sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN


SBMI, SEMARANG  – Kran pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri akan kembali dibuka pada 1 Mei mendatang. Namun ribuan calon TKI dari 20 daerah belum dapat berangkat karena dinas tenaga kerja setempat belum mempunyai jaringan online dengan BP3TKI.

Kepala Balai Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Semarang AB Rahman mengatakan dari 35 kabupaten, baru 15 daerah yang sudah terkoneksi on line. "Ada 20 daerah yang belum bisa on line, sebenarnya komputer sudah kita beri, tapi katanya keterbatasan anggaran sehingga tidak difungsikan. Kita masih upayakan," katanya.

AB Rahman menambahkan, untuk mencegah terulangnya kasus-kasus terdahulu, pengiriman TKI ke luar negeri akan diperketat. Setiap calon TKI akan diperiksa kelengkapan dokumen di dinas tenaga kerja di kabupaten dan kota masing-masing. "Jika dokumen masih kurang, tidak akan diberangkatkan ke negara tujuan," katanya, Kamis (26/4).

Selain dokumen, calon TKI juga harus sudah melalui masa pelatihan sesuai dengan yang diinginkan negara tujuan. TKI juga sudah harus memiliki nomor rekening, sehingga gajinya langsung ditransfer melalui bank.

Para calon TKI nantinya akan diberi nomor pin yang bisa terkoneksi online dengan BP3TKI dan dinas tenaga kerja masing-masing. Dari situ, BP3TKI akan lebih mudah memantau mobilitas TKI dari daerahnya masing-masing. (suaramerdeka.com)

SBMI, UNGARAN - Meski hanya diberi kesempatan bertemu Satinah di penjara selama tiga jam, namun bagi Nur Afriana (18) anak Satinah dan Paeri (42), kakak kandung Satinah, pertemuan tersebut merupakan kesempatan luar biasa. Ungkapan tersebut disampaikan Paeri kepada wartawan, Rabu (19/12).

Dikatakan lebih lanjut oleh bapak tiga anak ini, saat ditemui Satinah dalam kondisi sehat. Namun, badannya terlihat kurus dibandingkan sebelum berangkat ke Arab Saudi 2006 silam.

"Adik kulo sakniki gering Mas (adik saya sekarang kurus Mas-red). Kami berdua perwakilan dari keluarga hanya diberi kesempatan bertemu selama tiga jam oleh pihak otoritas setempat," katanya.

Pada pertemuan singkat tersebut, lanjut dia, Satinah sempat bertanya tentang kesehatan Kemi (74) ibunya yang tinggal serumah dengan Paeri dan Nur Afriana di RT 2 RW 3 Dusun Mrunten Wetan, Desa Kalisidi, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.

"Saya pun menjawab semua keluarga di Kalisidi dalam keadaan sehat dan terus berdoa untuk Satinah," paparnya.

Dijelaskan, pihak keluarga pekan kemarin mendapatkan informasi dari Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi dan Kementerian Luar Negeri Indonesia bila penyerahan diyat (uang ganti darah) diperpanjang hingga enam bulan kedepan. Walaupun ada kebijakan tersebut, pihak keluarga tetap berharap pemerintah Indonesia bisa menyelesaikan pembayaran diyat.

"Besar harapan kami agar tanggungan diyat bisa berkurang dari ketentuan sebelumnya, yakni tujuh juta riyal atau sekitar Rp 20 miliar sehingga beban pemerintah Indonesia pun bisa akan ringan," jelasnya.

Diceritakan lebih lanjut, setelah mengunjungi Satinah di penjara, perwakilan keluarga oleh Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi kemudian difasilitasi untuk umroh. Menurut Paeri, dengan umroh di tanah suci dirinya dan Nur Afriana yakin doa untuk Satinah akan didengar Tuhan.

"Saya hanya bisa pasrah dan berdoa semoga Satinah bisa segera pulang dan berkumpul dengan keluarga di Kalisidi," tuturnya. (suaramerdeka.com)

SBMI, SEMARANG  - Pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Jawa Tengah ke Australia dinilai masih seret. Pada tahun 2012 jumlahnya hanya 102 TKI, hanya meningkat sedikit dari tahun sebelumnya yang sebanyak 67 orang.

Dari 102 TKI itu, hanya dua orang yang bekerja di sektor informal. Sedangkan 100 lainnya bekerja di bidang formal seperti tata laksana perkebunan, rumah tangga dan pertanian.

"Jumlahnya masih sangat kecil itu pun lebih banyak di bidang tata laksana rumah tangga, perkebunan dan lainnya. Sebagian besar TKI kita disana berpendidikan SMA," kata Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jawa Tengah, Hadi Prabowo usai menemui delegasi pendidikan dari Queenslad Australia di kantor Gubernuran, Semarang, Rabu (28/11).

Rombongan Queensland itu sedang dalam penjajagan kerjasama ketenagakerjaan dengan Pemprov Jateng. Kerjasama Jateng dan Queensland sebenarnya telah berlangsung sejak 20 tahun lalu. Namun hanya terbatas pada bidang pendidikan.

Kerjasama dalam bidang pendidikan ini telah banyak dihasilkan manfaatnya. Dalam kerjasama itu dilakukan pertukaran pelajar, mahasiswa serta guru. Guru-guru di Jateng di kirimkan ke Queensland untuk mengajar Bahasa Indonesia, dan sebaliknya Queensland mengirimkan guru mengajar bahasa Inggris serta wawasan kebudayaan di Jateng.

Kini, tidak hanya merambah tenaga kerja, Queensland juga ingin menjajaki kerjasama pada bidang pertanian. Pada penjajakan kemarin, rombongan Queensland mendapatkan materi dan penjelasan tentang kebutuhan tenaga kerja serta potensi ketenagakerjaan yang ada di provinsi ini.

Kerjasama bidang ketenagakerjaan sudah dilakukan jateng dengan negara-negara mau seperti Amerika, Korea dan beberapa negara Eropa. Dengan Queensland ini, karena baru kali pertama, maka dibutuhkan penyiapan tenaga kerja yang sanggup bekerja dengan produktifitas tinggi. Sejumlah pelatihan akan disiapkan, terutama untuk pembekalan ketrampilan baik dibidang bahasa, budaya dan kemampuan kerja calon TKI. (suaramerdeka.com)

SBMI, SEMARANG,  - Tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Semarang meninggal di Malaysia, sepekan lalu, Rabu (21/11) pukul 04.00 waktu setempat setelah menjalani perawatan selama 12 jam di rumah sakit. Nur Fathoni (21), meninggal setelah mengalami kecelakaan di jalan tol Johor Baru Malaysia sepulang kerja menuju rumah singgah.

Warga RT 3 RW 3 Kelurahan Kembangarum Kecamatan Semarang Barat ini diperkirakan mengalami pendarahan di kepala, sehingga saat terjatuh dari mobil bak tertutup koma selama perawatan.

Saat itu, sepulang kerja pada pukul 16.00 waktu setempat, mobil yang juga ditumpangi lima saudara Fathoni lainnya menabrak median tol. Ban mobil diduga selip sehingga saat kabut turun berberengan dengan hujan lebat, sopir tak bisa mengendalikan laju mobil.

Toni, saat kecelakaan terjadi, diduga duduk di bagian belakang mobil, sehingga mengalami luka paling parah. "Saudara Dek Toni lainnya hanya luka-luka saja," kata ayah Fathoni, Supardi (63), di rumah duka, Selasa (27/11).

Proses pemulangan jenazah TKI ini tergolong cepat, karena saksi mata langsung didapat dari saudara Toni yang ikut rombongan. "Semua sudah diurus oleh pemilik perusahaan penyalur anak saya hingga diterbangkan ke sini," katanya.

Menurut Supardi, anak kelahiran Semarang 28 Juni 1991 ini bekerja di sebuah perusahaan pengolahan pasir besi selama tujuh bulan. "Tugasnya mengecek kandungan besi di dalam pasir menggunakan alat tertentu. Beruntung pemilik perusahaan bertanggungjawab dengan memenuhi semua hak-hak anak saya. Kami ucapkan terima kasih," ujarnya. (suaramerdeka.com)

SBMI, BANYUMAS -  – Peran pemerintah desa dalam upaya perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terbilang masih minim. Kewenangan desa masih terbatas dan terkesan hanya berkutat pada soal administrasi persyaratan TKI saja.

Kepala Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Harjono mengatakan, peran desa saat ini hanya menyangkut persyaratan dokumen izin keluarga bagi calon TKI. Sementara untuk proses pengurusan persyaratan dokumen lain selanjutnya sebagian besar diurus oleh pihak sponsor atau PJTKI. Bahkan seringkali desa "kecolongan" ketika warganya menjadi TKI.

"Tanpa sepengetahuan kami ternyata ada warga yang sudah berada di luar negeri menjadi TKI. Biasanya kasus ini terjadi bagi mereka yang masih lajang. Karena yang mengurus persyaratan ini sebagian diserahkan oleh pihak sponsor," jelasnya, Kamis (24/1).

Minimnya peran desa untuk memantau migrasi dan penempatan TKI kerap membuat desa minim data. Padahal data tersebut sangat penting untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Apalagi ketika TKI asal desa tersebut terbelit masalah, desa juga punya tanggung jawab moral untuk turut membantunya.

"Memang perlu ada sosialisasi yang massif terkait perlindungan TKI ini. Apalagi ketika terjadi apa-apa pada TKI maka biasanya desa, menjadi pihak yang pertama yang dimintai bantuan oleh keluarga," katanya.

Anggaran minim

Aktivis paguyuban Seruni dan Saras dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Narsidah mengatakan, ke depan pemerintah perlu memaksimalkan peran pemerintah desa dalam perlindungan buruh migran. Apalagi desa sangat berperan untuk menyediakan data dan rekam migrasi TKI.

Untuk itulah, dia menyambut antusias terhadap peran sejumlah desa yang kini sedang mengembangkan informasi terkait buruh migran. "Sosialisasi tentang buruh migran ini harusnya dapat dilaksanakan secara menyeluruh, sehingga pengetahuan tentang TKI dapat tersebar luas ke wilayah desa dan masyarakat. Sehingga permasalahan TKI yang selama ini terjadi bisa diminimalisir," jelasnya.

Dalam konteks Banyumas, Narsidah menyoroti bahwa anggaran untuk perlindungan TKI Banyumas terbilang masih minim. Dalam waktu setahun lalu saja hanya berkisar Rp 150 juta, bahkan tahun sebelumnya hanya sekitar Rp 60 juta. Anggaran tersebut terkesan hanya berkutat untuk penanganan kasus TKI bermasalah saja.

"Selama ini anggaran itu hanya untuk penanganan kasus saja. Padahal perlindungan TKI juga termasuk sosialisasi pengetahuan tentang TKI sebagai tindakan cegah dini," katanya.

Selain minimnya kewenangan desa dan masih minimnya anggaran untuk perlindungan buruh migran, Narsidah juga menyoroti masih mahalnya biaya penempatan TKI. Berbagai macam biaya dari penempatan hingga pemulangan masih dibebankan kepada TKI. Padahal seperti diketahui, peran buruh migran atau TKI dalam menyumbang devisa terbilang tinggi.

"Kalau bisa ke depan ada subsidi dari pemerintah kepada buruh migran ini," jelasnya. (suaramerdeka.com)
SBMI, TANJUNGPINANG - Hasil investigasi media terkait pungutan yang dilakukan oleh Satgas TKI Bermasalah kepada para TKI mengejutkan. Beberapa staf Satgas TKI Bermasalah mengakui bahwa pungutan minta uang kepada TKI Bermasalah sudah dianggap biasa.

Beberapa oknum Satuan Tugas TKI Bermasalah di Tanjungpinang, mengaku bahwa di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) sudah tak asing lagi adanya pungutan liar. Pungutan itu bagi Satgas menjadi tempat untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Seorang staf Satgas, yang enggan namanya ditulis, mengaku kerap melakukan pungutan itu kepada TKI, terutama yang hendak keluar dari RPTC dengan jaminan orang tertentu. Ia mengaku, melakukan tindakan ilegal itu, karena gaji yang ia terima sebagai staf Satgas sangat kecil.

Menurut anggota Satgas itu, pemungutan kerap dilakukan bahkan dilakukan dengan penuh kesadaran. Untuk mencari uang tambahan karena penghasilannya tidak memadai.

"Kalau saya bilang gaji saya ini, pasti ditertawakan. Gaji kami hanyalah Rp 1 jutaan saja. Itu tentu tak cukup. Makanya kita tahu sama tahu sajalah," ujar anggota Satgas TKI Bermasalah tersebut.

Anggota Satgas TKI Bermasalah itu kemudian menjelaskan bagaimana mereka bisa mendapatkan uang tambahan tersebut. Peluang yang bisa mereka tangkap adalah mengizinkan beberapa TKI Bermasalah dijemput orang-orang yang hendak menjamin mereka. Mereka kerap mendapatkan uang tambahan dari cara seperti ini. (TRIBUNNEWSBATAM.COM)

SBMI, Kediri  – Perlindungan terhadap anak-anak di wilayah Karesidenan Kediri sangat minim. Anak, sebagai generasi penerus Bangsa rentan dikriminalisasikan. Sementara kemajuan teknologi dan kurangnya perhatian orang tua menjadi faktor utama kejahatan anak.

"Kemajuan teknologi memiliki efek positif dan negatif. Anak-anak menjadi semakin bebas, dan itu malah adalah sumber masalah. Pornografi dan pergaulan bebas diantara mereka. Ini bisa diketahui dari trend peningkatan kasus-kasus anak semakin hari, semakin tahun terus meningkat," ujar Yusril Yuska, Kepala Bapas Kediri, Jumat (25/01/2013).

Yuska menyebut, setiap hari terjadi satu kasus anak. Ini terlihat dari data Bapas bahwa, selama satu tahun 2012 lalu terjadi 360 kasus anak. Terdiri dari, 336 jumlah pelaku dan 276 korban kejahatan terhadap anak. Sementara hingga pertengahan bulan Januari ini sudah tercatat 20 an kasus anak. Kasus anak didominasi oleh, penyalahgunaan narkoba, kekerasan seksual dan pencurian.

"Memang faktor orang tua menjadi peranan penting dalam kasus anak. Ketika anak libur seolah, kasus anak meningkat. Daerah-derah yang menjadi kantong Tenaga Kerja Indonesia (TKI), orang tua mereka sibuk jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), itu disebabkan karena kurangnya perhatian dari orang tua. Di Jawa Timur ini banyak sekali kantong-kantong TKI," terang Yuska.

Indonesia sebenarnya sudah melakukan upaya perlindungan terhadap anak dengan mengkonvensi Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Ketentuan tersebut antara lain memberikan perlindungan terhadap anak yaitu, hak mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasa, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

Sehingga, tindakan penahanan merupakan upaya terakhir, hak mendapatkan bantuan hukum, hak untuk tidak dihukum mati, serta hukuman seumur hidup. Kemudian Undang-undang No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, sebagai pengganti Undang-undang No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Kata Yuska, Undang-undang tersebut merupakan salah satu wujud bentuk restorative justice (keadilan restoratif) sebagai, perwujudkan perlindungan bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan mengedepankan diversi untuk tidak melakukan penahanan.

"Di lapangan jelas, malah justru semangat restoratif. Jika, unsur-unsurnya terpenuhi. Maka, inilah yang menyetujui agar anak yang terlibat pidana dibina dan tidak sampai di bawah ke pengadilan. Dalam menuju proses ini, masing-masing penegak hukum harus siap, ada hakim anak, dan pendampingan terhadap anak," terangnya.

Terpisah, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) SUAR Sanusi mengatakan, selain anak-anak, perempuan juga rentan dikriminalisasikan. Banyak persoalan perempuan, sehingga kaum ini juga perlu mendapatkan perlindungan khusus.

"Kami berharap ada kebijakan khusus yang berbasic anak dan perempuan. Ada kebijakan di DPRD sehingga melahirkan aturan yang bisa melindungi mereka. Sebenarnya, tahun lalu sudah ada Peraturan Daerah (Perda) Anak Jalanan (Anjal) di Kota Kediri. Kami berharap ada perda perlindungan perempuan," ungkap Sanusi. (beritajatim)

SBMI, JAKARTA — Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengungkapkan, setoran Pemerintah Indonesia kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar Rp 25,8 triliun sangat mencurigakan. Fadli sempat mengecek kepada anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra dan diberi tahu bahwa item setoran ke IMF tersebut tak tercantum dalam APBN.

"Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan dana ini adalah standby loan atau penyertaan utang dan kewajiban atas setiap anggota IMF setiap tahun, sebagaimana yang tercatat dalam agreement setiap anggota IMF. Namun, menariknya, angka ini semakin meningkat. Sebelumnya, pemerintah menyatakan maksimal pinjaman hanya sebesar Rp 9,6 triliun. Namun, tahun ini meningkat hampir tiga kali lipat," ungkap Fadli, Kamis (20/12/2012), di Jakarta.

Jumlah setoran yang meningkat serta kurang jelas manfaatnya bagi Indonesia, menurut Fadli, membuat setoran ke IMF ini mencurigakan. "Seharusnya pemerintah menyampaikan hal ini kepada publik. Sebab dana yang disetorkan adalah dana dari APBN. Secara mekanisme kebijakan pun patut dipertanyakan, apakah sebelumnya penyetoran dana ini sudah dikonsultasikan kepada DPR. Jika belum, maka ada cacat prosedural di dalamnya dan publik semestinya tahu mengenai hal ini," tutur Fadli.Fadli menilai, bergabungnya Indonesia ke IMF juga tak memberi keuntungan apa pun. "Justru perekonomian Indonesia semakin liberal dan harus menyisihkan Rp 25 triliun untuk IMF. Padahal, dana sebesar itu akan berdampak pada pengurangan belanja publik, seperti pendidikan dan kesehatan," ujarnya.
SBMI, JAKARTA - Niat 10 perusahaan padat karya asal Korea Selatan untuk hengkang dari Indonesia bakal merugikan negara dari sisi penerimaan maupun tenaga kerja. Karena ada 10 ribu pekerja yang terancam PHK jika 10 perusahaan itu hengkang.


"Satu perusahaan itu memperkerjakan 1.000 orang pekerja, jadi sebanyak 10.000 siap untuk di-PHK," kata Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita.


Tidak hanya pekerja yang akan kena PHK, negara juga mengalami kerugian yang tidak sedikit. Menurut Suryadi, setidaknya negara kehilangan 5 persen devisa yang didapat dari ekspor produk dari 10 perusahaan tersebut.


"Pendapatan devisa ekspor bisa berkurang 5 persen. Hitungannya satu sepatu harga US$ 7, jika satu orang pekerja menghasilkan 5 papan, maka akan menghasilkan US$ 50," tuturnya.


Namun Suryadi menyatakan, 10 perusahaan itu baru sebatas niat untuk hengkang. Sampai saat ini mereka masih melakukan produksi seperti biasanya."Jadi 10 perusahaan itu ada di Tangerang, Bekasi dan Kawasan Berikat Nusantara (Cakung). Sebagian ada yang menunda dan ada lagi yang sedang menyiapkan. Keinginan itu bertahap saat ini mereka masih berproduksi dan menyelesaikan pekerjaan mereka," cetus Suryadi.


Seperti diketahui, 10 perusahaan ini ingin hengkang karena kenaikan upah yang sangat tinggi. Perusahaan-perusahaan ini berancang-ancang untuk memindahkan investasinya ke negara tetangga Indonesia, sebut saja Kamboja, Vietnam, bahkan China.

SBMI, LONDON - Dana Moneter Internasional atau IMF meminta kepada Inggris untuk menempuh langkah-langkah penghematan dengan cara memangkas belanja dan menaikkan pajak. Jika langkah tersebut tidak dilakukan, negara tersebut berisiko jatuh ke dalam krisis kembali pada tahun ini.

Hal itu disampaikan kepala ekonom IMF, Oliver Blanchard, seperti dikutif AFP, Kamis (24/1/2013).

Menurut dia, jatuh tempo pembayaran utang pada bulan Maret mendatang menjadi saat tepat untuk melakukan langkah-langkah penghematan. Pada kuartal IV 2012, ekonomi Inggris sempat mengalami kontraksi yang menjadi tekanan baru bagi Perdana Menteri David Cameron.

IMF memproyeksikan produk domestik bruto (PDB) global tumbuh sebesar 3,5 persen tahun ini. Proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya, yang dirilis di bulan Oktober 2012 yakni sebesar 3,6 persen. IMF juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2014 akan tembus level 4,1 persen.

Pertumbuhan ekonomi Inggris sepanjang tahun ini diperkirakan hanya tumbuh sekitar 1 persen, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yakni 1,1 persen. Tahun 2014 ekonomi Inggris dipr oyeksi tumbuh 1,9 persen atau lebih kecil dari proyeksi sebelumnya sebesar 2,2 persen. (kompas)

SBMI, PONTIANAK - Kepolisian Daerah Kalimantan Barat masih memeriksa secara intensif Udin, seorang tersangka dugaan penjualan orang dan tenaga kerja Indonesia. Dia ditangkap pada Sabtu malam lalu sesaat setelah 29 calon TKI hendak berangkat ke Malaysia.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Ajun Komisaris Besar Mukson Munandar, Kamis (24/1/2013), mengatakan, para calon TKI ilegal dititipkan di Dinas Sosial Kalimantan Barat.

"Tersangka masih diperiksa. Dia warga Pontianak yang hendak memberangkatkan 29 calon TKI asal Indramayu dan Bandung, Jawa Barat," ujar Mukson.

Para calon TKI ke Malaysia itu sudah berada di bus Tebakang jurusan Pontianak-Kuching, Malaysia saat polisi datang. Mereka lalu dibawa polisi ke Polda Kalbar dan dimintai keterangan.Berdasarkan keterangan para calon TKI itu, tersangka lalu ditangkap petugas. Dia diduga bertanggungjawab atas rencana pemberangkatan para calon TKI itu. Para calon TKI itu hanya memiliki dokumen imigrasi berupa paspor.

SBMI, NUNUKAN - DEPORTASI Tenaga Kerja Indonesia (TKI) melalui pintu Nunukan tidak kunjung habis. Berdasarkan pendataan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) Nunukan mencatat, sepanjang tahun 2012 lalu, jumlah TKI yang dideportasi pemerintah Malaysia sebanyak 3.176 orang.

Meski tidak sebanyak tahun 2011 lalu yang mencapai 3.801 TKI, setidaknya deportasi TKI merefleksikan masih banyaknya tenaga kerja yang masuk secara ilegal ke negeri jiran. Tak itu saja, minimnya kesadaran TKI mengurus dokumen resmi, menyebabkan mereka menerima perlakuan semena-mena dari pihak majikan.

“Persoalannya masih sama. TKI yang dideportasi ini umumnya tidak memiliki dokumen resmi atau memiliki dokumen namun masa berlakunya sudah berakhir,” terang Sigit, salahseorang staf Bidang Perlindungan di BP3TKI Nunukan.

Lanjutnya, TKI-TKI yang dideportasi dari Tawau, Malaysia ke Nunukan memang rutin berlangsung tiap bulannya. Malah pada periode Januari-Desember 2012 lalu, deportasi TKI biasa berlangsung dua hingga tiga kali perbulan.

Kendati tugas BP3TKI sendiri hanya terkonsentrasi pada penempatan dan perlindungan, TKI-TKI yang dideportasi ke Nunukan umumnya langsung dijemput pihak keluarga. “Jadi kita tidak tahu apakah mereka memilih pulang ke kampung halaman, atau berusaha masuk kembali ke Malaysia,” aku Sigit.

Dari total angka deportasi tahun lalu, hanya 156 orang diantaranya yang ditangani pemulangannya oleh BP3TKI Nunukan. Itupun TKI-TKI atau Warga Negera Indonesia (WNI) bermasalah yang tidak memiliki sanak saudara di Nunukan.

“Jadi hanya beberapa orang saja yang kita fasilitasi untuk dipulangkan ke kampung halaman mereka. Yang punya keluarga, kita serahkan langsung ke pihak keluarga,” tukasnya.

Sementara itu, data terbaru yang dimiliki BP3TKI, deportasi TKI selama bulan Januari ini sudah berlangsung dua kali. Total TKI yang tiba di Nunukan sebanyak 234 orang. Seperti biasa, TKI-TKI deportasi yang difasilitasi KJRI Tawau tersebut, langsung dijemput pihak keluarga di Pelabuhan Tunon Taka Nunukan.

Dikatakan Sigit, sebelum deportasi berlangsung, pihak BP3TKI memang melakukan pengumuman di areal pelabuhan. “Jadi ada pengumuman yang kita buat sebelum deportasi. Dari pengumuman itulah pihak keluarga biasanya jadwal ketibaan TKI yang dideportasi,” tutupnya. (jpnn)

SBMI, JAKARTA - Sebanyak tujuh tenaga kerja Indonesia dipulangkan dari Bahrain karena berbagai persoalan.

Pemulangan dilakukan dalam dua kelompok terbang (kloter). Pertama, tanggal 20 Januari 2013 sebanyak 5 TKI yaitu CS (Indramayu), LK (Sukabumi), ST (Indramayu), AM (Cirebon), dan IH (Purwakarta).

Sementara dua orang lainnya yang dipulangkan adalah SA (Cianjur) pada 15 Januari 2013 dan HR (Sigi, Sulawesi Tengah) pada 21 Januari 2013.

Sebelum dipulangkan, para TKI tersebut telah berada di tempat penampungan di KBRI Manama antara 2 minggu dan 5 bulan.

Permasalahan yang dihadapi para TKI mayoritas karena bekerja tidak memenuhi kontrak, yakni di bawah dua tahun.

Alasan yang diungkapkan antara lain karena tidak cocok dengan majikan, perlakuan majikan yang kurang baik dan majikan cerewet.

Kasus lain adalah gaji yang tidak dibayarkan dan tidak layak untuk bekerja (sakit).

Dalam siaran pers yang dikeluarkan KBRI Manama, Kamis (24/1/2013), dijelaskan bahwa para TKI dipulangkan setelah kasus mereka berhasil diselesaikan. baik melalui mediasi langsung dengan majikan maupun melalui bantuan instansi terkait di Bahrain. seperti kepolisian, Kementerian Tenaga Kerja dan Imigrasi.

Sepanjang tahun 2012, KBRI Manama telah membantu penyelesaian 392 masalah TKI di Bahrain.

Sebanyak 151 TKI dipulangkan ke Indonesia, kemudia 28 orang kembali bekerja, 96 orang kembali ke agensi, dan 50 orang menjalani proses hukum di Bahrain. (KOMPAS.com)
SBMI, Lebak - Sebanyak 364 tenaga kerja Indonesia asal Kabupaten Lebak, Banten, yang tercatat pada Dinas Tenaga Kerja dan Sosial setempat, bekerja ke Timur Tengah untuk memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga.

"Sebagian besar mereka tenaga kerja Indonesia (TKI) kaum perempuan dengan bekerja sebagai penata rumah tangga," kata Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Sosial Kabupaten Lebak, Suprapto, di Rangkasbitung, Kamis.

Menurut dia, selama ini minat warga Kabupaten Lebak bekerja ke luar negeri cukup tinggi, terlebih terbatasnya lapangan pekerjaan.

Mereka para TKI lebih memilih bekerja ke Timur Tengah, meskipun pemerintah menghentikan sementara (moratorium) ke Arab Saudi.

Para TKI asal Kabupaten Lebak bekerja ke Negara Oman, Kuwait, Uni Emirat Arab, Abu Dhabi, Bahrain dan Qatar.

"Semua mereka bekerja resmi melalui jasa pengerah jasa TKI," katanya.

Ia mengatakan saat ini, TKI Kabupaten Lebak yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja dan Sosial sebanyak 364 orang.

Mereka rata-rata pendidikan tingkat SD dan bekerja sebagai penata rumah tangga.

Pemerintah daerah terus mengimbau para calon TKI agar mendaftar atau tercatat jika hendak bekerja ke luar negeri.

Sebab keberangkatan TKI berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 14/MEN/X/2010, harus tercatat pada pemerintah daerah.

Apabila mereka tidak tercatat, dipastikan pihak Keimigrasian tak mengeluarkan Paspor.

"Kami minta kepala desa maupun kecamatan jika warganya mau bekerja ke luar negeri terlebih dulu melapor ke Dinas Tenaga Kerja dan Sosial setempat," katanya.

Ia menyebutkan saat ini tingkat kesadaran warga yang hendak bekerja ke luar negeri mereka melapor dan tercatat pada peemrintah daerah.

Sebab jika mereka tercatat tentu manfaatnya cukup besar karena mendapat pengawasan dan pemantauan pemerintah.

"Kami melindungi para TKI yang tercatat karena memudahkan administrasi itu jika ada hal-hal yang tidak diinginkan," terangnya.

Eni, salah seorang warga Kecamatan Maja Kabupaten Lebak mengaku dirinya pertengahan Februari mendatang berangkat bekerja ke Oman sebagai penata rumah tangga.

Saat ini, kata dia, ia tengah mempersiapkan persyaratan administrasi dengan mendatangi kantor dinas pemerintah daerah.

"Kami bekerja ke luar negeri melalui perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang berkantor di Jakarta," katanya. (ANTARA)
SBMI, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR Muhammad Najib menyayangkan pemerintah yang tidak juga merespons penghentian pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi.

Dalam beberapa hari ini, TKI Satinah binti Jumadi asal desa Kalisidi, Ungaran Barat, Semarang sedang menunggu kepastian hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan Arab terhadapnya.

"Setop pengiriman pembantu rumah tangga keluar negeri secepatnya, Satinah kini hanya menunggu hari apakah nyawanya bisa terselamatkan atau tidak, ratusan Satinah hanya menunggu giliran," kata Najib di Jakarta, Selasa (18/12).

Satinah dijatuhi hukuman mati (qishah) atas pembunuhan yang ditengarai dilakukannya terhadap majikan perempuannya.

Keluarga korban sendiri sempat menerima diat (uang ganti rugi) yang ditawarkan pemerintah Indonesia namun kemudian meminta kenaikan nilai ganti rugi.

Satinah kemudian mengikuti pengadilan lagi dengan keputusan yang sama yaitu hukuman mati. Namun kepastian penawaran diat masih menggantung.

"Selain Indonesia hanya beberapa negara miskin dan terbelakang yang masih mengirim anak-anak perempuannya keluar negeri sebagai PRT," kata anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

Pihak Indonesia, menurut anggota Komisi Luar Negeri ini mampu mengirimkan tenaga profesional ke luar negeri sehingga mereka memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dalam hak-haknya.

Komisi I DPR, kata dia, sudah sejak lama meminta pemerintah menghentikan pengiriman TKI PRT ke Arab Saudi dan tidak mengkhawatirkan devisa demi keselamatan para pekerja informal Indonesia.

"Penyelesaian dengan membayar diat bukanlah jalan keluar karena hanya akan mengundang lebih besar harga diat dan lebih banyak lagi kasus yang muncul," tutupnya.

Kasus Satinah bukan kasus pertama nasib TKI yang sedang berada di ujung tanduk menunggu hukuman mati pemerintah Arab Saudi.
SBMI, JEDDAH - Siti Umaini tidak mendapatkan gaji dan dilarang menghubungi keluarganya di Brebes.

Siti Umaini adalah seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) di Al Jouf , Arab Saudi, Siti Umaini Binti Tarsoni, dilaporkan mengalami penganiayaan oleh majikannya.

Laporan tersebut disampaikan Ahmad Fikri yang merupakan tetangga keluarga Siti yang beralamat di Kampung Sirandu RT 01/RW 07 Desa Tegal Gandu, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.

Berdasarkan surat elektronik yang dikirim ke redaksi, Rabu (23/1), Ahmad Fikri menyebutkan, sejak 1999 sampai 2013, Siti Umaini tidak mendapatkan gaji dan dilarang menghubungi keluarganya di Brebes. Setiap kelakuan Siti yang tidak disukai membuatnya diperlakukan kasar dan dianiaya majikan.

“Kami (TKI di Arab Saudi) telah mengadukan kasus ini ke KJRI di Jeddah dan Kedubes RI di Riyadh, tetapi sampai sekarang belum ditanggapi. Kami berharap dengan dimuatnya pengaduan ini di media massa, Pemerintah Indonesia bisa memberikan respons, sekaligus menyelamatkan saudara kita, Siti,” kata Ahmad.

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) sebelumnya mengklaim telah berhasil menyelesaikan ribuan kasus yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi. Tahun 2013, Kemlu berjanji menyelesaikan 165 kasus yang menjerat para pahlawan devisa tersebut.Sumber
SBMI, Jakarta - Usai 5 tahun krisis keuangan global, laporan lembaga perburuhan internasional ini menawarkan informasi global dan regional terbaru, serta proyeksi pada beberapa indikator pasar tenaga kerja.

Indikator yang dilaporkan itu di antaranya tentang kondisi tenaga kerja, kemiskinan, pengangguran, situasi pekerjaan, dan pekerjaan yang rentan oleh kebangkrutan.

Laporan tersebut juga menyajikan tentang data sejumlah pertimbangan regulasi yang dapat diambil sebagai tantangan baru bagi para pembuat kebijakan di tahun-tahun mendatang.

Direktur Jenderal ILO Guy Ryder akan memberikan keterangan pers mengenai laporan resmi tersebut di Jenewa.

Sebelumnya, dalam laporan Tren Ketenagakerjaan Global Tahun 2012 disebutkan dunia menghadapi tantangan mendesak menciptakan 600 juta lapangan pekerjaan produktif dalam 10 tahun mendatang.

Ketiadaan lapangan kerja baru bakal mengganggu kesinambungan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ikatan sosial.

Baca laporan disini: http://www.ilo.org/global/research/global-reports/global-employment-trends/2013/lang--en/index.htm (Bahasa Inggeris)
http://www.ilo.org/global/research/global-reports/global-employment-trends/2013/lang--en/index.htm www.ilo.org
12 Tahun Dipekerjakan di Diskotek, Pulang Membawa Bayi

SBMI, Pontianak – Sambil menggendong bayinya Viobika Ramadhani yang baru berumur seminggu, Wida, 24, memeluk kedua orang tuanya Tayep, 55, dan Julaeha, 48. Wanita tersebut diantar oleh rombongan Kementerian Sosial dan Yayasan Nanda Dian Nusantara (YNDN) di kediaman mereka, Kompleks Korpri Blok M Nomor 228, Kubu Raya, Selasa (15/1).

Puas sudah Wida menjalani siksaan serta melayani nafsu pria hidung belang di Malaysia. Wanita ini merupakan korban penculikan dan penjualan orang (trafficking). Pada umur 12 tahun, saat itu masih kelas enam SD, Wida diculik Wati, wanita yang mengontrak tak jauh dari rumahnya pada 2003 silam. Wida diculik ketika pulang sekolah bersama dua temannya yang juga perempuan. Wida lama disekap oleh Wati, hingga akhirnya dijual ke Kuala Lumpur dan dipekerjakan sebagai wanita pemuas nafsu di Diskotek Kepong Selangor.

Berdasarkan investigasi YNDN, Wida dibawa ke Malaysia oleh Wati melalui PPLB Entikong Sanggau. Setelah sampai di Kuching, Wida diterbangkan ke Kuala Lumpur dan dipekerjakan di diskotek daerah Kepong Selangor.

“Selama 12 tahun kehilangan kontak dengan keluarga. Karena tidak tahan dengan siksaan akhirnya melarikan diri dalam kondisi hamil lima bulan dan ditangkap PDRM, kemudian diserahkan ke KBRI,” kata Devie Tiomana, Direktur YNDN Kalbar.

Pada Juli 2012, Wida dipulangkan melalui Tanjung Pinang dan dikirim ke Jakarta. Pada 18 Desember 2012, wanita tersebut dirujuk ke RPSA Bambu Apus Kemensos RI dan mendapatkan layanan rehabilitasi sosial, medis, psikis, dan psikososial.

Setelah melalui pembahasan bersama Tim Profesi di RPSA Bambu Apus, pada 8 Januari 2013 diputuskan Wida dipulangkan dan dipertemukan dengan keluarganya. “Kondisi korban baik, begitu juga dengan bayinya,” ujar Devi.

Direktur Kesejahteraan Sosial Anak Kementerian Sosial Republik Indonesia Drs Bambang Mulyadi MSi mengharapkan Dinas Sosial Kalbar maupun Kubu Raya membantu dan menindaklanjuti apa-apa saja yang perlu Wida setelah dipertemukan dengan keluarganya. “Saya yakin pihak keluarga sama sekali tidak mengira anaknya yang sudah hilang bisa pulang dalam keadaan selamat dan sehat,” ungkap Bambang.

Agar kejadian itu tidak terulang kembali, Bambang mengimbau masyarakat agar tidak mudah terbujuk oleh iming-iming dari orang yang belum dikenal. Terutama anak-anak.

“Aparatur pemerintah juga harus lebih cermat mengeluarkan identitas diri, seperti KTP. Tidak cukup hanya melihat lampiran data untuk membuat KTP. Tetapi harus mengecek ke kelurahan atau desa melalui RT setempat. Agar tidak muncul dokumentasi yang bermasalah,” tegas Bambang. Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani Kementerian Sosial selama tiga tahun terakhir cukup banyak. Pada 2010 111 kasus dan 2011 menangani 102 kasus. Sedangkan pada 2012 menurun 79 kasus. Jumlah kasus ini tidak semuanya trafficking. Namun 30-40 persen adalah kasus trafficking. “Dari 79 kasus itu terdiri dari penelantaran, anak dibuang, dan banyak lagi,” jelas Bambang.
SBMI, Jakarta - Masih terjadinya banjir di Indonesia khususnya di DKI Jakarta, membuat resah masyarakat. Pemerintah dinilai hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi semata yang tidak membawa kesejahteraan masyarakat.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Megawati Institute, Arif Budimanta dalam penjelasannya kepada detikFinance, Rabu (16/1/2013).

"Banjir, longsor, pencemaran lingkungan, masalah konflik sosial terkait sumber daya alam yang saat ini terjadi di berbagai wilayah Indonesia harusnya menjadi refleksi bagi kita. Bahwa keagungan pembangunan nasional yang hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi ternyata tidak membawa kesejahteraan dan kebahagiaan yang berkelanjutan bagi masa depan kita," kata Arif.

Arif mengungkapkan, ketika banjir datang, praktis aktivitas ekonomi terhambat dan berhenti. Justru nantinya, masyarakat sibuk melakukan rehabilitasi di kemudian. (dtk)

"Itulah biaya yang harus kita keluarkan kemudian ketika kita membangun tidak memperhatikan persoalan kapasitas dan daya dukung lingkungan. Biaya itu disebut juga dengan eksternalitas," ungkapnya.

Pemerintah sejak 2009 telah menjadikan aspek lingkungan (pro environment) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap proses pembangunan yang berjargon 'pro growth, pro job, pro poor'.

"Tetapi saya melihat itu tidak tergambarkan dalam implementasi kebijakan pembangunan baik itu yang ada di rencana kerja pemerintah ataupun APBN. APBN kita tidak bertransformasi menjadi green budgeting (APBN hijau) begitu juga asumsi pertumbuhan ekonomi tidak bertransformasi menjadi Green PDB (PDB Hijau). Semuanya masih model business as usual," jelas Dosen Perencanaan Pembangunan di Pasca Sarjana UI ini.

Arif mengatakan, pertumbuhan PDB yang tinggi diakibatkan oleh kerakusan dalam mengeruk SDA yang berlebihan tanpa mempertimbangkan lingkungan (meginternalisasi eksternalitas). Hal ini, menurutnya tidak akan bisa membawa masyarakat bahagia secara berkelanjutan.

"Sekarang adalah saat yang tepat untuk berbuat, dimulai dengan merubah kebijakan dengan mengimplemantasikan jargon pro environment menjadi karya nyata," tutur Anggota Komisi XI DPR ini.
SBMI, MEDAN - Human trafficking cases involving Indonesian migrant workers (TKI) from North Sumatra is on the rise following the report from a parent who claimed his daughter was sold by a neighbor to work in Malaysia.

Belawan resident Irwansyah, 40, said his daughter Adeliana, who is just 14-years-old, had been sold by his neighbor to an agent in Malaysia to work as a waitress. Irwansyah, who works as a fisherman, claimed he had just learned about the case after Adeliana, a junior high school student, did not return home after several days.

He said that based on the accounts of Adeliana’s elder sister, Fajriana, a neighbor by the name of Ice had taken Adeliana to Malaysia. Irwansyah added that Ice was known as an illegal TKI agent, whom locals said had regularly sold TKIs to Malaysian buyers.

“Every resident here knows who the perpetrator is. I urge the police to immediately catch her and return my daughter,” said Irwansyah after reporting the case at the Belawan Port police precinct on Thursday.

Fajriana, who accompanied her father, said that Ice had taken Adeliana to Malaysia without her family’s consent. Fajriana added that Ice had bribed her and her younger sister, Nuri, to tell no one, including their parents, about Adeliana’s departure.

“I was given Rp 50,000 (US$5.50) and Nuri was given Rp 25,000. Ice told us not to tell anyone,” lamented Fajriana. She said Ice promised Adeliana a job as a waitress in a Malaysian restaurant.

“Ice took my sister to Malaysia to work. She said that Adeliana would receive a monthly salary of Rp 2.4 million,” said Fajriana, adding that Adeliana had immediately agreed because of the large salary.

North Sumatra Police spokesman Sr. Comr. Heru Prakoso said human trafficking cases, specifically those of sending TKIs to Malaysia, had gone on for a long time in North Sumatra.

“The ‘story’ is that they are sending the TKIs for legitimate jobs but upon arrival in Malaysia, they will be employed as prostitutes. This has been a long-term problem,” Heru told The Jakarta Post on Thursday.

Heru said cases on underage child employment overseas, such as Adeliana’s alleged experience were against the law. He added that the police would investigate this human trafficking case.

“We will investigate this case to determine whether it is related to another case uncovered by police yesterday [Wednesday],” said Heru, referring to a human trafficking suspect who was arrested for selling a number of underage women for Rp 30 million in a hotel in Medan.

Heru added that human trafficking victims were mostly minors and still attending school. (Jakartapost)
SBMI, Jakarta - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menegaskan komitmen pemerintah Indonesia dalam melindungi warga negara Indonesia (WNI) dengan menuntaskan ribuan kasus hukum tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi.

Direktur Informasi dan Media Kemlu PL E Priatna dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (20/1), mengatakan melalui mediasi dan upaya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), pemerintah berhasil menyelamatkan hak gaji para WNI yang bekerja di Arab Saudi senilai US$2,6 juta.

"Kemenlu melalui KBRI Riyadh pun telah berhasil menangani 4.360 kasus WNI baik berat maupun ringan. Dari keseluruhan kasus tersebut, sebanyak 4.195 kasus, di luar kasus hukuman mati, berhasil diselesaikan dan para WNI tersebut telah dipulangkan kembali ke Tanah Air," kata Priatna.

Secara keseluruhan, 99% kasus yang masuk ke KBRI dapat diselesaikan, sedangkan sekitar 1% atau 165 kasus akan diselesaikan pada 2013. Priatna mengatakan, guna menangani kasus-kasus khusus, baik masalah pelanggaran hukum dan tindak pidana, KBRI menyediakan penerjemah dan pengacara sebagai pendampingan bagi TKI bermasalah dalam menghadapi persidangan.

"KBRI telah menjalin kontrak kerja sama dengan lima orang pengacara setempat dalam upaya memberikan perlindungan terhadap WNI bermasalah di bawah garis kendali Satuan Tugas Pelayanan dan Perlindungan WNI KBRI Riyadh," katanya.

Selain itu, KBRI juga memiliki rumah penampungan (transit house) yang berdaya tampung lebih kurang 200 orang. Dalam kondisi normal, rumah penampungan itu dapat diisi rata-rata 150 orang TKI bermasalah.

Namun, dalam masa-masa tertentu, seperti pascamusim haji, sering kali tempat transit itu dihuni melebihi kapasitas maksimal. "Kadang hingga 500 orang," kata Priatna.

Dalam kondisi tersebut, kata Priatna, KBRI menyediakan penampungan darurat di basement gedung KBRI dengan kapasitas tampung sebanyak 100 orang. Hingga 15 Januari 2013, masih tersisa 132 orang WNI di rumah penampungan yang masih menunggu proses administrasi dan keimigrasian dari pihak Arab Saudi untuk segera dapat dipulangkan ke Tanah Air.

"KBRI senantiasa mengupayakan permasalahan WNI di Riyadh dapat diselesaikan dalam waktu singkat, mengingat banyaknya WNI yang bekerja dan tinggal di luar kota Riyadh, KBRI juga melakukan pelayanan jemput bola untuk pelayanan kekonsuleran dan keimigrasian sekaligus melakukan pembinaan masyarakat secara rutin di wilayah kantong-kantong TKI," tegasnya. (Ant)
SBMI, JAKARTA - Pemilihan umum adalah saluran paling konstitusional bagi seseorang atau sekelompok orang untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Namun, ketika uang sangat berkuasa, popularitas kerap menjadi penentu dan masyarakat pun kerap terlenakan oleh pandangan jangka pendek. Saat itulah terbuka peluang politisi yang sebenarnya tak layak.

Nyaris setiap menjelang pemilu, kampanye antipolitisi busuk mengemuka. Harapannya, tentu saja agar rakyat pemilih tak membiarkan politikus yang tak bermutu kembali menguasai jabatan publik. Menjelang Pemilu 2004, misalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir gerakan antipolitikus busuk. Politikus jenis itu adalah kebalikan dari politikus yang amanah, yakni politikus yang tidak pernah korupsi, kolusi, dan nepotisme, tidak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, tidak terlibat dalam perusakan lingkungan, tak pernah melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta tak terlibat narkotika.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) pada 2013 berencana memublikasikan rapor anggota DPR yang bisa menjadi acuan penilaian kinerja para wakil rakyat. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan isu antipolitikus busuk ini akan mewarnai sekitar setahun ke depan.

Gerakan memangkas politikus busuk tidak mudah dan jelas tak bisa sembarangan. Data yang digunakan mesti sahih, dengan variabel yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Itupun bukan jaminan bebas masalah. Pelabelan politikus bermasalah, kemudian mengampanyekannya, rawan digugat dengan delik pencemaran nama baik. Jika data yang dipakai keliru, konsekuensinya bisa lebih panjang lagi.

Tak semua politikus bisa berlapang dada seperti AM Fatwa. Menjelang Pemilu 2004, sejumlah organisasi non-pemerintah pernah mendeklarasikan Gerakan Nasional Jangan Pilih Politisi Busuk. Namun, sempat ada masalah ketika ICW keliru menyebut politikus Partai Amanat Nasional tersebut sebagai salah seorang anggota DPR yang terlibat korupsi. Fatwa mengadukan ICW ke Polda Metro Jaya. Kasus ini berhenti setelah ICW mengaku keliru dan meminta maaf (Kompas, 30 Juni 2005).

Formappi tampaknya akan melebarkan definisi politikus busuk. Mengutip Koordinator Formappi Sebastian Salang, politikus busuk termasuk juga anggota legislatif yang malas menghadiri sidang dan turun ke daerah pemilihan serta yang tidak memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat konstituen (Kompas, 3 Januari 2013).

Terkait dengan kinerja politikus, sosiolog Ignas Kleden menyebut istilah pengangguran politik (Masyarakat dan Negara, 2004). Pengangguran politik terjadi karena tingkah laku politik yang tidak produktif dan malahan menimbulkan kegelisahan dan kebingungan di masyarakat. Menurut Kleden, faktor pengangguran politik lebih disebabkan oleh kualifikasi para politikus yang menduduki posisi penting bukan karena keterampilan dan kompetensi, melainkan lebih karena dukungan kuat dari konstituen politik yang mereka wakili.

Direktur Pusat Studi dan Kajian Hukum Indonesia Ronald Rofiandri berpendapat, politikus seharusnya bukan penganggur. Bahkan, ketika mau total, mereka dengan sendirinya akan kewalahan dengan kompleksitas aspirasi dan suara.

Setiap politikus punya keterampilan dan kompetensi yang bisa diukur. Tinggal bagaimana konstituen menentukan kepada siapa mereka akan menyerahkan kepercayaan. Jika sudah begitu, akankah politikus busuk dan/atau penganggur politik masih mendapat tempat pada Pemilu 2014? (kompas)
Solidaritas

KORANMIGRAN, SRILANGKA - On Jan 18, the IDWN gave a letter to the King Abdullah of the Kingdom of Saudi Arabia (KSA), condemning the execution of a Sri Lanka migrant domestic worker in Saudi Arabia on 9th of this month.  The letter was signed by our Chairperson, Myrtle Witbooi, and brought to the KSA Consulate in Hong Kong by Elizabeth Tang, the International Coordinator during a demonstration.

The domestic worker, Rizana Nafeek was accused of murdering an infant in May 2005.  She was then only 17 years of age.  Since then she was behind bars and denied of legal services and even translation.

According to Human Rights Watch report, some 45 women, including domestic workers are on death row in Saudi Arabia.  We demand justice to Rizana and to all those in jail.  Domestic workers are very vulnerable, facing high risk of framed accusation and even legal charges.

Please continue this action by sending letter to the King of the Kingdom of Saudi Arabia.  You may use the model letter and feel free to adapt it according to your situation and send it to the KSA consulate in your country or fax to the followings:

c/o Ministry of The Interior
Fax: 1 403 1185

Let us know your plan and once you have done it. (Elizabeth.tang@idwn.info)


 A Model Letter
(Date)

King Abdullah bin Abdulaziz,
The Kingdom of Saudi Arabia
Your Excellency,

We, (name of organization), representing (how many) domestic workers in (name of country), condemn in the strongest terms the beheading of Rizana Nafeek, a Sri Lankan domestic migrant worker, in Saudi Arabia on 9th January 2013, for a ‘crime’ which still has yet to be confirmed.

Rizana Nafeed was accused of murdering an infant she helped to take care of in May 2005 when she was only 17 years old.  In her 7 years of imprisonment prior to her execution, justice has been denied to her.  There was no thorough investigation into the case.  No autopsy of the baby’s body was carried out and Rizana was not provided with legal service and even interpretation services. 

The decision of the Saudi Arabia government under Prince Mohammed bin Nayef bin Abdul Aziz to carry out Nafeek’s execution despite repeated appeals for clemency by her family as well as local and international human rights and civil society organizations around the world is deplorable and unacceptable. 

Migrant domestic workers, like all other migrant workers, are workers and human beings.  Due to their nature of work, they are the most vulnerable and easy preys of exploitative recruitment agencies, abusive employers and the unjust legal system.  Rizana Nafeed was a case in point.  According to the Human Rights Watch’s report, at least 45 women, including domestic workers, are now on the death row in Saudi Arabia.  They will not be forgotten.  

We strongly demand that the government of Saudi Arabia indemnify the case by apologizing to Rizana Nafeed’s family and making other compensations according to the family’s wishes. We further demand that the government of Saudi Arabia immediately adopt and reform its policies and laws in line with international standards as stipulated in the United Nations and International Labour Conventions, such as the C189,  protect human rights and labour rights of migrant workers, in particular those of domestic workers, and avert future miscarriages of justice. 

Yours faithfully,
More than 45 foreign maids are facing execution on death row in Saudi Arabia, the Observer has learned, amid growing international outrage at the treatment of migrant workers.

The startling figure emerged after Saudi Arabia beheaded a 24-year-old Sri Lankan domestic worker, Rizana Nafeek, in the face of appeals for clemency from around the world.

The exact number of maids on death row is almost certainly higher, but Saudi authorities do not publish official figures. Indonesians are believed to account for the majority of those facing a death sentence. Human rights groups say 45 Indonesian women are on death row, and five have exhausted the legal process.

Figures for other nationalities are harder to come by. Rights groups say they believe there are also Sri Lankan, Filipina, Indian and Ethiopian maids facing the death penalty.

Nafeek's execution drew condemnation from Human Rights Watch and Amnesty International, both of which have campaigned against the death penalty in Saudi Arabia. They say many migrant domestic workers, drawn to the Middle East by the prospect of employment with well-off families, face abuse.

"Some domestic workers find kind employers who treat them well, but others face intense exploitation and abuse, ranging from months of hard work without pay to physical violence to slavery-like conditions," said Nisha Varia from Human Rights Watch. There are about 1.5 million foreign maids in Saudi Arabia, including about 375,000 Sri Lankans.

An International Labour Organisation report last week warned that an estimated 52.6 million domestic workers around the world lack legal rights and protections. But Varia said Saudi Arabia posed unique problems because legal protections were weaker and the chance of access to justice more remote.

"The Saudi justice system is characterised by arbitrary arrests, unfair trials and harsh punishments," she said. "Migrants are at high risk of being victims of spurious charges. A domestic worker facing abuse or exploitation from her employer might run away and then be accused of theft. Employers may accuse domestic workers, especially those from Indonesia, of witchcraft. Victims of rape and sexual assault are at risk of being accused of adultery and fornication."

Migrants are also said to struggle to gain access to lawyers and translators and it is not uncommon, according to Human Rights Watch, for the Saudi authorities to prevent those arrested from contacting their embassies.

Among those awaiting execution is 40-year-old Satinah binti Jumadi Ahmad, an Indonesian maid convicted of murdering her employer. According to Anis Hidayah, executive director of Indonesian rights group Migrant Care, she was arrested three months after arriving to work in Saudi Arabia in September 2006. Three years later she called her family to tell them she had been sentenced to death. Hidayah said the maid had killed her employer, Noura al-Gharib, during an argument.

"She was cooking in the kitchen and her employer screamed at her angrily. Her employer grabbed her hair and tried to bang her head into the wall. Satinah defended herself by spontaneously beating her employer with bread dough and struck the nape of her neck and she fell down."

Other reports say Satinah snapped after she was accused of stealing money and that she had suffered regular abuse from her employer. The victim's family has demanded 10m riyals (£1.6m) in blood money, which would save Satinah. The Indonesian government says it is prepared to make a payment, although the figure it is reported to have offered is considerably lower than that demanded by the family. A moratorium was placed on sending migrant workers to Saudi Arabia after an Indonesian maid was beheaded in 2011.

Four other women – Tuti Tursilawati binti Warjuki, Darmawati binti Taryani, Siti Aminah and Siti Zaenab – are also on death row. Tursilawati, 27, claims she killed her employer when he tried to rape her in 2010 after months of sexual abuse. Zaenab was also convicted of killing her employer, while Aminah and Taryani were sentenced to death for the murder of another migrant worker.

In 2012 Saudi Arabia executed at least 69 people, says Human Rights Watch. The previous year it executed at least 79, including five women, says Amnesty International. The death toll included one woman beheaded for witchcraft and sorcery.

Amnesty said it had grown alarmed at the "disproportionate" number of migrant workers in Saudi Arabia being executed. "As with Rizana Nafeek, nearly all migrant workers in Saudi Arabia are at great risk if they end up in the criminal justice system," said Amnesty's Saudi Arabia researcher, Dina el-Mamoun.

"In many cases, they're subjected to whole trials where they can't understand the proceedings, which are conducted solely in Arabic, and without translation. They are often not given access to lawyers or to consular assistance."

Mamoun said poor workers from the Indian subcontinent, south-east Asia and Africa did not have the contacts and influence needed to balance a justice system that was weighted against them. "All countries should be advising their residents who might be thinking of working in Saudi Arabia of the risks of mistreatment in detention, of an unfair trial and even of execution. The risks are very real and could be deadly." Amnesty said it knew of more than 120 people – mostly foreign nationals – on death row.

Saudi officials said that Rizana Nafeek was beheaded in public near Riyadh last Wednesday. She had been sentenced to death for the murder of a baby in her care, although she claimed that the child died as a result of a choking accident.

The Sri Lankan government reacted angrily and condemned the execution. Members of the country's parliament observed a one-minute silence in her memory. Her supporters had protested that she was only 17 at the time of the child's death in 2005, and that international law prohibits the execution of minors. It appears that a recruitment agency falsified the age on her passport to allow her to travel to Saudi Arabia.

Sri Lankan president Mahinda Rajapaksa had requested a stay of execution to allow time for a financial settlement to be agreed with the family of the child.

FACING THE DEATH PENALTY

Tuti Tursilawati binti Warjuki, 27

Arrived in Saudi Arabia from Indonesia in 2009 and is reported to have suffered sexual abuse at the hands of her employer until, in May 2010, she beat him to death with a stick after he tried to rape her. Supporters say that she received no legal representation for the first two months of her trial; she was subsequently found guilty and sentenced to death. The family of the dead man are reported to have asked for her execution rather than blood money.

Satinah binti Jumadi Ahmad, 40

Travelled to Saudi Arabia to work in 2006 but was arrested in 2007 for killing her female employer. Over the next two years she faced five legal hearings, which concluded that she was guilty of murder and should be executed. Last month the Indonesian government was reported to have offered to pay blood money of 2.5m riyals (£413,260), a quarter of the sum required to cancel the death penalty. Negotiations are said to be continuing.

Siti Zaenab

Has been on death row since she was sentenced in 1999. Zaenab was accused of killing her female employer by stabbing her 18 times. She had travelled to Saudi Arabia from south-east Asia a year earlier to work as a maid. She is reported to have twice been saved from execution by the intervention of Indonesian presidents, but remains in custody. Amnesty said she confessed to the murder while suffering mental health problems.