh migran tidak melawan maka akan menjadi bulan-bulanan kekerasan dan kalau melawan untuk mempertahankan hidup dan martabat hingga bertarung nyawa selanjutnya buruh migran perempuan akan menghadapi ancaman hukuman mati. TRAGIS...!
Seperti dilansir Al-Arabiya.net, pengadilan banding di Mekah membatalkan hukuman tiga tahun penjara dan memerintahkan pengadilan mengulang proses hukum terhadap majikan Sumiati yang dijatuhkan hakim di pengadilan tingkat pertama di Madinah karena kejahatan terdakwa dinilai tidak cukup kuat.


Gambar ini adalah foto rumah alang-alang di Belu, NTT, tempat tinggal Wilfrida Soik bersama ibunya. Saat ini, Wilfrida sedang di penjara di negara tetangga kita, Malaysia. Ia dituntut vonis mati oleh jaksa dan menanti keadilan dari sang hakim.


SBMI DPN, Jakarta - Akankah hidupnya berakhir di tiang gantungan? Hakim akan memutuskan-nya pada 30 September ini. Kita masih punya waktu, mari kita perjuangkan Wilfrida agar hakim menolak tuntutan mati tersebut. Wilfrida memang dituduh melakukan kejahatan. Membunuh majikannya. Namun itu di luar kesengajaan-nya. Saat kejadian, 7 Desember 2010, ia tengah berupaya membela diri dari perlakuan kekerasan majikan.

Tak pernah dibayangkan Wilfrida sebelumnya kalau ia dipekerjakan untuk merawat majikan berumur tua. Hanya selama dua bulan bekerja, Wilfrida merasakan perlakuan layaknya bukan manusia. Menerima pukulan, bahkan siksaan.
Selain itu, saat diberangkatkan ke Malaysia untuk bekerja, Wilfrida adalah anak di bawah umur, belum genap 17 tahun. Ia lahir di Belu tahun 1993. Keterangan ini dipalsukan calo pada paspornya menjadi tahun 1989.
Di dalam kehidupan miskinnya di Belu, ia diiming-imingi gaji besar oleh calo yang memberangkatkannya ke Malaysia sebagai PRT.
Saat itu (Oktober 2010) pemerintah Indonesia tengah menghentikan sementara penempatan TKI ke Malaysia. Tak ada satu pun TKI boleh ditempatkan ke Malaysia. Lalu mengapa masih terjadi?
Bisa jadi, Wilfrida adalah korban sindikat perdagangan orang lintas negara dengan modus rekrutmen yang memalsukan umurnya menjadi 21 tahun.
Atas dasar kemanusiaan, Wilfrida harus kita selamatkan dari hukuman mati. Apalagi Indonesia dan Malaysia sama sama memiliki komitmen dalam melindungi anak-anak dan perempuan, termasuk memberantas tindak pidana perdagangan orang.
Saya bersama Rieke Diah Pitaloka membuat petisi ini meminta majelis hakim untuk menolak tuntutan mati terhadap Wilfrida. Bantu kami ya, tanda tangan dan sebar petisi!
Di bawah ini pernyataan dari mbak Rieke:
-------------
Saya Rieke Diah Pitaloka, anggota DPR RI komisi Perburuhan bersama-sama dengan Anis Hidayah beberapa aktivis HAM lainnya sedang memperjuangkan Wilfrida. Wilfrida adalah warga NTT yang diindikasikan menjadi korban sindikat perdagangan manusia yang dikirim dibawah umur ke malaysia.

Bantu perjuangan kami agar Wilfrida tidak dijatuhi hukuman mati dalam putusan sela pengadilan di Malaysia dengan cara menandatangani petisi ini.

Satu Nyawa adalah Nyawa Indonesia

SAVE WILFRIDA SAVE INDONESIA

Rieke Diah Pitaloka

Untuk:
YAB Dato Seri Najib Tun Razak, Prime Minister of Malaysia
Honorable Tan Sri Zulkefli Ahmad Makinudin, Chief Judge of the High Court in Malaya 
Bebaskan Wilfrida dari Hukuman Mati

Gambar ini adalah foto rumah alang-alang di Belu, NTT, tempat tinggal Wilfrida Soik bersama ibunya, Magdalena Tiwu. Saat ini, Wilfrida sedang di penjara di negara tetangga kita, Malaysia. Ia dituntut vonis mati oleh jaksa dan menanti keadilan dari sang hakim.

Akankah hidupnya berakhir di tiang gantungan? Hakim akan memutuskan-nya pada 30 September ini. Kita masih punya waktu, mari kita perjuangkan Wilfrida agar hakim menolak tuntutan mati tersebut.

Wilfrida memang dituduh melakukan kejahatan. Membunuh majikannya. Namun itu di luar kesengajaan-nya. Saat kejadian, 7 Desember 2010, ia tengah berupaya membela diri dari perlakuan kekerasan majikan.

Tak pernah dibayangkan Wilfrida sebelumnya kalau ia dipekerjakan untuk merawat majikan berumur tua. Hanya selama dua bulan bekerja, Wilfrida merasakan perlakuan layaknya bukan manusia. Menerima pukulan, bahkan siksaan.

Selain itu, saat diberangkatkan ke Malaysia untuk bekerja, Wilfrida adalah anak di bawah umur, belum genap 17 tahun. Ia lahir di Belu tahun 1993. Keterangan ini dipalsukan calo pada paspornya menjadi tahun 1989.

Di dalam kehidupan miskinnya di Belu, ia diiming-imingi gaji besar oleh calo yang memberangkatkannya ke Malaysia sebagai PRT.

Saat itu (Oktober 2010) pemerintah Indonesia tengah menghentikan sementara penempatan TKI ke Malaysia. Tak ada satu pun TKI boleh ditempatkan ke Malaysia. Lalu mengapa masih terjadi?

Bisa jadi, Wilfrida adalah korban sindikat perdagangan orang lintas negara dengan modus rekrutmen yang memalsukan umurnya menjadi 21 tahun.

Atas dasar kemanusiaan, Wilfrida harus kita selamatkan dari hukuman mati. Apalagi Indonesia dan Malaysia sama sama memiliki komitmen dalam melindungi anak-anak dan perempuan, termasuk memberantas tindak pidana perdagangan orang.

Yuk, bantu saya menandatangani dan menyebarkan petisi ini, dan meminta majelis hakim untuk menolak tuntutan mati terhadap Wilfrida. 
Salam,
[Nama Anda]

Untuk ikut menandatangani klik disini

Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto (kedua kiri) didampingi oleh pakar hukum terkemuka di Malaysia, Tan Sri Moh. Shafee Abdullah (kiri) dan Ms. Tanya (kanan) menjenguk Wilfrida (kedua kanan), TKI yang terkena hukuman mati di penjara Kota Bharu, Kelantan, Malaysia, Sabtu (14/9). Kunjungan Prabowo tersebut untuk melakukan komunikasi dan investigasi dalam rangka menolong Pekerja Rumah Tangga (PRT) itu dari hukuman mati.Foto: Antara






SBMI DPN, Jakarta - Anggota Komisi IX DPR RI, Poempida Hidayatulloh mengatakan, tidak ada alasan bagi pemerintah Malaysia untuk tidak membebaskan seorang TKI bernama Wilfrida Soik dari hukuman mati. Perempuan asal Nusa Tenggara Timur itu, kata Poempida, korban traficking karena dia mulai bekerja ketika berumur 12 tahun.

"Dengan pertimbangan kemanusiaan dan komitmen Malaysia dalam melawan "Perdagangan Manusia" sepatutnya Pemerintah Malaysia tidak perlu ragu dalam menyelesaikan masalah Wilfrida ini. Dengan jelas Pemerintah Malaysia dapat memberikan Grasi atau "Pardon" kepada Wilfrida agar terbebas dari masalah hukumnya," kata Poempida kepada Sayangi.com, Rabu (18/9).

Menurut Poempida, jika hal tersebut tidak dilakukan oleh Pemerintah Malaysia yang sedang gencar-gencar menangkap dan mendeportasi pendatang ilegal, perlu kiranya dunia meragukan komitmen negeri jiran tersebut dalam memberantas "Perdagangan Manusia". Dan jika kemudian masalah hukum Wilfrida ini berlanjut terus dengan tuduhan Pembunuhan, sang majikan dan agen yang mempekerjakan Wilfrida pun harus diproses secara hukum atas dugaan traficking.

"Dalam hal ini jelas terjadi proses hukum yang tidak seimbang. Jika kemudian Pemerintah Malaysia mengabaikan ketimpangan proses hukum ini, maka Pemerintah RI pun harus berani menempuh jalur diplomasi yang keras dengan Pemerintah Malaysia. Sampai saat ini banyak sekali kasus-kasus perdagangan Manusia ini masih terjadi tanpa ada inisiatif yang secara riil untuk memberantasnya," katanya.

Untuk diketahui, hukuman mati yang akan dijatuhkan pemerintah Malaysia membuat Ketua Dewan Pembina Partai Gerinda, Prabowo Subianto. Apa pun cara yang ditempuh Prabowo diharapkan bisa membebaskan Walfrida yang kini berumur 17 tahun dari hukuman mati.

Indonesian maid was beaten with bicycle chain and scalded over two-year period until she escaped last October

Domestic helpers rally outside Wanchai district court in support of an Indonesian maid who was tortured by her employers. Photograph: Bobby Yip/Reuters

A Hong Kong couple have been jailed for torturing, beating and abusing their Indonesian maid, who said they tied her to a chair for five days while they went on holiday.

Tai Chi-wai, 42, an electric appliance salesman, was jailed for three years and three months and his wife, Catherine Au Yuk-shan, 41, a public hospital assistant, got five-and-a-half years after being found guilty of a total of eight charges, including assault and wounding with intent.

The couple repeatedly assaulted and tortured Kartika Puspitasari, 30, over a two-year period until she escaped last October, beating her with a bicycle chain and scalding her on the face and arms with a hot iron, Wanchai district court had heard.

Kartika also said that she was left in a nappy and tied to a chair without food or water for five days while her employers went on holiday with their children to Thailand, although the judge said he believed some of this testimony had been exaggerated.

The case had done harm to Hong Kong's reputation as a safe place to work and the court's decision was to "send a clear message that every worker is protected by the laws", said deputy district judge So Wai-tak.

The Mission for Migrant Workers said last month that a survey of more than 3,000 women conducted in Hong Kong last year found that 58% had faced verbal abuse, 18% physical abuse and 6% sexual abuse.

"We call on to the Hong Kong authorities and policymakers to make the needed and urgent reforms that will mitigate the possibility of another Kartika in our midst," the Coalition of Service Providers for Ethnic Minorities in Hong Kong said in a statement.

Hong Kong has roughly 300,000 domestic helpers, largely from the Philippines and Indonesia, but also from Nepal, India and Pakistan. They are excluded from entitlement to a minimum wage and other basic rights and services.

A union representing domestic helpers held a protest in March, calling for an end to a law that requires maids to live with their employers, saying the rule exposes them to abuse.

Also in March, Hong Kong's highest court ruled against granting residency to two Filipino maids, dashing the hopes of several hundred thousand domestic helpers from gaining residency in the city. 




SBMI, Jakarta - Some 247 Indonesians working abroad have been sentenced to die after being convicted of crimes they allegedly committed, said Khrisna Jaelani from the Foreign Affairs Ministry`s Legal Aid and Protection of Indonesians Overseas Unit.

"Of the total 247 people, 186 workers are facing the death penalty in Malaysia, 36 in Saudi Arabia, 11 in China and one in Singapore," he said here on Friday, adding that Indonesian embassies in these countries are continuously providing legal aid to its citizens.

Although the highest number of Indonesians facing the death penalty is in Malaysia, it is Saudi Arabia which hosts the largest number of Indonesian workers.

According to data from the Foreign Affairs Ministry, there are 4,227,383 Indonesians living abroad, with 2,536,429 employed in the informal sector. Among the destinations for Indonesian workers are Malaysia, Saudi Arabia, the Gulf countries, Singapore, Taiwan, and Hong Kong. Saudi Arabia employs the largest number of Indonesian domestic workers, with 748,727.

Earlier, Anis Hidayah, Executive Director of Migrant Care, called on the government to lobby Saudi Arabian authorities to prevent more Indonesian workers from receiving the death penalty.

"A high level of lobbying must be conducted to save those workers from death. President Susilo Bambang Yudhoyono must discuss this problem with the Saudi Arabian king," she said.

Anis added that in protecting Indonesian workers convicted abroad, the government must also understand what occurred. "Some of the workers have killed their employers to protect themselves from abusive treatment," she said.