sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN


Cianjur merupakan salah satu kantong wilayah pengirim terbesar BMI dari Jawa Barat, bahkan di Indonesia. 

Masih segar dalam ingatan kita kasus yang dialami Jamilah binti Abidin Rofi'i alias Juariyah binti Idin Ropi'i, 44, BMI asal Kampung Pasir Gari RT 03/02 Desa Kertajaya, Kecamatan Tanggeung, Cianjur Selatan. 

Alih-alih bisa meningkatkan ekonomi keluarganya, Jamilah yang bekerja di Arab Saudi harus tersandung masalah hukum. Dia dituduh melakukan upaya pembunuhan terhadap majikannya. Hampir empat tahun Jamilah mendekam di balik jeruji besi kepolisian setempat. Dia pun terancam hukuman mati. 

Setelah pemberitaan tentang nasib Jamilah semakin marak di dalam negeri dan banyak desakan dari berbagai kalangan, ia akhirnya bebas dari hukuman karena bukti tuduhan majikannya memang lemah. 

Kabupaten Cianjur merupakan salah satu kantong wilayah penyumbang terbesar tenaga kerja Indonesia (TKI) di Jawa Barat, bahkan di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kabupaten Cianjur menduduki peringkat keempat di Jawa Barat. 

Jumlah TKI tercatat sebanyak 89.182 orang, setelah Kabupaten Cirebon (129.717 orang), Indramayu (95.581 orang), dan Subang (95.180 orang). 

Faktor ekonomi selalu menjadi alasan utama banyak warga Cianjur mengadukan nasib ke negara Timur Tengah sebagai TKI, bahkan rela meninggalkan suami, anak, dan keluarga besar mereka. 

Mereka bekerja bukan sebagai pekerja teknis atau strategis, bukan juga sebagai tenaga formal. Mayoritas bekerja sebagai pembantu rumah tangga. 
Ironisnya, pekerjaan yang mereka lakoni sangat berisiko mengingat dari berbagai aspek, baik kultur, bahasa, maupun hukum, terdapat banyak perbedaan. 

Dengan kemampuan yang serbaterbatas, mereka nekat mengadu nasib. Tak dimungkiri, dari sekian ratus ribu TKI, sebagian yang bernasib baik pulang dalam keadaan selamat dan bisa meningkatkan ekonomi mereka. 

Paradoksnya, mayoritas TKI bernasib nahas. Penyiksaan, gaji tak dibayar, kabur dari majikan, pemerkosaan, hingga pembunuhan kerap menghantui setiap buruh migran itu. 

Kondisi tersebut tak mengurangi animo calon TKI asal Cianjur untuk berangkat. Selama 2011, setiap bulan trennya selalu meningkat. Dari data yang diperoleh dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsonakertrans) Kabupaten Cianjur, sejak Februari hingga Juni 2011 warga Cianjur yang berangkat bekerja ke luar negeri mencapai 3.123 orang. 

Pada Februari tercatat sebanyak 56 orang, Maret (594 orang), April (467 orang), Mei (958 orang), dan Juni 1.048 orang. 

Tidak tercatat 
Sayangnya, Dinsosnakertrans Kabupaten Cianjur tak bisa memastikan jumlah pasti warga yang tercatat sebagai TKI di luar negeri. Hal itu lantaran sebagian besar di antara mereka berangkat tanpa melalui proses rekomendasi dari dinas. 

Yang tercatat hanya TKI resmi alias melalui rekomendasi. Karena itu, saat ini Pemerintah Kabupaten Cianjur sedang melakukan upaya pembenahan tata kelola TKI yang dituangkan dalam rancangan peraturan daerah (perda) mengenai penempatan dan perlindungan TKI. 

''Saat ini kita sedang menyebar surat ke tiap kecamatan berdasarkan surat keputusan (SK) Bupati Cianjur untuk mendata warganya yang berangkat sebagai TKI,'' kata Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja Dinsonakertrans Kabupaten Cianjur Ahmad Ubaidillah, pekan lalu. 

Jumlah laporan kasus yang dialami TKI bermasalah asal Kabupaten Cianjur selama 2011 mencapai 787 kasus. Hampir 90% di antaranya merupakan pelaporan dari TKI yang bekerja di negara-negara Timur Tengah dan sisanya tersebar di negara Asia lainnya. 

Kepala Bidang Penempatan Tenaga Kerja Dinsosnakertrans Kabupaten Cianjur Finny Hikmat mengatakan, tahun ini jumlah laporan kasus TKI bermasalah memang meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Artinya, kesadaran masyarakat dalam hal keterbukaan untuk melaporkan kasus yang dialami keluarga mereka cukup tinggi. 

"Dari data kasus pelaporan yang kami terima, jumlahnya selama tahun 2011 ini sebanyak 787 kasus," kata Finny. Finny menuturkan peningkatan jumlah pelaporan itu setidaknya membuktikan bahwa masyarakat percaya pada penanganan kasus dan perlindungan terhadap TKI bersangkutan yang ditangani pemerintah. 

"Untuk data TKI yang mendapatkan rekomendasi ke negara-negara Timur Tengah, jumlahnya kurang lebih 6.000 orang. Paling banyak di Arab Saudi dan sisanya di Uni Emirat Arab maupun Qatar, serta negara lainnya," terang Finny. 

Terkait dengan pembukaan kembali keran penyaluran TKI ke Malaysia pascamoratorium, menurut Finny, hal itu memang sangat diharapkan agar perlindungan terhadap hak-hak TKI lebih terjamin. 

Berdasarkan informasi, gaji yang akan diterima pekerja migran di Malaysia diperkirakan lebih besar daripada sebelumnya. "Katanya, TKI yang bekerja di Malaysia, selain mendapatkan gaji cukup besar, fasilitas yang diperoleh pun cukup menunjang. Misalnya saja setiap TKI mempunyai hak libur dan akan dibekali dengan telepon seluler," tuturnya. 

Sejauh ini, TKI asal Kabupaten Cianjur yang bekerja di Malaysia memang sangat jarang. Biasanya, pekerja yang ke Malaysia ditempatkan di bidang-bidang formal karena rata-rata yang diperlukan adalah lulusan SMA sederajat. "Biasanya mereka bekerja di bidang industri." 

Minim keahlian 
Permasalahan TKI memang sangat paradoksal mengingat animo cukup tinggi, tapi tak dibarengi pula dengan keahlian (skill) mumpuni dari setiap calon TKI. Bisa dibilang wajar bila kerap terjadi kasus kekerasan karena setiap TKI tidak cakap memahami kultur dan memiliki kemampuan berbahasa. 

Kondisi itu diperparah dengan administrasi yang karut-marut. Tatkala terbentur masalah, berkas dokumen administrasi TKI tersebut tidak ada karena ditahan pihak sponsor atau PPTKIS. 

Hal itu diakui Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) DPC Kabupaten Cianjur. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang buruh migran ini kerap mengalami kesulitan saat akan melakukan advokasi terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bermasalah. 

"Penahanan dokumen sama dengan merampas hak TKI. Bagaimana akan mengurusi maupun mengadvokasi TKI bermasalah, semisal mengajukan asuransi kesehatan, jika tidak mengantongi dokumen? Pasti bakal ditolak," kata Ketua SBMI DPC Kabupaten Cianjur Ujang Misbahudinn. 

Ujang mencontohkan kasus yang dialami Sri Mulyati, TKI asal Kampung/Desa Cipetir, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur, yang dipulangkan dari Arab Saudi karena sakit. 

Saat akan membantu mengurusi pengajuan asuransi kesehatan, SBMI akhirnya ditolak karena tidak memiliki dokumen. Karena itu, kata Ujang, pihaknya meminta Pemkab Cianjur, dalam hal ini Dinsosnaketrans Kabupaten Cianjur, segera menertibkan dan memperketat keberadaan perusahaan penempatan TKI swasta (PPTKIS). Selain itu, dia meminta pihak dinas bisa memberikan solusi yang riil terkait dengan permasalahan tersebut. 

Diakui Kepala Dinsosnakertrans Kabupaten Cianjur Moch Ginanjar, ratusan PPTKIS yang melakukan perekrutan calon TKI di Kabupaten Cianjur kedapatan belum membuka kantor cabangnya di Cianjur. ''Dari 187 PPTKIS yang melakukan perekrutan BMI, hanya 31 PPTKIS saja yang membuka kantor cabangnya di Kabupaten Cianjur,'' kata Ginanjar. 

Ginanjar berharap pengesahan perda penempatan dan perlindungan BMI bisa lebih menata lagi kaitan aturan main pemberangkatan BMI, khususnya bagi PPTKIS yang diwajibkan membuka kantor perwakilan di Cianjur. 

''Perda ini mempunyai kekuatan untuk menindak PPTKIS yang membandel dengan tidak membuka kantor cabangnya di Cianjur. Makanya, mulai saat ini kita awasi dan inventarisasi keberadaan PPTKIS ini,'' sebutnya. 

Pada akhirnya, apa pun aturan yang diterapkan, selama komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk melindungi para penyumbang devisa yang nilainya cukup besar itu belum ada, penderitaan seperti yang dialami Jamilah binti Abidin Rofi'i masih akan berlanjut.
HIV BMI
SBMI, JAKARTA – Pemerintah Indonesia diminta segera menyusun aksi nasional dengan mengedepankan perspektif hak asasi manusia (HAM) dan gender serta menyediakan anggaran yang memadai untuk mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS di kalangan buruh migran.

Hal tersebut disampaikan Kepala Divisi Program Migrasi, Trafficking dan HIV/AIDS Solidaritas Perempuan, Thaufiek Zulbahary.

Permintaan ini sekaligus mewakili organisasi Peduli Buruh Migran, Institute for Migrant Workers, Yayasan Kembang, Solidaritas Perempuan Kinasih-Yogyakarta, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Solidaritas Perempuan Angin Mamiri Makassar, RPS ODHA, GIPA MKS, Forum HAM dan AIDS, FK UGM, Yayasan Mulia Abadi dan Yayasan Kusuma Buana (YKB).

“Pemerintah dan DPR harus meratifikasi Konvensi PBB 1990 mengenai Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan anggota keluarganya serta merevisi UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di Luar negeri serta merevisi Permenaketrans tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan memasukan HIV/AIDS sebagai komponen yang dapat di klaim buruh,” ujar Thaufiek, yang dibenarkan Halik mewakili KPA Nasional.

Dikatakannya, bahwa tahun 2010 peduli buruh migran menangani 50 buruh migran yang terinfeksi HIV, dari jumlah tersebut hanya satu yang masih hidup hingga kini, akan tetapi dalam forum tersebut terungkap bahwa stigma dan diskriminasi masih saja dialami para buruh migran.

Menanggapi hal tersebut, Koordinator Migrant Crisis Centre Migrant Institute, Nursalim meminta kepada Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten/Kota di Indonesia agar mereview Perda-Perda terkait HIV/AIDS serta buruh Migran, sehingga tidak bertentangan dengan HAM dan hak-hak buruh migran

“Kepada KPA Provinsi/Kabupaten/Kota, perlu memebentuk Pokja Buruh Migran sebagai wadah koordinasi, selain pemerintah membangun pelayanan dan rujukan bagi ODHA buruh migran. Dan kami meminta kepada KBRI atau kantor perwakilan Republik Indonesia dinegara tujuan, untuk dapat mensosialisasikan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS pada buruh migran diluar negeri,” tandasnya.
Pernyataan Sikap

Sekretariat Bersama Pemulihan Hak Hak Rakyat Indonesia

Lawan Perampasan Tanah dan Ruang Hidup Rakyat!

“Reforma Agraria, Pembaruan Desa dan Keadilan Ekologis Jalan Indonesia Berkeadilan Sosial“

Jakarta, 12-01-2012

Kami dari “Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia”, aliansi dari organisasi Petani, Buruh, Masyarakat Adat, Perempuan, Pemuda Mahasiswa, Perangkat Pemerintahan Desa, dan NGO.

Kamis 12 Januari 2012 melakukan aksi serentak di Ibu kota Negara DKI Jakarta dan 27 Provinsi di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali NusaTenggara, Maluku dan 4 wilayah di luar negeri.

Kamis 12 Januari 2012 menyatakan Perlawanan dan Membentuk Aliansi Gerakan Perlawanan Terhadap Perampasan Tanah-Tanah Rakyat yang difasilitasi oleh rezim SBY-Boediono di seluruh Indonesia.

Kami Berpandangan:

Bahwa masalah utama agraria (tanah, air, dan kekayaan alam) di Indonesia adalah konsentrasi kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria baik tanah, hutan, tambang dan perairan di tangan segelintir orang dan korporasi besar, di tengah puluhan juta rakyat bertanah sempit bahkan tak bertanah. Ironisnya, ditengah ketimpangan tersebut, perampasan tanah-tanah rakyat masih terus terjadi.

Perampasan tanah tersebut terjadi karena persekongkolan jahat antara Pemerintah, DPR-RI dan Korporasi. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk mengesahkan berbagai Undang-Undang seperti: UU No.25/2007 Tentang Penanaman Modal, UU No.41/1999 Tentang Kehutanan, UU 18/2004 Tentang Perkebunan, UU No.7/2004 Tentang Sumber Daya Air, UU No. 27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 4/2009 Mineral dan Batubara, dan yang terbaru pengesahan UU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Keseluruhan perundang-undangan tersebut sesungguhnya telah melegalkan perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, wilayah tangkap nelayan, wilayah kelola masyarakat adat dan desa, kesemuanya hanya untuk kepentingan para pemodal.

Perampasan tanah berjalan dengan mudah dikarenakan pemerintah pusat dan daerah serta korporasi tidak segan-segan mengerahkan aparat kepolisian dan pam swakarsa untuk membunuh, menembak, menangkap dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya jika ada rakyat yang berani menolak dan melawan perampasan tanah.

Kasus yang terjadi di Mesuji dan Bima adalah bukti bahwa Polri tidak segan-segan membunuh rakyat yang menolak perampasan tanah. Hal ini terjadi karena Kepolisian Republik Indonesia (Polri) secara jelas dan terbuka telah menjadi aparat bayaran perusahaan perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. Kasus PT.Freeport dan Mesuji Sumatera Selatan membuktikan bagaimana polisi telah menjadi aparat bayaran tersebut.

Cara-cara yang dilakukan oleh pemerintahan SBY-Boediono dalam melakukan perampasan tanah dengan menggunakan perangkat kekerasan negara, mulai dari pembuatan undang-undang yang tidak demokratis hingga pengerahan institusi TNI/polri untuk melayani kepentingan modal asing dan domestik sesungguhnya adalah sama dan sebangun dengan cara-cara Rezim Fasis Orde Baru.

Kami menilai bahwa perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, wilayah tangkap nelayan, wilayah kelola masyarakat adat dan desa yang terjadi sekarang ini adalah bentuk nyata dari perampasan kedaulatan rakyat.

Bagi Kami Kaum Tani, Nelayan, Masyarakat Adat, dan Perempuan perampasan tersebut telah membuat kami kehilangan tanah yang menjadi sumber keberlanjutan kehidupan.

Bagi Kami Kaum Buruh, perampasan tanah dan kemiskinan petani pedesaan adalah sumber malapetaka politik upah murah dan sistem kerja out sourcing yang menindas kaum buruh selama ini. Sebab politik upah murah dan system kerja out sourcing ini bersandar pada banyaknya pengangguran yang berasal dari proses perampasan tanah. Lebih jauh, perampasan tanah di pedesaan adalah sumber buruh migran yang dijual murah oleh pemerintah keluar negeri tanpa perlindungan.

Melihat kenyataan tersebut, kami berkesimpulan: Bahwa dasar atau fondasi utama dari pelaksanaan sistem ekonomi neoliberal yang tengah dijalankan oleh SBY Boediono adalah Perampasan Tanah atau Kekayaan Alam yang dijalankan dengan cara-cara kekerasan.

Kami berkeyakinan bahwa untuk memulihkan hak-hak rakyat Indonesia yang dirampas tersebut harus segera dilaksanakan Pembaruan Agraria, Pembaruan Desa demi Keadilan Ekologis.

Pembaruan Agraria adalah penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, untuk kepentingan petani, buruh tani, perempuan dan golongan ekonomi lemah pada umumnya seperti terangkum dalam UUPA 1960 pasal 6,7,9,10,11,12,13,14,15,17. Pembaruan Agraria adalah mengutamakan petani, penggarap, nelayan tradisional, perempuan dan masyarakat golongan ekonomi lemah lainnya untuk mengelola tanah, hutan dan perairan sebagai dasar menuju kesejahteraan dan kedaulatan nasional.

Pembaruan Desa adalah pemulihan kembali hak dan wewenang di Desa atau nama lain yang sejenis, yang telah dilumpuhkan dan diseragamkan oleh kekuasaan nasional sejak masa Orba melalui UU No.7/1979 tentang Pemerintahan Desa. Penyeragaman tersebut telah menghilangkan pranata asli masyarakat pedesaan yang merupakan kekayaan “Bhineka Tunggal Ika” yang tak ternilai harganya.

Pembaruan Desa adalah pemulihan hak dan wewenang desa dalam mengatur sumber-sumber agraria di desa dengan cara memberikan wewenang desa dalam mengelola kekayaan sumber-sumber agraria untuk rakyat, memberikan keadilan anggaran dari APBN, menumbuhkan Badan Usaha Bersama Milik Desa untuk mempercepat pembangunan ekonomi pedesaan.

Bingkai utama dari pelaksanaan Pembaruan Agraria dan Pembaruan Desa adalah menuju Keadilan Ekologis. Dengan demikian, keseluruhan pemulihan hak-hak agraria rakyat, pemulihan desa adalah untuk memulihkan Indonesia dari kerusakan ekologis akibat pembangunan ekonomi neoliberal selama ini.

Melalui Aksi ini, kami Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat menyerukan: Kepada seluruh rakyat Indonesia yang terhimpun dalam organisasi-organisasi gerakan untuk merebut dan menduduki kembali tanah-tanah yang telah dirampas oleh pemerintah dan pengusaha. Kami mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk membentuk organisasi-organisasi perlawanan terhadap segala bentuk perampasan tanah.

Kami juga mengajak kepada para cendikiawan, budayawan, agamawan, professional agar mengutuk keras dan melawan segala bentuk pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah dalam melakukan perampasan tanah.

Untuk itu, Kami Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia menuntut :

  • Menghentikan Segala Bentuk Perampasan Tanah Rakyat dan Mengembalikan Tanah-Tanah Rakyat yang Dirampas.
  • Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati sesuai dengan Konsitusi 1945 dan UUPA 1960
  • Tarik TNI/Polri dari konflik Agraria, membebaskan para pejuang rakyat yang ditahan dalam melawan perampasan tanah.
  • Melakukan Audit Legal dan Sosial Ekonomi terhadap segala Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan, Hak Guna Bangunan (HGB), SK Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Izin Usaha Pertambangan (IUP) baik kepada Swasta dan BUMN yang telah diberikan dan segera mencabutnya untuk kepentingan rakyat.
  • Membubarkan Perhutani dan memberikan hak yang lebih luas kepada rakyat, penduduk desa, masyarakat adat dalam mengelola Hutan.
  • Pengelolaan sumber-sumber alam yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan mensegerakan UU PA-PSDA sesuai amanat TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
  • Penegakan Hak Asasi Petani dengan cara mengesahkan RUU Perlindungan Hak Asasi Petani dan RUU Kedaulatan Pangan sesuai tuntutan rakyat tani.
  • Penegakan Hak Masyarakat Adat melalui Pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat
  • Pemulihan Hak dan Wewenang Desa dengan segera menyusun RUU Desa yang bertujuan memulihkan hak dan wewenang desa atau nama lain yang sejenis dalam bidang ekonomi, politik hukum dan budaya.
  • Penegakan Hak Asasi Buruh dengan Menghentikan Politik Upah Murah dan Sistem Kerja Kontrak, Out Sourcing dan membangun Industrialisasi Nasional. Bentuk Undang-undang yang menjamin hak-hak Buruh Migran Indonesia dan Keluarganya
  • Penegakan Hak Asasi Nelayan Tradisional melalui perlindungan wilayah tangkap nelayan tradisional dengan mengesahkan RUU Perlindungan Nelayan, Menghentikan kebijakan impor ikan dan privatisasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.
  • Pencabutan sejumlah UU yang telah mengakibatkan perampasan tanah yaitu : UU No.25/2007 Penanaman Modal, UU 41/1999 Kehutanan, UU 18/2004 Perkebunan, UU 7/2004 Sumber Daya Air, UU 27/2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU 4/2009 Minerba, dan UU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan.

Demikian Pernyataan Sikap ini

Koordinator Umum Aksi:

Agustiana / 085223207500

Juru Bicara Sekber:
1. Henry Saragih 0811655668
2. Idham Arsyad 081218833127
3. Rahmat Ajiguna 081288734944
4. Berry N Furqon 08125110979
5. Abdon Nababan 0811111365

Sekretariat Sekber:

WALHI: Jl. Tegalparang Utara 14, Mampang-Jakarta Selatan 12790 | T/F +6221 79193363/7941673

Anggota Sekber

Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Petani Pasundan (SPP), Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Asosiasi Tani Nusantara (ASTANU), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Serikat Hijau Indonesia (SHI), Petani Mandiri, Paguyuban Petani Hutan Jawa (PPHJ), Serikat Petani Merdeka (Setam- Cilacap), Rumah Tani Indonesia (RTI), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Pekerja Tekstil Buana Groups (SPTBG), Sawit Watch, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), HuMA, RACA, Greenpeace, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Pusaka Indonesia, Bina Desa, Institute Hijau Indonesia, JKPP, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Jakarta, KONTRAS, IMPARSIAL, IHCS, ELSAM, IGJ, Parade Nusantara, Koalisi Anti Utang (KAU), Petisi 28, ANBTI, REPDEM, LIMA, Forum Pemuda NTT Penggerak Keadilan dan Perdamaian (Formada NTT), Front Mahasiswa Nasional (FMN), PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi (LMND), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Front Aksi Mahasiswa (FAM Indonesia), LSADI, SRMI, Persatuan Perjuangan Indonesia (PPI), Liga Pemuda Bekasi (LPB), Gabungan Serikat Buruh Independent (GSBI), Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek (FPBJ), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI-Tangerang), Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), , KPO- PRP, Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (PERGERAKAN), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Komite Serikat Nasional (KSN), INDIES, SBTPI, Gesburi, Serikat Pekerja Kereta Api Jabodetabek (SPKAJ), GMPI, SBTNI, Punk Jaya, PPMI,Perempuan Mahardika, SPTBG, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Konferderasi Serikat Nasional (KSN), Indonesian Corruption Watch (ICW).