sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

SBMI, JAKARTAEntah sejak tahun berapa banyak sekali warga Indonesia mencari peruntungan di berbagai negara. Tidak mengapa, karena sebenarnya, negara mendapat untung dari adanya devisa negara yang masuk, begitu juga warga yang bekerja di luar negeri yang mengharapkan gaji dan keuntungan yang lebih banyak lagi daripada tinggal di negara sendiri.

Kemudian, baik pria maupun wanita berbondong-bondong berebut ingin bekerja di luar negeri. Para pria menjadi tenaga buruh kasar ataupun pekerja pabrik sementara yang wanita menjadi pembantu rumah tangga.

Hal ini dianggap sangat menguntungkan sampai masalah para pekerja yang mulai “disiksa” muncul ke permukaan…

Mulai dari kekerasan kecil -atau bisa dikatakan “Kalau boleh saya sebut kecil?”- yaitu tidak diberi makan, ataupun meski diberi makan, bagi para muslim pekerja Indonesia itu bukanlah makanan yang halal, namun mereka tidak punya pilihan sehingga mau tak mau harus memakannya, sampai kasus pembunuhan yang dilakukan para majikan di luar sana.

Kalau sudah begitu, siapa coba yang harus dan mau disalahkan??Pemerintah???Tidak juga…..

Mari kita kembali ke sifat basic orang Indonesia yang cenderung mau cepat a.k.a Instan -Ini hanya opini saya setelah mengamati beberapa hal dan orang tentunya- Kita bisa menyalahkan para pekerjanya sendiri kalau mereka mengalami penyiksaan seperti apa yang mereka dapatkan sekarang..Kedengarannya kejam ya?Tapi begitulah menurut saya…

Kenapa?
Pertama sebenarnya ‘kan sebelum berpikiran untuk mencari pekerjaan- apalagi pekerjaannya menjadi PRT- di luar negeri, kenapa mereka tidak mencari pekerjaan di dalam negeri dulu? Saya tidak membahas mengenai para Pria, karena jelas para pria mendapat kodrat untuk mencari nafkah bagi keluarganya entah bagaimana caranya asalkan makanan yang dimakan kelurganya tersebut adalah hasil halal perolehannya.

Sementara wanita, kenapa tidak mencoba peruntungan di negeri sendiri terlebih dahulu? Iming-iming gaji yang lebih besar, dan tinggal di luar negeri mungkin menyilaukan mata dan beribu janji siap untuk digenggam, tapi siapa yang tahu kalau janji bakal hanya jadi janji??? Banyak kok, rumah tangga di Indonesia yang membutuhkan para pekerja, jadi meskipun seburuk-buruknya PRT disiksa di sini, mereka masih bisa kabur ke rumahnya tanpa pusing memikirkan visa atau paspor yang ditahan oleh si majikan..Ya ‘kan? Belum lagi, keluarga yang ditinggalkan. Saya melihat banyak PRT -kebanyakan baru menikah- memiliki anak-anak yang masih kecil, yang masih memerlukan bimbingan ibunya sendiri untuk tumbuh. Namun si Ibu apa daya, harus pergi ke negeri seberang demi si anaknya yang kelaparan, yang sebenarnya lapar akan kasih sayang si ibu.

Lalu, kenapa kerap kali ada saja kasus-kasus penyiksaan? Tidak mungkin ‘kan kalau si majikan ujug-ujug, tiba-tiba tidak ada angin tidak ada hujan, tidak ada si komo lewat membentak, memarahi, memaki, menyiksa, bahkan menggunting bibir si PRT???Kecuali kalau si majikan itu Psikopat….

Kembali ke masalah orang Indonesia yang maunya serba instan.. Ingat bagaimana caranya para TKI dan TKW pergi ke luar negeri menjadi pejuang devisa?? Ya, kebanyakan lewat calo…

Seharusnya, setelah mengumpulkan modal yang cukup - Sekarang ada program KUR yang bisa membantu biaya pengurusan para TKI/TKW yang mau bekerja ke luar negeri- para calon TKI/TKW ini mendatangi biro jasa yang jelas, dengan kelegalan hitam di atas putih dan memiliki mitra yang terpercaya di luar sana. Setelah yakin, biro yang baik pun akan mengharuskan para calon TKI/TKW untuk menjalani proses latihan terlebih dahjulu. Baik itu latihan berbahasa, tata krama, ataupun budaya tmpat para calon akan ditempatkan nanti. Nah, disinilah maslahanya, banyak para calon abahakn bironya ingin mengurus secepatnya akan para calon segera berangkat bekerja ke luar negeri menjadi para TKI/TKW. Maka terciptalah jalan pintas yang disebut uang, yang membolehkan para calon melenggang pergi tanpa mendapat sertifikat kelulusan dari tempat pelatihannya.

Disini (mungkin) masalahnya. Banyak yang menganggap remeh proses pelatihan ini. Padahal dari yang saya tahu, pelatihan, selain berguna untuk mempelajari bahasa negara yang akan ditempati, pemberitahuan mengenai tata krama dan budaya sangatlah penting dan malah merupakan elemen krusial dari pelatihan itu sendiri.

Mengapa? Pasalanya, jangan jauh-jauh ke negeri orang dulu deh…di negeri sendiri saja, para PRT suka bersikap tidak sopan dan melanggar. Contohnya dari pengalaman teman saya yang mengatakan bahwa saat menyuapi adiknya, bukannya sendok penuh nasi masuk dilahap adiknya, malah dihabiskan oleh si pembantu. Ada lagi banyak modus-modus pencurian yang dilakukan oleh para pembantu. Contoh kecil saja seperti mencuri pulsa telepon, mencuri uang belanja, sampai tindakan ekstrim penjarahan alias merampok rumah si majikan. Nah lho…Kan?? Di Negara sendiri saja begitu, bagaimana di negara orang?? Beberapa saudara saya yang berpengalaman tinggal di Arab sana dan mengenal para tetangga Arabnya pernah bercerita. Di suatu rumah tetangga Arabnya mempunyai beberapa pembantu, baik dari Filipin, atau _apa gitu saya lupa, maaf- juga Indonesia bekerja di rumahnya. Nah, si pekerja Filiphin dan yang berasal dari negara satunya bekerja dengan rajin dan disiplin waktu juga mengetahui tata krama kehidupan di sana, semenatara yang Indonesia suka seenaknya membuka lemari es mencari makanan kecil, dan lambat bekerja. Melihat kasus begini, siapa coba yang harusnya dimarahi???Seharusnya Indonesia ini menjalankan asas “ALon-alon asal Kelakon”-nya itu dijalan saja, jangan saat bekerja. Disiplin, rapih, mengerti tata krama, sigap, dan gesit. Itu yang dibutuhkan di luar sana. Sementara yang kita sediakan??Hanya segelintir orang yang menurut mengikuti latihan dan bekerja dengan benar di sana…Hh..

Untuk kasus di Arab Saudi…kalian tentu tahu, Arab SAudi..Tanah Suci tempat semua hukuman (Entah kecil…) dilakukan saat itu juga bagi mereka yang takabur dan melupakan syukur atas ALlah S.W.T…

Para calon TKI/TKW bekerja sama dengan bironya…memalsukan umur, riwayat mereka agar bisa cepat bekerja di Tanah Suci tersebut. Jangankan TKI/TKW, para jemaah saja yang sekedar mengucapkan : “Ah, Tidak apa..aku berani sendiri” kemudian disesatkan jalannya -dalam arti harfiah-, apalagi para TKI/TKW yang berbohong di Tanah Suci tersebut?? Bisa, Anda lihat sendiri kejadiannya seperti apa ‘kan..??

Dan sebenarnya, bukanlah hal yang bijakasana bagi negara membiarkan para warga perempuannya untuk meninggalkan kampung halaman, jadi seharusnya biarkan laki-laki saja yang pergi sementara para wanita berjuang di negeri sendiri, tidak jauh dari anak yang berhak mendapatkan kasih sayangnya…

Sebenarnya masih banyak yang ingin saya sampaikan, tapi kebetulan saya sedang kehabisan kata-kata..barangkali ada yang mau menambahkan ya monggo….Mohon maaf apabila ada kesalah kata ataupun penulisan dalam postingan amatir ini, Salam (kompasiana)

Penulis : Hasna shafa Gita Pramesari
Remaja yang suka memperhatikan dan mengkritik orang tetapi sulit untuk membantu memperbaikinya ini, kesehariannya biasanya menjadi translator, interpreter, guru, guru privat, tukang masak, orang kurang kerjaan, mahasiswa, dan kakak dari 7 bersaudara. Dengan cita-cita keliling dunia bermodal bahasa Jepang dan pengalaman sebagai guru, saya ingin mengubah pandangan dunia tentang Indonesia. Susah?yaa...kan ada yg bilang kalau "If you want to thin, think BIG"

Catatan redaksi:
Tulisan ini dimuat karena ditulis dengan sudut pandang remaja yang melihat buruh migran sebagai pembantu atau budak bukan sebagai pekerja. Banyak catatan miris yang dituliskan remaja ini dan membuat kabur akar masalah dari buruh yang di kirim paksa oleh sebuah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan komprador di Indonesia. Silahkan untuk memberikan tanggapan atas tulisan ini...
SBMI, NUNUKAN - Sebanyak 3.133 buruh migran Indonesia dideportasi melalui Pelabuhan Internasional Tunon Taka, Nunukan, Kalimantan Timur.

Kepala Seksi Perlindungan BP3TKI Kabupaten Nunukan, Pardamean Siahaan mengatakan, mereka yang dideportasi sebelumnya menjalani kurungan di penampungan tahanan sementara di Kemanis Papar, Kota Kinabalu dan Air Panas Tawau, Malaysia. Sebagian karena paspor yang digunakan sudah tidak berlaku, dan . sebagian karena terlibat kasus kriminal.

“WNI yang dideportasi ini hanya sebagian kecil yang menggunakan paspor TKI. Sebagian lagi menggunakan paspor pelawat dan kartu lintas batas dan bahkan ada yang tidak berdokumen. Mereka masuk melalui jalur tikus di Pulau Sebatik,” kata Pardamean, Jumat (28/12).

Pardamean mengeluhkan penanganan buruh migran yang dideportasi di Nunukan. Pemerintah Kabupaten Nunukan belum memiliki rumah penampungan sementara seperti di Tanjung Pinang, Batam.

Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia memperkirakan terdapat 1,3 juta buruh migran tak berdokumen di Malaysia. Sekitar 450 ribu buruh migran asal Indonesia bekerja di perkebunan sawit.(VHR)
SBMI, JAKARTA - Problem buruh migran selain kacaunya aturan pengiriman di negara asal, juga minimnya perangkat hukum yang melindungi mereka di negara penempatan.

Arab Saudi dan Malaysia memiliki hukum nasional yang paling parah terkait perlindungan buruh migran. Hongkong dinilai lebih manusiawi mengatur hukum pekerja domestik.

Lebih dari 8 juta buruh migran dari seluruh dunia saat ini bekerja di Arab Saudi. Jumlah tersebut mengisi lebih dari separo tenaga kerja nasional Arab Saudi.

Buruh migran –terutama sektor informal- di Arab Saudi rata-rata mengalami pelanggaran ganda dan eksploitasi tenaga kerja, yang kerap mengarah pada kondisi perbudakan.

Arab Saudi memberlakukan sistem kafala (majikan sponsor) yang memberikan hak bagi majikan untuk mengatur pergantian majikan atau izin keluar dari Arab Saudi. Kafala dianggap sebagai wali terutama bagi buruh migran perempuan. 

Perusahaan perantara yang kadang bertindak sebagai majikan sponsor pengiriman buruh migran di Arab Saudi, memanfaatkan aturan ini untuk menyita paspor, menahan upah, dan mempekerjakan migran di luar aturan kerja.

Kasus pelanggaran yang pernah diekspos media adalah tunggakan upah buruh migran di bawah perusahaan Jadawel Internasional. Perusahaan penyalur tenaga kerja ini milik Syaikh Muhammad bin Issa Al Jaber, orang ketiga terkaya di Arab Saudi.

Syaikh Muhammad bin Issa Al Jaber menunggak membayar 6 bulan upah buruh migran “asuhannya”. Manajer perusahaan mengancam tidak mengembalikan paspor para buruh jika melaporkan kasus ini ke pengadilan perburuhan.

Sekitar 1,5 juta pekerja rumah tangga di Arab Saudi bekerja 15 sampai 20 jam sehari, tanpa libur. Pekerja rumah tangga yang kebanyakan perempuan, seringkali dikurung, kekurangan makanan, dan menjadi korban pelecehan psikologis, fisik, dan seksual yang parah.

Pada Oktober 2000, Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Saudissued, memerintahkan menghapuskan sistem sponsor dalam hubungan kerja. Aturan itu tetap diberlakukan untuk tujuan imigrasi dan izin tinggal.

Keputusan itu seharusnya melarang perusahaan sponsor menyita paspor buruh migran. Namun pada praktiknya, kejahatan itu masih terjadi.

Proposal ini juga tidak mengatasi problem perlindungan buruh migran. Sebab hukum perburuhan di Arab Saudi mengecualikan pekerja rumah tangga. Mereka tetap tidak mendapat jaminan pembatasan jam kerja dan memperoleh jatah libur seperti buruh sektor formal.

Buruh Migran Tak Berdokumen di Malaysia
Di Malaysia saat ini terdaftar 1,9 juta buruh migran. Satu dari 3 pekerja di negara tetangga ini adalah buruh migran. Jumlah tersebut mengcover 21 persen angkatan kerja yang membuat Malaysia sebagai importir tenaga kerja terbesar di Asia.

Malaysia tidak memiliki kerangka hukum atau undang-undang khusus untuk melindungi pekerja. Pemotongan upah untuk menutup biaya izin penempatan kerja, jam kerja panjang, tidak ada asuransi, penahanan paspor oleh majikan, dan pemecatan sepihak, lumrah terjadi di Malaysia.

Lebih buruk lagi, pemerintah Malaysia mendiskriminasi pekerja rumah tangga dan perkebunan. Kedua jenis pekerjaan ini dikecualikan dari peraturan baru ketenagakerjaan Malaysia yang mengatur upah minimum.

Pada 2011, lebih dari 1.500 buruh migran Indonesia dideportasi karena tidak memiliki dokumen kerja di Malaysia. Indonesia pernah menghentikan sementara pengiriman buruh migran sektor informal ke Malaysia. Namun, pengiriman BMI melalui jalur illegal di Entikong, masih terus terjadi.

Upah Layak di Hong Kong
Perjuangan buruh migran di Hong Kong mulai membuahkan hasil. Pada akhir September 2012, pemerintah Hong Kong menaikkan standar gaji pekerja rumah tangga.

Standar gaji yang sebelumnya HK$ 3.740 atau sekitar Rp 4,5 juta, naik menjadi HK$ 3.920 per bulan. Tunjangan kerja juga naik dari HK$ 775 menjadi HK$ 875.

Kenaikan upah tersebut berlaku untuk buruh migran yang menandatangi kontrak setelah tanggal 20 September 2012. Meski tidak wajib, banyak majikan lama yang mengikuti aturan baru ini.

Kenaikan upah menjadi angin segar bagi buruh migran Indonesia di Hong Kong. Sekalipun masih banyak persoalan yang harus diperjuangkan buruh migran seperti gaji di bawah standar, biaya penempatan yang terlampau tinggi (overcharging), dan berbagai pelanggaran hak lainnya.

Kasus overcharging misalnya. Untuk menjadi buruh migran di Hong Kong harus mengeluarkan biaya hingga Rp 26 juta. Tidak sedikit kemudian BMI terjerat utang kepada perusahaan pengirim TKI dan agensi di Hong Kong.

Kondisi BMI di Hong Kong lebih baik karena pemerintah setempat mengizinkan berdirinya serikat pekerja migran. Pemerintah Hong Kong menerima aspirasi serikat pekerja dan menerapkannya dalam kebijakan hukum.

Stop Pengiriman BMI Sektor Informal
Perbaikan ketrampilan dan pengetahuan hukum dapat meningkatkan posisi tawar buruh migran di bursa kerja global. Kemampuan bahasa dan keahlian di bidang tertentu membuka kesempatan BMI untuk masuk ke sektor pekerjaan formal.

Penempatan buruh migran seharusnya sesuai syarat kompetensi. Kemampuan itu dibuktikan dengan sertifikat dari lembaga sertifikasi profesi (LSP) yang ditunjuk oleh Kementerian Tenaga Kerja.

Masalahnya, kebanyakan calon tenaga kerja luar negeri masuk kategori unskilled labour (tenaga kerja tidak trampil). Padahal beberapa negara penerima pekerja migran di Uni Emirat Arab, Eropa, dan Amerika Serikat, mensyaratkan standar skil kerja tinggi. Buruh migran berketrampilan di negera-negara ini mendapat upah besar dan dilindungi hukum.

Arab Saudi dan Malaysia menjadi pilihan utama buruh migran Indonesia karena negara tersebut tidak menerapkan standar tinggi untuk calon pekerja. Desakan ekonomi membuat buruh migran nekat berangkat meski ke negara yang rawan pelanggaran.

Terlepas dari beradab atau biadabnya penerapan hukum buruh migran di negara penempatan, pemerintah Indonesia wajib melindungi BMI di manapun mereka berada.

Perolehan devisa negara dari buruh migran sebesar Rp 40 triliun (hingga Mei 2012), harus diimbangi dengan upaya serius melindungi mereka di luar negeri. Pemerintah tidak lagi bisa menolak melindungi BMI dengan alasan diberangkat lewat jalur illegal. Sebab devisa yang diterima negara tidak memilah apakah buruh migran tersebut legal atau ilegal. (VHR Media)
SBMI, JAKARTA - Kondisi ini disebut beberapa pakar sebagai gejala failed state (negara gagal).

Menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), situasi politik di Indonesia kian hari kian riuh.

Berbagai isu dan fenomena ganjil mengiringi akhir perjalanan masa bakti Presiden SBY. Mulai dari KLB (Kongres Luar Biasa) Partai Demokrat di Sanur, Bali (30/3), isu kudeta pada 25 Maret, hingga penyerbuan LP Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta pada 23 Maret.

Wibawa negara kian tak bertuah tatkala LP Cebongan disatroni segerombolan orang tak dikenal. Dalam penyerbuan ini, empat tahanan asal NTT tewas dengan kondisi mengenaskan.

Pada bulan yang sama, tanggal 7 Maret, masyarakat disuguhi narasi baku hantam antara TNI AD Armed 76/15 Martapura yang menyerbu kompleks Markas Polres Ogan Komering Ulu (OKU). Serbuan ini membumihanguskan Kantor Polisi OKU serta menewaskan satu warga sipil.

Bersamaan dengan itu, nasib sama juga dialami tentara Indonesia yang berada di bumi Papua, delapan prajurit TNI gugur di Distrik Sinak dan Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua akibat ditembaki kelompok bersenjata pada 21 Februari. Kondisi ini tentu semakin memperparah kekacauan di negeri ini. Kekerasan dan premanisme terus menjadi momok.

Belum selesai dihadapkan pada masalah ketahanan pangan, berbagai persolan hilir mudik silih berganti. Masih teringat jelas bagaimana kegagalan bangsa ini dalam mengelola impor daging sapi hingga pada “paceklik” bawang putih.

Mimpi berswasembada daging, bumbu, palawija, dan beras hanya ilusi di siang hari. Rentetan peristiwa bersejarah belakangan ini adalah bukti nyata bagaimana situasi yang melanda Indonesia jelang pergantian suksesi pemimpin 2014, membuat negara dihadapkan pada situasi gaduh.

Berbagai wacana publik tumpah ruah menyesaki dinding tebal perkampungan warga. Dunia sepak bola tanah air berduka usai dipermalukan Arab Saudi di Gelora Bung Karno pada 23 Maret, elite politik gaduh, bahkan isu kudeta menjelma menjadi phobia akut di tataran elite pemerintahan.

Ribuan pasukan dikerahkan guna mengantisipasi amukan massa. Seakan segalanya sudah berada di titik nadir. Tidak ada lagi rasa percaya antara TNI dan polisi. Nalar su’uzdhon menjelma menjadi harga mati bagi masyarakat.

Akal sehat tak lagi bisa berpikir rasional. Isu kudeta telah menyebabkan Presiden SBY paranoid. Ketakutan itu mengingatkan penulis pada sosok Amangkurat I tatkala Kerajaan Mataram Islam dikoyak isu pemberontakan dan pembangkangan.

Kisruh Politik Abad ke-17 Good reason and real reason, nampaknya kita perlu menengok sejarah pergolakan politik raja-raja Jawa pada abad ke-17. Kekisruhan politik di tataran elite raja dimanfaatkan tentara Belanda saat mengepung tanah Jawa. Setelah Sultan Agung mangkat, raja Mataram berikutnya diganti Sunan Amangkurat I (1645-1677).

Pada masa pemerintahannya, kejayaan Mataram mulai memudar. Raja-raja berikutnya juga tidak mampu membawa Mataram kembali ke masa jayanya. Daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Mataram, satu per satu berusaha memisahkan diri.

Akhirnya, setelah dikacaukan dengan berbagai pemberontakan seperti Pangeran Trunojoyo dari Madura yang mendirikan keratonnya di Kediri (1677-1680) dan Untung Surapati yang kemudian berkeraton di Pasuruan (1686-1703), Mataram terjerumus dalam tiga perang suksesi, yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757) (HJ De Graaf, 1987: 49).

Akibatnya pascapemerintahan Sultan Agung dan Amangkurat I, pada 1675 kerusuhan pecah. Setelah kekisruhan itu, akhirnya raja-raja Mataram gagal memulihkan kekuasaannya atas keseluruhan tanah Jawa. Ketika tahun 1755 perdamaian kembali tercapai, namun ibarat nasi jadi bubur, kerajaan telah pecah. Priangan yang merupakan inti tanah Pasundan, lepas dari pengawasan para sunan.

Tahun 1667, Citarum ditetapkan sebagai perbatasan. Selanjutnya tahun 1705 perbatasan dimundurkan sampai ke Cirebon (Denys lombard, 2006: 45). Dengan demikian dapat dipastikan Jawa Barat sudah berada di luar sistem kerajaan Jawa dan menjadi semacam “tanah tak bertuan”. Saat itulah momentum bagi VOC untuk mengambil alih tanah Pasundan.

Alhasil wilayah inti kesunanan abad ke-17 dibagi menjadi tiga “kerajaan“ terpisah. Keadaan di wilayah Jawa Timur jauh lebih kacau lagi. Daerah bekas jantung Majapahit itu terus-menerus memberontak dan dijadikan basis berbagai pembangkang.

Pada akhirnya meletuslah peristiwa yang terkenal dalam sejarah tradisional sebagai “tiga Perang Suksesi“. Perang Suksesi pertama, ketika Amangkurat II meninggal dunia, dan anaknya, Amangkurat III melawan saudaranya Pangeran Puger, yang bergelar Paku Buwana I. Peristiwa sejarah abad ke-17 menjadi bahan kajian menarik untuk melihat Indonesia dewasa ini.

Diskursus disharmonisasi yang terjadi antarsesama pihak keamanan di negeri ini bisa menjadi bola liar sekaligus menjelma menjadi bom waktu yang setiap saat meledak. Jahdan Ibnu Malik (2013) mengutip Lensky mengatakan, sedikit revolusi di negeri ini yang berhasil tanpa bantuan militer, kecuali militer dalam keadaan disintegrasi dan demoralisasi.

Good reason for clouding real reason, telah datang suatu masa atau situasi yang bagus untuk menutupi kondisi sebenarnya. Bisa diibaratkan fenomena yang melanda negeri ini tak ubahnya wabah anomali.

Yakni suatu masa di mana terjadi penjungkirbalikan nilai atau norma, serta ketidakpastian berbagai hal. Kondisi ini disebut-sebut beberapa pakar sebagai gejala failed state (negara gagal). Lantas, akan dibawa ke mana alur cerita yang bernama Indonesia? Wallahu a’lam.

Penulis: M Romandhon MK, Analis Kebudayaan, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
SBMI, Jakarta - Ditengah-tengah kencenderungan berbagai negara di dunia memperkuat peran pemerintah dalam perekonomian. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah justeru sepakat untuk menyerahkan pengelolaan perekonomian pada mekanisme pasar.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan yang kini tengah dibahas DPR secara jelas dan tegas mereduksi peran pemerintah terbatas hanya sebagai fasilitator—sebuah peran sederhana sebagai penjaga malam (Night Watchmen State) bagi bekerjanya mekanisme pasar (laissez faire).

Semangat laissez faire tampak pada penjelasan umum dalam RUU tersebut, yang secara gamblang menyatakan bahwa rumusan UU Perdagangan ini merupakan pengejawantahan paradigma baru dalam cara pandang terhadap peran pemerintah di bidang perdagangan yang terbatas sebagai fasilitator dan mengurangi peran dominannya sebagai regulator.

Perlindungan Bagian lain yang menunjukan semangat laissez faire pada RUU itu terdapat pada pasal 2 ayat 1 huruf c dan e yang berbunyi ; perdagangan diselenggarakan berdasarkan asas pemberian kesempatan yang sama bagi seluruh pelaku usaha, dan pelakuan yang sama terhadap produk yang beredar di pasar dalam negeri.

Laissez faire menuntut perlakuan yang sama antara produk impor dengan produk nasional yang diperdagangkan di pasar dalam negeri. Sederhananya, jika pemerintah memberikan fasilitas pada industri dalam negeri, maka fasilitas serupa harus pula diberikan pada industri pesaingnya dari luar negeri.

Padahal ditinjau dari berbagai aspek produsen lokal dengan produsen asing berada dalam posisi yang asimetris (tidak seimbang). Produsen asing jauh lebih unggul baik dalam aspek permodalan, teknologi, jaringan distribusi maupun harga jual produk.

Akibatnya, keberadaan RUU perdagangan dapat mengancam kelangsungan hidup pelaku usaha lokal, yang semestinya memperoleh perlindungan agar dapat tumbuh dan berkembang.

Kasus hancurnya industri alas kaki dan garmen akibat penerapan ACFTA (Asean-China Free Trade Aggrement) seharusnya menjadi isyarat bagi perlunya campur tangan pemerintah dalam perdagangan, melalui proteksi terhadap produk-produk lokal dalam berbagai bentuk kemudahan dan fasilitas.

Pasar Rakyat Perlindungan itu, agaknya semakin jauh bagi pelaku-pelaku usaha lokal, terutama para pedagang kecil. Pasar rakyat—tempat bagi usaha bermodal kecil dengan proses jual beli dengan cara tawar menawar—dimungkinkan dikembangkan oleh swasta (termasuk swasta asing), sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat 1 huruf a RUU Perdagangan.

Pengembangan pasar rakyat oleh swasta akan membuat biaya retribusi dan sewa kios menjadi mahal, karena perusahaan pengelola pasar rakyat cenderung berorientasi profit, berbeda ketika pasar rakyat dikelola oleh pemerintah atau asosiasi pedagang pasar, para pedagangan mendapat subsidi dan keringanan biaya sewa dan retribusi.

Disisi lain, tingginya biaya sewa kios dan retribusi, bila pasar rakyat dikelola perusahaan swasta akan dikompensasi dengan peningkatan harga-harga barang. Padahal konsumen utama pasar rakyat adalah masyarakat berpenghasilan rendah. Ini tentu berlawanan dengan tujuan RUU Perdagangan itu sendiri, yaitu terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Suasana kebatinan penyusunan RUU Perdagangan agaknya memang bertujuan menjalankan agenda liberalisasi yang menghendaki perekonomian diserahkan kepada mekanisme pasar.

Melawan Arus Pilihan menyerahkan perekonomian kepada mekanisme pasar berlawanan dengan kecenderungan di banyak negara-negara Eropa dan Amerika beberapa tahun terakhir, yang kembali memperkuat peran pemerintah dalam perekonomian sejak krisis melanda kawasan tersebut, yang dituding disebabkan kegagalan pasar (market failure).

Semangat laissez faire dalam RUU Perdagangan harus dikoreksi karena tidak ada satupun negara di dunia yang menyerahkan ekonominya pada mekanisme pasar, bahkan di negara paling liberal sekalipun.(kompas)
 
Penulis:Edy Burmansyah,Peneliti di Resistance and Alternative to Globalization (RAG)
SBMI, JAKARTA - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, tak boleh ada lagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang melakukan perjalanan ilegal ke luar negeri.

Hal itu dikatakan Marty terkait adanya delapan orang warga negara Indonesia (WNI) yang dikabarkan hilang usai kapal yang mereka tumpangi tenggelam di perairan Malaysia.

"Ini mengingatkan kita segala bentuk kehadiran dari WNI kita tanpa melalui prosedur resmi agar dihindari," ujar Marty usai menerima sembilan duta besar untuk Indonesia di Istana Merdeka Jakarta, Senin (14/1/2013).

Saat mendengar kabar tersebut, Marty seolah tak kaget, karena menurut Marty peristiwa tersebut bukan kali pertama terjadi. "Memang ini bukan pertama kali ada peristiwa seperti ini. TKI kita kena musibah apakah kecelakaan di laut baik dari perairan Indonesia - Mayasia atau Malaysia ke Indonesia," tutur Marty.

Sebelumnya diberitakan, delapan WNI dikabarkan hilang usai kapal imigran yang mereka tumpangi tenggelam di perairan Malaysia. Sementara itu, 41 orang lainnya selamat.

"Kapal itu kelebihan muatan dan arus laut yang dilalui kapal itu cukup kuat," ujar pejabat keamanan Malaysia, seperti dikutip AFP, Senin (14/1/2013).

Pada Desember lalu, kejadian serupa terjadi di Pantai Teluk C, Bandar, Malaysia. 10 WNI termasuk dua orang perempuan hamil ikut tenggelam dalam insiden mematikan tersebut. Beberapa paspor atas nama WNI juga ditemukan usai jenazah itu ditemukan.

Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Johor Baru berhasil mengundang pihak keluarga korban untuk mengenali para korban itu. Proses pengiriman jenazah sudah dilakukan pada 20 Desember 2012. (okezone)