sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

Ancaman Hukuman Mati: "Maaf, Bukan Jaminan Lolos Algojo Pancung"
Save Tuti Tursilawati
KORANMIGRAN, JAKARTA - Rezim SBY hanya bisa berkata akan terus mengupayakan pembebasan lima perempuan Buruh Migran Indonesia (BMI) asal Indonesia yang terancam hukuman pancung. Mereka adalah, Siti Zaenab, Aminah, Darnawati, Fatinah, dan Tuti Tursilawati. 

Putusan final telah dijatuhkan, eksekusi pancung segera dilaksanakan. Satu-satunya celah untuk membebaskan mereka adalah mendapat maaf dari keluarga korban atau dalam beberapa kasus, dari Raja Arab.
Tak mudah mendapat maaf. "Di samping ahli waris, ada kabilah-kabilah yang berpengaruh."
Namun, itu bukan perkara sepele. Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Tatang Boedi Utama Razak menjelaskan, proses permaafan tak mudah. "Di samping ahli waris, ada kabilah-kabilah yang berpengaruh," kata dia kepada media, Kamis 27 Oktober 2011. 

Kabilah adalah klan sebuah sistem kependudukan di Arab, dimana anak-anak dari satu suku dianggap saudara yang memiliki pertalian darah. 

Dijelaskan Tatang, tak semua anggota keluarga memiliki hak memaafkan. "Hanya ke atas dan ke bawah, Misalnya, jika seseorang dibunuh, yang berhak memaafkan adalah ayah atau anaknya. Adiknya tidak, kecuali istrinya yang terikat perkawinan," kata dia. Namun, kabilah di Arab ikut menjadi faktor keluarga korban mau memberi maaf.

Bahwa maaf ahli waris korban tak menentukan juga terjadi dalam kasus Aminah dan Darnawati. "Sebenarnya permaafan ahli waris sudah didapat, tapi di sinilah hukum di Arab saudi. Mahkamah melihat tindakan mereka, yang memutilasi korban memberatkan pelaku," jelas Tatang. Keduanya kembali divonis mati. 

"Karena sudah terbebas dari qhisas, berarti Raja Arablah yang berhak memberikan pengampunan," kata Tatang.

Presiden, dia menambahkan, sudah memohon pengampunan pada Raja Arab. "Ini juga bukan hal mudah bagi raja, karena perbuatannya. Kita hanya bisa berharap kebaikan raja," kata dia. 

Mantan Kuasa Usaha KBRI Kuala Lumpur itu juga menjelaskan proses eksekusi mati di Arab Saudi. Jika hukuman final dari mahkamah telah diputus, pelaksanaan hukuman akan diserahkan dari Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Dalam Negeri.

"Kalau sudah diserahkan Kemendagri, tinggal pelaksanaan, diteruskan Dewan Maliki. Pelaksanaan eksekusi menunggu sebulan untuk permaafan. Kalau tak dimaafkan, eksekusi dilaksanakan," kata Tatang. 

Saat ini, dia menjelaskan, pemerintah berusaha di luar jalur hukum untuk membebaskan para buruh migran yang terancam hukuman pancung itu. Tatang meminta warga Indonesia bersabar menanti hasil usaha pemerintah.

"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, di semua lapisan. Namun, ini menyangkut fakta hukum di negara orang," katanya menjelaskan.
Satgas Berupaya Selamatkan Nyawa Sutinah?
Ancaman Hukuman Mati terhadap BMI
KORANMIGRAN, JAKARTA - Satgas TKI membantah keras tudingan terhadap  pemerintah yang tidak becus menangani kasus Satinah binti Jumadi yang divonis hukuman pancung di Arab Saudi.

"Sejak awal Satgas TKI masih terus berupaya menyelematkan Satinah. Kami terus bekerja," tegas juru bicara Satgas Perlindungan TKI Humprey Djemat dihubungi media di Jakarta Kamis (20/10).

Seperti diberitakan sebelumnya, keluarga TKI yang akan dipancung di Arab Saudi Satinah, mengadukan nasibnya ke Komisi Ombudsman. Mereka mengadukan ketidakbecusan Pemerintah dalam merespons laporan keluarga terkait perkara hukum yang membelit warga Dusun Mrunten Wetan, RT 02/03 Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.

Djemat menegaskan, Satgas TKI telah bekerja sejak awal untuk menyelamatkan nyawa TKI Satinah dari hukuman pancung. Pendekatan secara efektif kepada pihak keluarga korban telah dilakukan. Bahkan, lanjutnya, pihaknya telah dibantu Wakil Gubernur Qassim.

Saat ini sedang dibicarakan berapa nilai diyatnya yang diajukan keluarga ahli waris korban Nura Al Ghari Hal ini tidaklah mudah, kami masih menunggu hasil pertemuan yang dilakukan Ketua Satgas, Pak Maftuf Basyuni dengan pihak Arab Saudi.
Satinah, Terancam Hukuman Pancung Di Arab Saudi
Selamatkan Satinah
KORANMIGRAN, SEMARANG - Buruh Migran Indonesia (BMI) asal Semarang, Satinah terancam hukuman mati karena membunuh majikannya di Arab Saudi. Satinah bisa bebas, jika mampu membayar denda Rp 2,5 miliar. Namun upaya penggalangan dana oleh keluarga dilarang Satgas TKI, sebab akan menaikan denda yang diajukan keluarga majikan Satinah.

Keluarga Satinah di Desa Kalisidi, Semarang, kini hanya bisa berharap, setelah kerabatnya, Satinah terancam hukuman mati di Arab Saudi. Satinah divonis hukuman pancung oleh pengadlan Arab Saudi setelah didakwa membunuh majikannya dan mencuri uang 37 Riyal. Namun semua dakwaan itu dibantah Satinah, sebab ia membela diri dari siksaan majikan.

Berita hukuman pancung yang tinggal menunggu waktu pelaksanannya, terang membuat gundah anak Satinah, Nur Apriani. Menurut Nur, kontak terakhir dengan Satinah terjadi lebaran lalu. Satinah ke Arab Saudi kedua kalinya tahun 2007 untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Keluarga majikan Satinah mau memberikan pengampunan, tetapi meminta ganti rugi Rp 2,5 miliar. Namun tak bisa dibayar keluarga Satinah, karena alasan ekonomi.

Keluarga telah mengadukan kasus ini ke Satgas TKI dan berniat menggalang dana. Sayangnya, upaya menggalang dana dilarang Satgas TKI. Penggalangan dana dikhawatirkan dijadikan alat tawar majikan Satinah menaikan denda. Satgas berupaya melakukan pendekatan ke pemerintah Arab Saudi dan keluarga majikan Satinah.Kasus terakhir tki yang lolos dari hukuman mati dengan membayar denda adalah Darsem. Darsem yang ditebus dengan biaya Rp 4, 7 miliar, dianggap lupa diri. Setelah bebas, Darsem menjadi miliarder, karena mendapat bantuan hampir Rp 2 miliar dari donator. Darsem dituding hidup bermewah-mewah, padahal banyak tki yang menderita dan terancam dipancung.

Presiden Surati Raja Arab Saudi: Pemerintah Negosiasi Diyat Satinah
Bebaskan Satinah
KORANMIGRAN, JAKARTA - Satgas Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) memberi perhatian khusus terhadap terpidana mati Satinah binti Djumadi asal Dusun Mrunten Wetan RT 2 RW 3, Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. 

Satgas tengah melakukan negoisasi terkait besaran diyat (denda) yang diajukan keluarga ahli waris korban Nura Al Gharib. Satinah divonis mati oleh Pengadilan Provinsi Al Qassim, Arab Saudi, karena dituduh membunuh Nura Al Gharib dan mencuri uang sebesar 37.970 riyal.
Juru bicara Satgas Perlindungan TKI Humprey Djemat mengatakan, Ketua Satgas Maftuh Basyuni telah menemui Wakil Gubernur Provinsi Al Qassim, Pangeran Faisal bin Mishal bin Saud bin Abdulaziz dan mendapat sambutan positif.

Menurut Humprey, keluarga Nura Al Gharib yang dibunuh oleh Satinah (bukan Sutinah seperti ditulis kemarin) bersedia memberikan tanazul (maaf).
”Terakhir sudah mengajukan besaran uang diyat (denda), namun jumlahnya masih terlalu besar,” ujarnya.

Setelah Idul Adha atau 6 Nopember mendatang, ketua satgas akan kembali menemui Pangeran Faisal untuk meminta keringanan uang diyat.
Mengenai pelaksanaan hukuman pancung untuk Satinah, menurut Humprey, diberikan waktu empat bulan sejak 1 Syawal 1432 Hijriah.
”Masih cukup waktu. Terlebih sudah ada pena

Kondisi Satinah, menurutnya, saat ini sehat. Dia boleh dijenguk di penjara. ”Satinah bahkan sudah khatam Alquran dan juga ingin bebas dari penjara.” 
Terpisah, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) hingga kemarin masih menunggu hasil negosiasi Satgas dengan pihak keluarga korban.
”Kalau diyat memang hasil kesepakatan dan negosiasi dengan ahli waris atau keluarga korban. Kita tunggu saja,” ujar juru bicara BNP2TKI Mahmud Rakasima.

Pemerintah, menurutnya, telah menyiapkan dana diyat sebesar Rp 1,2 miliar. “Lebih rendah dibanding Darsem. Pasti disiapkan dana itu,” tegas Mahmud. 

Darsem, TKI asal Subang, tahun ini juga divonis mati. Namun pihak korban bersedia memaafkannya dengan diyat sebesar Rp 4 miliar. Denda itu kemudian dibayar oleh pemerintah sehingga Darsem bebas dan sekarang telah pulang ke daerahnya. Darsem bahkan masih menerima ’’bonus’’ uang sumbangan dari dermawan ’’Koin untuk Darsem’’ sebesar Rp 1,2 miliar.

Satinah berangkat ke Arab Saudi sebagai TKI melalui PT Djamin Harapan Abadi Jakarta tahun 2003. Dia dikontrak dua tahun dengan opsi perpanjangan. Satinah sempat pulang beberapa bulan ke Ungaran pada 2007. Setelah itu berangkat lagi lewat perusahaan yang sama.

Sejak keberangkatannya yang kedua, Satinah hanya berkabar selama satu tahun. Setelah itu, keluarga kehilangan kontak. Ketidakpastian itu akhirnya terjawab pada Maret 2011. Keluarga mendapat kabar bahwa Satinah dipenjara dan terancam hukuman pancung karena dituduh membunuh majikannya.

Kirim Surat

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mengirim surat kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz terkait rencana hukuman mati terhadap sejumlah TKI.

’’Presiden sudah mendapat laporan. Di samping surat sebelumnya, Jumat (6/10) lalu presiden juga kembali mengirim surat kepada Raja Abdullah mengenai kasus yang menimpa Ibu Tuti,’’ kata Marty di sela-sela rapat kerja dengan Komisi VIII di Gedung DPR Senayan, Jakarta, Rabu (12/10).

Selain presiden, Kemenlu juga melakukan hal sama kepada Menlu Arab Saudi. Konsulat jenderal dan duta besar juga sudah mengadakan pertemuan dengan gubernur (Al Qassim).

’’Intinya meminta pemaafan dari pihak keluarga. Karena kalau sudah sampai pada titik seperti ini, sesuatu yang bisa menunda atau mengurangi hukuman adalah maaf dari keluarga,’’ ujarnya.

Marty menambahkan, Satgas TKI di lapangan juga sudah menjengkuk para TKI di penjara.

Selain itu, dalam waktu dekat ini pihaknya akan mengadakan pertemuan kembali dengan pihak keluarga. Kemenlu sedang mengupayakan komunikasi antara terpidana mati dengan keluarganya melalui telepon.

Menurut Marty, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi sudah menyatakan akan memberi perhatian dan memfasilitasi permintaan maaf.

’’Sekali lagi, sikap keluarga korban sangat menentukan. Sebab, tindak pidana yang dituduhkan sangat serius, yaitu membunuh majikan. Jadi, hanya pihak keluarga korban yang bisa memberi pemaafan,’’ tegasnya. (suaramerdeka.com)
Bebaskan Satinah, Siapkan Diyat - Tujuh TKI Tunggu Eksekusi Mati
Save Satinah
KORANMIGRAN, JAKARTA - Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tengah melakukan pendekatan dengan keluarga korban Nura Al Gharib yang diduga dibunuh Sutinah (39) binti Djumadi pada 2007.

Tenaga kerja wanita (TKW) asal Dusun Mrunten Wetan RT 02 RW 03 Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang itu pun terancam hukuman pancung di Arab Saudi.

“Kami akan mendekati keluarga Nura Al Gharib agar memaafkan Sutinah,” ujar Ketua BPN2TKI Moh Jumhur Hidayat dihubungi Selasa (11/10).

Jumhur mengatakan, pihaknya tengah berkordinasi dengan KJRI di Jeddah, Satgas Perlindungan untuk menempuh proses pemaafan dari keluarga korban.

Jika dimaafkan dengan syarat membayat diyat (denda) pihaknya juga akan memenui permintaan tersebut dan mengupayakan dana. “Proses itu akan kami tempuh untuk mendapat pemaafan keluarga agar tanazul (gugur) hukuman pancungnya,” ungkapnya.

Bersama dengan Satgas Perlindungan TKI, Jumhur juga mengupayakan pendampingan pengacara. “Kami tempuh seluruh prosedur pembebasan dengan terlebih dulu mendekati keluarga,” ujarnya.

Sebagaimana diberitakan, kabar mengenai nasib Satinah ini diterima keluarganya di Kalisidi Ungaran pada Maret 2011. Seorang temannya yang juga bekerja di Arab, menyampaikan hal itu kepada keluarga Satinah di rumah. Satgas perlindungan TKI juga telah menyambangi keluarga Satinah di Kalisidi Ungaran.

Sutinah berangkat ke Arab Saudi sebagai TKI melalui PJTKI PT Djamin Harapan Abadi di Jakarta, pada 2003.

Satinah yang informasinya dikontrak selama dua tahun, sempat pulang pada 2007. Di rumah hanya beberapa bulan, lalu berangkat lagi dengan perusahaan yang sama.

Sejak keberangkatannya yang kedua, Satinah hanya berkabar selama satu tahun. Setelahnya, pihak keluarga kehilangan kontak. Ketidakpastian itu akhirnya terjawab pada Maret 2011. Pihak keluarga menerima kabar Satinah dipenjara dan terancam hukuman pancung. Satinah dituduh membunuh karena membela diri. Selain itu, ibu satu anak itu disangka mencuri uang 37.970 riyal milik sang majikan.

Sebelumnya, Jumhur juga bertemu dengan keluarga TKI yang menghadapi hukuman mati di Arab Saudi, Tuti Tursilawati (27). Warga Desa Cikeusik, Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat itu diduga membunuh majikannya, Suud Malhaq Al Utibi, pada 11 Mei 2010.

Ayah Tuti, H Ali Warjuki alias Haji Dudu didampingi pengurus Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) meminta pada pemerintah untuk membela anaknya secara maksimal.

“Pemerintah akan mengambil langkah-langkah keras untuk membela Tuti di Arab Saudi,” kata Jumhur.

Sementara itu, berdasarkan catatan SBMI, ternyata masih banyak TKI di Arab Saudi yang menunggu eksekusi mati.

Mereka adalah Sulaimah warga Madura, Dwi Mardiyah, warga Desa Karang Semanding Kecamatan Bangsalsari, Jember, Jawa Timur dan Nurfadilah, warga Bondowoso.

Selain itu, Aminah binti H Budi, warga Tapin Rantau Banjarmasin Kalimantan Selatan, Darmawati binti Tarjani warga Tapin Rantau Banjarmasin Kalimantan Selatan, Suwarni warga Jawa Timur, dan Sun warga Desa Patimban, Pusakanagara, Subang Jawa Barat

Tak Terdata
Sementara itu, Kepala Dinsosnakertrans Kabupaten Semarang, Romlah mengatakan, Satinah, TKI yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi itu tidak terdokumentasikan di dinasnya. “Keberangkatan Satinah tidak melalui rekomendasi Kabupaten,’’ katanya.

Menurut Romlah, PJTKI yang memberangkatkan Satinah ke Arab itu juga tidak memiliki rekomendasi untuk perekrutan tenaga kerja dari wilayah Kabupaten Semarang.

Dia mengatakan, selama ini komunikasi untuk pembebasan TKI itu langsung dari pihak keluarga ke Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).

Dia lalu menunjukkan salinan berkas jawaban Kemenlu yang diterima Pemprov, tertanggal 15 Agustus 2011. Isinya, pembebasan Satinah sedang diupayakan dengan advokasi. Dalam dokumentasi itu juga tertulis setidaknya ada delapan TKI yang mengalami nasib serupa, terancam pancung.

Dia mengungkapkan, informasi yang diterimanya Satinah selama ditahan sejak 2008, sempat mengirim uang hasil kerajinan keset di penjara. Kali terakhir, perempuan yang sudah bercerai dengan suaminya, Ruri (42), itu mengirim uang Rp 2 juta kepada keluarga di Ungaran melalui seorang teman di Demak.

Romlah berharap pemerintah berhasil membebaskan Satinah. ‘’Dan keluarga di Arab memberikan pengampunan sehingga Satinah terbebaskan tanpa syarat.’’

Inpres
Ketua BPN2TKI Moh Jumhur Hidayat mengungkapkan, untuk melindungi TKI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2011 antara lain BNP2TKI diberi peran dalam perlindungan TKI.

“Inpres itu diterbitkan antara lain untuk memberi peran kepada BNP2TKI dalam meningkatkan pelayanan dan perlindungan TKI dari hulu sampai hilir dengan lebih baik,” kata Jumhur optimistis.
Buruh Migran Masih Dihantui Hukuman Mati
Ancaman Hukuman Mati
KORANMIGRAN, JAKARTA - Human Rights Working Group (HRWG) mencemaskan nasib buruh migran Indonesia yang masih dihantui hukuman mati di mancanegara.

Koordinator Indonesia HRWG Khoirul Anam dalam peringatan Hari Internasional Penghapusan Hukuman Mati, Senin (10/10/2011), di Jakarta, mendesak Pemerintah Indonesia mengevaluasi total kebijakan nasional tentang hukuman mati sebagai bentuk pemidanaan yang saat ini tersebar di sejumlah peraturan perundang-undangan.

HRWG menilai, praktik hukuman mati yang masih berlaku di Indonesia saat ini ikut berkontribusi menghambat diplomasi Indonesia untuk secara total mengupayakan pembebasan hukuman mati terhadap banyaknya buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di berbagai negara tempat bekerja. "Bagaimana mungkin pemerintah bisa menjalankan total diplomasi untuk pembebasan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati jika di dalam negeri saja banyak warga negara Indonesia yang dihukum mati," tutur Khoirul.

Menurut Khoirul, terdapat beberapa penyebab lainnya yang melemahkan diplomasi Indonesia terhadap pembebasan hukuman mati terhadap buruh migran Indonesia, yaitu persoalan lemahnya sistem perlindungan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Di samping itu, lemahnya politik hak asasi manusia dalam konteks buruh migran.

Khoirul menerangkan, persoalan hukuman mati yang menimpa buruh migran Indonesia merupakan akibat dari buruknya sistem perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mencakup koordinasi antarlembaga, sejak di dalam negeri, di luar negeri, sampai kepulangan kembali ke Indonesia.

"Salah satu kelemahan Undang-Undang tentang PPTKILN ini adalah tidak adanya mekanisme bantuan hukum terhadap buruh migran Indonesia yang menghadapi permasalahan hukum di negara tempat bekerja. Sangat disayangkan UU ini tidak mengatur langsung tentang mekanisme bantuan hukum dan hanya memandatkan untuk membuat sebuah Peraturan Pemerintah tentang Bantuan Hukum. Namun, sayangnya sampai saat ini peraturan pemerintah tersebut tidak pernah ada," papar Khoirul.

Kurangnya perlindungan TKI juga disebabkan oleh lemahnya politik HAM Indonesia untuk menjadi negara pihak yang meratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.

"Indonesia sebagai salah satu negara asal buruh migran terbesar seharusnya terlibat aktif sebagaimana negara asal lainnya dalam meratifikasi konvensi ini. Dengan meratifikasi konvensi ini, dipastikan Indonesia mempunyai alat diplomasi ketika berhadapan dengan negara-negara tujuan buruh migran," kata Khoirul.