sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

SBMI Grebek Kantor Satgas Hukuman Mati TKI

KORANMIGRAN, JAKARTA - Sekitar 25 orang Buruh Migran yang tergabung dalam Serikat Buruh Migrant Indonesia (SBMI) mendatangi kantor Kemenko Polhukam untuk menyampaikan tuntutannya kepada Satgas Hukuman Mati TKI.

Perwakilan SBMI yang terdiri dari Ketua SBMI Nisma Abdullah, Wakil Ketua SBMI Ramses dan beberapa perwakilan lainnya diterima langsung oleh Deputi VII Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi dan Aparatur F.H.B. Soelistyo. 

Dalam pertemuan tersebut mereka menyampaikan beberapa tuntutan, antara lain bebaskan semua Buruh Migrant Indonesia dari hukuman mati, kembalikan mandat Satgas TKI, stop melakukan bujuk rayu kepada keluarga dengan alasan apapun, dan transparansi laporan tentang perkembangan penyelamatan ancaman hukuman mati terhadap Buruh Migran kepada publik.
JAKARTA. Nisma Abdullah, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyampaikan bahwa aksi ini membawa tujuh tuntutan yaitu menolak hukuman mati terhadap buruh migran Indonesia, menghentikan biaya penempatan yang terlalu tinggi (overcharging), menghentikan pemaksaan asuransi dan KTKLN terhadap buruh migran Indonesia atas nama perlindungan, menghentikan kebijakan ekspor dan segera membentuk undang-undang yang melindungi buruh migran Indonesia dan keluarganya, meratifikasi konvensi PBB 1990 tentang perlindungan hak-hak buruh migran internasional dan keluarganya, meratifikasi konvensi ILO 189 tentang perlindungan bagi pekerja rumah tangga, membubarkan terminal khusus TKI, menciptakan lapangan pekerjaan industrialisasi nasional, dan menghentikan perampasan tanah kaum tani serta segera menjalankan reforma agraria sejati.“Hentikan Perampasan Tanah Kaum Tani dan Jalankan Reforma Agraria Sejati” adalah salah satu dari sembilan tuntutan dalam aksi bersama-Hari Buruh Migran Internasional di Jakarta, kemarin (18/12).

Sementara itu Ali Fahmi, Ketua Departemen Penguatan Organisasi, Dewan Pelaksana Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) yang hadir dalam aksi solidaritas ini menyampaikan bahwa salah satu akar persoalan buruh migran Indonesia adalah kondisi masyarakat pedesaan yang semakin terpuruk seperti semakin sempitnya lahan pertanian sehingga memaksa warga untuk meninggalkan desanya dan mengadu nasib ke kota baik itu di dalam ataupun luar negeri. Kondisi ini disebabkan kebijakan pertanian dan pembangunan Indonesia yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat kecil.


“Kemarin baru saja disetujui RUU Pengadaan Lahan Untuk Pembangunan yang semakin menegaskan arah kebijakan pertanian negeri ini. Lahan petani di Jawa yang tadinya rata-rata sudah 0,3 hektare dengan alasan untuk pembangunan dapat saja dirampas. Peristiwa di Mesuji juga salah satu contoh betapa kebijakan pertanian di Indonesia hanya berpihak kepada para pemodal, bukannya kepada rakyat kecil,” tutur Ali.

Ali menambahkan bahwa reforma agraria sejati adalah solusi untuk mengatasi berbagai persoalan yang berkaitan dengan agraria di Indonesia, mulai dari konflik agraria hingga persoalan buruh migran yang “terpaksa” mencari penghidupan di negeri orang karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan di daerah asalnya.

Aksi bersama-Hari Buruh Migran Internasional 2011 dimulai dengan melakukan long march menuju istana negara di Jakarta.








JAKARTA. Nisma Abdullah, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyampaikan bahwa aksi ini membawa tujuh tuntutan yaitu menolak hukuman mati terhadap buruh migran Indonesia, menghentikan biaya penempatan yang terlalu tinggi (overcharging), menghentikan pemaksaan asuransi dan KTKLN terhadap buruh migran Indonesia atas nama perlindungan, menghentikan kebijakan ekspor dan segera membentuk undang-undang yang melindungi buruh migran Indonesia dan keluarganya, meratifikasi konvensi PBB 1990 tentang perlindungan hak-hak buruh migran internasional dan keluarganya, meratifikasi konvensi ILO 189 tentang perlindungan bagi pekerja rumah tangga, membubarkan terminal khusus TKI, menciptakan lapangan pekerjaan industrialisasi nasional, dan menghentikan perampasan tanah kaum tani serta segera menjalankan reforma agraria sejati.“Hentikan Perampasan Tanah Kaum Tani dan Jalankan Reforma Agraria Sejati” adalah salah satu dari sembilan tuntutan dalam aksi bersama-Hari Buruh Migran Internasional di Jakarta, kemarin (18/12).

Sementara itu Ali Fahmi, Ketua Departemen Penguatan Organisasi, Dewan Pelaksana Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) yang hadir dalam aksi solidaritas ini menyampaikan bahwa salah satu akar persoalan buruh migran Indonesia adalah kondisi masyarakat pedesaan yang semakin terpuruk seperti semakin sempitnya lahan pertanian sehingga memaksa warga untuk meninggalkan desanya dan mengadu nasib ke kota baik itu di dalam ataupun luar negeri. Kondisi ini disebabkan kebijakan pertanian dan pembangunan Indonesia yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat kecil.


“Kemarin baru saja disetujui RUU Pengadaan Lahan Untuk Pembangunan yang semakin menegaskan arah kebijakan pertanian negeri ini. Lahan petani di Jawa yang tadinya rata-rata sudah 0,3 hektare dengan alasan untuk pembangunan dapat saja dirampas. Peristiwa di Mesuji juga salah satu contoh betapa kebijakan pertanian di Indonesia hanya berpihak kepada para pemodal, bukannya kepada rakyat kecil,” tutur Ali.

Ali menambahkan bahwa reforma agraria sejati adalah solusi untuk mengatasi berbagai persoalan yang berkaitan dengan agraria di Indonesia, mulai dari konflik agraria hingga persoalan buruh migran yang “terpaksa” mencari penghidupan di negeri orang karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan di daerah asalnya.

Aksi bersama-Hari Buruh Migran Internasional 2011 dimulai dengan melakukan long march menuju istana negara di Jakarta.








SBMI - Nasional, Lembaga-lembaga buruh menilai buruh migran masih dipandang sekadar barang ekspor oleh pemerintah. Pasalnya, terkait buruh migran, Pemerintah hanya mampu menetapkan kebijakan ekspor, terutama target dan kontribusi bagi anggaran negara, tapi minus perlindungan memadai yang menjadi hak warga negara.
Ini artinya buruh migran tak bedanya dengan komoditas ekspor.
-- Nining Elitos

"Ini artinya buruh migran tak bedanya dengan komoditas ekspor," urai Nining Elitos, Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Jakarta dalam jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Jumat (16/12/2011).

Orientasi pada profit, menurut Nining, sangat menjadi perhatian Pemerintah terlihat dari pengiriman tenaga kerja Indonesia ke lebih dari 40 negara.

"Ini merupakan bentuk trafficking yang dilegalkan negara karena baru 10 negara yang menandatangani MoU soal buruh migran dengan negara kita," tambah Retno, Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI).

Ia mencontohkan, Malaysia sudah lama menjadi salah satu negara yang menjadi tujuan buruh migran yang dilegalkan pemerintah. Padahal, MoU dengan negeri jiran itu menurut rencana baru ditandatangani pada Januari tahun depan.

Ramses, Wakil Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia, menambahkan, pada periode krisis keuangan global di tahun 2009, pemerintahan SBY-Boediono menjadikan pengiriman uang (remiten) dari buruh migran di luar negeri sebagai salah satu tulang punggung devisa negara dan penggerak ekonomi.

"Saat sektor keuangan lumpuh saat krisis, pemerintahan SBY-Boediono pada 2009 menjadikan kiriman buruh migran, bersama sektor pariwisata dan kerajinan tangan sebagai penggerak ekonomi nasional," terang Ramses.

Pemerintah pada 2009 menargetkan ekspor buruh migran sebanyak 1-2 juta orang dengan kontribusi yang diharapkan Rp 125 triliun per tahun.

Nining melanjutkan, keseriusan pemerintah dalam memberi perlindungan terhadap kaum buruh bisa diwujudkan dengan meratifikasi Konvensi PBB 1990 tentang perlindungan hak-hak buruh migran dan keluarganya dan meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang perlindungan bagi pekerja rumah tangga (PRT). "Karena 80 persen buruh migran di luar negeri adalah perempuan yang ditempatkan sebagai PRT," lanjutnya.

Sedangkan Ramses menambahkan, setiap tahunnya negara mendapatkan kontribusi dari remiten sebesar Rp 100 triliun. Tapi, perlindungan hak yang didapatkan dari negara sangat minim. "Bagaimana disebut perlindungan kalau ada sekitar 135 buruh migran kita yang terancam hukuman mati di luar negeri," urai Ramses.

Tanggal 18 Desember diperingati sebagai hari buruh migran. Para pemerhati kehidupan buruh migran berharap negara dalam memberikan jaminan perlindungan hak-hak para pahlawan devisa sesuai kontribusi mereka bagi negara. Hadir dalam konferensi pers ini sejumlah organisasi pemerhati kehidupan buruh migran, antara lain KASBI Jakarta, SBMI, ATKI, LBH Jakarta, YLBHI, Migrant Institute, Gabungan Serikat Buruh Independen.
Sepanjang 2011, potret BMI masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Di awal tahun, Darsem TKW Arab Saudi asal Subang Jawa Barat menjadi ikon kelembanan pemerintah untuk mengurus nasib BMI. Melalui gerakan “koin untuk Darsem”, publik berhasil membuka aib betapa pemerintah belum menjalankan sepenuhnya mandat untuk melayani dan melindungi rakyatnya.

Pidato presiden SBY di depan Konvensi ILO ke 100 di Jenewa tentang komitmen pemerintah atas perlindungan BMI, meskipun mendapat apresiasi dari peserta di dalamnya, ternyata sekedar silat lidah belaka. Buktinya, beberapa saatnya setelah Ruyati TKW Arab Saudi asal Bekasi Jawa Barat dieksekusi hukuman mati tanpa sepengetahun satu pun pejabat pemerintah.

Direktur eksekutif Migrant Institute, Adi candra utama mengatakan, kasus Ruyati semakin menambah panjang cerita duka BMI di tengah absennya negara, membuat semakin kuatnya tekanan publik mendorong perbaikan tata kelola buruh migran.

“ Pemerintah kalang kabut, saling meyalangkah sana-sini. Akhirnya kebijakan penghentian sementara/moratorium TKI informal ke Arab Saudi diberlakukan di tengah ketiadaan MoU Indonesia-Arab Saudi untuk perlindungan BMI,” jelas Adi di Jakarta (08/12).

Alih-alih mengevaluasi kinerja kelembagaan organik yang ada, pemerintah malah membentuk Satgas TKI, sebuah lembaga adhoc yang diberi mandat khusus untuk penyelamatan BMI dari hukuman mati. Langkah ini hanya semakin menunjukkan buruknya kinerja pemerintah selama ini. Pernyataan anggota Komisi 1 DPR beberapa saat lalu bahwa perwakilan RI di luar negeri, terutama di timur tengah merasa isu TKI hanya merendahkan citra Indonesia semakin menguatkan ketiadaan good will pemerintah. Toh, sampai menjelang berakhirnya tahun 2011, belum banyak terdengar kinerja Satgas TKI.

Di tengah cerita duka BMI yang hampir setiap hari menghiasi wajah media masa sepanjang 2011, paling tidak ada secercah asa untuk berubahnya potret BMI. DPR telah menetapkan revisi UU No.39/2004 tentang PPTKLN menjadi bagian program legislasi nasional 2011. Sebuah pintu masuk bagi upaya mendorong perbaikan tata kelola BMI kedepan. Sayangnya menjelang berakhirnya tahun 2011, kita belum banyak mendengar progress pembahasan untuk lahirnya kebijakan baru tersebut dari gedung DPR.

Mencermati posisi dan peran negara versus potret buram BMI tersebut di atas, pada momentum akhir tahun ini Migrant Institute (MI) bersama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengajak seluruh komponen bangsa terutama yang memiliki otoritas dan kepedulian atas nasib BMI untuk melakukan introspeksi dan evaluasi bersama melalui sebuah “Diskusi Publik Akhir Tahun: Negara dan Potret Buram BMI”.

“ Acara ini akan diselenggarakan pada hari Minggu, 18 Desember 2011, jam 09.00 pagi hingga selesai yang akan diisi oleh pembicara berkompeten, dan kami berharap acara ini mampu mendorong pemerintah dan pihak terkait lainnya untuk dapat memperbaiki sistem yang selama ini dirasa jalan ditempat,” pungkasnya.