sponsor

Select Menu

Data

OPINI

HUKUM

PENDIDIKAN

Sri Mulyani, World Bank dan Indonesia
Sri Mulyani
KORANMIGRAN, JAKARTA - Berita pengunduran diri Sri Mulyani menteri keuangan dalam Kabinet Pemerintahan SBY mengagetkan semua pihak di tanah air baik mereka yang sejak awal menginginkan Sri Mulyani mundur karena terlibat dalam kasus korupsi dana bailout Bank Century maupun sebagian kalangan yang pro Sri Mulyani yang menganggapnya sebagai sosok yang market friendly. 

Lebih mengagetkan lagi ternyata pengunduran diri Sri Mulyani ternyata karena dipinang oleh World Bank (Bank Dunia) untuk suatu jabatan nomor dua di lembaga keuangan tersebut yaitu managing director.

Banyak pihak yang menganggap bahwa keputusan Bank Dunia tersebut dikarenakan jasa Sri Mulyani yang besar dalam menyukseskan agenda lembaga keuangan multilateral di Indonesia. Namun sebagian pihak merasa bahwa pilihan Bank Dunia memboyong Sri Mulyani ke Washington adalah untuk menyelamatkan yang bersangkutan dari kemelut kasus korupsi yang menimpanya.

Jabatan managing director yang diberikan oleh Bank Dunia kepada Sri Mulyani memang lazim menjadi jatah mantan menteri keuangan yang berhutang banyak. Pada level yang sama diberikan Bank Duniakepada Dr. Okonjo-Iweala mantan menteri keuangan Nigeria, Juan Jose Daboub mantan menteri keuangan El Salvador.

Kedua pejabat World Bank tersebut berasal dari negara yang sebagian besar penduduknya sangat miskin tetapi negaranya terus mengabdi membayar hutang pada Bank Dunia. Nigeria merupakan contoh paling ekstrim, sebuah negara produsen migas terbesar di dunia tetapi menjadi negara penghutang terbesar dan rakyatnya sangat miskin bahkan terus-menerus terlibat kerusuhan rasial berkepanjangan.

Apa yang dilakukan World Bank di Nigeria sebenarnya tak jauh beda dengan di Indonesia. MeskipunBank Dunia menampakkan diri dengan semboyan “memberantas kemiskinan” dengan program karikatif yang seolah memberi solusi sosial seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri, Bantuan Operasional Sekolah, Conditional Cash Transfer, …, akan tetapi tampaknya tetap saja program-program tersebut adalah bagian dari strategi kapitalisme bebas yang hanya menguntungkanBank Dunia sendiri dan negara-negara maju.

Selain itu, ada kesenjangan pemahaman budaya antara pembuat program, dalam hal ini para staf dan pimpinan Bank Dunia yang sebagian besar orang-orang Amerika Serikat. Disangka oleh orang-orang dari negeri kapitalis bahwa solusi untuk masyarakat Indonesia adalah uang sehingga ditelorkanlah berbagai program hibah/hutang yang mem-bailout berbagai kebutuhan program atau proyek. Tapi toh, mental korup tidak dibenahi sehingga dana-dana itu rawan dikorupsi.

Bank Dunia tahu persis pejabat-pejabat pemerintahan Indonesia sangat korup namun terus sajamenyuapinya dengan uang dollar atas nama pinjaman. Sejak 1972, Kepala World Bank di Indonesia sudah memiliki data penyalahgunaan dana dalam jumlah sangat besar hingga disebut sebagai “perilaku yang tidak bisa diterima”. Dokumen internal WB, Summary of RSI Staff Views regarding the Problem of “Leakage” from the WB Project Budget pada Agustus 1997, menyebutkan dana pembangunan yang disalahgunakan mencapai 20 hingga 30 persen anggaran.

Dari sepak terjangnya di berbagai belahan dunia, Dr. Eric Toussaint dalam bukunya World Bank A Never Ending Coup D’etat, “The Hidden Agenda of Washington Consensus” menemukan benang merah sebagai pola kerja Bank Dunia di berbagai negara berkembang yang kaya sumberdaya alam dan tambang, khususnya minyak bumi, seperti Indonesia.

Menurut Eric Tousaint, World Bank terbiasa mendukung (baca juga: memberi pinjaman kepada) rezim otoriter yang korup karena pemimpin negara yang demikian cenderung rela menjual sumber daya tambang khususnya migas yang diminta World Bank untuk dikelola oleh perusahaan-perusahaan asal AS demi mendapat pinjaman.

Lebih jauh lagi disebutkan bahwa pinjaman Bank Dunia tidak akan pernah menguntungkan negara peminjam. Sebagai contoh, sejak 1970-an WB mendorong negara berkembang untuk berhutang kepada Bank Dunia, dan pemerintahan dan perbankan swasta dari negara maju, yang didukung dengan persyaratan pinjaman yang mudah.

Namun di akhir 1979, terjadi kejatuhan pasar komoditas, dan Depkeu AS menaikkan tingkat bunga kredit secara tiba-tiba seiring masuknya kebijakan neoliberal. Akibatnya pada 1980-an para peminjam menyetak keuntungan yang besar sekali, dan transfer uang bersih (Net Transfer) dari negara berkembang menjadi negatif. Artinya, jauh lebih tinggi uang yang dibayarkan sebagai cicilan dan bunga daripada uang pinjaman yang masuk. Sementara itu total hutang terus meningkat. Sehingga masuklah negara berkembang pada krisis hutang, yaitu hutang demikian menumpuk hingga tidak bisa terbayarkan kembali.

Krisis hutang sudah dideteksi World Bank sejak 1960-an, yang laporan internalnya menyoroti bahwa negara berkembang sudah sampai pada tingkat hutang yang tidak tertanggungkan lagi dikarenakan prospek penghasilan ekspor yang tidak secerah diharapkan. Karena negara berkembang mengekspor hasil pertanian mereka lebih tinggi daripada permintaan negara industri, harga produk ekspor agraria dari negara berkembang berjatuhan, sehingga aliran dana masuk tidak mencukupi pelunasan hutang luar negerinya.

Menurut Eric Toussaint “WB tidak melihat krisis hutang sebagai masalah”. WB semata-mata melihat bahwa supaya negara-negara yang berhutang mampu membayar kembali hutangnya, mereka perlu meminjam lebih banyak uang dengan persyaratan yang lebih mudah. Sederhananya, ini adalah awal dari lingkaran setan di mana hutang yang baru dijadikan alat untuk melunasi hutang yang lama, baik dalam teori maupun praktek.

Seluruh kebijakan Bank Dunia, termasuk di dalamnya perekrutan pimpinan di lembaga keuangan tersebut adalah sesuatu yang harus sejalan dengan kepentingan para pemegang saham terbesar yang berasal dari negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang.

Karena itu pengangkatan Sri Mulyani, orang Indonesia sebagai jajaran pimpinan Bank Dunia tersebut bukanlah sesuatu yang baru, akan tetapi justru sejalan dengan strategi besar Bank Dunia. Telah menjadi tradisi lembaga keuangan tersebut untuk mengangkat direktur dari menteri keuangan negara yang sangat setia membayar hutang dan aktif menambah hutang baru meski ditenggarai bahwa sosok tersebut tengah terlibat skandal korupsi besar.

Bagi masyarakat Indonesia, yang terpenting justru pengangkatan Sri Mulyani mesti dilihat sebagai ancaman bagi Indonesia dan negara-negara miskin lainnya dalam terkait dengan sepak terjang Bank Dunia. Masuknya utang luar negeri yang begitu intensif mengontrol kebijakan ekonomi dan politiknasional patut kita waspadi. Tentu kita tidak mau seburuk dan secelaka nasib yang dialami bangsa Nigeria!

Penulis: Salamuddin Daeng
Peneliti Institute for Global Justice – IGJ