sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

SBMI, Hong Kong - Seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia menjadi korban penganiayaan majikan di Hong Kong. PRT ini diikat di kursi dan ditinggal berlibur selama 5 hari, tanpa diberi makan dan minum.

Atas tindakan keji ini, pasangan suami-istri yang merupakan majikan PRT ini diadili oleh pengadilan setempat. Pasangan bernama Tai Chi-wai (42) dan Catherine Au (41) ini menjalani sidang perdana mereka di pengadilan setempat pada Jumat (23/8).

Keduanya dijerat dakwaan penganiayaan yang berujung melukai orang lain. Pasangan ini juga dijerat dakwaan penyekapan, penyerangan dan 6 dakwaan melukai orang lain. Demikian seperti diberitakan South China Morning Postdan dilansir AFP, Sabtu (24/8/2013).

Kedua terdakwa membantah seluruh dakwaan. Namun dalam persidangan diungkapkan bahwa keduanya kerap mengikat si PRT setiap kali mereka pergi keluar rumah atau pergi tidur. Bahkan si majikan perempuan, Au pernah menggunakan pisau pemotong kertas untuk melukai tangan dan perut si PRT. 

Tidak hanya itu, kepada si PRT juga pernah dibenturkan pada keran air. Kemudian si PRT juga pernah dipukuli dengan rantai sepeda dan sepatu. Yang lebih parah lagi, kedua terdakwa menempelkan setrika pada lengan dan wajah si PRT hingga hangus.

Perbuatan keji ini dilakukan terhadap PRT bernama Kartika Puspitasari ini selama beberapa kali selama 2 tahun dia bekerja pada majikannya tersebut. Hingga akhirnya, Kartika berhasil kabur pada Oktober 2012 lalu.

Saat itu, Kartika tengah menjalani hukuman karena memakan ayam dan sepotong kue dari dalam kulkas majikannya. Hal ini dilakukan Kartika setelah dia dibiarkan kelaparan selama dua hari. Si majikan menamparnya 3 kali dan kemudian menyekapnya di dalam kamar mandi.

Kartika berhasil melepas ikatan pada dirinya dan berlari ke jalanan mencari bantuan. Dia dibawa ke kantor KJRI dan kasus ini pun diproses secara hukum. Persidangan selanjutnya akan digelar pada Senin (26/8) mendatang. (sumber)
SBMI, Hongkong - The employers of an Indonesian maid behaved like animals, the District Court heard.


Kartika Puspitasari told how she was fed once every three days, forced to eat salt when she was hungry, and had her head dunked in a toilet bowl when she was thirsty.

Testifying for a second day, Puspitasari said she hated salesman Tai Chi-wai, 42, and his wife, health- care assistant Catherine Au Yuk-shan, 41.

Under questioning from the defense lawyer, Puspitasari, 30, said yesterday she was forced to wear the clothes of the couple's three-year-old daughter, which easily ripped as they were too small.

On occasions, not allowed to wear a bra and panties, she was forced to cover herself with plastic bags.

When questioned as to how she coped with periods, she said her menstruation had stopped due to her working environment, and that she suffered constant stomachaches.

She was also not allowed to have regular showers and was taken to a park every three days or so to clean herself.

During her two-year ordeal, Puspitasari said she did not have the chance to go out alone. She once considered escaping when the couple were moving homes, but decided not to because their young daughter would be left unattended.

Asked why she did not call the police, she said there was no landline at home, and she had no money to buy a mobile.

Puspitasari was barred from contact with the outside world, and unable to talk to other helpers. She would be beaten if she disobeyed.

The defense lawyer asked how she was able to tolerate the situation.

She replied it was hard to accept, but she dared not resist. She was also very thin and weak and feared being beaten.

It was useless to complain and she had hoped to escape while praying for the strength to do so.

Last October 8, after being starved for two days, she was severely beaten when searching for food in a rubbish bin. She was beaten again the following day, and finally managed to escape the same day.

Puspitasari said her husband is dead and she has a three-year-old girl who is being looked after by her mother.

She had worked in Singapore for seven years, and her relationship with her former employers was harmonious.

The defense lawyer suggested Puspitasari was paid, and taken to a convenience store to transfer the money to her family. She denied such claims.

Her employment agency visited her once - a month after she began working - and when she had not been beaten.

Pictures shown to Deputy Judge So Wai-tak showed injuries to her wrist and knee, allegedly caused by Tai, who bound her hands and feet every night before she slept.

She also had injuries caused by a hot iron, a metal clothes rack and a cutter.

Tai and Au each deny one count of false imprisonment, one of assault, and six of inflicting grievous bodily harm. The trial continues today. (sumber)
SBMI, Hong Kong - Kasus pembatalan tausiah secara sepihak yang dilakukan Ustadz Solmed semakin memanas. Yang terkini, muncul sebuah surat terbuka yang ditujukan untuk Solmed.

Surat tersebut ditulis oleh seseorang bernama Rihanu Alifa, yang mengaku sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Hong Kong. Dia merasa sakit hati dengan kicauan Solmed di Twitter yang menaruh curiga ada unsur komunis dalam kisruh tersebut.

Berikut isi suratnya:

Kepada Yth :
Ustaz Solmed

Ustaz Solmed yang terhormat, saya adalah salah satu TKI Hong Kong yang terluka dengan pernyataan ustaz di twitter yang mencurigai kami (TKI Hong Kong) sebagai jaringan dari komunis. Saya (masih) memaklumi jika ustaz memasang tarif saat diundang untuk berceramah.

Itu hak ustaz. Pun, saya juga mengerti jika ustaz membela diri ketika ustaz dituding menaikkan tarif saat diminta ceramah di Hong Kong, terlepas dari benar atau tidaknya argumen yang ustad sampaikan. Namun, ketika ustad "berkicau" di twitter dengan menyatakan kecurigaan bahwa TKI Hong Kong merupakan bagian dari jaringan komunis, maka saya sebagai bagian dari TKI Hong Kong merasa terluka, teriris hati saya mendengar hal ini.

Saya suka menulis, saya menyampaikan hal ini melalui tulisan dan mem-broadcastnya di sosmed bukan untuk mencari sensasi, apalagi popularitas. Ini adalah suara hati saya. Sedih tak terkira saya melihat seorang ustad "memerangi" saudara seagamanya dengan bersenjatakan media.

Miris, melihat dan mendengar pemberitaan beberapa media yang menurunkan berita timpang (tidak balance, hanya memaparkan berita dari pihak ustad Solmed, tidak berusaha melakukan cross check dengan pihak EO di Hong Kong).

Secara pribadi, saya tidak ada dendam dengan ustad. Saya pertama kali melihat ustazmelalui tayangan sinetron di televisi (saya lupa judulnya). Tayangan itu saya saksikan melalui internet. Saya bukan pecinta sinetron, hanya saja saya tertarik menyaksikan sinetron tersebut karena ada Maher Zain yang ikut syuting di dalamnya (sewaktu dia berkunjung ke Indonesia).

Sebagai TKI Hong Kong, saya memang mengikuti perkembangan konflik ustad dengan salah satu event organizer (EO) di Hong Kong yang mengundang ustad untuk berceramah. Namun, saya tak ikut ambil pusing.

Saya bukan bagian dari EO tersebut, dan (tadinya) saya pikir, perselisihan ustad dengan EO tersebut dapat menemui titik temu (damai). Tetapi, semakin lama, ustad semakin membuat pernyataan yang tidak-tidak, bahkan cenderung memfitnah. Di infotainment, ustad menyebut angka Rp150 juta yang bakalan dikeruk oleh EO di Hong Kong dari penjualan tiket masuk yang dijual kepada para jamaah.

Izinkan saya bertanya, dari mana ustaz dapatkan angka fantastis tersebut?

Hampir tujuh tahun saya di Hong Kong dan selama empat tahun terakhir ini saya berkecimpung dalam organisasi yang kadang menjadi EO suatau acara dengan mengundang bintang tamu artis dari Indonesia.

Sedikit banyak, saya tahu seluk-beluk penyelenggaraan acara di Hong Kong. Untuk gedung di Sheung Wan yang rencananya akan dipakai untuk acara yang sedianya akan ustad hadiri tersebut, setidaknya sudah tiga kali saya memasukinya.

Gedung tersebut merupakan ruangan berbentuk L yang kapasitasnya (menurut pengamatan orang awam seperti saya), hanya muat untuk 500 orang (itu juga kalau dijejal-jejal).

Jika tiket masuk dijual seharga 50 (Hong Kong dolar), dan pengajian diadakan dua sesi, maka hasil dari penjualan tiket adalah : 50 x 1000 orang = 50.000 (Hong Kong dolar).

Kurs saat ini : HK$ 1 = Rp. 1300 (kurang lebih, karena kurs naik turun). Jadi, jika ustazmenyebut angka 150 juta rupiah, maka saya katakan hal tersebut adalah AJAIB (kalau tak mau dikatakan OMONG KOSONG).

Lagipula, angka HK$50. 000 itu dengan asumsi bahwa tiket terjual habis (sold out)*. Pada kenyataanya, tidak semua tiket bisa terjual habis.

Dan uang sejumlah itu bisa dikatakan sangat pas-pasan untuk membiayai sebuah acara di Hong Kong. Ini berdasarkan pengalaman saya selama bergelut dalam organisasi Forum Lingkar Pena Hong Kong.

Perlu ustaz ketahui, pengajian di Hong Kong dengan menjual tiket (entah itu HK$20, 50, atau 100) itu sudah lazim di kalangan tenaga kerja Indonesia di Hong Kong ini.

Di Hong Kong ini, memakai mesjid atau gedung TIDAK BISA GRATIS. Minimal perlu HK$ 4.000 untuk sewa satu gedung (ini harga sewa gedung di pelosok, kalau di pusat kota minimal bisa dua kali lipatnya).

Belum lagi sewa sound systemnya (tidak mungkin ‘kan ustad teriak-teriak atau lari sana-sini agar suara ustad dapat didengar oleh jamaah yang hadir).

Harga sewa sound system bisa berkisar HK$ 5.000 ke atas. Belum lagi ditambah biaya pembelian tiket pesawat untuk ustad dan manajer ustad, biaya hotel, konsumsi,transportasi, dll. Jika pun acara dilaksanakan di tempat terbuka, seperti lapangan Victoria Park, itu juga harus ada izin dari pengelolanya.

Setidaknya, penyelenggara acara harus membayar uang asuransi pada pengelola taman jika ingin menggunakan area tersebut. Hal ini saya ketahui saat mencari info tentang penggunaan lapangan rumput dan tenda putih atas Victoria Park.

Dan lebih fantastis lagi, sound system kalau untuk outdoor seperti di lapangan Victoria Park, harga sewanya bisa mencapai belasan juta rupiah. Jadi, jika ustad mengatakan bahwa dakwah ustad dijadikan lahan bisnis oleh EO di Hong Kong, saya sangat meragukan hal ini.

Karena, yang saya tahu, jika pun acara pengajian itu memperoleh keuntungan dari penjulan tiket serta dana dari kotak amal (yang diedarkan saat pengajian berlangsung), maka dana tersebut tidak akan masuk ke kantong panitia penyelenggara, melainkan disumbangkan ke Indonesia, entah itu untuk pembangunan masjid, pesantren, dll.

Mengenai hal ini, mungkin ustaz bisa bertanya pada EO yang mengundang ustaz, berapa pondok pesantren yang sudah mereka biayai dari uang sisa yang didapat dari acara pengajian yang mereka adakan.

Ustad akan lebih tercengang lagi, jika melihat fakta bahwa begitu banyak mujahidah di Hong Kong ini yang rela berpanas-hujan menjual majalah, meminjamkan buku melalui perpustakaan lesehan, menjual buku, dll demi mendapat keuntungan 1 atau 2 dolar yang mereka kumpulkan untuk kemudian disumbangkan ke Indonesia.

Bayangkan, mereka rela berlelah-lelah di hari yang seharusnya menjadi hari libur mereka. Saya sendiri pun pernah mengalaminya, menggeret-geret koper besar berisi buku-buku untuk dipinjamkan.

Uang penyewaan buku hanya numpang lewat di tangan saya,untuk kemudian disumbangkan ke Indonesia. Jika ustad mengatakan bahwa seluruh biaya yang saya sebutkan itu (tiket pesawat, hotel, dll) sudah ditanggung oleh sponsor, maka silakan disebutkan siapa saja sponsor acara tersebut, berapa banyak uang yang mereka berikan sehingga bisa mengcover seluruh biaya tersebut?

Setahu saya, untuk satu event semisal pengajian, 3 atau 4 sponsor saja itu belum tentu ada, karena kini semakin banyak organisasi TKI di Hong Kong, banyak acara yang bisa mereka pilih untuk didukung.

Satu sponsor saja, biasanya member support materi yang tidak begitu banyak, sekitar HK$500 – HK$ 2.000, sangat jauh untuk bisa menutup biaya-biaya yang harus dikeluarkan.

Saya berbicara berdasarkan fakta. Menurut pengalaman saya dalam mencari dana dari sponsor, kadang dana dari sponsor tidak diberikan dalam bentuk tunai, tapi berupa barang yang harus dijual, jadi tidak berbentuk cash money.

Well, dua pertanyaan itu (dari mana angka 150 juta itu ustad dapat dan sponsor mana yang mau mendanai penuh acara yang akan ustad hadiri), akan membuktikan kebenaran dari ucapan ustad.

Mari bicara fakta, atau diam jika hanya menimbulkan fitnah, menyakiti kami (TKI Hong Kong) yang ustad sebut sebagai “saudara”. Sekali lagi, saya sangat maklum jika benar ustad memasang tariff dan meminta fasilitas ini-itu pada panitia. Saya juga tidak menyalahkan jika ustad (mungkin) berbohong di media untuk menjaga reputasi ustad. Itu manusiawi.

Silakan saja, dosa ditanggung ustad sendiri. Namun, jika konfliknya melebar sampai ustad koar-koar di twitter dengan menyatakan kecurigaan bahwa TKI Hong Kong adalah jaringan dari komunis, itu sudah keterlaluan.

Curiga boleh saja, tapi tak harus berkicau di sosmed tanpa fakta, tanpa tabayyun, karena itu semua akan menjadi fitnah yang lebih kejam dari pembunuhan.

Untuk media-media di Indonesia Di Indonesia, mungkin nama ustad Solmed sangat layak jual. Sehingga otomatis, berita yang menyangkut dirinya akan menarik bagi masyarakat.

Namun, setahu saya setiap berita yang diturunkan haruslah berimbang, tidak boleh hanya dari satu sisi saja. Meskipun narasumber berita jauh, wartawan harus tetap mengusahakan untuk mewawancarainya meski hanya melalui saluran telefon.

Jika si narasumber tidak dapat dihubungi, maka hal tersebut juga harus disampaikan kepada masyarakat, bahwa si wartawan sudah berusaha menghubungi, namun hingga saat berita diturunkan, narasumber belum memberikan jawaban.

Silakan menghubungi dan mewawancarai langsung EO yang mengundang ustad Solmed ke Hong Kong, agar berita yang disampaikan pada masyarakat tidak berat sebelah, dan tidak lebay (saya pernah melihat tayangan infotainment yang menampilan media yang memuat berita dengan judul “Astaga, tarif ustad Solmed 150 juta”.

Menurut saya judul tersebut sangatlah lebay karena angka 150 juta tersebut bukan tarif yang dipatok sang ustad, melainkan angka perkiraan sang ustad dari penghitungan penjulan tiket yang dijual oleh panitia). Memang, judul bombastis bisa menaikkan berita, tapi akan merugikan media sendiri jika judul tak sesuai dengan isi.

Akibatnya, bukan tidak mungkin media yang seperti itu akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat yang berimbas pada kematian media itu sendiri.

TKI di Hong Kong mudah dijumpai di jejaring social Facebook. Itulah mengapa, ketika ustad Solmed koar-koar di Twitter, yang ikut me-retweet dari kalangan TKI Hong Kong hanya mempunyai beberapa follower, karena memang TKI Hong Kong hanya sedikit saja yang ber-twitter ria. Kami lebih nyaman di Facebook karena bisa membaca info-info menarik dari catatan fans fage, sharing foto, dll, sedangkan twitter tidak memungkinkan hal itu, karena membatasi penulisan hanya 140 karakter saja.

Untuk teman-teman TKI/BMI Hong Kong, kita adalah satu tubuh, ketika ada pihak yang menyakiti bagian dari diri kita, tentu kita akan ikut terluka. Demikian pula halnya dengan diri saya. Awalnya saya tak ingin angkat bicara, malas koar-koar di sosmed.

Tetapi, saya melihat beberapa aktivis BMI HK yang biasanya vocal membela BMI, diam melihat hal ini, sama sekali tak berkomentar. Dan yang bukan aktivis, ada saja yang nyinyir dengan mengatakan bahwa pengajian harus gratis lah, salah panitia ngundangnya artis lah, dll. Untuk yang belum pernah berkecimpung di organisasi BMI, tentu pernyataan “gratis” tadi wajar saja, karena ketidaktahuan mereka bahwa tidak ada yang gratis di Hong Kong ini.

Lagipula, tiket dijual kepada mereka yang bersedia membayar, tak ada paksaan. Pun dengan kotak amal, tidak ada paksaan untuk mengisinya. Saya ungkapkan di sini, event pengajian yang diadakan berbagai organisasi BMI di Hong Kong, tidaklah bertujuan untuk mengeruk untung ataupun dijadikan lahan bisnis seperti yang dikatakan ustaz Solmed. Saudara-saudara kita berjuang menegakkan agama islam di negeri non muslim ini.

Jika pun ada yang membisniskan pengajian, itu adalah oknum, jangan pernah melakukan generalisir dengan menyebutkan BMI/TKI Hong Kong, karena akan sangat fatal akibatnya, menjadi fitnah yang menyakiti semua.

Kita bisa saja memaafkan ustad Solmed atas pernyataannya di twitter yang mencurigai TKI Hong Kong sebagai komunis, kita juga bisa memboikot ustad Solmed dengan menganjurkan keluarga kita agar meninggalkan segala tontonan yang menampilkan ustad Solmed. Kita adalah kekuatan yang besar jika bersatu. Kita dikatakan komunis, komunis itu tak bertuhan, rela kita dikatakan demikian?

Untuk teman-teman yang berkecimpung di organisasi, terutama dalam bidang keagamaan, mari jadikan kasus ini sebagai pelajaran. Selama ini, mungkin teman-teman tidak pernah membuat perjanjian (kontrak) tertulis dengan tamu (ustaz/artis) yang akan diundang.

Belajar dari hal ini, tawarkanlan surat perjanjian pada tamu yang akan diundang. Jika hal itu dianggap merepotkan, maka gunakan fasilitas rekam suara di HP. Kita bisa merekam pembicaraan di HP dengan sang tamu yang akan diundang.

Atau, simpanlah bukti sms/whatsapp untuk setiap deal yang teman-teman lakukan dengan calon tamu. Jadi, jika di kemudian hari terjadi konflik seperti ustad Solmed di atas, teman-teman punya bukti kuat.

Demikian yang ingin saya ungkapkan. Mohon maaf jika ada pembaca yang kurang berkenan dengan tulisan saya ini. Silakan diluruskan jika da kekeliruan dalam tulisan saya ini.
Saya Rihanu Alifa, saya TKI Hong Kong, tidak kenal ustad Solmed, juga tidak kenal dengan organisasi TKI Hong Kong yang berseteru dengannya. Saya tidak memihak siapapun.

Saya menuliskan hal ini karena bagaimanapun juga, saya adalah bagian dari TKI Hong Kong yang akan terluka jika nama TKI Hong Kong dinodai. Yang benar hanya dari Allah. Semoga tulisan saya ini bermanfaat dan ada hikmah yang dapat dipetik di dalamnya, tidak menjadi ghibah, apalagi fitnah.


Shatin, 17 Agustus 2013

Salam santun,
Rihanu Alifa.
 
sumber KLIK DISINI